Join emridho's empire

Jumat, 30 Desember 2011


ANALISIS KEMISKINAN DAN KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN PADA ...
ANALISIS KEMISKINAN DAN KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN
PADA PETERNAK SAPI PERAH
(Survey di Wilayah Kerja Koperasi Unit Desa Sinar Jaya Kabupaten Bandung)

Oleh:
Achmad Firman dan Linda Herlina
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
Jatinangor, Bandung 40600


Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi terhadap tingkat kemiskinan
dan ketimpangan pendapatan pada peternak sapi perah di wilayah kerja KUD Sinar
Jaya Kabupaten Bandung. Objek dari penelitian ini adalah peternak sapi perah yang
menjadi anggota koperasi. Jumlah responden yang dipilih untuk dijadikan sampel
sebanyak 69 orang yang dilakukan secara proporsional. Hasil analisis pada tingkat
kemiskinan dilakukan berdasarkan dua standar kemiskinan, yaitu berdasarkan Biro
Pusat Statistik dan Bank Dunia. Adapun kondisi kemiskinan dikategorikan menjadi dua
kategori, yaitu miskin persistent dan miskin transient/vulnerable. Tingkat kemiskinan
yang terjadi pada peternak sapi perah di wilayah KUD tersebut menunjukkan jumlah
peternak miskin yang dikategorikan miskin persistent sebanyak 14 orang (20,29 persen)
berdasarkan standar BPS atau 24 orang (34,78 persem) berdasarkan standar Bank
Dunia. Sedangkan responden yang dikategorikan sebagai miskin vulnerable sebanyak
32 orang (46,38 persen) berdasarkan standar BPS atau 22 orang (31,88 persen)
berdasarkan standar Bank Dunia. Berdasarkan analisis tersebut menunjukkan bahwa
yang tidak termasuk kategori miskin berjumlah 23 orang (baik berdasarkan standar BPS
ataupun Bank Dunia). Bila ditinjau dari tingkat ketimpangan distribusi pendapatan dari
parat peternak sapi perah di wilayah tersebut menunjukan nilai Gini Rationya sebesar
0,2149. Ini berarti bahwa tingkat ketimpangan distribusi pendapatan di tingkat peternak
sapi perah relatif rendah. Rendahnya tingkat ketimpangan tersebut menunjukkan bahwa
antara peternak kaya dan miskin tidak terjadi gap yang lebar. Hal ini menandakan
bahwa jumlah kepemilikan ternak tidak dapat dijadikan ukuran untuk melihat
ketimpangan namun produktivitas dan kualitas susu-lah yang berpengaruh terhadap
pendapatan peternak.

Kata kunci: Tingkat Ketimpangan, Distribusi Pendapatan, Tingkat Kemiskinan


THE ANALYSIS OF PERSISTENT AND VULNERABEL POVERTY AND INCOME
DISTRIBUTION GAP AT DAIRY FARMERS
(Survey at Sinar Jaya Countryside Unit Co-operation Area in Kabupaten Bandung)

By
Achmad Firman and Linda Herlina

Abstract
This research aim to evaluate the poverty level and income distribution gap at
dairy farmers in Sinar Jaya Co-operation (KUD Sinar Jaya) Area - Bandung District. The
Object of research is dairy farmer who was member of KUD Sinar Jaya. Amount of
respondents was selected are 69 farmers who conducted by proportional sampling. The
result research at poverty level use BPS and World Bank poverty standard. We found
two poor condition at dairy farmers in KUD Sinar Jaya, that are persistent condition and

vulnerable condition. The number of persistent condition are 14 persons (20.29 percent)
with BPS standard or 24 persons (34.78 percent) with World Bank standard. Besides,
we found the number of vulnerable condition are 32 persons (46.38 percent) with BPS
standard or 22 persons (31.88 percent) with World Bank standard. Based on research
that we found only 23 persons which was not poor condition. This result showed that
Gini Ratio value at dairy farmers in KUD Sinar Jaya area is 0.2149. It means that there
is no gap condition between poor and rich farmers. It signed that the sum of dairy cattle
do not influence to income distribution gap but productivity and quality of milk is very
important to increase earning of farmers.


Key words: Gap level, Income Distribution, Poverty Level


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Usahaternak sapi perah merupakan kegiatan agribisnis yang telah lama digeluti
oleh peternak di Indonesia. Kebanyakan kegiatan usahaternak sapi perah tersebut
didominasi oleh usaha peternakan rakyat dengan skala kepemilikan ternak antara 1 – 6
ekor sapi perah. Awalnya kegiatan usahaternak sapi perah adalah sebagai usaha
sambilan yang dilakukan oleh peternak, akan tetapi lambat laun kegiatan ini menjadi
sumber penghasilan utama bagi peternak karena memberikan nilai tambah pendapatan
bagi peternak.
Pada tahun 1980-an, pemerintah melakukan impor besar-besaran sapi perah
unggul dari New Zealand dan Australia untuk meningkatkan jumlah populasi ternak sapi
perah di Indonesia. Introdusir ini memicu perkembangan peternakan sapi perah dan
sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk, tingkat pendidikan dan pendapatan
penduduk yang terus meningkat, maka permintaah akan susu pun semakin meningkat
pula. Hal ini menjadi faktor yang berpengaruh terhadap bertambahnya jumlah peternak
sapi perah, koperasi persusuan, dan industri pengolahan susu.
Namun, sejak tahun 1988 – 2003, perkembangan populasi ternak sapi perah
khususnya di Jawa Barat tidak mengalami perkembangan yang berarti alias stagnan.
Kemungkinan kondisi ini dipicu oleh semakin sempitnya lahan untuk peternakan sapi
perah dan sulitnya mencari hijauan sebagai makanan pokok ternak sapi perah.
Sehingga para peternak tidak dapat meningkatkan jumlah populasinya karena
keterbatasan tersebut.
Bila dilihat dari kondisi tersebut, maka apakah pendapatan yang selama ini
diperoleh masih mencukupi untuk kebutuhan hidup peternak. Kondisi inilah menjadi
salah satu faktor untuk melihat bagaimana tingkat kemiskinan dan ketimpangan
distribusi pendapatan yang terjadi pada peternak sapi perah.

Identifikasi Permasalahan
Berdasarkan pada uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang
menjadi konsentrasi pada penelitian ini adalah seberapa besar tingkat kemiskinan dan
ketimpangan distribusi pendapatan yang terjadi pada peternak sapi perah di wilayah
kerja KUD Sinar Jaya Kabupaten Bandung.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kemiskinan dan
ketimpangan distribusi pendapatan yang terjadi pada peternak sapi perah di wilayah
kerja KUD Sinar Jaya Kabupaten Bandung.

1


TINJAUAN PUSTAKA
Tingkat kesejahteraan masyarakat dapat dilihat dari berbagai komponen yang
dapat menggambarkan apakah masyarakat tersebut sudah berada pada kehidupan
yang sejahtera atau belum. Komponen yang dapat dilihat antara lain keadaan
perumahan di mana mereka tinggal, tingkat pendidikan, dan kesehatan. Biro Pusat
Statistik (2000) menyatakan bahwa komponen kesejahteraan yang dapat dipakai
sebagai indikator kesejahteraan masyarakat adalah kependudukan, tingkat kesehatan
dan gizi masyarakat, tingkat pendidikan, ketenagakerjaan, taraf dan pola konsumsi
masyarakat, keadaan perumahan dan lingkunga, dan keadaan sosial budaya.
Di samping komponen yang dikemukakan di atas, ada komponen lain yang
mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat misalnya luas kepemilikan lahan
(Djohar, 1999). Hal ini dimungkinkan karena dilihat dari segi ekonomi, lahan/tanah
merupakan earning asset yang dapat digunakan untuk menghasilkan pendapatan,
sedangkan dilihat dari segi sosial, lahan/tanah dapat menentukan status sosial
seseorang terutama di daerah pedesaan. Sedangkan pada peternak sapi perah, yang
dijadikan sebagai earning asset adalah sapi perahnya karena sapi perah dapat
menghasilkan pendapatan dari hasil susu yang diperah dan sekaligus dijadikan
penyangga peternak bila kekurangan modal dengan menjual ternaknya. Oleh karena
itu, antara struktur pendapatan dengan jumlah kepemilikan sapi perah terdapat kaitan
yang erat.
Bila kondisi-kondisi yang telah disebutkan di atas tidak terpenuhi, maka akan
terjadi ketidakmerataan terutama dalam tingkat pendapatan sebab kondisi di atas dapat
dipenuhi jika pendapatan yang diperoleh mampu memenuhi kebutuhan tersebut.
Menurut Atkinson (1976) yang dikutip oleh Rusli, et.al (1996) mendefinisikan bahwa
ketidakmerataan pendapatan sebagai perbedaan, persebaran, atau pemusatan
pendapatan, yang keseluruhannya berpangkal pada ketidaksamaan dilihat secara
kumulatif.
Pemerataan hasil-hasil pembangunan biasanya dikaitkan dengan masalah
ketimpangan, kesenjangan, dan kemiskinan. Secara logika, jurang pemisah (gap) yang
semakin besar antara kelompok penduduk kaya dan miskin berarti kemiskinan semakin
meluas. Dengan demikian, orientasi pemerataan merupakan upaya untuk memerangi
kemiskinan.

Kemiskinan
Banyak definisi tentang kemiskinan telah diungkapkan dan menjadi bahan
perdebatan. Kemiskinan telah didefinisikan berbeda-beda dan merefleksikan suatu
spektrum orientasi ideologi. Bahkan pendekatan kuantitatif untuk mendefinisikan
kemiskinan telah diperdebatkan secara luas oleh beberapa peneliti yang mempunyai
minat dalam masalah ini (Jennings, 1994; Pandji-Indra, 2001). Kemiskinan adalah suatu
situasi atau kondisi yang dialami oleh seseorang atau kelompok orang yang tidak
mampu menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi
(Parwoto, 2001). Kondisi tersebut menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar
atau asasi manusia seperti sandang, pangan, papan, afeksi, keamanan, identitas
kultural, proteksi, kreasi, kebebasan, partisipasi, dan waktu luang (Fernandez, 2000).
Lebih jauh lagi, kemiskinan dipandang tidak hanya menyangkut standar
pendapatan atau konsumsi yang rendah melainkan juga rendahnya kebebasan
berpolitik dan pengaruhnya terhadap pengambilan keputusan yang menyangkut
pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Hal tersebut berkaitan pula dengan
keterbatasan fasilitas umum, pilihan, kesempatan serta partisipasi dalam kehidupan
sosial, politik, dan ekonomi (Sen, 1999; Pandji-Indra, 2001).
Suparlan (2000) mendefinisikan bahwa kemiskinan adalah keadaan serba
kekurangan harta dan benda berharga yang diderita oleh seseorang atau sekelompok

2

orang yang hidup dalam lingkungan serba miskin atau kekurangan modal, baik dalam
pengertian uang, pengetahuan, kekuatan sosial, politik, hukum, maupun akses terhadap
fasilitas pelayanan umum, kesempatan berusaha dan bekerja. Lebih jauh lagi,
kemiskinan berarti suatu kondisi di mana orang atau kelompok orang tidak mempunyai
kemampuan, kebebasan, aset dan aksesibilitas untuk kebutuhan mereka di waktu yang
akan datang, serta sangat rentan (vulnerable) terhadap resiko dan tekanan yang
disebabkan oleh penyakit dan peningkatan secara tiba-tiba atas harga-harga bahan
makanan dan uang sekolah (UNCHS, 1996; Pandji-Indra, 2001).
Ditinjau dari kelompok sasaran, terdapat beberapa tipe kemiskinan.
Penggolongan tipe kemiskinan ini dimaksudkan agar setiap tujuan program memiliki
sasaran dan target yang jelas. Sumodiningrat (1999) membagi kemiskinan menjadi tiga
kategori, yaitu 1) Kemiskinan absolut (pendapatan di bawah garis kemiskinan dan tidak
dapat memenuhi kebutuhan dasarnya), 2) Kemiskinan relatif (situasi kemiskinan di atas
garis kemiskinan berdasarkan pada jarak antara miskin dan non-miskin dalam suatu
komunitas), dan 3) Kemiskinan struktural (kemiskinan ini terjadi saat orang atau
kelompok masyarakat enggan untuk memperbaiki kondisi kehidupannya sampai ada
bantuan untuk mendorong mereka keluar dari kondisi tersebut).
United Nation Development Program (UNDP) meninjau kemiskinan dari dua sisi,
yaitu dari sisi pendapatan dan kualitas manusia. Dilihat dari sisi pendapatan,
kemiskinan ekstrim (extreme poverty) atau kemiskinan absolut adalah kekurangan
pendapatan untuk keperluan pemenuhan kebutuhan dasar atau kebutuhan minimal
kalori yang diperlukan. Dari sisi kualitas manusia, kemiskinan secara umum (overal
poverty), atau sering disebut sebagai kemiskinan relatif, adalah kekurangan pendapatan
untuk memenuhi kebutuhan non-pangan, seperti pakaian, energi, dan tempat bernaung
(UNDP, 2000).
Penggolongan tipe kemiskinan lainnya adalah kemiskinan persisten, yaitu situasi
di mana orang atau keluarga secara konsisten tetap miskin untuk masa yang relatif
lama. Di Amerika, yang dimaksud dengan kelompok miskin persisten adalah mereka
yang telah menerima tunjangan kesejahteraan selama lebih dari 8 tahun (Berrick,1995;
Pandji-Indra, 2001). Sedangkan kemiskinan transien adalah situasi di mana kehidupan
orang atau keluarga secara temporer dapat jatuh di bawah garis kemiskinan bila terjadi
PHK, jatuh sakit dan peningkatan biaya pendidikan (Pandji-Indra, 2001). Kondisi
kemiskinan transien ini dapat ditemui pada saat suatu negara dilanda krisis ekonomi
atau bencana alam. Tinjauan lain mengenai kemiskinan adalah garis kemiskinan
(poverty line) dan ukuran kemiskinan (poverty measurement), yang merupakan indikator
kuantitatif untuk menentukan individu atau kelompok masyarakat miskin. Garis
kemiskinan biasanya dihubungkan dengan standar hidup, yaitu jumlah uang yang
dikeluarkan untuk pemenuhan kebutuhan dasar (barang dan jasa). Namun konsep ini
masih terus diperdebatkan, khususnya dalam menentukan keluarga atau masyarakat
yang perlu ditolong melalui program penanggulangan kemiskinan. Selama ini data
kemiskinan yang dipakai di Indonesia adalah yang berasal dari Badan Pusat Statistik
(BPS) dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Badan Pusat
Statistik (BPS) menggunakan kebutuhan dasar atau konsumsi keluarga untuk
kemiskinan dan dikonversikan ke dalam rupiah. Badan Pusat Statistik (BPS)
mengkonversikan ukuran kemiskinan ke dalam 2.100 kalori per kapita per hari ditambah
kekurangan pakaian, rumah tinggal, kesehatan, pendidikan, bahan bakar dan keperluan
transportasi.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengklasifikasikan
kemiskinan menjadi 5 (lima) ukuran, yaitu prasejahtera (dibagi dua alasan ekonomi dan
bukan ekonomi), sejahtera I (dibagi dua alasan ekonomi dan bukan ekonomi), sejahtera
II, sejahtera III dan sejahtera III+. Keluarga miskin (Gakin) menurut BKKBN adalah
prasejahtera dengan alasan ekonomi, dan sejahtera I dengan alasan ekonomi.
Perbedaan versi ini menyebabkan perbedaan jumlah penduduk miskin yang dari

3

masing-masing kriteria tersebut. Sebagai contoh jumlah penduduk miskin pada tahun
1999 menurut BPS adalah sebanyak 47,97 juta jiwa, BKKBN melaporkan sebanyak
52,29 juta jiwa (praKS dan KS 1 dengan alasan ekonomi), dan SMERU melaporkan
55,80 juta jiwa.
Bank Dunia menetapkan ukuran kemiskinan melalui ukuran dol ar, yaitu US$ 1
per orang perhari (berdasarkan power purchase parity tahun 1993). Karenanya, bila
suatu individu hanya mampu memenuhi kebutuhan hidupnya kurang dari satu dol ar per
hari dapat dikatakan sebagai di bawah garis kemiskinan.
Bank Dunia melontarkan pemikiran pengukuran kemiskinan melalui metoda
Penilaian Kemiskinan secara Partisipatif (Participatory Poverty Assessment/PPA) oleh
komunitas miskin itu sendiri untuk menentukan dimensi-dimensi kemiskinan pada
komunitas tersebut. Participatory Poverty Assessment digunakan untuk memahami
kemiskinan dari sudut pandang kaum miskin dengan memfokuskan pada realita,
kebutuhan, dan prioritasnya. Participatory Poverty Assessment mengidentifikasi bahwa
kemiskinan juga ditekankan pada aspek-aspek lain seperti kerentanan, keterisolasian
secara fisik dan sosial, kurangnya rasa aman dan harga diri, dan ketidakberdayaan
(Robb, 1999; Pandji-Indra, 2001).

Distribusi Pendapatan
Distribusi pendapatan dapat berwujud pemerataan maupun ketimpangan, yang
menggambarkan tingkat pembagian pendapatan yang dihasilkan oleh berbagai
kegiatan ekonomi (Ismoro, 1995 yang dikutip oleh Rahayu, dkk., 2000). Distribusi dari
suatu proses produksi terjadi setelah diperoleh pendapatan dari kegiatan usaha.
Pengukuran masalah pemerataan telah sejak lama menjadi perdebatan di kalangan
ilmuan. Namun, pendekatan pengukuran yang sering digunakan untuk mengukur
ketidakmerataan dari distribusi pendapatan adalah Gini coefficient yang dibantu dengan
menggunakan Lorentz curve (Gambar 1). Sedangkan untuk mengukur tingkat
kemiskinan digunakan metode headcount measure dan poverty gap. Ukuran yang
dipakai dalam menentukan ketidakmerataan baik di tingkat wilayah maupun rumah
tangga adalah gini coefficient dan tingkat kemiskinan.

Gini coefficient merupakan alat ukur atau indikator yang menerangkan distribusi
pendapatan aktual, pengeluaran-pengeluaran konsumsi atau variabel-variabel lain yang
terkait dengan distribusi di mana setiap orang menerima bagian secara sama atau
identik (Bappenas, 2002). Menurut Cobwel (1977) yang dikutip oleh Mitchel (1991)

4

menyatakan bahwa pengukuran ketidakmerataan dapat menggunakan gini coefficient.
Selain itu, tingkat ketimpangan dapat diukur juga melalui personal income dengan
menggunakan Kurva Lorenz, yaitu yang menggambarkan hubungan kuantitatif antara
persentase populasi penerima pendapatan dengan persentase total pendapatan yang
benar-benar diperoleh selama jangka waktu tertentu, seperti terlihat pada Gambar 1
(Santosa dan Prayitno, 1996 yang dikutip oleh Rahayu, dkk., 2000). Pada gambar
tersebut, sumbu horisontal mewakili jumlah populasi penerima pendapatan dan sumbu
vertikal menggambarkan pendapatan yang diterima oleh masing-masing persentase
penduduk (Todaro, 1981). Garis Kurva Lorenz akan berada di atas garis horisontal, bila
kurva tersebut menjauh dari kurva diagonal maka tingkat ketimpangan akan semakin
tinggi.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan cara sampling proporsional terhadap 69 responden
yang merupakan anggota koperasi dari KUD Sinar Jaya Kabupaten Bandung. Analisis
yang digunakan untuk menghitung tingkat kemiskinan dengan menggunakan headcount
inde. Di mana : K = tingkat kemiskinan; q = jumlah penduduk miskin atau berada di
bawah garis kemiskinan; dan n = adalah jumlah penduduk.

K = q/n x 100% ……………………………………………….…..
(1)

Penentuan garis kemiskinan menggunakan standar tingkat kemiskinan yang
dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia pada suatu daerah. Oleh
karena itu dapat dikategorikan:
a. Jika responden peternak berada di atas garis kemiskinan, maka dikategorikan
sebagai peternak yang kaya atau mapan
b. Jika responden peternak berada disekitar garis kemiskinan, maka dapat
dikategorikan peternak berada dalam kerentanan (vulnerable/transien), yaitu jika
ada kejadian yang luar biasa atau pendapatan dari usaha peternakan sapi perah
berkurang akan jatuh miskin
c. Jika responden peternak berada di bawah garis kemiskinan, maka dikategorikan
sebagai kemiskinan persistent
Adapun formula yang dipakai untuk menghitung tingkat ketimpangan yang
terjadi pada peternak sapi perah sebagai berikut:

n
GC = 1 -
(Xi+1 – Xi) (Yi+1 + Yi)………..………………….....
(2)
i=1

Di mana GC = Gini Coefficient; Xi = Proporsi jumlah rumah tangga kumulatif dalam
kelas i; dan Yi = Proporsi jumlah pendapatan rumah tangga kumulatif dalam kelas i.
Nilai gini berada pada selang 0 sampai dengan 1. Bila nilai gini mendekati satu maka
terjadi ketidakmerataan dalam pembagian pendapatan. Sedangkan semakin kecil atau
mendekati nol suatu nilai gini maka semakin meratanya distribusi pendapatan aktual
dan pengeluaran konsumsi. Menurut Todaro (1981) angka GC untuk negara-negara
sedang berkembang dinyatakan bahwa distribusi pendapatan sangat timpang jika
angka gini terletak antara 0,5 sampai 0,7 dan relatif sama ketimpangannya jika angka
gininya antara 0,2 sampai 0,35.





5

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Daerah Penelitian
Luas wilayah Kecamatan Cilengkrang adalah sebesar 3.175,87 ha. Jumlah desa
yang berada di wilayah ini ada sebanyak enam desa yang terdiri dari, Desa Cipanjalu,
Desa, Girimekar, Desa Jatiendah, Desa Melatiwangi, Desa Ciporeat, dan Desa
Cilengkrang. Ketinggian wilayah rata-rata adalah 780 meter dari permukaan laut
dengan suhu udara berkisar antara 14 oC – 30oC dan kelembaban udara 80,30 persen
serta curah hujan sekitar 2.315 mm/tahun (Monografi Kecamatan Cilengkrang, 2002).
Dilihat dari sisi tataguna lahan, penggunaan lahan yang terbesar digunakan untuk hutan
(33,60 persen) disusul untuk perkebunan (32,35 persen), pertanian lahan kering (27,02
persen), sawah (6,39 persen), dan fasilitas umum (0,36 persen). Potensi penggunaan
lahan tersebut memberikan dukungan bagi penyediaan rumput bagi peternakan sapi
perah. Berdasarkan Tabel 1, jumlah keluarga miskin yang berada di Kecamatan
Cilengkrang mencapai 44 persen. Desa yang terbesar jumlah keluarga miskinnya
adalah Desa Cipanjalu (79 persen) dan Desa Cilengkrang (63 persen). Adapun
penggolongan penduduk berdasarkan mata pencaharian, jumlah yang bekerja sebagai
petani mencapai 40,85 persen, peternak 15,48 persen dan pedagang 15,36 persen.
Dilihat dari tingkat pendidikannya, rata-rata penduduk Kecamatan Cilengkrang
mempunyai tingkat pendidikan yang rendah. Hal ini diperlihatkan dari jumlah penduduk
yang tidak tamat sekolah mencapai 21,40 persen, tamatan SD/Sederajat sebanyak
49,88 persen, tamatan SLTP/Sederajat sebanyak 17,50 persen, tamatan
SMU/Sederajat sebanyak 6,46 persen, dan yang tamat dari akademi dan perguruan
tinggi hanya mencapai 4,76 persen (Monografi Kecamatan Cilengkrang, 2002). Kondisi
ini dapat mempengaruhi sikap penduduk dalam meningkatkan inovasi dan mengakses
informasi.

Identitas Responden
Identitas responden sapi perah di Kecamatan Cilengkrang berdasarkan hasil
sampling proporsional terhadap beberapa peternak menggambarkan rata-rata umur
responden berada pada usia produktif (89,85 persen). Tingkat pendidikan dari
responden relatif rendah, yaitu 84,06 persen hanya tamatan sekolah dasar. Kondisi ini
bisa mempengaruhi sikap para peternak terhadap adopsi teknologi dan informasi yang
diberikan, baik oleh petugas KUD, penyuluh, dan sebagainya. Pengalaman beternak
sapi perah sudah relatif lama, yaitu lebih dari lima tahun (88,41 persen). Hal ini
menunjukkan bahwa usaha peternakan sapi perah telah menjadi usaha pokok bagi
sebagian besar peternak. Adapun jumlah kepemilikan ternak berada diantara 3-4 ekor
per peternak (46,38 persen) dan di atas lima ekor (36,23 persen). Ini membuktikan

6

bahwa dengan jumlah kepemilikan tersebut, para peternak akan mampu menghidupi
keluarganya.

Kondisi Kemiskinan

Hasil analisis terhadap tingkat kemiskinan menunjukkan terdapat dua kategori
kemiskinan, yaitu kategori kemiskinan rentan/vulnerable/transient (berada pada
disekitar garis kemiskinan) dan miskin absolute/persistent (berada di bawah garis
kemiskinan). Perhitungan garis kemiskinan pada penelitian ini menggunakan dua
standar garis kemiskinan, yaitu berdasarkan BPS dan Bank Dunia. Standar garis
kemiskinan BPS untuk Propinsi Jawa Barat dengan memperhitungkan tingkat inflasi 10
persen pertahun adalah sebesar Rp 1.533.389/kapita/tahun, sedangkan standar garis
kemiskinan yang dikeluarkan Bank Dunia adalah sebesar Rp 3.285.000/kapita/tahun
(standar US$ 1 /kapita/hari). Selanjutnya dapat dilihat pada Gambar 1.
Kisaran pendapatan peternak sapi perah dari hasil produksi susunya selama
satu tahun adalah sebesar Rp Rp 28 ribu – 38,8 juta. Kisaran pendapatan ini cukup
besar sekali. Hal ini tergantung dari produktivitas ternak dan jumlah kepemilikan ternak
sapi perah yang dimiliki oleh peternak. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya
bahwa usaha ternak sapi perah merupakan pekerjaan pokok dari peternak sehingga
seluruh kebutuhan hidup diperoleh dari hasil usaha ternak.

A. Berdasarkan BPS
B. Berdasarkan Bank Dunia

Hasil analisis menunjukkan bahwa peternak yang hidup di bawah garis
kemiskinan (miskin absolute/persistent) sebanyak 20,29 persen (14 orang) berdasarkan
standar kemiskinan BPS atau sebanyak 34,78 persen (24 orang) berdasarkan standar
kemiskinan Bank Dunia (Tabel 2). Adapun peternak yang berada pada kondisi rentan
(vulnerable) pada kedua standar tersebut masing-masing sebesar 32 orang untuk
standar BPS dan 22 orang untuk standar Bank Dunia. Hal ini menunjukkan bila hasil
produksi susu yang dihasilkan ternak berkurang maka akan berdampak pada
pengurangan pendapatan bagi peternak. Di samping itu, bila pembayaran hasil
penjualan susu peternak koperasi tidak sesuai dengan harga perkualitas dan waktu
pembayarannya akan berdampak pada kerentanan terhadap kemiskinan karena
kebanyakan peternak mengandalkan koperasi.
Berdasarkan hasil analisis kemiskinan dengan menggunakan dua standar
kemiskinan tersebut, tampak jelas bahwa jumlah orang miskin yang terjaring oleh

7

standar kemiskinan Bank Dunia lebih banyak dibandingkan dengan BPS. Mengingat
kondisi global yang sangat berpengaruh besar terhadap perekonomian Indonesia, maka
standar Bank Dunia lebih akurat untuk menggambarkan kondisi kemiskinan di
Indonesia.

Tingkat Ketimpangan Distribusi Pendapatan

Distribusi pendapatan merupakan ukuran yang dapat digunakan untuk melihat
tingkat ketimpangan dari distribusi pendapatan dari suatu populasi penduduk. Distribusi
pendapatan pada responden peternak di wilayah kerja KUD Sinar Jaya dikelompokkan
ke dalam tiga strata peternak berdasarkan jumlah ternak sapi perah yang dimiliki oleh
responden tersebut. Adapun ketiga strata tersebut adalah Strata I peternak dengan
kepemilikan ternak kurang dari 5 ekor, Strata II dengan kepemilikan ternak antara 5 – 6
ekor, dan Strata III dengan kepemilikan ternak lebih dari 6 ekor. Pembagian strata ini
digunakan untuk mempermudah perhitungan distribusi pendapatan dari peternak
berdasarkan skala usaha kepemilikan ternak sapi perah.

Adapun capaian distribusi pendapatan pada peternak di wilayah kerja KUD Sinar
Jaya seperti terlihat pada Tabel 3. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa peternak
pada Strata I hanya sebesar 17,39 persen dari total responden, sedangkan responden
terbanyak berada pada strata III. Hal ini menunjukkan peternak sudah menganggap
usaha peternakan sapi perah menjadi usaha pokok mereka yang dibuktikan dengan
jumlah kepemilikan ternak sapi perah yang cukup banyak. Selanjutnya pada Tabel 4
diperlihatkan pula bahwa tingkat ketimpangan yang terjadi pada peternak sapi perah
dapat dikategorikan rendah. Hal ini dibuktikan dengan nilai koefisien gininya kurang dari
0.5. Todaro (1981) menyatakan bahwa distribusi pendapatan di negara-negara
berkembang dikatakan sangat timpang jika angka Gini lebih dari 0,5 dan ketimpangan
relatif rendah bila berada pada kisaran 0,2 sampai 0,35. Rendahnya tingkat
ketimpangan distribusi pendapatan pada peternak sapi perah di KUD Sinar Jaya sama
halnya dengan para peternak di KUD Pageurageung Kabupaten Tasikmalaya, seperti
yang dilaporkan oleh Rahayu, dkk (2000). Rendahnya tingkat ketimpangan tersebut
menunjukkan bahwa antara peternak kaya dan miskin tidak terjadi gap yang lebar

8

karena nilai pendapatan peternak diperoleh berdasarkan jumlah dan kualitas dari
produksi susu yang dihasilkan ternak sapi perahnya.


KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas yang mengungkapakan tingkat kemiskinan dan
ketimpangan distribusi pendapatan dari peternak di wilayah studi, maka dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Kondisi kemiskinan pada peternak sapi perah berada pada kisaran 20,29 persen
dan 34,78 persen berdasarkan kriteria BPS dan Bank Dunia.
2. Tingkat ketimpangan distribusi pendapatan yang diukur berdasarkan nilai Gini
Coefficient bernilai rendah (0,2149). Artinya ketimpangan antara peternak yang kaya
dan miskin tidak terjadi ketimpangan yang cukup besar.

Saran Saran-saran yang dapat dikemukakan berdasarkan hasil penelitian ini adalah:
1. Sebaiknya standar kemiskinan yang selama ini digunakan oleh BPS harus
mengakomodasi dampak global terhadap perekonomian Indonesia, misalnya
pengaruh harga nilai kurs rupiah terhadap dol ar Amerika Serikat.
2. Sebaiknya, bila belum terdapat standar yang dapat mengakomodasi pengaruh
global terhadap kemiskinan, maka standar kemiskinan yang dikeluarkan oleh Bank
Dunia dapat dijadikan rujukan untuk melihat tingkat kemiskinan di Indonesia.
3. Salah satu cara untuk mengeliminir tingkat ketimpangan antar peternak, sebaiknya
kepemilikan ternak sapi perah laktasi ditambah minimal 5 ekor sapi laktasi sehingga
dengan jumlah tersebut peternak berada di atas garis kemiskinan.


DAFTAR
PUSTAKA

Atmadilaga, D., Soeharsono, A. Soedono, J.S. Danoatmadja, T. Usri, S. Atmamihardja,
M. P. Rukmana, U.D. Rusli. 1976. Mari Beternak Sapi Perah. Fakultas
Peternakan. Universitas Padjadjaran. Bandung.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2002. Studi Analisis Kemiskinan Tahun
2001 (Draft). Bappenas, Jakarta.
Biro Pusat Statistik. 2000. Indikator Sosial Ekonomi Indonesia. Biro Pusat Statistik
Indonesia. Jakarta.
Djohar, I. 1999. Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan Masyarakat
Kotamadya Batam dengan Pendekatan Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi
(SNSE). Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Haeruman, Herman J.S. 1997. Strategi, Kebijakan dan Program Pembangunan
Masyarakat Desa: kearah integrasi perekonomian kota-desa. Seminar Nasional
Pengembangan Perekonomian Perdesaan Indonesia. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial
Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Mitchel , Deborah. 1991. Income Transfers in Ten Welfare States. Avebury. Sidney.
Panji Indra. 2001. An Analysis Towards Urban Poverty Al eviation Program in Indonesia.
Philosophy Doctor Dissertation. Faculty of the School Policy, Planning, and
Development. University of Southern California, California.
Parwoto. 2001. Makalah Penanggulangan Kemiskinan (Unpublished). Departemen
Permukiman dan Pembangunan Sarana Wilayah, Jakarta.

9

Rahayu, S., Sondi, K., dan Adang, R. 2000. Analisa Pemerataan Pendapatan
Usahaternak Sapi Perah Rakyat (Survey Pada Peternakan Sapi Perah Rakyat di
KUD Mitra Yasa Kabupaten Tasikmalaya). Fakultas Peternakan, Universitas
Padjadjaran. Sumedang.
Rusli, S., H. Siregar, dan Y. Saukat. 1996. Pembangunan dan Fenomena Kemiskinan
Kasus Profil Propinsi Riau. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta
Todaro, M.P. 1981. Economic Development in The Third World. 2nd edition. Long Man
Inc. New York
Suparlan, Parsudi. 2000. Kemiskinan Perkotaan dan Alternatif Penanganannya.
Ditujukkan dalam Seminar Forum Perkotaan. Departemen Permukiman da
Prasarana Wilayah. Jakarta
Sumodiningrat, Gunawan. 1999. JPS dan Pemberdayaan. Gramedia. Jakarta
UNDP. 2000. Overcoming Human Poverty. United Nations Development Programme.
Poverty Report 2000



10


Tidak ada komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Mahasiswa Teknik Industri Universitas Andalas 2009 Alumni Ponpes Asy-Syarif Angkatan 09,, Alumni Ponpes Madinatul Munawwarah angkatan 06.