Join emridho's empire

Kamis, 29 Desember 2011

STRATEGI PENELITIAN HIJAUAN MENDUKUNG PENGEMBANGAN TERNAK KAMBING POTONG DI INDONESIA



WARTAZOA Vol. 13 No.1 Th. 2003

STRATEGI PENELITIAN HIJAUAN MENDUKUNG PENGEMBANGAN
TERNAK KAMBING POTONG DI INDONESIA

TATANG M. IBRAHIM

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara, Jl. Karya Yasa No. 20, Medan 20143

ABSTRAK

Pengembangan ternak kambing sebagai penghasil daging perlu segera dilakukan dengan teknologi hijauan untuk mencapai
target produktivitas ternak seperti yang diharapkan. Teknologi hijauan harus disesuaikan dengan karakteristik sistem usahatani
dominan yang ada di setiap wilayah pengembangan. Untuk itu perlu adanya kesepakatan secara nasional maupun regional
tentang penetapan wilayah pengembangan kambing potong. Rangkaian penelitian hijauan pada dasarnya mencakup enam
tahapan yaitu: (1) koleksi plasma nutfah; (2) uji multi lokasi (nursery); (3) evaluasi dalam sistem potongan skala kecil; (4)
evaluasi dalam sistem penggembalaan skala kecil; (5) evaluasi hijauan sistem penggembalaan skala besar; dan (6) demonstrasi
teknologi hijauan di lahan petani. Sampai saat ini sudah banyak hasil penelitian hijauan tersedia dan umumnya telah melewati
Tahap-2 (nursery evaluation) sehingga penelitian selanjutnya sudah dapat langsung masuk ke Tahap-3 (sward evaluation) dan
seterusnya. Perbanyakan materi tanam perlu diprioritaskan. Pada tahapan yang sesuai (Tahap-5 dan Tahap-6) diperlukan
keterlibatan secara aktif BPTP untuk secara holistik mengembangkan teknologi di setiap wilayah pengembangan. Upaya
penelitian ini perlu didukung oleh pelatihan dan pendidikan yang sesuai bagi peneliti, penyuluh dan petani.
Kata kunci: 

ABSTRACT

FORAGE RESEARCH STRATEGY FOR THE DEVELOPMENT OF GOAT PRODUCTION IN INDONESIA

The development of goat for meat production has to be conducted and forage technology is needed to achieve the expected
target of productivity. These forage technology have to be correctly designed for each existing major farming system within each
regional developmental zone. It is therefore necessary to have national or regional agreement on zone where goat production
should be developed. A general scheme for forage research basically involving 6 stages of evaluation, i.e., (1) germplasm
collection; (2) multi-site testing of single accession; (3) swards productivity of selected accessions under cutting regime; (4)
small plots for grazing evaluation, (5) large scale animal production assessment and (6) farm demonstration and commercial
release. Many research results on forage technology currently available and generally had already passed the 2nd stage of
evaluation. However, the multiplication of planting material should be prioritized. It also necessary to have active involvement of
provincial AIAT (Assessment Institute for Agricultural Technology) in advance stages of evaluation (5th and 6th stages). Relevant
training and education for researchers, extensionists and farmers is needed to build up a strong support for high quality research
results.
Key words:




PENDAHULUAN

Dalam upaya peningkatan ketahanan pangan
khususnya produk daging, maka pengembangan ternak
kambing potong perlu dilakukan. Secara sosial,
penduduk Indonesia terbiasa mengkonsumsi daging
kambing dan pada dasarnya kebutuhan domestik belum
terpenuhi sehingga peningkatan produksi kambing
potong akan terserap oleh pasar. Sementara itu,
perkembangan penduduk Indonesia yang pada 1995-
2000 naik sekitar 1,2% per tahun (BPS, 2001) harusnya
sejalan dengan kenaikan kebutuhan terhadap daging
kambing. Namun demikian, perkembangan produksi
daging kambing dari tahun 1990-1999 ternyata menurun
sekitar –1,8% per tahun (BPS, 2000). Kenyataan




tersebut menunjukkan bahwa upaya pengembangan
ternak kambing sebagai penghasil daging perlu segera
dilakukan.
Di Indonesia dan juga di beberapa negara di Asia
Tenggara, komponen hijauan merupakan sumber utama
pakan yang umum diberikan kepada ternak kambing
(SIREGAR      et al., 1986; CHEE dan WONG, 1986;
FUJISAKA            et al.,  2000).  Dibandingkan  dengan
kebutuhan nutrisi ternak, jumlah dan kualitas hijauan
pakan yang diberikan tersebut umumnya dinilai tidak
cukup. Namun demikian, walaupun petani telah
mengenal berbagai jenis hijauan yang produktif dan
berkualitas baik, prioritas alokasi lahan selalu diberikan
untuk      sistem produksi           tanaman       pangan      dan
hortikultura. Hal ini cukup dimengerti karena


1





TATANG M. IBRAHIM: Strategi Penelitian Hijauan Mendukung Pengembangan Ternak Kambing Potong di Indonesia



sempitnya pemilikan lahan dan kecilnya sekala usaha
ternak yang dimiliki. Pada ekosistem perkebunan,
integrasi komponen produksi ternak juga harus
mempertimbangkan kesesuaiannya terhadap tanaman
pokok. Contoh, integrasi ternak kambing dengan
perkebunan karet perlu dipertimbang-kan karena
dengan sifat atau cara makannya antara “grazer dan
browser” (Nastis, 1996) sangat mungkin merusak
keragaan tanaman pokok. Sistem pemberian pakan
secara “cut & carry” bagi ternak kambing di ekosistem
perkebunan karet mungkin lebih sesuai. Selanjutnya,
kelayakan ekonomis dari sistem tersebut juga harus
diukur secara holistik dalam konteks integrasi ternak
dan sistem usahatani yang akan memberikan suatu
justifikasi apakah suatu model integrasi dapat
dikembangkan secara lumintu di suatu wilayah target
pengembangan. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa
variasi jenis dan cara pemberian pakan yang sesuai di
suatu wilayah erat berkaitan dengan karakteristik
sistem usahatani yang ada di wilayah pengembangan.
Pengembangan teknologi hijauan harus memper-
timbangkan peluang integrasi dengan berbagai sistem
usahatani yang ada. Dengan demikian, dapat diharapkan
bahwa eksistensi hijauan pakan bukan merupakan
saingan bagi tanaman pokok namun bahkan menjadi
akselerator pertambahan nilai lahan baik sebagai
sumber pakan ternak, peningkatan kesuburan lahan
atau mengurangi kemungkinan degradasi lahan di
daerah yang berlereng.
Makalah ini menyajikan strategi penelitian hijauan
pakan mendukung pengembangan kambing potong
yang didasarkan kepada pemanfaatan peluang integrasi
dengan sistem usahatani yang ada. Seluruh aspek
proses evaluasi hijauan pakan juga disajikan untuk
memberikan gambaran tujuan dan prosedur yang harus
ditetapkan dan dilakukan.

STRATEGI PENELITIAN HIJAUAN PAKAN
TERNAK

Penelitian hijauan pakan untuk mendukung
pengembangan ternak kambing perlu disusun secara
sistematik yang diawali oleh penetapan wilayah target
pengembangan. Selanjutnya kondisi agro-ekologi
wilayah pengembangan tersebut perlu diketahui
meliputi pemahaman terhadap sistem usahatani yang
ada, limitasi terhadap ketersediaan pakan, peluang
perbaikan yang mampu ditawarkan oleh hijauan dan
cara pemanfaatan hijauan (STÜR, 1990). Seluruh
tahapan ini diperlukan dalam menentukan karakteristik
jenis hijauan yang sesuai sehingga teknologi yang
dihasilkan dapat diperkirakan akan memiliki peluang
adopsi yang sangat tinggi.
Penetapan wilayah pengembangan ternak
kambing.  Tahapan ini sebaiknya dilakukan melalui
pendekatan kesesuaian lahan yang dikombinasikan


2



dengan pendekatan sentra produksi. Pendekatan
kesesuaian lahan lebih mengutamakan kesesuaian
biofisik lahan terhadap kebutuhan sistem produksi ideal
ternak kambing potong sedangkan pendekatan sentra
produksi sudah menyentuh aspek sosial ekonomi. 
Dalam era otonomi daerah, kesepakatan yang jelas
dengan mitra kerja di daerah tentang wilayah
pengembangan       ternak       kambing       potong      perlu
didapatkan. Hal ini diharapkan akan menjadi tenaga
dorong ekstra dalam upaya pengembangan ternak di
daerah yang bersangkutan.
Pemahaman Kondisi lingkungan. Deskripsi
tentang        kondisi       agro-klimat wilayah               target
pengembangan perlu diketahui dengan rinci. Data iklim
meliputi temperatur, jumlah dan distribusi curah hujan,
jumlah bulan kering perlu dicatat. Selain itu, data fisik
dan kimia tanah seperti jenis, tekstur, kapasitas
menahan air, pH dan status hara tanah juga perlu
dikumpulkan dan bersama data iklim akan menjadi
filter       pertama       dalam seleksi            hijauan       untuk
dikembangkan.
Pemahaman Sistem Usahatani. Integrasi ternak
terhadap sistem usahatani yang ada di wilayah
pengembangan akan berjalan dengan baik apabila
karakteristik sistem usahatani sudah difahami dengan
benar. Sistem usahatani juga menggambarkan kondisi
sosial, ekonomi dan budaya masyarakat yang
bersangkutan dan oleh karenanya akan sangat
menentukan derajat kesuksesan integrasi. Perbedaan
sistem usahatani akan mengakibatkan berbedanya
sistem pemeliharaan ternak di suatu daerah. Sebagai
contoh, perkebunan besar mungkin memelihara ternak
secara ekstensif (digembalakan) sedangkan ternak yang
dipelihara oleh petani kecil yang memiliki lahan sempit
menggunakan      sistem cut          and     carry.      Melalui
pemahaman terhadap sistem usahatani diharapkan
dapat diketahui dan sekaligus diwujudkan peluang
integrasi yang saling menguntungkan antara berbagai
komponen yang ada. Data yang diperlukan dalam
memahami sistem usahatani yang ada meliputi antara
lain sistem produksi ternak, skala usahatani, jenis
ternak, intensitas penggunaan lahan, tingkat manajemen
usahatani, pemakaian pupuk, keuntungan pemeliharaan
ternak, sikap atau perilaku petani, kemungkinan adopsi
teknologi serta kondisi ekonomi.
Pemahaman  tentang  permasalahan ketersedia-
an hijauan. Tingkat ketersediaan hijauan pakan di
suatu sistem usahatani yang telah ditetapkan perlu
penilaian      dalam upaya          mengidentifikasi       faktor
pembatas produktivitas ternak yang dapat diantisipasi
oleh teknologi hijauan. Sebagai contoh, apabila
terdapat keterbatasan pasokan pakan terjadi pada
musim kemarau maka diperlukan jenis hijauan yang
toleran terhadap kekeringan. Pada akhir tahapan ini,
diketahui berbagai aspek atau karakteristik hijauan





WARTAZOA Vol. 13 No.1 Th. 2003



yang dicari dan berpeluang besar memberikan
peningkatan hasil ternak.
Peluang perbaikan ketersediaan hijauan. Pada
tahapan ini diputuskan jenis hijauan yang diinginkan
dan bagaimana hijauan tersebut berintegrasi dengan
sistem usahatani setempat. Penurunan ketersediaan
hjauan di lahan perkebunan karet atau kelapa sawit
yang berkaitan dengan menurunnya intensitas cahaya
memerlukan jenis hijauan yang toleran terhadap
naungan.
Pemanfaatan dan manajemen pemeliharaan
hijauan. Pemanfaatan hijauan yang dimaksudkan
adalah sistem pemberian pakan terhadap ternak,
penggembalaan atau potongan. Hal ini secara langsung
akan menentukan jenis hijauan apa yang harus dipilih.
Selain cara pemanfaatan hijauan, tingkat manajemen
pemeliharaan juga amat penting utamanya untuk
mencegah rusaknya kebun hijauan atau pastura.
Apabila pemeliharaan pastura tidak dapat secara
intensif dilakukan dalam situasi penggembalaan,
sebaiknya digunakan spesies hijauan yang toleran
terhadap kondisi      over-grazing, yaitu spesies dengan
sifat tumbuh pendek serta berstolon.
Deskripsi jenis hijauan yang diinginkan. Tujuan
pemanfaatan akan menentukan deskripsi jenis hijauan
yang diinginkan meliputi kemampuan untuk tumbuh
dalam        kondisi        tertentu, kandungan               nutrisi,
kompatibilitas, potensi hasil, perenialitas, persistensi
dan potensi perbanyakan. Sementara itu, tingkat
manajemen akan menentukan deskripsi hijauan tentang
sifat tumbuh, resistensi terhadap pemotongan dan
adaptasi terhadap tingkat kesuburan lahan tertentu.
Diagram alur penelitian hijauan. Secara
sederhana alur penelitian (Gambar 1) untuk menghasil-
kan teknologi hijauan yang mencakup enam tahapan
telah digambarkan oleh IVORY (1986). Tahap-1.
Tahapan ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik
morfologis plasma nutfah hijauan, variasi genetik
dalam suatu spesies hijauan atau untuk menggandakan
benih. Galur atau kultivar hijauan ditanam dalam pot
atau polybag di rumah kaca. Dalam tahap ini,
kebutuhan nutrisi tanaman dan kesesuaian dengan
rhizobium (untuk legum) umum dilakukan.          Tahap-2.
Tujuan dari tahapan ini adalah untuk mengurangi
jumlah galur hijauan menjadi kelompok kecil dari
spesies unggul yang memiliki potensi tinggi untuk
digunakan sebagai tanaman hijauan komersial. Umum
dilakukan dalam tahapan ini adalah evaluasi hijauan
yang ditanam dalam bentuk “nursery’, yakni setiap
spesies hijauan ditanam dalam satu atau lebih barisan.
Respons spesies hijauan terhadap aplikasi pemupukan
(rumput dan legum) atau rhizobium (legum) dapat
dievaluasi dalam tahapan ini. Seleksi umumnya
dilakukan berdasarkan derajat kesesuaian spesies
hijauan terhadap situasi “low-input”.  Tahap-3.           Pada
tahapan ini, evaluasi ditujukan untuk menilai keragaan



spesies hijauan hasil seleksi sebelumnya dalam sistem
potongan.       Hal     ini umum           dilakukan      dengan
menggunakan petakan kecil dan disesuaikan dengan
tujuan pemanfaatan hijauan. Apabila tujuan yang
ditetapkan       adalah pembentukan           kebun      hijauan
campuran rumput dan legum, maka evaluasi dilakukan
terhadap berbagai hijauan terpilih yang ditanam dengan
satu atau dua spesies hijauan standar. Dalam tujuan
yang lain seperti perbaikan padang alam, maka spesies
hijauan terpilih dapat ditanam sisip (oversowing)
kepada padang alam. Respons terhadap situasi
penggembalaan juga dapat disimulasikan dalam sistem
potongan mencakup berbagai tingkat intensitas dan
interval defoliasi. Untuk pemanfaatan hijauan dalam
sistem     cut & carry, tujuan untuk mendapatkan
manajemen pemotongan yang optimal dapat diterapkan
pada tahapan           ini. Strategi           pemupukan      untuk
mempertahankan        hijauan      tetap       produktif      dan
berkualitas dalam sistem cut & carry juga dapat
sekaligus dievaluasi. Spesies hijauan yang terpilih dan
telah mendapatkan tehnik pemotongan dan pemupukan
yang optimal selanjutnya dapat langsung digelar di
petani dan             dikembangkan        secara       komersial.
Perbanyakan materi tanam bagi spesies hijauan tersebut
perlu diperhatikan sehingga permintaan dalam sekala
luas dapat diantisipasi sesegera mungkin.             Tahap-4.
Tahapan ini ditujukan untuk evaluasi lanjutan terhadap
spesies hijauan untuk sistem penggembalaan dalam hal
informasi tambahan tentang tingkat produktivitas,
persistensi dan konsumsi dalam situasi penggembalaan.
Tahapan ini memerlukan lahan yang lebih luas dan
masukan yang lebih banyak dan oleh karena itu
beberapa metodologi telah                    dirancang       untuk
meminimalkan masukan yang diperlukan. Salah satu
metoda adalah dengan menanam semua spesies hijauan
terpilih dalam satu petakan dan penggembalaan
dilakukan secara rotasi antara petakan ulangan. Metoda
ini dapat menghemat biaya namun dapat mengaburkan
interpretasi dengan adanya konsumsi selektif terhadap
spesies yang paling disukai. Dapat diduga bahwa pada
akhirnya spesies yang paling disukai akan menjadi
paling tidak produktif dan sebaliknya bagi spesies yang
paling tidak disukai. Metoda lain yang dapat digunakan
adalah dengan menyiapkan petakan terpisah bagi setiap
spesies hijauan yang dievaluasi dan penggembalaan
dilakukan secara rotasi dalam interval yang pendek
antara petakan pada tingkat kepadatan ternak yang
relatif tinggi. Metoda ini lebih mahal dibandingkan
dengan metoda sebelumnya dan tingkat konsumsi
mungkin akan dipengaruhi oleh sifat merumput ternak
di petakan sebelumnya. Namun demikian, melalui
pengacakan ulang antara ulangan, metoda ini
memberikan situasi yang lebih realistik. Evaluasi
terhadap produktivitas hijauan sebelum dan setelah
penggembalaan harus dilakukan sekaligus terhadap
komposisi botanis pastura yang dievaluasi. Bagi



3




TATANG M. IBRAHIM: Strategi Penelitian Hijauan Mendukung Pengembangan Ternak Kambing Potong di Indonesia



spesies hijauan hasil seleksi tahap 3 yang telah
memperlihatkan keunggulan nyata dapat langsung
masuk ke Tahap-5.     Tahap-5. Pada tahapan ini hanya
satu atau dua spesies hijauan yang dievaluasi dengan
membandingkannya terhadap spesies hijauan standar
yang telah direkomendasikan atau komersial. Tujuan
dalam tahapan evaluasi ini adalah stabilitas pastura dan
biasanya perlakuan yang diterapkan meliputi tingkat
kepadatan ternak dan pemupukan dalam upaya
merumuskan rekomendasi teknologi hijauan yang siap
secara komersial diterapkan pengguna. Tahap 6.
Tahapan ini merupakan forum kerjasama evaluasi
antara peneliti, penyuluh dan petani. Evaluasi
dilakukan di lahan petani sehingga berfungsi sebagai
media demonstrasi dalam upaya percepatan adopsi oleh
pengguna akhir atau petani. Oleh karena itu, peran
lembaga pengkajian seperti BPTP akan sangat penting
dalam tahapan ini. Upaya tersebut perlu didukung oleh


Tahap 1


kegiatan perbanyakan materi tanam yang harus mampu
memasok kebutuhan dalam sekala komersial. Dalam
kondisi dimana ternak ruminansia merupakan usaha
pokok di suatu wilayah pengembangan, maka
diharapkan muncul produsen atau penangkar benih atau
bibit hijauan yang akan menjadi tumpuan sumber
pasokan materi tanam bagi pengembangan hijauan di
berbagai wilayah pengembangan. Produsen benih atau
bibit hijauan tersebut dapat merupakan instansi
pemerintah (Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan
Makanan Ternak) atau swasta murni. Di berbagai
negara maju seperti Australia, Amerika dan Selandia
Baru, produsen benih hijauan umumnya adalah swasta
murni. Waktu yang diperlukan untuk setiap tahapan
evaluasi adalah 1,5 tahun yang dimaksudkan agar dapat
mencakup musim hujan dan kemarau sehingga respons
tanaman hijauan yang dievaluasi terhadap perobahan
cuaca dapat diikuti dan diantisipasi dengan baik.


Karakterisasi









Profil hijauan
a. Kandungan  gizi
b. Anti-nutrisi
c.Nilai  nutrisi

















Sumber: IVORY, 1986


Koleksi Plasma Nutfah Hijauan
(rumah kaca)


Tahap 2
Uji multi-lokasi (nursery)


Tahap 3
Produktivitas hijauan terpilih
dalam sistem potongan


Tahap 4
Evaluasi hijauan petakan kecil
dalam sistem penggembalaan
Small plots for grazing evaluation


Tahap 5
Evaluasi hijauan dalam sistem
produksi ternak sekala besar


Tahap 6
Gelar teknologi dan
Pengembangan skala komersial


a.     Morfologis
b. Fenologis
c. Dinamika tanaman
d. Produktivitas
e.     Toleransi terhadap hama,
penyakit, kemarau
f. Produksi benih
g. Masalah    nutrisi






Parameter kesesuaian sistem
penggembalaan
a. Konsumsi
b. Produksi hijauan
c.     Selektivitas
d.    Komposisi botanis
e.     Keragaan ternak











4


Gambar 1. Diagram alur penelitian hijauan





WARTAZOA Vol. 13 No.1 Th. 2003



PELUANG PENGEMBANGAN HIJAUAN AKAN
PADA SISTEM USAHATANI YANG ADA

Pada dasarnya evaluasi hijauan pakan bertujuan
untuk mengidentifikasi berbagai jenis hijauan yang
dengan manajemen tertentu dapat meningkatkan
produktivitas ternak apabila dimasukkan kedalam suatu
sistem usahatani (Ivory, 1986). Oleh karena itu,
pemahaman yang seksama perlu dilakukan terhadap
sistem usahatani yang ada sehingga peluang integrasi
hijauan       pakan       terhadap      suatu      sistem dapat
teridentifikasi dengan benar.
Berdasarkan tipe penggunaan lahan yang ada,
terdapat enam kelompok sistem usahatani di Indonesia
(Nitis et al., 1990; dan Fujisaka et al., 2000) yaitu: (1)
lahan sawah, (2) lahan kering, (3) lahan perkebunan,
(4) padangan, (5) lahan pekarangan dan (6) lahan
pertanian berpindah.
Sistem usahatani padi sawah. Salah satu
ekosistem dalam kelompok ini adalah sawah irigasi
yakni padi ditanam lebih dari satu kali per tahun.
Ternak ruminansia yang dipelihara di ekosistem ini
mendapatkan pakan berupa jerami padi, gulma hasil
penyiangan di lahan sawah, dedaunan tanaman tahunan
(nangka dll.) dan vegetasi alam yang ada di pematang,
saluran irigasi, tepi jalan dan tanggul sungai (IBRAHIM
et al., 2000). Dibandingkan dengan kebutuhan nutrisi
ternak, jumlah dan kualitas pakan yang diberikan
tersebut dinilai tidak cukup.
Namun demikian, pengembangan hijauan pakan
lahan sawah irigasi sangat terbatas karena petani
umumnya menilai bahwa tanaman padi adalah
komoditas utama sehingga tidak ada waktu, upaya atau
alokasi lahan yang diperuntukkan bagi penanaman
hijauan pakan. Di lahan sawah irigasi, pematang sawah
umumnya sempit dan lebih diutamakan untuk jalan.
Selain itu, penanaman hijauan di dekat lahan sawah
dianggap akan menjadi sarang hama (tikus, serangga
dll.) serta sumber gulma yang mengancam tanaman
padi. Oleh karena itu, jumlah pasokan hijauan di
ekosistem lahan sawah irigasi umumnya terbatas.
Keterbatasan pasokan hijauan dan menurunnya
kebutuhan      untuk     ternak kerja akibat aplikasi
mekanisasi, jumlah ternak ruminansia di ekosistem ini
cenderung menurun.
Ekosistem lahan sawah tadah hujan memberikan
peluang pengembangan hijauan yang cukup baik
karena ada periode bera terjadi setiap tahunnya.
Pemanfaatan lahan bera oleh tanaman hijauan legum
pakan ternak akan memberikan manfaat ganda berupa
peningkatan sumber hijauan pakan ternak dan
kesuburan lahan yang akan memberikan peningkatan
hasil padi yang ditanam setelahnya dan sekaligus
memberikan penghematan biaya produksi.
Sistem usahatani lahan kering. Di ekosistem ini,
sumber pakan ternak umumnya adalah vegetasi alami



yang berasal dari gulma di lahan pertanaman tanaman
pangan atau sayuran, dedaunan tanaman tahunan serta
vegetasi alam yang tersedia di tepi jalan atau batas
kebun. Dibandingkan dengan kebutuhan nutrisi ternak,
baik jumlah dan kualitas pakan yang diberikan tersebut
dinilai tidak cukup.
Prospek pengembangan hijauan di ekosistem
pertanian lahan kering cukup baik melalui rotasi
tanaman pangan dengan legum pakan ternak atau
penggunaan legum pohon dan semak pada sistem
budidaya lorong (alley cropping) pada lahan berlereng
(MOOG et al., 1998).
Sistem usahatani perkebunan. Perkebunan yang
ada di Indonesia umumnya adalah perkebunan karet,
kelapa sawit, kelapa, cokelat, teh dan kopi. Namun
demikian, berdasarkan ketersediaan ruang tanam yang
ada maka peluang pengembangan hijauan pakan ternak
yang baik terdapat di ekosistem perkebunan karet,
kelapa sawit dan kelapa (STÜR, 1990; CHEN, 1990).
Vegetasi alam yang tumbuh di areal perkebunan
dapat dikonsumsi ternak dan dapat dikelompokan
sebagai hijauan pakan, bukan sebagai gulma. Integrasi
ternak dengan              perkebunan        bertujuan        untuk
mendapatkan nilai tambah lahan berupa produk ternak.
Dengan tujuan seperti ini, perbaikan ketersediaan
hijauan pakan di areal perkebunan merupakan target
yang sejalan dengan upaya pencapaian tingkat
produktivitas ternak.
Ketersediaan hijauan pakan di areal perkebunan
karet dan kelapa sawit sangat berbeda dengan
perkebunan kelapa. Hal ini berkaitan dengan tingkat
intensitas cahaya yang diterima oleh vegetasi di bawah
tanaman perkebunan (STÜR, 1990; CHEN, 1990).
Intensitas cahaya yang tinggi (>80%) terdapat pada
awal pertumbuhan tanaman karet dan kelapa sawit (1-2
tahun). Kemudian tingkat intensitas cahaya menurun
drastis menjadi 10-20% pada umur 3-5 tahun.
Intensitas cahaya umumnya tetap rendah sampai umur
tanaman mencapai 20 tahun. Setelah itu cenderung naik
dengan berkurangnya densitas tanaman yang umumnya
diakibatkan oleh angin dan penyakit. Tingkat
penurunan intensitas cahaya dipengaruhi oleh jenis
klon dan jarak tanam yang digunakan dan juga
kesuburan lahan. Secara ekonomis, perkebunan karet
dan kelapa sawit memiliki masa hidup 25 tahun. Oleh
karena itu, kondisi naungan yang cukup berat terjadi di
sebagian besar masa hidup tanaman karet dan kelapa
sawit, sehingga peluang untuk penanaman hijauan
pakan ternak produktif hanya pada masa awal dan akhir
yaitu sekitar tujuh tahun. Di perkebunan negara atau
swasta, tanaman penutup tanah digunakan untuk
mendukung pertanaman karet dan kelapa sawit muda. 
Tanaman penutup tanah yang umum digunakan adalah
calopo (Calopogonium mucunoides), puero (Pueraria
phaseoloides)        dan       caeruleum        (Calopogonium
caeruleum) yang memiliki potensi hasil yang rendah



5





TATANG M. IBRAHIM: Strategi Penelitian Hijauan Mendukung Pengembangan Ternak Kambing Potong di Indonesia



namun dapat ditingkatkan melalui penambahan
komponen rumput dan legum herba yang lebih
produktif. Dalam kondisi intensitas cahaya yang
menurun sejalan dengan umur tanaman, akan sangat
sulit untuk mendapatkan jenis hijauan yang tetap
produktif dalam satu siklus produksi tanaman karet dan
kelapa sawit. Oleh karena itu, perbaikan ketersediaan
hijauan perlu dilakukan melalui penanaman berbagai
spesies yang memiliki tingkat adaptasi yang berbeda
terhadap naungan. Rumput (seperti Digitaria spp.) dan
legum (seperti Stylosanthes            spp.) yang memiliki
potensi hasil tinggi namun tidak toleran terhadap
kondisi naungan dicampur dengan jenis rumput (seperti
Paspalum notatum) dan legum (seperti Desmodium
heterophyllum) yang jauh lebih toleran terhadap
naungan. Selain itu, peningkatan ketersediaan hijauan
juga dapat dilakukan di sekitar lokasi kandang dan tepi
jalan melalui penanaman legum pohon atau semak
sebagai pagar hidup.
Peluang peningkatan ketersediaan hijauan pakan
di ekosistem ini jauh lebih baik karena tingkat
intensitas cahaya yang tinggi tersedia dalam waktu
yang cukup lama (Stür, 1990; Chen, 1990). Pada awal
tahun pertumbuhannya, intensitas cahaya yang tersedia
tinggi (>80%) dan menurun menjadi <50% pada umur
5-10 tahun yang selanjutnya kembali meningkat sejalan
dengan semakin tingginya tanaman kelapa dan stabil
dalam tingkat intensitas cahaya 60-80%. Dengan masa
produktif yang cukup lama (75 tahun) maka dinamika
tingkat intensitas cahaya di perkebunan kelapa masih
sangat mendukung pertumbuhan berbagai jenis hijauan
berpotensi hasil tinggi. Campuran berbagai jenis
hijauan yang berpotensi hasil tinggi seperti           Panicum,
Brachiaria   (Rumput) dan Stylosanthes, Centrosema,
Calopogonium, Pueraria (legum) dengan jenis hijauan
yang toleran terhadap naungan seperti             Desmodium,
Arachis      (legum) serta Stenotaphrum, Axonopus,
Paspalum conjugatum, Paspalum notatum (rumput)
dapat ditanam di perkebunan kelapa (Mantiquilla et al.,
2000).
Padang alam (rangeland) memberikan vegetasi
alaminya sebagai pakan ternak walaupun sering dinilai
tidak cukup baik kuantitas maupun kualitasnya dalam
mendukung pertumbuhan ternak yang baik. Peluang
pengembangan hijauan di ekosistem ini dapat
dilaksanakan melalui tanam sisip (oversowing) dengan
spesies      legum      yang      toleran      terhadap      sistem
penggembalaan (seperti Calopogonium, Centrosema).
Di beberapa negara seperti di Australia, legum semak
berkualitas tinggi seperti lamtoro (Leucaena spp.) juga
digunakan untuk sistem penggembalaan. Namun
demikian, status kepemilikan lahan yang tidak jelas di
beberapa daerah di Indonesia sering berakibat kepada
tingginya risiko kebakaran yang terjadi di ekosistem
seperti ini. Oleh karena itu, campur tangan pemerintah
daerah melalui pendekatan persuasif diperlukan



6



sehingga perbaikan padang alam untuk penggembalaan
ternak secara bersama (communal grazing) dapat
dilakukan dan bermanfaat secara berkelanjutan. Selain
padang alam, pengembangan hijauan dalam bentuk
pastura dapat dilakukan utamanya di lahan yang
memiliki status kepemilikan yang jelas. Pada ekosistem
ini, pastura yang dibentuk biasanya menggunakan jenis
hijauan         introduksi        yang        toleran        terhadap
penggembalaan dengan sekala usaha komersial yang
dikelola melalui manajemen khusus. Cukup banyak
pilihan tersedia bagi spesies hijauan yang berpotensi
hasil tinggi di lapangan terbuka (HORNE dan STÜR,
1999) dan diantaranya adalah rumput (Brachiaria,
Panicum, Paspalum, Pennisetum, Setaria), legum
herba (Arachis, Calopogonium, Centrosema, Pueraria,
Stylosanthes)        dan      legum pohon            (Calliandra
calothyrsus, Desmodium cinerea, Gliricida sepium,
Leucaena leucocephala).
Sistem usahatani pekarangan. Pemeliharaan
ternak ruminansia dengan sekala kecil umum dilakukan
oleh petani di Indonesia juga memiliki lahan
pekarangan dalam luasan sempit. Sumber hijauan
pakan ternak dalam ekosistem ini umumnya didapatkan
dari pagar hidup, sisa tanaman pangan atau pertanaman
tumpangsari antara tanaman pangan dan legum pakan
ternak. Prospek pengembangan hijauan pakan di
ekosistem ini sebenarnya terbatas pada luasan kecil
namun cukup membantu karena dekat dengan rumah.
Sistem pemberian pakan secara                cut and carry
dianjurkan menggunakan legum pakan ternak yang
sesuai untuk sistem potongan. Jenis hijauan potongan
yang sesuai untuk pagar hidup meliputi                 Gliricida
sepium    dan Leucaena leucocephala untuk dataran
rendah (IBRAHIM       et al., 2000) sedangkan       Calliandra
calothyrsus sesuai untuk digunakan di dataran tinggi
(HORNE dan STÜR, 1999).
Sistem ladang berpindah. Sistem ini umumnya
berada di hutan sekunder dimana pembukaan lahan
ditujukan utamanya untuk produksi tanaman pangan.
Ternak yang dipelihara umumnya mendapatkan hijauan
dari sisa tanaman pangan, vegetasi alami di hutan
sekunder dan legum pakan ternak yang ditanam setelah
tanaman pangan. Prospek pengembangan hijauan
pakan ternak dinilai terbatas namun secara bertahap
mengarah kepada sistem budidaya lorong (alley
cropping).



PRIORITAS PENELITIAN HIJAUAN SAAT INI

Berdasarkan      uraian sebelumnya, diperlukan
penetapan wilayah pengembangan hijauan yang
sebenarnya juga merupakan wilayah pengembangan
ternak kambing potong. Untuk itu diperlukan
kesepakatan baik secara regional maupun nasional





WARTAZOA Vol. 13 No.1 Th. 2003



dengan mempertimbangkan kesesuaian agroekologi
setempat terhadap kambing potong.
Dengan      adanya      keragaman      dalam      kondisi
agroekologi yang bermuara kepada adanya perbedaan
sistem usahatani dari satu wilayah ke wilayah lainnya,
diperlukan rumusan tentang kelompok sistem usahatani
dominan      yakni     ternak kambing          potong     dapat
berintegrasi. Selanjutnya karakterisasi setiap sistem
usahatani dominan perlu dilakukan untuk mengetahui
peluang integrasi dan karakteristik hijauan yang
diperlukan.
Evaluasi terhadap berbagai jenis hijauan untuk
sistem cut and carry dan penggembalaan telah banyak
dilakukan di berbagai negara termasuk Indonesia.
Puslitbang      Peternakan      sendiri      telah      melakukan
penelitian tersebut baik melalui program domestik
ataupun melalui kerjasama dengan berbagai negara
utamanya Australia (Forage Research Project-FSP)
dan Amerika (Small Ruminant Collaborative Research
Support Programm–SR-CRSP).                 Selain itu,
pengembangan hijauan untuk petani kecil juga
dilakukan dalam kerjasama individual dengan CIAT
Columbia melalui       Forage for Smallholder Project.
Teknologi hijauan telah juga dikembangkan di berbagai
negara di Asia yang memiliki ekosistem yang serupa
dengan Indonesia. Oleh karena itu, perbaikan jenis
hijauan dalam Tahap-1 dan Tahap-2 umumnya telah
terlewati dan saat ini telah banyak tersedia berbagai
jenis hjauan yang siap dievaluasi untuk tahapan
evaluasi lebih lanjut. Berbagai pilihan spesies hijauan
sudah dirangkum dengan baik oleh HORNE dan STUR
(1999) dengan memperhatikan aspek kesesuaian
berbagai jenis hijauan dengan cara pemanfaatan,
kegunaan serta agroklimat.
Pengembangan teknologi hijauan yang saat ini
masih memerlukan penelitian adalah manajemen
hijauan baik dalam sistem cut and carry maupun
penggembalaan pada berbagai sistem usahatani
dominan. Manajemen tersebut bukan hanya dalam
aspek pemanfaatan dan pemeliharaan namun juga
dalam aspek optimasi pada saat penanaman dan
pemeliharaan. Tehnik pemanfaatan hijauan berkualitas
tinggi sebagai suplemen bagi pakan berkualitas rendah
yang umum diterapkan petani kecil perlu didapatkan
namun harus terintegrasi secara holistik dengan sistem
usahatani di wilayah pengembangan. Untuk itu, analisis
sosial, ekonomi dan budaya perlu dilakukan guna
membentuk suatu sistem pengembangan kambing
potong yang berorientasi agribisnis. Dalam aspek sosial
dan budaya, percepatan adopsi melalui berbagai
alternatif solusi terhadap permasalahan yang ada perlu
dilakukan. Pada tahapan ini partisipasi aktif dari
lembaga pengkajian (BPTP) perlu diupayakan.
Selain itu, sistem pasokan materi tanam (benih
atau bibit) untuk memenuhi kebutuhan para pengguna
perlu segera diupayakan. Oleh karena itu, tehnik



perbanyakan materi tanam yang optimal perlu
didapatkan dan segera diterapkan oleh penangkar benih
baik pemerintah maupun swasta murni. Perbanyakan
materi tanam juga sebaiknya merupakan prioritas
stasiun penelitian.
Dalam mendukung upaya di atas, diperlukan suatu
tim peneliti yang tangguh melalui pelatihan ataupun
pendidikan. Berbagai pelatihan yang sesuai juga
diperlukan bagi petani dan penyuluh sebagai pengguna
akhir teknologi yang dihasilkan dan mitra kerja
lembaga penelitian dan pengkajian (litkaji) dalam
pengembangan kambing potong di setiap daerah
pengembangan.
Penilaian dampak dari suatu teknologi yang
dihasilkan dan telah diadopsi oleh pengguna akhir
selalu bermanfaat sebagai umpan balik bagi lembaga
litkaji. Selanjutnya hasil studi dampak ini digunakan
sebagai acuan dalam upaya peningkatan kinerja
lembaga litkaji untuk menghasilkan berbagai teknologi
yang dapat diharapkan memberikan alternatif solusi
bagi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat
petani di setiap wilayah pengembangan.

KESIMPULAN

1.  Rangkaian penelitian hijauan pada dasarnya
mencakup enam tahapan yaitu (1) Koleksi
plasma nutfah, (2) Uji multi lokasi (nursery),
(3) Evaluasi dalam sistem potongan sekala
kecil,        (4) Evaluasi               dalam sistem
penggembalaan sekala kecil, (5) Evaluasi
hijauan sistem penggembalaan sekala besar
dan (6) Demonstrasi teknologi hijauan di
lahan petani.
2. Berbagai penelitian hijauan pakan telah
banyak      dilakukan      dan     umumnya telah
melewati Tahap-2 (nursery evaluation).
3. Strategi penelitian hijauan pakan dalam
mendukung pengembangan kambing potong
dapat dilakukan sebagai berikut:
2.1. Karakterisasi peluang integrasi hijauan
dengan sistem usahatani dominan di
setiap wilayah pengembangan kambing
potong.
2.2. Evaluasi        secara berurutan          terhadap
spesies        hijauan        hasil       penelitian
sebelumnya       yaitu      Tahap-3      (sward
evaluation), Tahap-4                         (sistem
penggembalaan sekala kecil), Tahap-5
(sistem penggembalaan sekala besar) dan
Tahap-6 (demonstrasi teknologi di lahan
petani). Perbanyakan materi tanam perlu
diprioritaskan.
2.3. Pada tahapan yang sesuai (Tahap-5 dan
Tahap-6) perlu dilibatkan secara aktif
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian


7





TATANG M. IBRAHIM: Strategi Penelitian Hijauan Mendukung Pengembangan Ternak Kambing Potong di Indonesia



(BPTP) di daerah untuk secara holistik
mengembangkan teknologi di setiap
wilayah pengembangan.
2.4.  Perlu dukungan pelatihan dan pendidikan
yang sesuai bagi peneliti, penyuluh dan
petani.

DAFTAR PUSTAKA

BPS. 2000. Data Tahunan Peternakan: Perkembangan
produksi daging kambing 1990-1999 menurut
Propinsi. Pusat        Data Pertanian.         Departemen
Pertanian, Jakarta.
BPS. 2001. Statistik Indonesia: Perkembangan populasi
penduduk Indonesia menurut Propinsi. Badan Pusat
Statistik, Jakarta.
Chee. Y.K. and C.C. Wong. 1986.  Forages in Malaysia. In
“Blair, GJ, Ivory, D and Evans TR. Eds. Forages in
Southeast Asian and South Pacific Agriculture”.
ACIAR Proceedings No.12: 84-88
Chen. C.P. 1990. Management of forages for animal
production under tree crops. In “L.C.Iniquez and
M.D.Sanchez eds. Integrated tree cropping and small
ruminant production systems”. Proceedings of a
workshop on research methodologies Medan, North
Sumatra, Indonesia, September 9-14, 1990. pp 10-23
Fujisaka. S., I.K. Rika, T.M. Ibrahim, and Le Van An. 2000.
Forage tree adoption and use in Asia. In “ W.W.Stur,
PM. Horne, J.B.Hacker and P.C.Kerridge Eds.
Working With Farmers: The key to adoption of
forage technologies”. ACIAR Proceedings No. 95:
243-253.
Horne. P.M. and W.W. Stur. 1999. Developing forage
technologies with smallholder farmers. ACIAR
Monograph No. 62: 80 pp.
Ibrahim, T.M., Tugiman, Ibrahim, and R. Hutasoit. 2000.
Forage options for smallholders raising sheep or goats
in Indonesia. In “ W.W.Stur, PM. Horne, J.B.Hacker
and P.C.Kerridge Eds. Working With Farmers: The
key to adoption of forage technologies”. ACIAR
Proceedings No. 95 : 284-286.

















8



Ivory, D.A. 1986. Performance of germplasm in new
environment. In “Blair, GJ, Ivory, D and Evans TR.
Eds. Forages in Southeast Asian and South Pacific
Agriculture”. ACIAR Proceedings No.12: 61-68.
Mantiquilla, J., F. Gabunada Jr., R. Buac, R. Laguardia, S.
Magat, and R. Margate. 2000. Forages for growing
under coconuts in Mindanao, Philippines. Poster
paper in "W.W.Stur, PM. Horne, J.B.Hacker and
P.C.Kerridge Eds. Working With Farmers: The key to
adoption of         forage technologies”.          ACIAR
Proceedings No. 95 : 152-157.
Moog, F.A., P. Bezkorowajnyj and I.M. Nitis. 1998.
Leucaena in smallholder farming systems in Asia:
Challenges for Development. In ”H.M. Shelton, R.C.
Gutteridge, B.F. Mullen and R.A. Bray. Eds.
Leucaena-Adaptation, Quality           and Farming
Systems”. Proceedings of a workshop held in Hanoi,
Vietnam, 9-14 February 1998.
Nastis, A. 1996. Feeding behaviour of goats and utilisation of
pasture    and rangelands.       Proceedings the       6th
International Conference on Goats held in Beijing,
China, 6-11 May 1996. Volume 2: 487-494.
Nitis, I.M., K. Lana, M. Suarna, W. Sukanten and S. Putra.
1990. Legume trees an alternative feed resources for
small ruminant integrated with tree crops. In
“L.C.Iniquez and M.D.Sanchez eds. Integrated tree
cropping and small ruminant production systems”.
Proceedings of a workshop on research
methodologies Medan, North Sumatra, Indonesia,
September 9-14, 1990. pp 24-33.
Siregar, M.E., S. Yuhaeni, R. Salam and J. Nulik. 1986.
Forages in Indonesia. In “Blair, GJ, Ivory, D and
Evans TR. Eds. Forages in Southeast Asian and South
Pacific Agriculture”. ACIAR Proceedings No.12: 80-
83.
Stür, W.W. 1990. Methodology for establishing selection
criteria for forage species evaluation. In “L.C.Iniquez
and M.D.Sanchez eds. Integrated tree cropping and
small ruminant production systems”. Proceedings of a
workshop on research methodologies Medan, North
Sumatra, Indonesia, September 9-14, 1990. pp 3-9.

Tidak ada komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Mahasiswa Teknik Industri Universitas Andalas 2009 Alumni Ponpes Asy-Syarif Angkatan 09,, Alumni Ponpes Madinatul Munawwarah angkatan 06.