Join emridho's empire

Jumat, 30 Desember 2011

saha peternakan sapi potong

Usaha peternakan sapi potong pada saat ini masih tetap menguntungkan. Pasalnya, permintaan pasar terus memperlihatkan peningkatan. Termasuk di pasar ekspor seperti ke Malaysia. Di negara jiran itu permintaan cenderung meningkat yang dipicu oleh bergesernya tradisi memotong kambing ke tradisi memotong sapi atau kerbau pada saat perhelatan keluarga atau perayaan lainnya.
Indonesia dengan jumlah penduduk di atas 220 juta jiwa membutuhkan pasok daging yang besar. Peternakan domestik belum mampu memenuhi permintaan daging dari warganya. Timpangnya antara pasokan dan permintaan, ternyata masih tinggi.
Tidak mengherankan, lembaga yang memiliki otoritas tertinggi dalam hal pertanian termasuk peternakan, Deptan, mengakui masalah utama usaha sapi potong di Indonesia terletak pada suplai yang selalu mengalami kekurangan setiap tahunnya.
Sementara laju pertumbuhan konsumsi dan pertambahan penduduk tidak mampu diimbangi oleh laju peningkatan populasi sapi potong dan pada gilirannya memaksa Indonesai selalu melakukan impor baik dalam bentuk sapi hidup maupun daging dan jeroan sapi.
Menurut data Susenas (2002) yang dikeluarkan BPS, memperlihatkan konsumsi daging sapi dan jeroan masyarakat Indonesia sebesar 2,14 kg/kap/tahun. Konsumsi tersebut sudah memperhiutngkan konsumsi daging dalam bentuk olahan seperti sosis, daging kaleng dan dendeng.
Asumsi
*
Penduduk tahun sebesar 206,3 juta dengan tingkat pertumbuhan sebesar 1,49% per tahun
*
Populasi sapi lokal sebesar 11,6 juta ekor dengan tingkat pertumbuhan sebesar 14% per tahun.
*
Konsumsi daging sebesar 1,72 kg/kapita/tahun dengan peningkatan sebesar 0,1 kg/kapita/tahun.
*
Produksi daging sapi sebesar 350,7 ribu ton.

Proyeksi kebutuhan daging
* Th 2000
-
Penduduk 206 juta orang

-
Konsumsi 1,72 kg/kapita/tahun

-
Produksi daging 350,7 ribu ton/tahun

-
Pemotongan sapi 1,75 juta ekor/tahun
* Th 2010
-
Penduduk 242, 4 juta orang

-
Konsumsi 2,72 kg/kapita/tahun

-
Produksi daging 654,4 ribu ton/tahun

-
Pemotongan sapi 3,3 juta ekor/tahun (naik 88,6%)
* Th 2020
-
Penduduk 281 juta orang

-
Konsumsi 3,72 kg/kapita/tahun

-
Produksi dagiing 1,04 juta ton/tahun

-
Pemotongan sapi 5,2 juta ekor/tahun (naik 197%)

Dengan kondisi tersebut diperkirakan keadaan populasi 2009 hanya mampu memasok 80% dari total kebutuhan dalam negeri. Keadaan tersebut tentu sangat menghawatirkan karena suatu saat akan terjadi dimana kebutuhan daging sapi dalam negeri sangat tergantung kepada impor. Dengan demikian ketergantungan tersebut tentu akan mempengaruhi harga sapi lokal (datinnak).
Konono, menurut analisa Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo), populasi sapi lokal Indonesoia, cenderung semakin menurun tanpa ada subtitusi dari impor sapi bakalan. Contoh pada 1997, populasi sapi lokal sebesar 11,9 juta ekor menjadi 11 juta ekor (8,2%) pada 2000 dikarenakan impor sapi bakalan terganggu krisis.
Semakin sulitnya sapi lokal memenuhi kebutuhan daging pada hari-hari besar keagamaan (Idul Fitri, Natal, dan tahun baru), tanpa dibantu oleh sapi impor (kasus 2001). Dan tiap provinsi sumber ternak mulai khawatir terhadap pupolasi sapi di daerahnya (Sulawesi Selatan, NTT, NTB, Jateng dan Jatim).
Kemudian adanya pemotongan sapi betina produktif. Pemerintah tidak mempunyai kewenangan apapun untuk mencegah sapi betina produktif untuk dipotong. Disinyalir 20%-30% dari jumlah sapi lokal yang dipotong adalah betia produktif.
Belum lagi akibat soal kualitas sapi lokal. Semakin menurun dengan terjadinya in-breeding diantara sapi lokal sehingga berat hidu psapi lokal semakin menurun (rata-rata 300 kg). Program cross breeding yang dilakukan selama ini tidak mengakibatkan peningkatan kualitas sapi lokal karena keterunannya (F-1) terus dipotong, bukan untuk dikembangbiakan kembali.
Kondisi itu, dengan sendirinya, membuat Indonesia harus mampu mendorong pertumbuhan produksi sapi sekaligus daging sapi. Arena kebutuhan daging sapi yang semakin meningkat, jika tidak disertai pertumbuhan populasi, mengakibatkan semakin banyaknya sapi lokal yang diptong termasuk sapi betina, sehingga jika tidak waspada Indonesia akan masuk dalam food trap. Di mana ketergantungan akan impor akan semakin besar dan pada akhirnya akan 100% tergantung impor.
Itu sebabnya, bisnis ternak sapi potong, menjadi salah satu lahan usaha yang prospektif. Salah satu contoh kasus di Provinsi Sumatra Barat. Saat ini, di provinsi itu, diyakini pertumbuhan komsumsi atas daging ternak sapi terus memperlihatkan trend meningkat namun belum mampu dipenuhi oleh produksi daging nasional.
Apalagi, produksi daging dari ternak sapi potong di Sumbar, berpotensi untuk diekspor ke sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara seperti Malaysia dan Singapura karena permintaan daging di kedua negara tersebut cenderung meningkat.
Peluang ekspor daging sapi ke Malaysia sangat terbuka karena permintaan di negara jiran itu cenderung meningkat. Hal itu dipicu oleh bergesernya tradisi memotong kambing kepada tradisi memotong sapi atau kerbau pada saat perhelatan keluarga atau perayaan lainnya.
Bahkan, kenadti kebutuhan konsumsi daging sapi di Provinsi Sumbar sudah terpenuhi, budi daya ternak sapi potong di daerah ini tetap membaik karena hanya untuk memenuhi atau mengisi pangsa pasar daerah lainnya seperti Jambi, Riau dan Riau Kepulauan.
Target produksi daging tersebut mengacu kepada target hasil kesepakatan Widya Karya Pangan dan Gizi 10 KG per kapita per tahun (27,5% x daging sapi).
Dengan demikian, impor daging ke Sumbar tidak diperlukan lagi, sebaliknya Sumbar bersiap-siap untuk melakukan ekspor daging sapi ke sejumlah negara di Asia Tenggara.
Tahun lalu, Sumbar ditargetkan mampu memproduksi sedikitnya 12 juta kg daging sapi dengan populasi sapi potong sekitar 623.520 ekor.
Jumlah itu diperuntukkan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan komsumsi daging masyarakat daerah ini yang diperkirakan belum mencapai 10 juta kg per tahun.
Skala rumah tangga
Banyak sistem yang biasa digunakan untuk mengembangkan ternak sapi potong. Salah satu sistem yang paling dikenal adalah sistem kandang dalam lembaga yang berbadan hukum resmi seperti koperasi.
Sistem ini termasuk sistem berskala besar karena jumlah sapi yang dibudidayakan bisa mencapai ratusan ekor, selain keuntungan yang diperoleh dari aplikasi sistem ini jauh lebih besar.
Tapi, boleh juga seperti yang dilakukan di Sumbar. Saat ini di provinsi itu, mulai berkembang sistem lain yakni ternak sapi potong berskala rumah tangga yang menggunakan cara konvensional sehingga memudahkan sebuah rumah tangga mengembangkan usaha ternak sapi potong ini.
Sistem ini dikembangkan karena ternak sapi potong dipandang sebagai bentuk usaha yang dapat memberikan tambahan pendapatan kepada para peternak kecil skala rumah tangga tersebut sekaligus mengangkat masyarakat ekonomi lemah.
Ternak sapi potong berskala rumah tangga tersebut sangat ekonomis, baik dari sisi biaya pemeliharaan maupun biaya pembuatan kandang. Karena berskala kecil, pembuatan kandang biasanya berbentuk tunggal.
Tapi hal teknis lainnya seperti ukuran kandang untuk seekor sapi tidak jauh berbeda dengan ukuran kandang untuk penggemukan sapi komersil dalam skala besar.
Ukuran kandang untuk seekor sapi jantan dewasa 1,5×2 meter atau 2,5×2 meter. Sedangkan untuk sapi betina dewasa 1,8×2 meter dan anak sapi 1,5×1 meter dengan tinggi 2-2,5 meter.
Sistem budi daya ternak sapi berskala rumah tangga ini sudah diterapkan di Kota Sawahlunto, Sumbar sejak 2003. Di mata Pemkot Sawahlunto penerapan sistem ini mampu mendorong pendapatan sebuah rumah tangga hingga berlipat.
Itu sebabnya, Pemkot Sawahlunto, mendorong usaha itu. Wali Kota Sawahlunto, Amran Nur mengatakan pihaknya termotivasi untuk mengembangkan sapi potong kepada para peternak kecil berskala rumah tangga karena mampu memberikan tambahan pendapatan kepada pengusaha kecil di daerahnya.
Namun, menurut dia, agar proses penggemukan berhasil, peternak diberikan bimbingan bagaimana mengenal tipe sapi potong, memilih bibit dengan benar, mencari lokasi yang memenuhi syarat, penyiapan sarana dan proses pemeliharaan yang baik.
Seperti yang lazim diketahui, jenis-jenis sapi potong yang terdapat di Indonesia saat ini merupakan sapi asli Indonesia dan sapi impor. Dari jenis sapi potong tersebut, masing-masing memiliki sifat dan ciri khas baik dilihat dari bentuk luarnya seperti ukuran tubuh, warna bulu maupun genetiknya.
“Biasanya sapi-sapi asli Indonesia yang dijadikan sumber daging para peternak sapi adalah sapi bali, sapi ongole, sapi po (peranakan ongole), sapi madura dan sapi aceh. Ini harus diketahui peternak,” katanya.
Pengetahuan teknis lain yang juga harus dipegang peternak adalah bagaimana mengenal tipe sapi potong saat membeli bibit. Misalnya dari sisi bentuk badan, bibit tipe sapi potong memiliki bentuk badan persegi panjang atau berbentuk bulat silinder.
Sedangkan badan bagian muka, tengah dan belakang tumbuh sama kuat. Sedangkan garis badan atas dan bawah sejajar. “Pengetahuan ini diberikan agar peternak dapat memilih bibit tipe sapi potong yang berkualitas,” ujar dia.
Selain masalah bibit, menurut tim teknis Pemkot Sawahlunto, peternak harus tahu tentang bagaimana memilih lokasi penggemukan yang memenuhi syarat ideal. Lokasi ideal untuk membangun kandang adalah daerah yang letaknya cukup jauh dari pemukiman penduduk. Kandang harus terpisah dari rumah tinggal dengan jarak minimal 10 meter. Sinar matahari harus dapat menembus pelataran kandang dan dekat dengan lahan pertanian.
Pendapatan meningkat
Pola tersebut ternyata membuahkan hasil. Setelah sistem itu diterapkan setahun lalu dengan bimbingan tim teknis hasilnya sangat mengejutkan. Selama satu tahun, disamping Pemkot Sawahlunto telah membeli bibit sapi sedikitnya 650 ekor untuk dibudidayakan oleh hampir 300 keluarga kurang mampu di daerah ini, keuntungan yang diterima peternak berskala rumah tangga tersebut pun meningkat.
Dalam tempo enam bulan, satu ekor sapi potong bisa menghasilkan keuntungan sekitar Rp4 juta-Rp5 juta.
Padahal, dalam satu rumah tangga, sapi potong yang dibudidayakan rata-rata dua sampai tiga ekor.
“Harga bibit satu ekor berkisar antara Rp6 juta-Rp7 juta, sementara setelah dipelihara selama enam bulan, harga sapi di pasaran meningkat antara Rp10 juta-Rp11 juta, sehingga peternak memperoleh keuntungan Rp4 juta-Rp5 juta per ekor atau sekitar Rp12 juta-Rp15 juta per satu rumah tangga,” ujar dia.
Besarnya keuntungan yang diterima peternak dengan cara konvensional tersebut ke depan masih bisa berlipat ganda. Sebab pemerintah Provinsi Sumbar berencana akan menggunakan dana dekonsentrasi untuk membangun pabrik konsentrat sapi dengan menggandeng Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Saat ini, minat masyarakat daerah ini untuk membudidayakan sapi potong mulai tinggi. Sampai akhir Januari 2005, sekitar 300 keluarga telah mendaftar diri dan menunggu mendapatkan total 700 ekor bibit sapi potong untuk dibudidayakan.
Akibatnya, Pemkot Sawahlunto saat ini membutuhkan dana sebesar Rp4,9 miliar untuk memenuhi permintaan bibit sapi potong tersebut.
Kepala Dinas Peternakan Provinsi Sumatra Barat Surya Dharma Sabirin mengatakan pihaknya mematangkan rencana tersebut dengan menggelar beberapa pertemuan intern. Ditargetkan rencana itu bisa direalisasikan tahun ini.

Tidak ada komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Mahasiswa Teknik Industri Universitas Andalas 2009 Alumni Ponpes Asy-Syarif Angkatan 09,, Alumni Ponpes Madinatul Munawwarah angkatan 06.