Usaha peternakan sapi potong pada saat ini masih tetap menguntungkan. Pasalnya, permintaan pasar terus memperlihatkan peningkatan. Termasuk di pasar ekspor seperti ke Malaysia. Di negara jiran itu permintaan cenderung meningkat yang dipicu oleh bergesernya tradisi memotong kambing ke tradisi memotong sapi atau kerbau pada saat perhelatan keluarga atau perayaan lainnya. Indonesia dengan jumlah penduduk di atas 220 juta jiwa membutuhkan pasok daging yang besar. Peternakan domestik belum mampu memenuhi permintaan daging dari warganya. Timpangnya antara pasokan dan permintaan, ternyata masih tinggi. Sementara laju pertumbuhan konsumsi dan pertambahan penduduk tidak mampu diimbangi oleh laju peningkatan populasi sapi potong dan pada gilirannya memaksa Indonesai selalu melakukan impor baik dalam bentuk sapi hidup maupun daging dan jeroan sapi. Menurut data statistic konsumsi daging sapi dan jeroan masyarakat Indonesia sebesar 2,14 kg/kap/tahun. Konsumsi tersebut sudah memperhiutngkan konsumsi daging dalam bentuk olahan seperti sosis, daging kaleng dan dendeng. Dari data yang didapat dari data statistic, dapat diasumsikan bahwa:
Dengan kondisi tersebut diperkirakan keadaan populasi 2009 hanya mampu memasok 80% dari total kebutuhan dalam negeri. Keadaan tersebut tentu sangat menghawatirkan karena suatu saat akan terjadi dimana kebutuhan daging sapi dalam negeri sangat tergantung kepada impor. Dengan demikian ketergantungan tersebut tentu akan mempengaruhi harga sapi local. Semakin sulitnya sapi lokal memenuhi kebutuhan daging pada hari-hari besar keagamaan (Idul Fitri, Natal, dan tahun baru), tanpa dibantu oleh sapi impor. Selain itu adanya pemotongan sapi betina produktif. Sedangkan pemerintah tidak mempunyai kewenangan apapun untuk mencegah sapi betina produktif untuk dipotong. Disinyalir 20%-30% dari jumlah sapi lokal yang dipotong adalah betia produktif. Sehingga akan memperkecil populasi dari sapi itu sendiri. Belum lagi akibat soal kualitas sapi local yang semakin menurun dengan terjadinya in-breeding diantara sapi lokal sehingga berat hidup sapi lokal semakin menurun (rata-rata 300 kg). Program cross breeding yang dilakukan selama ini tidak mengakibatkan peningkatan kualitas sapi lokal karena keterunannya (F-1) terus dipotong, bukan untuk dikembangbiakan kembali. Kondisi itu, dengan sendirinya, membuat Indonesia harus mampu mendorong pertumbuhan produksi sapi sekaligus daging sapi. Arena kebutuhan daging sapi yang semakin meningkat, jika tidak disertai pertumbuhan populasi, mengakibatkan semakin banyaknya sapi lokal yang diptong termasuk sapi betina, sehingga jika tidak waspada Indonesia akan masuk dalam food trap. Di mana ketergantungan akan impor akan semakin besar dan pada akhirnya akan 100% tergantung impor. Oleh karena itu pemerintah pada saat ini mulai mencanangkan program peningkatan swasembada daging sapi (P2SDS). Selain itu Revitalisasi pertanian, perkebunan dan kehutanan (RPPK) yang dicanangkan oleh Presiden RI pada tanggal 11 Juni 2005, mengamanatkan bahwa salah satu programnya yaitu swa sembada daging sapi harus dapat terealisasi pada tahun 2010. Untuk mencapai keberhasilannya, program ini dilakukan dengan 2 cara pendekatan yaitu; tanpa upaya percepatan (regular) dan dengan langkah percepatan (menggunakan upaya-upaya terobosan) . Untuk mendukung keberhasilan program ini diperlukan keterlibatan sektor lain seperti:- perbankan/lembaga keuangan non bank, -perindustrian, - perdagangan, -pertanahan, - kehutanan, -UKM, -lembaga legislatif (DPR, DPRD I dan DPRD II) -pihak swasta/koperasi serta -peternak sebagai ujung tombak kegiatan ekonomi di masyarakat, menjadi sangat penting dalam menentukan keberhasilannya. Hal tersebut, didasarkan pada asumsi pembiayaan P2SDS yang cukup besar (sekitar Rp. 20 Trilyun) dibebankan kepada masyarakat peternakan sekitar 90 % dan peran pemerintah hanya sekitar 10 %. Jika saja evaluasinya hanya dilakukan terhadap kegiatan pemerintah yang peranannya cuma 10 %, maka tingkat keberhasilan program ini akan sangat disangsikan. Sejak RPPK dicanangkan hingga tahun 2007, program ini ternyata masih sebatas “diskusi dan wacana”. Artinya, sebagian besar kegiatannya berada di tingkat nasional (departemen), sementara ditingkat daerah masih sangat terbatas. Contoh kongkrit; landasan hukum program swasembada daging dalam bentuk Permentan P2SDS baru dikeluarkan pada bulan Agustus tahun 2007, dimana waktu berjalan tinggal 3 tahun lagi. Berbagai penjabaran rencana tindak program ini, ternyata dirasakan belum “membumi” sehingga sangat sulit untuk dilakukan implementasinya di lapangan (di tingkatkabupaten/kota). Oleh karena itu diperlukan berbagai langkah da strategi untuk mempermudah berjalannya program ini.Berbagai langkah strategis yang dapat dilakukan dalam kerangka memecahkan berbagai persoalan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Strategi Birokrasi dan Politik; Program ini harus memiliki kepastian hukum tetap. Artinya walaupun program ini merupakan “kemauan politik” pemerintah yang di undangkan oleh pernyataan Presiden RI di hadapan publik. Namun jika tidak dioperasionalkan sesuai birokrasi kepemerintahan dalam bentuk “kebijakan Keputusan Presiden atau Instruksi Presiden”, tentu program ini akan menghadapi berbagai kendala di lapangan, karena kegiatan ini bersifat lintas sektoral. 2. Strategi konseptual; Program ini memiliki strategi konsep yang masih memerlukan pemantapan. Hal tersebut didasarkan, kepada berbagai data yang digunakan (tingkat keakurasiannya diragukan) dalam menganalisis situasi dan perspektif pengembangan sapi potong. Penyebabnya adalah kelemahan dalam menentukan referensi terhadap data yang digunakan. Oleh karenanya diperlukan penyesuaian kembali penggunaan data yang digunakan dalam melakukan analisis perpektifnya. 3. Strategi teknis operasional; Dalam mengimplementasikan berbagai rencana tindak P2SDS yang dibuat, ternyata tidak focus kepada target dan belum mendapatkan dukungan dari Pemerintah Daerah (Propinsi dan Kabupaten) dan rendahnya keterlibatan swasta/koperasi. Dalam mewujudkannya diperlukan berbagai upaya pendekatan insentif, agar para pihak merasa terlibat dalam program ini. Dengan dukungan dana APBN tahun ini sebesar Rp500 miliar, Ditjennak mengambil tujuh langkah,Yaitu: - optimalisasi akseptor dan kelahiran menggunakan Inseminasi Buatan (IB), - pengembangan rumah potong hewan dan pengendalian pemotongan betina produktif, - perbaikan mutu bibit dan penambahan indukan bunting, - penanganan gangguan reproduksi dan keswan, - pengembangan pakan lokal, - intensifikasi kawin alam, - pengembangan SDM serta kelembagaan. Upaya percepatan tersebut difokuskan pada 18 provinsi sentra sapi potong. Antara lain di Nangroe Aceh Darussalam, Sumbar, Lampung, Jabar, Jateng, Jatim, NTB, NTT, dan Gorontalo. Pemilihan provinsi tersebut berdasarkan pada pertimbangan lebih dari 92% populasi ternak berada pada wilayah dengan dukungan sarana peternakan memadai dibandingkan provinsi lainnya. Guna menambah populasi dan menumbuhkan gairah pembibitan, Deptan menargetkan pengadaan betina produktif satu juta ekor. Walau dari data tahun lalu realisasinya baru 4.000 ekor yang disebarkan di 18 provinsi sentra. Selain itu, sampai 2010 ditargetkan penyediaan 2 juta dosis semen buat IB dengan sekitar 1.700 inseminatornya di beberapa daerah karena tingkat keberhasilan kebuntingan dari IB bisa mencapai 70%. Pemerintah tidak saja mengandalkan dua BIB-nya yang berada di Singosari (Malang) dan Lembang (Bandung). tapi juga dari empat Balai Pembibitan Ternak Unggul, Balai Embrio Transfer, dan balai pembibitan daerah. Untuk operasional di lapangan, di setiap daerah sentra didirikan unit IB. Tiap unit menangani dua desa. Di tingkat kabupaten dan provinsi terbentuk tim IB yang akan melaporkan perkembangan ke pemerintah pusat. Tentunya keseriusan pemda sangat berperan demi kesuksesan IB. Untuk mencegah pemotongan betina produktif, Deptan mengawasi rumah potong dan pasar ternak. Jika terlaksana, dengan asumsi mengamankan setengah dari betina produktif yang dipotong, belum lagi tambahan dari anakan yang dilahirkan, hitung-hitung akan ada tambahan populasi 150 ribu ekor per tahun. Faktanya, hasil dari langkah tersebut terbilang lumayan. Sepanjang tahun silam saja sebanyak 930 ekor betina produktif terjaring. Dalam hal ini pemerintah juga memberikan dana talangan sebesar Rp5 juta—Rp6 juta per ekor untuk kelompok peternak pada daerah tertentu. Berikutnya, untuk meningkatkan pengetahuan peternak kecil yang masih sangat awam akan ilmu peternakan maka pemerintah mengadakan program Sarjana Masuk Desa, diantaranya ada 200 sarjana peternakan direkrut dalam program ini. Para intelektual muda tersebut dimodali Rp349 juta per orang untuk mengembangkan peternakan secara terpadu di beberapa daerah. Dalam menjalankan suatu program sering terjadi kendala-kendala dan hambatan, tidak terkecuali dengan pelaksanaan progran ini. Beberapa hambatan pelaksanaan P2SDS ini antara lain: penanganan betina produktif terpotong dan peningkatan angka kelahiran terutama melalui kawin alami karena seretnya pasokan pejantan tangguh. Hal penting lainnya adalah pendanaan karena perbankan masih enggan mengucurkan kredit ke peternak Dari semua langkah tersebut, target jumlah populasi sapi potong 2008 malah sudah tercapai pada 2007. Tahun lalu jumlah populasi ditargetkan 10,9 juta ekor, tapi kenyataannya mencapai 11,3 juta. Akan tetapi walaupun ada peningkatan populasi tapi belum mampu mencukupi tingkat konsumsi. Meski demikian banyak kalangan meragukan keberhasilan P2SDS pada 2010.karena pada kenyataan yang ada dilapangan populasi sapi berkurang buktinya pada tahun lalu masih banyak mengimport sapi dari luar negeri. Keraguan itu semakin terbukti saat harga sapi impor naik beberapa waktu lalu. Kenaikan harga tersebut malah diikuti kenaikan harga sapi lokal. Sedangkan pada kenyataannya peternakan yang ada diindonesia kebanyakan masih dilakukan dengan skala rumah tangga, dan berjalannya masih tergantung dengan pendapatan masyarakat itu sendiri.
Banyak sistem yang biasa digunakan untuk mengembangkan ternak sapi potong. Salah satu sistem yang paling dikenal adalah sistem kandang dalam lembaga yang berbadan hukum resmi seperti koperasi. Sistem ini termasuk sistem berskala besar karena jumlah sapi yang dibudidayakan bisa mencapai ratusan ekor, selain keuntungan yang diperoleh dari aplikasi sistem ini jauh lebih besar. Tapi, boleh juga seperti yang dilakukan di Sumbar. Saat ini di provinsi itu, mulai berkembang sistem lain yakni ternak sapi potong berskala rumah tangga yang menggunakan cara konvensional sehingga memudahkan sebuah rumah tangga mengembangkan usaha ternak sapi potong ini. Sistem ini dikembangkan karena ternak sapi potong dipandang sebagai bentuk usaha yang dapat memberikan tambahan pendapatan kepada para peternak kecil skala rumah tangga tersebut sekaligus mengangkat masyarakat ekonomi lemah. Ternak sapi potong berskala rumah tangga tersebut sangat ekonomis, baik dari sisi biaya pemeliharaan maupun biaya pembuatan kandang. Karena berskala kecil, pembuatan kandang biasanya berbentuk tunggal. Tapi hal teknis lainnya seperti ukuran kandang untuk seekor sapi tidak jauh berbeda dengan ukuran kandang untuk penggemukan sapi komersil dalam skala besar. Ukuran kandang untuk seekor sapi jantan dewasa 1,5x2 meter atau 2,5x2 meter. Sedangkan untuk sapi betina dewasa 1,8x2 meter dan anak sapi 1,5x1 meter dengan tinggi 2-2,5 meter. Sistem budi daya ternak sapi berskala rumah tangga ini sudah diterapkan di Kota Sawahlunto, Sumbar sejak 2003. Di mata Pemkot Sawahlunto penerapan sistem ini mampu mendorong pendapatan sebuah rumah tangga hingga berlipat. Itu sebabnya, Pemkot Sawahlunto, mendorong usaha itu. Wali Kota Sawahlunto, Amran Nur mengatakan pihaknya termotivasi untuk mengembangkan sapi potong kepada para peternak kecil berskala rumah tangga karena mampu memberikan tambahan pendapatan kepada pengusaha kecil di daerahnya. Namun, menurut dia, agar proses penggemukan berhasil, peternak diberikan bimbingan bagaimana mengenal tipe sapi potong, memilih bibit dengan benar, mencari lokasi yang memenuhi syarat, penyiapan sarana dan proses pemeliharaan yang baik. Seperti yang lazim diketahui, jenis-jenis sapi potong yang terdapat di Indonesia saat ini merupakan sapi asli Indonesia dan sapi impor. Dari jenis sapi potong tersebut, masing-masing memiliki sifat dan ciri khas baik dilihat dari bentuk luarnya seperti ukuran tubuh, warna bulu maupun genetiknya. "Biasanya sapi-sapi asli Indonesia yang dijadikan sumber daging para peternak sapi adalah sapi bali, sapi ongole, sapi po (peranakan ongole), sapi madura dan sapi aceh. Ini harus diketahui peternak. Pengetahuan teknis lain yang juga harus dipegang peternak adalah bagaimana mengenal tipe sapi potong saat membeli bibit. Misalnya dari sisi bentuk badan, bibit tipe sapi potong memiliki bentuk badan persegi panjang atau berbentuk bulat silinder. Sedangkan badan bagian muka, tengah dan belakang tumbuh sama kuat. Sedangkan garis badan atas dan bawah sejajar. "Pengetahuan ini diberikan agar peternak dapat memilih bibit tipe sapi potong yang berkualitas," ujar dia. Selain masalah bibit, menurut tim teknis Pemkot Sawahlunto, peternak harus tahu tentang bagaimana memilih lokasi penggemukan yang memenuhi syarat ideal. Lokasi ideal untuk membangun kandang adalah daerah yang letaknya cukup jauh dari pemukiman penduduk. Kandang harus terpisah dari rumah tinggal dengan jarak minimal 10 meter. Sinar matahari harus dapat menembus pelataran kandang dan dekat dengan lahan pertanian. 2. Pendapatan meningkat Pola tersebut ternyata membuahkan hasil. Setelah sistem itu diterapkan setahun lalu dengan bimbingan tim teknis hasilnya sangat mengejutkan. Selama satu tahun, disamping Pemkot Sawahlunto telah membeli bibit sapi sedikitnya 650 ekor untuk dibudidayakan oleh hampir 300 keluarga kurang mampu di daerah ini, keuntungan yang diterima peternak berskala rumah tangga tersebut pun meningkat. Dalam tempo enam bulan, satu ekor sapi potong bisa menghasilkan keuntungan sekitar Rp4 juta-Rp5 juta. Padahal, dalam satu rumah tangga, sapi potong yang dibudidayakan rata-rata dua sampai tiga ekor. Harga bibit satu ekor berkisar antara Rp6 juta-Rp7 juta, sementara setelah dipelihara selama enam bulan, harga sapi di pasaran meningkat antara Rp10 juta-Rp11 juta, sehingga peternak memperoleh keuntungan Rp4 juta-Rp5 juta per ekor atau sekitar Rp12 juta-Rp15 juta per satu rumah tangga .Besarnya keuntungan yang diterima peternak dengan cara konvensional tersebut ke depan masih bisa berlipat ganda. Sebab pemerintah Provinsi Sumbar berencana akan menggunakan dana dekonsentrasi untuk membangun pabrik konsentrat sapi dengan menggandeng Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Saat ini, minat masyarakat daerah ini untuk membudidayakan sapi potong mulai tinggi. Sampai akhir Januari 2005, sekitar 300 keluarga telah mendaftar diri dan menunggu mendapatkan total 700 ekor bibit sapi potong untuk dibudidayakan.Akibatnya, Pemkot Sawahlunto saat ini membutuhkan dana sebesar Rp4,9 miliar untuk memenuhi permintaan bibit sapi potong tersebut. Kepala Dinas Peternakan Provinsi Sumatra Barat Surya Dharma Sabirin mengatakan pihaknya mematangkan rencana tersebut dengan menggelar beberapa pertemuan intern. Ditargetkan rencana itu bisa direalisasikan tahun ini. |
TUGAS MAKALAH
“MAMPUKAH PROGRAM PENINGKATAN SWASEMBADA DAGING SAPI TERLAKSANA PADA TAHUN 2010”
DISUSUN OLEH:
PARAMITA RUSDIANA
07162026
JURUSAN NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
UNAND
Tidak ada komentar:
Posting Komentar