Penyakit Septichaemia epizootica (SE, Ngorok) pertama kali ditemukan di Sumatera Barat tahun 1884 di Kab. Tanah Datar pada ternak kerbau. Dengan semakin berkembangnya ternak kerbau di Sumatera Barat sehingga telah menyebar di beberapa kabupaten seperti, Kabupaten 50 Kota, Padang Pariaman, Agam, Sawahlunto Sijunjung, Pesisir Selatan, Solok, Solok Selatan, Pasaman, Tanah Datar dan Kota Sawahlunto. Diperkirakan populasi Kerbau di Propinsi Sumatera Barat berkisar 300.000 ekor. Secara epidemiologi, Propinsi Sumatera Barat merupakan daerah endemis penyakit SE, tetapi pada periode tertentu apalagi kegiatan vaksinasi menurun, penyakit SE berubah menjadi epizootic (wabah).
Wabah Septichaemia epizootica/SE di Sumatera Barat pernah terjadi tahun 1978 di Kabupaten Sawahlunto Sijunjung dengan jumlah kematian ternak 12 ekor. Kemudian muncul kembali wabah SE tahun 1983 di Kabupaten Agam, 50 Kota, dan Padang Pariaman dengan kematian ternak sebanyak 56 ekor. Pada tahun 1989 terjadi lagi wabah dan pada umumnya terjadi di seluruh daerah kabupaten maupun kota yang ada ternak kerbau. Penyakit ini berawal pada bulan April 1989 di Kec 2 x 11 Enam Lingkung Kabupaten Padang Pariaman, secara cepat penyakit ini menyebar ke seluruh kabupaten di Propinsi Sumatera Barat. Pada awal kejadian sebanyak 337 ekor ternak mati bangkai dan 362 ekor potong paksa. Kasus kematian sampai September 1989 adalah 2.082 ekor kerbau termasuk juga potong paksa.
Wabah Septichaemia epizootica/SE di Sumatera Barat pernah terjadi tahun 1978 di Kabupaten Sawahlunto Sijunjung dengan jumlah kematian ternak 12 ekor. Kemudian muncul kembali wabah SE tahun 1983 di Kabupaten Agam, 50 Kota, dan Padang Pariaman dengan kematian ternak sebanyak 56 ekor. Pada tahun 1989 terjadi lagi wabah dan pada umumnya terjadi di seluruh daerah kabupaten maupun kota yang ada ternak kerbau. Penyakit ini berawal pada bulan April 1989 di Kec 2 x 11 Enam Lingkung Kabupaten Padang Pariaman, secara cepat penyakit ini menyebar ke seluruh kabupaten di Propinsi Sumatera Barat. Pada awal kejadian sebanyak 337 ekor ternak mati bangkai dan 362 ekor potong paksa. Kasus kematian sampai September 1989 adalah 2.082 ekor kerbau termasuk juga potong paksa.
Penyebaran kasus penyakit Septichaemia epizootica awalnya dari Kabupaten Padang Pariaman tanggal 7 April 1989, 145 ekor potong paksa dan 39 mati bangkai, Kota Padang 77 Potong paksa dan 27 mati bangkai, Kabupaten Agam 305 potong paksa dan 180 mati bangkai, Kabupaten Tanah Datar 96 potong paksa dan 104 mati bangkai, Kabupaten Sawahlunto Sijunjung 306 potong paksa dan 201 mati bangkai, Kabupaten 50 Kota 47 potong paksa dan 54 mati bangkai, Kabupaten Pesisir Selatan 201 potong paksa dan 233 mati bangkai, sehingga keseluruhan 1.205 potong paksa dan 877 mati bangkai, kerugian diperkirakan 2 milyar rupiah lebih.
Pada tahun 1991 secara sporadis penyakit ini masih terjadi pada daerah-daerah kantong penyakit dan kejadian luar biasa (out break) seperti yang terjadi di kabupaten Pasaman, kecamatan Pasaman, desa Sasak sekitar bulan Agustus 1991 dengan korban sebanyak 155 ekor ternak kerbau mati bangkai dan 40 ekor potong paksa dan pada sapi 25 ekor mati bangkai. Pada tahun 1991 terjadi juga kasus sporadis di kabupaten 50 Kota 17 ekor mati bangkai dan 19 potong paksa dan kabupaten Sawahlunto Sijunjung 21 ekor kerbau mati bangkai dan 31 ekor potong paksa, dan Kota Sawahlunto di Desa Rawang Talawi Mudik sebanyak 9 ekor kerbau mati bangkai. Hampir setiap tahun selalu muncul kasus secara sporadis, tahun 1999 di Pangkalan 4 ekor mati bangkai,th. 2001 di desa Rawang Talawi Mudik Kota Sawahlunto, pada 2003 di Lintau Buo Kabupaten Tanah Datar dan tahun 2004 terjadi di Kecamatan Sangir Kabupaten Solok Selatan dengan 20 ekor mati bangkai, Kecamatan Sumpur Kudus dan Kecamatan Kuamang Baru di Kabupaten Sijunjung hampir 60 ekor mati bangkai dan 89 potong paksa. Tahun 2005 mulai bulan Maret s/d April terjadi kasus luar biasa di Kecamatan Basa Ampek Balai Tapan Kabupaten Pesisir Selatan dengan korban ternak kerbau sebanyak 192 ekor mati bangkai dan 466 ekor potong paksa, kemudian pada bulan Juli s/d Agustus terjadi di Kecamatan Surantih di Desa Tambulun dan Pasir Panjang dengan korban 61 ekor potong paksa dan 32 mati bangkai terakhir pada bulan September terjadi di Kecamatan Linggo Sari Baganti Air Haji dengan korban sebanyak 15 ekor mati bangkai dan 13 ekor potong paksa. Untuk mengantisipasi terjadinya wabah penyakit Ngorok (Septichaemia epizootica) perlu ditingkatkan vaksinasi pada daerah-daerah kantong penyakit terutama pada ternak kerbau. Adapun daerah kantong penyakit SE adalah sebagai berikut :
1) Kab Agam (Kec. Lubuk Basung, Kec Matur)
2) Kab 50 Kota (Kec. Pangkalan, Luhak, Suliki, Gunungmas)
3) Kab. Padang Pariaman (Kec. 2x11 Enam Lingkung, Kec. Batang Anai)
4) Kab. Tanah Datar (Kec. Lintau Buo)
5) Kota Sawahlunto (Kec. Talawi Mudik)
6) Kab. Darmasraya (Kec .Sitiung, Sikabau)
7) Kab. Sijunjung (Kec. Sumpur Kudus dan Kec. Kuamang Baru)
8) Kab. Solok Selatan (Kec. Sangir)
9) Kab. Pesisir Selatan (Kec. BAB Tapan, Linggo Sari Baganti, Surantih, Tarusan dan Batang kapas).
10) Kota Padang (Kec. Bungus Teluk Kabung)
11) Kab. Solok (Kec. X Koto Diatas)
12) Kab. Pasaman Barat (Kec. Pasaman)
Daerah tersebut merupakan kawasan ternak kerbau yang perlu dilakukan vaksinasi secara rutin, sehingga dapat mengantisipasi timbulnya out break, untuk menghindari kerugian ekonomi bagi masyarakat peternak.
Pada tahun 1991 secara sporadis penyakit ini masih terjadi pada daerah-daerah kantong penyakit dan kejadian luar biasa (out break) seperti yang terjadi di kabupaten Pasaman, kecamatan Pasaman, desa Sasak sekitar bulan Agustus 1991 dengan korban sebanyak 155 ekor ternak kerbau mati bangkai dan 40 ekor potong paksa dan pada sapi 25 ekor mati bangkai. Pada tahun 1991 terjadi juga kasus sporadis di kabupaten 50 Kota 17 ekor mati bangkai dan 19 potong paksa dan kabupaten Sawahlunto Sijunjung 21 ekor kerbau mati bangkai dan 31 ekor potong paksa, dan Kota Sawahlunto di Desa Rawang Talawi Mudik sebanyak 9 ekor kerbau mati bangkai. Hampir setiap tahun selalu muncul kasus secara sporadis, tahun 1999 di Pangkalan 4 ekor mati bangkai,th. 2001 di desa Rawang Talawi Mudik Kota Sawahlunto, pada 2003 di Lintau Buo Kabupaten Tanah Datar dan tahun 2004 terjadi di Kecamatan Sangir Kabupaten Solok Selatan dengan 20 ekor mati bangkai, Kecamatan Sumpur Kudus dan Kecamatan Kuamang Baru di Kabupaten Sijunjung hampir 60 ekor mati bangkai dan 89 potong paksa. Tahun 2005 mulai bulan Maret s/d April terjadi kasus luar biasa di Kecamatan Basa Ampek Balai Tapan Kabupaten Pesisir Selatan dengan korban ternak kerbau sebanyak 192 ekor mati bangkai dan 466 ekor potong paksa, kemudian pada bulan Juli s/d Agustus terjadi di Kecamatan Surantih di Desa Tambulun dan Pasir Panjang dengan korban 61 ekor potong paksa dan 32 mati bangkai terakhir pada bulan September terjadi di Kecamatan Linggo Sari Baganti Air Haji dengan korban sebanyak 15 ekor mati bangkai dan 13 ekor potong paksa. Untuk mengantisipasi terjadinya wabah penyakit Ngorok (Septichaemia epizootica) perlu ditingkatkan vaksinasi pada daerah-daerah kantong penyakit terutama pada ternak kerbau. Adapun daerah kantong penyakit SE adalah sebagai berikut :
1) Kab Agam (Kec. Lubuk Basung, Kec Matur)
2) Kab 50 Kota (Kec. Pangkalan, Luhak, Suliki, Gunungmas)
3) Kab. Padang Pariaman (Kec. 2x11 Enam Lingkung, Kec. Batang Anai)
4) Kab. Tanah Datar (Kec. Lintau Buo)
5) Kota Sawahlunto (Kec. Talawi Mudik)
6) Kab. Darmasraya (Kec .Sitiung, Sikabau)
7) Kab. Sijunjung (Kec. Sumpur Kudus dan Kec. Kuamang Baru)
8) Kab. Solok Selatan (Kec. Sangir)
9) Kab. Pesisir Selatan (Kec. BAB Tapan, Linggo Sari Baganti, Surantih, Tarusan dan Batang kapas).
10) Kota Padang (Kec. Bungus Teluk Kabung)
11) Kab. Solok (Kec. X Koto Diatas)
12) Kab. Pasaman Barat (Kec. Pasaman)
Daerah tersebut merupakan kawasan ternak kerbau yang perlu dilakukan vaksinasi secara rutin, sehingga dapat mengantisipasi timbulnya out break, untuk menghindari kerugian ekonomi bagi masyarakat peternak.
Septisemia epizootika merupakan bentuk kusus dari pasteurelosis, seperti halnya penyakit tifoid yang merupakan bentuk kusu dari salmonelosis. Penyakit SE adalah penyakit menular terutama pada kerbau, sapi, babi dan kadang2 pada domba, kambing dan kuda yang disebabkan oleh kuman Pasteurella multocida tipe tertentu. Penyakit biasanya berjalan secara akut, angka kematian tinggi, terutama pada penderita yang telah menunjukan tanda2 klinik jelas. Sesuai dengan namanya, pada kerbau dalam stadium terminal akan menunjukan gejala2 ngorok (mendengkur), disamping adanya kebengkakan busung pada daerah2 submandibula dan leher bagian bawah. Gambaran seksi pada hewan memamah biak menunjukan perubahan2 sepsis.
Etiologi
Penyebab SE adalah Pasteurella hemolitica (yang menyebabkan hemolisa) dan pasteurella multocida/Pasteurella septic (yang tidak menyebabkan hemolisa). Kuman Pasteurella multocida yang berbentuk coccobacillus, mempunyai ukuran yang sangat halus dan bersifat bipoler. Sifat bipoler ini lebih jelas terlihat pada kuman yang baru diisolasi dari penderita, dan diwarnai misalnya dengan cara Giemsa Wright, atau dengan karbol fuhsin. Kuman yang bersifat Gram negative ini, tidak membentuk spora, bersifat non motil, dan berselubung yang lama kelamaan dapay hilang karna penyimpanan yang terlalu lama. Bentuk koloninya tidak selalu seragam, tergantung pada berbagai factor, antara lain macam media yang digunakan, umur kuman dalam penyimpanan, frekuensi pemindahan kuman, dan sebagainya. Koloni kuman yang baru diisolasi dari penderita atau hewan percobaan biasanya bersifat mukoid, dan lama kelamaan berubah menjadi smooth atau routah. Koloni yang bersifat iridescent pada penglihatan dari permukaan bawah cawan petri, biasanya masih bersifat virulen. Kuman Pasteurella multocida membebaskan gas yang berbau seperti sperma. Penyakit SE terdapat disemua wilayah tropis dan subtropics. Kelanggengan infeksi disuatu daerah disebabkan oleh adanya hewan pembawa (carrier) yang jumlahnya bertambah besar tiap kali ada wabah. Jumlah hewan pembawa lama kelamaan menyusut, terutama bila program vaksinasi dilaksanakan. Meskipun vaksinasi masal dilakukan teratur tiap tahun beberapa hewan pembawa akan tetap ada, hingga prospek pemberantasan dengan cara vaksinasi ini dipandang tidak baik. Apabila kejadian SE klinis timbul, yang berasal dari infeksi dari dalam amupun luar, sejumlah besar kuman Pasteurella akan dibebaskan ketempat sekitarnya dan dapat hidup untuk waktu yang relative panjang, lebih kurang 1 minggu, yang kemudian dapat menulari hewan disekitar penderita yang sekelompok. Wabah terbesar dengan korban ratusan penderita telah terjadi pada kerbau dalam kelompok besar dalam wilayah yang airnya cukup terjamin. Diantara yang sembuh, infeksi subklinis merupakan hal yang sangat sering dijumpai serta diikuti dengan kekebalan alami yang mungkin sampai 50% dari kelompok ternak. Kekebalan tersebut kemudian akan menurun sejalan dengan tingginya kadar antibody tersifat didalam serum dan mungkin berlangsung untuk lebih kurang 1 tahun. Kuman pasteurella tidak mampu tinggal lama ditanah maupun di air.
Cara penularan
Penyakit SE ditemukan disebagian besar wilayah Indonesia, dan negara2 lain. Kebanyakan wabah bersifat musiman, terutama pada musim hujan. Secara sporadic penyakit juga ditemukan sepanjang tahun. Faktor2 predisposisi seperti kelelahan, kedinginan, pengangkutan, anemia dan sebagainya, mempermudah timbulnya penyakit. Diduga sebagai pintu gerbang infeksi kuman kedalam tubuh penderita adalah daerah tenggorokan (tonsillar region). Hewan sehat akan tertular oleh hewan sakit atau pembawa melalui kontak atau melalui makanan, minuman, dan alat2 yang tercemar. Ekskreta hewan penderita (ludah, kemih, dan tinja) juga mengandung kuman. Kuman yang jatuh ditanah, apabila keadaan serasi untuk pertumbuhan kuman (lembab, hangat, teduh), akan tahan kurang lebih satu minggu dan dapat menulari hewan2 yang digembalakan ditempat tersebut. Tanah tidak lagi dianggap sebagai reservair permanen untuk kuman Pasteurella. Ada kemungkinan pula bahwa insekta dan lintah dapat bertindak sebagai vector.
Infeksi alami yang ringan akan mengakibatkan terbentuknya zat penolak (anti bodi). Begitu pula halnya apad hewan2 yang sembuh dari SE. berapa lama zat penolak yang terbentuk secara alami sanggup melindungi hewan dari infeksi, masih perlu diteliti.
BAIN menyatakan bahwa pada umumnya apabila separuh atau lebih hewan2 dalam satu kelompok telah divaksin, maka penyakit tidak akan timbul karna peluang untuk terjadinya kasus diperkecil dan kemungkinan terjadinya wabah dibatasi.
Pada babi, SE dijumpai berbentuk gangguan pernafasan dengan gejala batuk lebih menonjol. Penularan melalui udara yang dibatukkan oleh penderita lebih mudah terjadi, apalagi kalau babi2 tersebut makan dan minum dari tempat yang sama. Timbulnya SE pada babi sangat dipengaruhi oleh faktor2 predisposisi. Seperti pada kerbau dan sapi, ekskreta penderita juga mengandung kuman.
Gejala
Masa tunas SE adalah 1-2 hari. Penderita lesu, suhu tubuh naik dengan cepat sampai 41̊C atau lebih. Gemetar mata sayu dan berair. Selaput lender mata hiperemik. Nafsu makan, memamah biak, gerak rumen dan usus menurun sampai hilang, disertai konstipasi. Mungkin pula gangguan pencernaan berupa kolik, peristaltic usus naik, dengan tinja dengan konsistensinya agak cair, dan kadang2 disertai dengan titik2 darah. Sekali2 ditemukan juga epistaksis, hematuria, dan urtikaria yang dapat melanjut ke nekrose kulit.
Bentuk busung
Pada SE dikenal 3 bentuk busung, pectoral, dan intestinal. Pada bentuk busung, ditemukan adanya busung pada kepala, tenggorokan, leher bagian bawah, gelambir, dan kadang2 pada kaki muka. Tidak jarang pula dubur dan alat kelamin mengalami busung. Derajat kematian bentuk ini tinggi (sampai 90%) dan berlangsung cepat (hanya 3 hari, kadang2 sampai 1 minggu). Sebelum mati, terutama pada kerbau gangguan pernafasan akan Nampak sebagai sesak nafas (dyspnoe) dan suara ngorok merintih, dengan gigi gemeretak.
Bentuk pectoral
Pada bentuk pectoral, tanda2 bronchopneumoni lebih menonjol, yang dimulai dengan batuk kering dan nyeri, yang kemudian diikuti dengan keluarnya ingus hidung. Pernafasan cepat dan susah. Proses biasanya berlangsung lebih lama (1-3 minggu). Kadang2 penyakit dapat berjalan kronis. Hewan menjadi kurus dan sering batuk, nafsu makan terganggu, terus menerus mengeluarkan air mata. Suhu tidak berubah, tetapi terjadi mencret degil (sulit disembuhkan) yang bercampur darah. Paru2, bronchi dan pleuranya dapat terkena.
Kelainan pasca mati
Secara anatomi patologi kita kenal bentuk2 busung, pectoral dan intestinal. Yang paling banyak ditemukan adalah kombinasi 2 atau 3 bentuk dimuka meskipun bentuk busung lebih menonjol.
Pada bentuk busung terlihat busung gelatin disertai perdarahan dibawah kulit dibagian kepala, leher, dada, dan sekali2 meluas sampai bagian belakang perut. Cairan busung bersifat bening, putih kekuningan, atau kadang2 kemerahan. Sering kali infiltrasi cairan serum terlihat sampai lapisan dalam otot. Busung gelatin juga ditemukan disekitar pharynx, epilglotis dan pita suara. Lidah sering kali juga membengkak dan berwarna coklat kemerahan atau kebiruan dan kadang2 menjulur keluar. Selaput lender saluran pernafasan umumya membengkan dan kadang2 disertai selaput fibrin. Kelenjar limpa retripharingeal dan cervical membengkak. Rongga perut kadang2 berisi beberapa liter cairan bening berwarna kekuningan atau kemerahan. Tanda2 peradangan akut hemorrhagic bisa ditemukan di abomasums dan usu halus dan sekali2 dibagian colon. Isi rumen umumnya kering, sedang isi abomasums seperti bubur. Isi usus cair berwarna kelabu kekuningan atau kemerahan tercampur darah. Sering kali didapat, gastroenteritis bersifat hemorrhagic.limpa jarang mengalami perubahan. Proses degenarasi umumnya ditemukan pada alat2 parenikim (jantung, hati, dan buah pinggang).
Diagnose banding
Apabila busung tidak jelas terlihat, SE dapat dikelirukan dengan anthrax dan rinderpest. Pada SE tidak ditemukan pendarahan yang berwarna hitam serupa sepertihalnya pada anthrax. Selain dari gejala2 klinisnya SE dapat dibedakan dari rinderpest, karna pada SE tidak terdapat radang usus yang bersifat krupus dirteritis, dan nekrose pada jaringan limfoid.
SE bentuk pectoral perlu dibedakan dari radang paru2, baik yang disebabkan oleh kuman Pasteurella multocida tipe lain, atau oleh penyebab lainnya.
Pada sesi anak2 sapi dan kerbau, gambaran alat2 dalamnya mirip dengan gambaran shock endotoksin yang disebabkan oleh kuman Escherichia coli. Untuk peneguhan diagnose, kuman penyebab SE harus dapat diisolasi. Perlu diketahui bahwa tidak hanya kuman Pasteurella yang mempunyai sifat bipolar.
Pencegahan
Pencegahan penyakit SE dilakukan dengan cara :
- Untuk daerah bebas SE, tindakan pencegahan didasarkan pada peraturan yang ketat terhadap pemasukan hewan kedaerah tersebut.
- Untuk daerah2 tertular, hewan2 sehat divaksin dengan vaksin oil adjuvan, sedikitnya setahun sekali dengan dosis 3ml Intra Muscular. Vaksinasi dilakukan pada saat tidak adakejadian penyakit.
- Pada hewan tersangka sakit dapat dipilih salah satu dari perlakuan sebagai berikut :
a. Penyuntikan antiserum dengan dosis pencegahan
b. Penyuntikan antibiotic
c. Penyuntikan kemoterapetika
d. Penyuntikan antiserum, antibiotika dan kemoterapetika
Dosis pencegahan antiserum :
- Untuk hewan besar : 20-30ml
- Untuk hewan kecil : 10-20ml
- Antiserum heterolog disuntikan secara SC, dan antiserum homolog disuntikan secara D. dua minggu kemudian bila tidak timbul penyakit disusul dengan vaksinasi.
Pengendalian dan pemberantasan
Secara garis besar, pola pemberantasan penyakit sama dengan pola pemberantasan penyakit anthrax, yaitu :
a. Dalam keadaan penyakit sporadic, tindakan pemberantasan ditekankan pada pengasingan hewan sakit dan penyuntikan hewan yang tersangka sakit dengan antiserum SE
b. Dalam keadaan penyakit enzootic/epizootic, tindakan pemberantasan ditekankan pada penentuan batas2 daerah tertular dari daerah belum tertular yang segera diikuti dengan tindakan2 sebagai berikut :
1. Disekeliling batas daerah tertular dilakukan imunisasi aktif dengan vaksin SE
2. Didalam daerah tertular dilakukan hal2 berikut ini :
- Hewan sakit dan tersangka sakit disuntik antiserum dengan masing2 dosis pengobatan dan dosis pencegahan
- Hewan yang tidak sakit dan tidak tersangka sakit divaksin dengan vaksin SE
Dosis pengobatan antiserum ialah 100-150ml (hewan besar) dan 50-100ml (hewan kecil). Penyuntikan antiserum adalah SC, sedangkan yang homolog secara D. penyuntikan bias diulang seperlunya.
Untuk selanjutnya, tindakan pengendalian dan pemberantasan hendaknya mengikuti Policy Veteriner yang berlaku, antara lain :
1. Ternak yang menderita SE harus diasingkan sedemikian rupa sehingga tidak dapat bersentuhan dengan ternak lain. Pengasingan sedapat mungkin dilakukan setempat dan didekatnya disediakan lubang2 sedalam 2-2,5m untuk tempat pembuangan kotoran dan cairan kandang. Setelah ternak yang sakit mati atau sembuh atau bilamana lubang2 tersebut telah terisi 60cm dari permukaan tanah maka lubang2 harus ditimbun dengan tanah baru
2. Dipintu2 masuk halaman atau daerah tempat pengasingan ternak sakit atau tersangka sakit, ditaruh papan yang antara lain bertuliskan “Penyakit Hewan Menular Ngorok” serta nama dalam bahasa daerah setempat
3. Pemotongan ternak yang sakit tidak dilarang dengan syarat2 yang ditetapkan oleh DIRJEN Peternakan
4. Ternak yang tersangka sakit dilarang meninggalkan halaman tempat tinggalnya, sedangkan ternak lain tidak diijinkan memasuki tempat tersebut
5. Bilamana diantara ternak yang tersangka sakit timbul kejadian sakit, maka ternak yang sakit segera diasingkan menurut ketentuan yang ditetapkan dalam ayat 1
6. Bilamana diantara ternak yang tersangka sakit dalam jangka waktu 14 hari tidak ada kejadian sakit, maka ternak2 tersebut dibebaskan dari pengasingan
7. Bangkai ternak2 yang mati karna penyakit ngorok harus dibakar atau jika tidak mungkin, dapat dikubur
8. Setelah ternak yang sakit mati atau sembuh, maka kandang2 atau tempat2 tinggal selama ia sakit dan semua barang2 yang pernah bersentuhan dengan ternak yang sakit harus dihapushamakan. Kandang2 atau tempat2 yang terbuat dari bamboo, atap atau alang2 dan semua barang2 lain yang tidak dapat dihapushamakan, harus dibakar
9. Penyakit dianggap telah lenyap dari suatu daerah setelah lewat waktu14 hari sejak matinya atau sembuhnya ternak sakit yang terakhir
10. Dalam pengumpulan bahan2 untuk keperluan diagnose harus diusahakan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kemungkinan bahaya penyebaran penyakit dengan mengikuti petunjuk2 dari Dirjen Peternakan
Pengobatan terhadap penderita SE dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Seroterapi dengan serum kebal homolog, dengan dosis 100-150ml untuk hewan besar dan 50-100ml untuk hewan kecil. Antiserum homolog diberikan D. sedangkan antiserum heterolog diberikan SC. Penyuntikan dengan antiserum ini memberikan kekebalan selama 2-3 minggu dan hanya baik bila dilakukan pada stadium awal penyakit. Sebaiknya pemberian seroterapi dikombinasikan dengan pemberian antibiotika atai kemoterapetika
b. Seandainya antiserum tidak tersedia, pengobatan dapat dicoba dengan preparat antobiotika, kemoterapetika atau gabungan kedua preparat tersebut.
Perlakuan pemotongan hewan dan daging
Dengan pertimbangan bahwa :
- SE tidak berbahaya untuk konsumsi manusia
- Hamper seluruh Indonesia adalah daerah tertular SE, maka hewan berpenyakit SE tidak dilarang untuk dipotong, sesuai dengan peraturan yang berlaku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar