Join emridho's empire

Jumat, 03 Oktober 2014

JIT and Job Satisfaction

JIT and Job Satisfaction

Dalam Toyota Production System – the new way of looking and the new way of thinking, Job satisfaction adalah adalah landasan untuk Customer Satisfaction. Mendeteksi Job Satisfaction mungkin lebih mudah dengan mengamati perilaku karyawan seperti tampak dalam foto-foto dari Toyota[1]
Toyota1
Kesungguhan bekerja bisa diamati melalui perilaku harian disaat kerja , karena selama kerja seluruh pribadi yang bekerja tercurah didalam kerja sehingga hasil kerja akan mencerminkan pribadi yang mengerjakannya. Antusias, semangat, perilaku positif, kegembiraan, optimisme, adalah tanda-tanda yang bisa dilihat langsung untuk menandai kepuasan kerja.
Toyota2
Ketika manajemen berhasil mengelola organsisasi sehingga muncul tahap ke tiga atau tahap terakhir perkembangan keterlibatan karyawan, yaitu  Organizational Commitment, maka melalui SDM yang mempunyai komitmen terhadap organisasi niscaya kinerja organisasi yang semakin baik adalah buah yang pasti dipetik
`
Salah satu faktor yang memungkinkan karyawan merasa diakui martabatnya adalah memberi keleluasaan yang lebih besar untuk membuat keputusan dalam penyelesaian masalah di wilayah pekerjaanya, Jidoka. Dengan cara ini maka ruang untuk ekspresi diri sebagai salah satu faktor kepuasan kerja telah dibuka luas sehingga belenggu pribadi dalam kerja terurai dan ekpresi diri bisa dilakukan.
Namun, sebaliknya, Job Satisfaction itu bisa dideteksi melalui response terhadap Job Dissatisfaction atau ketidakpuasan kerja. Bila tanggapan terhadap ketidakpuasan kerja itu muncul maka hal itu menunjukkan bahwa kepuasan kerja tidak ada.
Robbins[2] menjelaskan bagaimana dampak dari karyawan terhadap pekerjaannya, apakah ia menyukai atau tidak berdasar pada tangapan terhadap ketidak puasan tersebut, yaitu  Constructive dan Destructive serta Active dan Passive. Perpotongan empat tanggapan ketidakpuasan tersebut membentuk empat kuadran.
Response to JD

Tanggapan terhadap ketidakpuasan kerja yang muncul, menurut Robbins, tergantung kepada bagaimana kombinasi ke-empat dimensi tanggapan terhadap ketidakpuasan kerja.
Active-Destructive,  akan memunculkan perilaku Quit atau keluar dari organisasi. Perilaku ini tentu saja ditunjang oleh berbagai faktor yang lain misal Opportunity Cost keputusan positif, artinya dia tidak dirugikan oleh keputusan tersebut. Tidak mungkin individu dengan Opportinity Cost negatif bereaksi Active-Destrucive, ini pasti sangat diperhitungkan dalam proses pembuatan keputusan. Maka kemungkinan yang akan muncul adalah reaksi Passive-Destructive, karena dimensi Destructive itu yang mendominas, sehinggai muncul perilaku Neglect karena diluar perusahaan Opportunity Cost individu tersebut negatif.
Passive-Destructive, akan memunculkan perilaku negatif yaitu Neglect seperti bekerja dengan tidak bersemangat-bekerja seenaknya-tidak bertanggungjawab, sering absen, datang tidak tepat waktu, menggunakan perlengkapan atau peralatan organisasi se-enaknya sehingga rusak, tidak merawat lingkungan kerja, lebih banyak ngobrol dan kasak-kusuk yang tidak produktif disaat kerja, mempengaruhi yang lain untuk berperilaku negatif. Perilaku ini sangat didominasi oleh dimensi reaksi Destructive. Kasus nyata adalah perilaku merusak laser jet printer. Mungkin karena printer sedang bermasalah ketika sedang digunakan maka reaksi yang muncul bukan perilaku positif yaitu melapor ke teknisi mengenai masalah printer, tetapi justru perilaku negatif yaitu melampiaskan kekesalannya pada printer yang juga dipakai bersama-sama oleh orang  lain. Akibatnya printer tersebut tidak bisa digunakan bukan hanya oleh yang kesal dan melampiaskan kekesalannya dengan cara merusak printer tetapi juga orang lain yangf menggunakan printer tersebut secara bersama. Perilaku merugikan orang lain  ini juga ditunjang oleh faktor Values, yaitu penilaian terhadap sebuah keberadaan yang selalu dikotomis; sehingga merusak dan merugikan orang lain dinilai bukan perilaku negatif. Values ini tentu tidak lepas dari individual learning process yang dipengaruhi oleh personality dan intelectual ability. Proses ini juga mempengaruhi keputusan dan persepsi individu terhadap organisasi dan lingkungannya. Mungkin, pada saat merusak printer itu didalam penglihatannya, printer itu mungkin dilihat sebagai representasi organisasi, orang, atau masalah yang sedang dihadapi sehinga harus dihajar.
Passive-Constructive, akan memunculkan perilaku Loyalty, yaitu mengikuti apa yang diperbuat oleh organisasi karena dominasi dimensi Constructive yang muncul. Perilaku ini akan tampak pada sikap pasrah, diam, tidak banyak bicara, tetap bekerja seperti apa yang digariskan oleh organisasi dan tunduk serta patuh kepada pimpinan. Sikap apatis terhadap organisasi bisa masuk diwilayah ini. Mungkin karena faktor daya tahan sudah yang  menurun atau karena faktor lain yang lebih pragmatis maka sikap apatis ini mudah muncul. Masalahnya, kaum oportunis juga akan berbaur diwilayah ini, sehngga sulit dilihat mana yang apatis, mana yang loyal, atau mana yang oportunis.  Kadar dimensi Passive mungkin yang bisa menandai perbedaan ketiganya karena ketiganya jelas berdimensi Passive; kuat, medium, atau lemah. Kaum oportunis ibarat lipas, akan selalu berada di wilayah abu-abu dan cenderung gelap namun memberi peluang untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini menjelaskan bahwa dimensi Passive berbeda dengan kaum Loyal apalagi kaum Apatis yang jelas less Passive.
Active-Constructive, akan memunculkan perilaku Voice, yaitu sikap positif untuk memperbaiki organisasi melalui kritik dan saran, peran dalam domain kehaliannya, dan berbagai sikap kritis yang lain mengenai arah dan kebijakan organsasi yang dipikir dan dirasakan perlu diperbaiki. Kaum ini sebenarnya memiliki opportunity cost positif, namun karena reaksi dimensi Constructive yang dominan, maka muncul perilaku yang tidak negatif dan justru dibutuhkan oleh organisasi. Penelitian terhadap tiga perusahaan otomotif  Honda, Yamaha, dan Suzuki di Jepang menunjukkan bahwa ada korelasi antara jumlah masukan ke organisasi dengan kinerja organisasi. Hal ini mudah dipahami karena ruang yang terbuka untuk memberikan kritik dan saran bagi organsiasi, disamping mengeliminasi kemunculan kaum oportunis dan apatis  juga menumbuhkan rasa terlibat kepada karyawan yang lebih besar. Namun, dalam budaya di Indonesia, kaum berisik ini masih dipandang negatif. Padahal, mereka ini sebenarnya sparring partner organisasi yang sesungguhnya, seperti di tiga perusahaan otomotif di Jepang itu. Pandangan yang salah ini juga telah mendorong kelahiran kaum Apatis yang daya tahannya sudah habis, dan kemunculan kaum oportunis yang melihat peluang terbuka untuk dimasuki guna memenuhi kebutuhannya.
`
MENGELOLA KETIDAKPUASAN
Ketidakpuasan kerja kalau tidak dikelola ibarat kanker, akan menyebar dan dampaknya akan terasa ketika sudah sampai pada stadium empat. Oleh karena itu, pengelolaan terhadap gegajala ketidak puasan kerja harus dilakukan dam konteks pelibatan anggota organisasi yang bertahap, yaitu: Kepuasan kerja → Keterlibatan karyawan → Komitmen terhadap organisasi. Pada tahap ke tiga atau terakhir sistem nilai dominan organisasi sudah terbentuk dan demikian pula dengan sistem manajemen sehingga setiap anggota baru atau unsur sistem nilai baru masuk akan terpengaruh oleh sistem nilai dominan atau budaya organisasi. Setiap karyawan sudah merasa menjadi bagian dari organisasi.
Pada organisasi dengan sistem manajemen yang belum mapan dan sedang mencari, dimana klik-klik organisasi dan kelompok-kelompok organisasi ibarat faksi-faksi dalam organisasi masih cukup dominan,  apalagi kalau faksi-faksi tersebut terinterseksi dalam kepentingan yang sama dan tidak berkontribusi terhadap tujuan umum organisasi namun sudah merasa menikmati sehingga stagnasi organisasi terjadi; Sering disebut pula sebagai berada pada Compfortable Zone Area atau DZA. Maka, reaksi ketidakpuasan akan mudah terpolarisasi di empat kuadran  sesuai dengan kepentingan-kepentingan semu masing-masing faksi dalam organisasi, bahkan kepentingan semu yang berlabel pengabdian kepada organisasi.
Bagi yang tidak puas dan langsung keluar jelas tidak bermasalah bagi organisasi, namun gabungan antara Neglect dan Loyalty yang akan menyulitkan untuk membedakan dan membutuhkan katalisator untuk bisa melihat dengan jernih karena digabungan itu terdapat potensi Neglect musiman karena situasi dan  ada pula potensi kaum apatis dan juga oportunis. Bahkan di-interseksi keduanya ada opotunis murni.
Konflik yang didisain dan dikendalikan sudah terbukti menjadi katalisator yang ampuh untuk memilah antara individu yang memiliki potensi untuk membuat organisasi menjadi lebih baik dan individu yang kurang memiliki potensi. Dengan konflik, pimpinan organisasi bisa melihat bagaimana potensi dan karakter aggotanya, termasuk kejujurannya serta visi dan misinya. Pemimpin yang mendisain konflik harus benar-benar mengusasi informasi sehingga tahu persis kapan konflik harus dihentikan.
Disamping konflik yang didisain, sering kesulitan, tekanan, atau krisis organisasi bisa menjadi katalisator untuk memilah benar-benar neglect, benar-benar  loyalty.  Maka, kemunculan potensi dan sdm yang memiliki komitmen terhadap organisasi sering muncul dalam situasi seperti ini.
Tantangan terbesar untuk medisain konflik adalah budaya yang cenderung menghindari konflik karena konflik adalah tabu kalau muncul ke permukaan.  Yang aneh dalam budaya ini adalah suka memelihara konflik tetapi tidak suka memunculkannya. Seakan-akan dibiarkan seperti api didalam sekam yang pasti akan menyala ketika tiba saatnya.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, memang dibutuhkan seorang transformational leader, bukan transactional leader.


___________________
  1. Toyota Motor Corp. The Toyota Production System, 1996,. with the courtesy []
  2. Stephen P. Robbins & Timothy A Judge, Organizational Behaviour, 12ed 2007, Pearson []

Poka Yoke - alat untuk menghindari kesalahan

Poka Yoke

Poka Yoke jp

Poka Yoke dalam bahasa Jepang[1] dari Yokeru berarti untuk menghindari, dan Poka berarti kesalahan karena ketidak hati-hatian, Maka, Poka Yoke kurang lebih berarti alat untuk menghindari kesalahan. Dalam literatur barat Poka Yoke dikenal sebagai mistake proofing.
Poka Yoke pertama kali diperkenalkan oleh Shigeo Shingo, ketika memperkenalkan zero quality control di Toyota Motor, sebagai Baka Yoke yang kurang lebih berarti alat untuk mencegah proses yang tidak benar.  Dalam literatur barat Baka Yoke disebut sebagai idiot proofing atau fool proofing.


Poka Yoke1

Contoh Poka Yoke di Toyota[2]. Welder akan turun. Bila nut tidak ada maka Welder akan menekan tombol yang secara otomatis akan mematikan Welder sehingga proses Welding tidak berjalan. Pada saat yang bersasamaan lampu akan menyala dan alarm atau buzzer akan berbunyi untuk menandai bahwa nut tidak ada dan masalah timbul. Jadi, alat dengan disain yang berfungsi untuk menghindarkan terjadinya proses yang tidak benar dinamakan Poka Yoke.
Poka Yoke di body panel[1. Toyota Motor Corp., ibid. with the courtesy], yang ditandai lingkaran kuning, untuk menjaga agar stamping tidak rusak pada saat  benda kerja tidak ada atau terpasang tidak tepat. Jadi proses stamping akan berhenti bila benda kerja tidak ada atau tidak tepat terpasang.  Poka Yoke ini diguakan untuk menghindarkan kerusakan mesin stamping press yang berkapasitas 22 ton itu.

Poka Yoke


Contoh lain Poka Yoke dalam Quality Control.  Sensor dipasang pada ban berjalan untuk mendeteksi produk. Bila produk yang diatas ban berjalan tidak sesuai dengan rencana maka alarm akan berbunyi dan lampu akan menyala yang berarti ada masalah. Sensor semacam ini banyak dijumpai pada quality control process di pembotolan untuk meyakinkan bahwa volume di dalam botol semuanya dalam standar, proses pengemasan obat-obatan untuk memastikan bahwa dalam satu pak telah berisi jumlah obat sesuai standar.

Poka Yoke1






`
Poka Yoke yang mulai dikenalkan di Toyota Motor Corp., oleh Shigeo Shingo dalam rangka mewujudkan zero defect adalah bagian tak terpisahkan dari Toyota Production System. Dengan kata lain, quality built in process berarti manusia berinteraksi dengan teknologi untuk memastikan bahwa proses berjalan dengan benar dan resiko kerusakan, proses berhenti, atau kecelakaan selama proses sebisa mungkin dihindari. Paduan manusia dengan tenknologi adalah kata kuncinya.


Poka Yoke dan Eliminasi Muda
Konsep dasar Poka Yoke tidak terpisah dari eliminasi Muda, yaitu untuk mengeliminasi  kemunculan berbagai Muda karena proses yang tidak benar. Dalam dua contoh Muda di Toyota Motor Corp., diatas, tampak jelas bahwa tujuan memasang Poka Yoke d Welder dan di mesin Stamping adalah untuk menghindari kerusakan, baik kerusakan mesin atau peralatan maupun kerusakan produk. Kerusakan mesin atau peralatan jelas akan menilmbulkan biaya perbaikan, proses berhenti-muda of waiting, produk cacad-muda of producing reject. Itu belum opportunity cost karena proses berhenti sebagai akibat dari Pull System dimana proses yang berhenti di suatu unit kerja akan mempengaruhi unit kerja upstream maupun downstream.
Jadi, konsep revolusioner Pull System memang menghendaki kesempurnaan di semua proses dimana zero defect quality bukan sekedar pemuasan kebutuhan konsumen namun merupakan bagian integral dari usaha untuk meningkatkan produktivitas perusahaan yang dilakukan dengan mengeliminasi Muda. Poka Yoke adalah salah satu penunjangnya. Dalam hal ini jelas sekali bagaimana paduan manusia, teknologi, dan wisdom ada di Toyota Production System. Atau dengan kata lain, Toyota Production System bukan hanya sekedar sebuah manufacturing system tetapi sebuah techno social system.
Secara sederhana Poka Yoke bisa dipikirkan sebagai alat bantu untuk menjaga agar proses selalu terjaga benar agar kerusakan alat, cacad produk, atau kecelakaan manusia terhindarkan dan biaya yang tidak perlu bisa dihindarkan pula. Muaranya jelas sekali yaitu produktivitas perusahaan. Sebenarnya, dalam banyak contoh pekerjaan di Indonesia, Poka Yoke itu sudah dijumpai namun namanya bukan Poka Yoke. Misal di pekerjaan bangunan, pertukangan, dan permesinan.


_________________
  1. Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Poka-yoke; Kerri Simon, Poka Yoke Mistake Proofing, ISixSigma, http://www.isixsigma.com/library/content/c020128a.asp, 2009-05-05 []
  2. Toyota Motor Corp, The Toyota Production System, 1996, with the courtesy []

Siapakah Konsumen ?

Cara pandang dan cara pikir baru mengenai Muda, yaitu segala sesuatu yang tidak memiliki nilai tambah, telah memunculkan pula mengenai cara pandang dan cara pikir baru mengenai terminologi konsumen. Dalam cara pandang dan cara pikir lama, konsumen adalah mereka yang berada diluar organisasi dan membutuhkan jasa atau produk organisasi. Dalam cara pandang dan cara pikir baru, konsumen adalah next to us, siapapun mereka, dari dalam maupun dari luar organisasi yang membutuhkan jasa atau produk yang kita hasilkan. Maka,
  • Jangan menerima Muda
  • Jangan menciptakan Muda
  • Jangan mengirim Muda
karena next to us,  siapapun mereka berhak untuk memperoleh segala sesuatu yang bernilai tambah.
Next to us
Inilah konsep dasar zero defect, both tangible and intangible ouput,  dimana quality control built in process yang menggunakan
  • JIDOKA sebagai landasan manajemen organisasi
  • Eliminasi Muda sebagai landasan sistem nilai pembentuk perilaku
  • next to us sebagai landasan referensi
Konsep ini kemudian dipahami sebagai sistem nilai organisasi. Bila sistem nilai itu dominan maka dia akan membentuk budaya organisasi. Nuansa budaya dalam konsep ini kental sekali sehingga implementasi tanpa memahami budaya yang berkembang bisa menghasilkan hasil yang tidak seperti diharapkan.
Dalam cara pandang dan cara pikir baru mengenai konsumen ini, tidak ada satupun orang dalam organisasi yang tidak berguna. Kalau ada karyawan atau orang didalam organisasi tidak berguna maka dia adalah Muda. Siapapun mereka, bahkan karyawan pada tingkat service yang paling dasarpun berfungsi dalam mewujudkan eliminasi Muda. Hasil kerja Cleaning Service akan dinikmati oleh siapa saja maka Muda yang diciptakan oleh Cleaning Serive akan secara berenteng menciptakan Muda yang lain, misal tempat yang kotor akan mengganggu suasana kerja,  lantai licin yang sedang dibersihkan tidak diberi tanda bisa menyebabkan kecelakaan.  Seorang sekretaris yang keliru membuat jadwal bosnya bisa berakibat fatal kepada organisasi. Jadi, konsep Tiga Jangan diatas sebenarnya merupakan sebuah sistem nilai bila organisasi akan menghasilkan produk atau jasa yang mempunyai nilai tambah bagi konsumennya.
Sistem nilai ini sebenarnya sederhana sekali dan merupakan sistem nilai umum yang sangat manusiawi, yaitu: jangan merugikan orang lain. Ketika hakekat manusia hidup adalah menciptakan karya serta karsa untuk membangun dunia sebagai ungkapan rasa syukur manusia atas rahmat dan karunia yang diterima dari sang Pencita; ketika harkat manusia adalah membuat yang salah menjadi benar dan membuat baik yang kurang baik, maka sistem nilai ini adalah harkat manusia agar menjadi semakin bermartabat, semakin menjadi manusia yang manusiawi.  Jadi, konsep zero defect, yaitu tidak mengirim Muda ke next to us adalah harkat manusia dalam menjalani hakekatnya agar manusia semakin bermartabat.
Bahkan dalam keluarga, yaitu lembaga terkecil dimana cinta kasih dan pendidikan disemai pertama kali, sistem nilai itu juga disemai. Jujur dan menghargai sesama dan mereka yang lebih tua, selalu dijalan yang benar dan selalu berperilaku utama adalah sistem nilai yang pada umumnya disemai dalam keluarga. Jadi, mengapa harus merasa asing terhadap sistem nilai yang pernah disemai oleh orang tua.
Dalam organisasi, sistem nilai tiga jangan itu sebuah keharusan disamping nilai khusus yang akan membuat sebuah organsiasi menjadi unik agar semakin kompetitif.

Jidoka - Kata kunci lain dari Pull System

Jidoka




JIDOKA terdiri dari tiga aksara
yang berarti, kurang lebih atau
kira-kira, kegiatan yang berjalan
sendiri, setara dengan otomasi.

Di Toyota Production System,
Penggantian aksara kedua
memberi tekanan pada peranan
manusia yang lebih otonom.

Kata kunci lain dari Pull System adalah JIDOKA yaitu  pemberian otonomi yang lebih besar kepada karyawan atau operator untuk melakukan keputusan yang berkaitan dengan aktifitas operasi dibidang kerjanya. Bentuk otonomi atau pemberian wewenang yang lebih besar ini tidak lepas dari eliminasi Muda di Pull System dimana 3 don’t diterapkan yaitu,
  • don’t accept bad product
  • don’t make bad product
  • dont’t delivere bad product
Ini benar-benar masuk akal, bagaimana mungkin 3 don’t diterapkan tetapi operator atau pekerja tidak diberi keleluasaan untuk menyelesaikan masalahnya. Dalam literatur barat, usaha untuk lebih melibatkan karyawan dalamproses pembuatan keputusan atau pemberian wewenang yang lebih besar dalam wilayah pekerjaannya dikenal dengan Job Enrichment.
Jidoka memungkinkan para pekerja untuk membuat keputusan dan mencari jalan keluar sendiri terhadap masalah yang dihadapi. Jidoka juga memunculkan fenomena quality on the  spot yang mendukung Zero Defect. Begitu abnormalitas terjadi maka unit kerja dimana abnormalitas terjadi langsung berhenti dan Andon merah menyala yang memberi tanda bahwa unit kerja tersebut sedang bermasalah. Maka operator di lini juga langsung berhenti dan membantu untuk mencari jalan keluar terhadap masalah yang sedang dihadapi oleh unit kerja yang sedang bermasalah tersebut. Cara ini jelas sekali bertentangan dengan cara pandang dan cara pikir lama dimana wewenang untuk menghentikan proses ada di supervisor. Maka, meskipun terjadi abnosmalitas proses terus berjalan meskipun sudah diketahui. Cara pandang dan cara pikir baru melihat proses selanjutnya untuk abnormalitas adalah Muda. Bayangkan berapa unit kerja lagi yang akan dilewati sebelum inspeksi barang jadi terakhir dan berapa banyak Muda yang akan dihasilkan?
Output dari Jidoka, disamping Quality On The Spot, juga inovative problem solving termasuk ide-ide inovatif untuk membuat peralatan atau alat bantu. Berbeagai alat bantu yang sekarang muncul di pasar sebagain besar muncul dari ide memecahkan masalah di tempat kerja. Ide-ide ini mengalir di Quality Circle atau pada saat mereka berhadapan langsung dengan masalah dan kemudian mengembangkannya dalam Quality Circle, yaitu kelompok yang secara sukarela bertkumpul untuk memecahkan masalah ditempat kerja.
Disamping itu, Jidoka juga menjadi stimuli bagi diri pekerja untuk semakin terlibat dalam kerja karena diberi kepercayaan yang lebih besar sehingga merasa lebih bertanggungjawab terhadap hasil kerjanya. Namun harus diingat, ruh Ky’zen yang menggerakkan sehingga Jidoka berjalan, semangat untuk terus menerus memperbaiki dengan cara memberi wewenang yang lebih besar kepada para pekerja untuk menyeselsaikan masalah pekerjaannya. Tidak salah kalau Toyota mengatakan bahwa “Employee satisfaction as the key to Customer satisfaction“  dan dengan tegas pula mengtakan “The System is alive“. Sistem yang berkembang di Gemba menjadi hidup karena ruh Ky’zen yang memunculkan Jidoka dan membuat keterlibatan pekerja atau operator semakin tinggi sehingga sistem itu tidak membeku atau tidak berkembang.
Dari sudut pandang Organizational Behaviour, sistem itu bukan lagi sekedar sebuah manufacturing system tetapi sudah menjelma menjadi Socio Technical System dimana tahap yang dilalui adalah:
  • Job Satisfaction
    • Employee Involvement
       
      • Organizational Commitment

Ketiga tahap ini dalam praktek tidak mudah diwujudkan karena peranan lingkungan ekonomi, sosial dan budaya yang sangat kuat. Job satisfaction, sebagai misal, karyawan di sebuah negara belum tentu sama dengan karyawan di negara lain.  Lingkungan sosial dan ekonomi, termasuk persaingan bisnis,  terutama yang sangat mempengaruhinya sehingga bahkan tahap awal Job Satisfaction pun tidak mudah diwujudkan, apalagi untuk melangkah ke tahap selanjutnya. Para praktisi sering mengeluh mengenai betapa sulitnya menumbuhkian self of belonging karyawan. Mungkin hal semacam ini juga dijumpai di ATM dan AHM yang di Jakarta. Namun hal serupa tidak dijumpai di Honda Philippines yang karyawannya antara 20-22 th.  Disana tidak ada supervisor yang gentayangan di Gemba karena Jidoka berjalan.  Salah satu middle managernya bahkan sedang berpikir keras bagaimana nanti kalau mereka berusia 25 keatas dan beristri.  Mungkin inilah yang membedakan, lingkungan Japanese Management Practices dan Indonesian Management Practices, Phillippines Management Practices yang memang sangat mungkin berbeda.

Push System to Pull System

Push System to Pull System

Dalam disiplin ilmu Manajemen Operasi,  dikenal dua macam proses yaitu Job Shop untuk memenuhi permintaan pemesan dan Flow Shop untuk memenuhi permintaan pasar. Maka, sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dengan lingkungan budayanya, muncul paradigma Push System yaitu propoduksi berdasar rencana bukan kebutuhan yang sudah ada.   
Proses1 
pull4
Kunci pengendalian Push System sepenuhnya berada ditangan supervisor dan inspector. untuk menjamin bahwa persediaan dan produk yang dihasilkan seperti yang direncanakan dan dikehendaki. Pada setiap titik proses peran Inspector dan Supervisor tersebut sangat menentukan.
pull6
Paradigma tersebut berubah sejak pratek manajemen di Gemba berorientasi pada elimnasi Muda atau Waste, yaitu segala sesuatu yang tidak mempunyai nilai tambah. Paradigma baru ini lebih memperhatikan Non Added Value yang harus dieliminasi untuk meningkatkan produktivitas sistem operasi. The new of thingking, the new way of looking.
Inspector menurut praktek di Gemba dipandang sebagai Muda atau Waste karena tidak memiliki Nilai Tambah atau Non Added Value. Inilah awal berangkat perubahan paradigma itu. Maka, Pemasok atau Supplier harus mengirim barang sesuai dengan permintaan dimana kepercayaan adalah dasarnya. Inspector dilihat sebagai Muda yang harus dieliminasi. Inilah awal perubahan yang memicu berbagai perubahan di Manajemen Operasi seperti Persediaan secukupnya, Cacad Nol,Tata Ruang, Inovasi Teknologi, dan Perilaku pekerja yang berdampak dipenurunan biaya dan bermuara di kenaikan laba serta perbaikan Return On Investment


pull7 Gerakan Eliminasi Muda berdampak pada penghapusan fungsi Inspector yang dipandang sebagai Muda di Gudang bahan baku. dan Supplier harus memasok sesuai dengan kebutuhan operasi. Praktek di Gemba ini unik dan sangat kental dengan pengaruh budaya di Jepang dimana kepercayaan dan harga diri dijunjung tinggi
pull8 Selanjutnya, Inspector dan Supervisordiproses juga dipandang sebagai Muda sehingga harus dihilangkan. Dikenal Jidoka atau pemberian wewenang yang lebih besar kepada mereka yang terlibat dalam proses. Menurut Allan, CEO Xerox, mereka yang paling dekat masalah adalah yang paling tahu masalah. Maka, setiap orang bertanggung jawab terhadap masalah yang muncul ditempat kerja dan lingkungannya, JIDOKA
pull9 Setiap orang kemudian bertanggung jawab terhadap kualitas pekerjaan yangdihasilkan. Sekali lagi, dasarnya adalah kepercayaan dan nuansa budaya sangat kental dimana sangsi sosial lebih dominan dibanding sangsi administratif. Bekerja tidak baik adalah cemar diri, maka bekerja baik adalalah martabat. Jadi Supervisor dan Inspector tidak berkeliaran di Gemba karena itu akan dipandang sebagai Muda.
pull11 Ketika proses telah baik demikian pula tahap sebelumnya, maka output proses dijamin baik sehingga Inspector produk jadi atau hasil akhir otomatis menjadi Muda. Reworkatau Scrap juga dilihat sebagai muda maka harus dihilangkan. Pertanyaannya sekarang adalah, Quality Cotrol System berada dimana?QCS berada di setiap proses yang melibatkan manusia. Mungkin istilah Total QualityManagement atau Total Quality ControlSystem menjadi lebih jelas disini.
pull10 Ketika seluruh tahapan proses sejak input hingga ke output benar dan setiap proses ditujukan untuk  memenuhi kebutuhan proses berikutnya dimana ditahap akhir adalah konsumen, maka definisi kebutuhan dan spesifikasi output sebenarnya dibuat oleh konsumen. Inilah sebenarnya esensi dari Pull System yang merupakan anti tesa dari Push System.
pull3 Tiga kalimat bertuah yang terpampang dalam papan besar tergantung diberbagai tempat di Gemba Honda. Artinya, tiga kalimat bertuah itu adalah sistem nilai atau values system yang harus dimiliki oleh setiap orang yang terlibat didalam proses. Ketika sistem nilai tersebut menjadi dominan maka budaya organisasi untuk bekerja baik guna menghasilkan hasil kerja yang baik menjadi sebuah kebiasaan yang dilakukan tanpa beban.
pull12 Ketika 3 Don’t itu telah menjadi sebuah sistem nilai maka dari Pemasok hingga kebagian akhir proses sebelum produk sampai ke tangan konsumen,  setiap orang pada setiap proses dengan sub-sadarnya tidak menerima produk atau pekerjaan cacad dari bagian sebelumnya, tidak membuat produk cacad, dan tidak mengirim produk cacad ke bagian berikutnya.
The new way of looking, the new way of thinking akhirnya menjadi sebuah pemicu perubahan yang berbeda sama sekali dari kebiasaan dan kebenaran dunia operasi sebelumnya. Akhirnya, mandat untuk eliminasi Muda itu ditandai berdampak pada Cost Reduction, Inventory Reduction, dan Quality Improvement yang memunculkan fenomena Zero Defect dan Few Inventory.

5S Manufacturing - Japanese Management Practices

5S Manufacturing

Fenomena lain dari Japanese Management Practices adalah 5S. kependekan dari 5 kata Jepang yaitu Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, Shitsuke. Literatur barat sering menyebutnya sebagai House Keeping Management dan diubah menjadi 5C , sedang di Indonesia diperkenalkan sebagai 5R, misal di Telkom. Semua dengan padanan kosa kata yang dipadankan
5S sangat penting sebagai landasan eliminasi Muda, yaitu untuk membentuk perilaku manusia di Gemba agar di sub sadarnya, eliminasi muda adalah hal yang harus dilakukan tanpa mereka harus berpikir .

整  理 Seiri
Langkah awal implementasi 5S di organisasi adalah Seiri, artinya pemilahan mana yang barang dan peralatan yang masih akandipakai dan mana yang sudah tidak akandipakai lagi. Digunakan istilah Red Tag Campaign, yaitu menandai barang dan peralatan yang sudah tidak akan dipakai lagi dengan label merah. Barang dan peralatan dengan label merah kemudian disingkirkan dari tempat kerja.
整頓 Seiton
Langkah ke dua setelah pemilahan adalah penataan barang dan peralatan yang telah dipilah untuk digunakan dalam kerja.Penataan adalah mengatur barang dan peralatan secara rapi dan teratur agar pada saat akan digunakan mudah dan cepat diakses untuk mengeliminasi Muda mondar-mandir mencari barang atau alat.  Dua langkah pertama ini dilakukan terutama bila 5S pertema kali diterapkan.
清掃 Seisō
Langkah ke tiga adalah pembersihan, Barang dan Peralatan yang telah ditata dengan rapi kemudian dibersihkan, termasuk tempat kerja dan lingkungan serta serta mesin. Pembersihan ini dalam rangka membangun tempat kerja yang nyaman dan juga bagian dari preventive maintenance.Dengan menjaga kebersihan barang, peralatan, dan tempat kerja maka ada aspek afeksi yang diharapkan muncul, yaitu mencintai kerja dan pekerjaan dengan cara merawatnya. Dalam falsafah Jawa, rumongso handarbeni, murat sariro hangroso wani.
清潔 Seiketsu
Langkah ke empat adalah menata prosedur operasi agar disetiap unit kerja diberlakukan standardisasi dan mudah dipahami. Misal, alat yang telah dipakai harus kembali ketempatnya, alat yang kembali ke tempat harus dalam keadaan bersih dan  baik agar siap dipakai kembali, menggunakan alat bantu keamanan kerja, mengikuti rambu-rambu kerja, dll. Standardisasi ini juga bagan dari penggarapan afeksi sehingga identitas dan kesatuan corp terasa.
Shitsuke
Langkah terakhir ini merupakan jaminan agar empat langkah sebelumnya dijalankan secara teratur dan berkesinambungan. Langkah ini adalah pelatihan dan disiplin untuk menjamin agar setiap operator atau karyawan tahu persis bagaimana mengoperasikan alat, mesin, peralatan, prosedur operasi, dan tahu apa arti menjaga kedisiplinan serta menjaga agar apa yang telah dicapai tidak kembali ke keadaan sebelumnya namun terus meningkat tiada henti kearah yang semakin baik.



5S sebagai pembentuk perilaku di Gemba tidak lepas dari Ruh cara pandang dan cara pikir baru di Japanese Management Practices, yaitu Kyzen yang kurang lebih berarti perbaikan terus menerus yang tiada henti serta melibatkan seluruh anggota organisasi.

Shitsuke dalam gambar berada ditengah karena 4S yang lain tidak akan bertahan bila tidak ada Shitsuke. Siklus proses yang dimulia dari Seiri itu tentu saja sudah dimulai dari semangat dan pemahaman yang sama mengapa perbaikan perlu dilakukan dengan cara menerapkan 5S. Jadi, setiap orang yang terlibat dalam proses tahu persis arah perubahan sehingga resistance to change dieliminasi pada tingkat yang paling rendah.
Intensitas proses yang berawal dari Seiri semakin lama akan semakin berkurang seiring terbentukanya sistem nilai dominan yang sudah tertanam di sub sadar setiap orang dan akhirnya menjadi sebuah budaya. Bagaimanapun juga penguatan positif melalui Shitsuke perlu terus menerus dilakukan seiring dengan perkembangan lingkungan.

Ky'zen ( kaizen ) / Heijunka


Heijunka

Jihunka
Ky’zen, yang terdiri dari dua makna penting yaitu:
  • perbaikan terus menerus tiada henti
  • melibatkan seluruh anggota organisasi
telah merasuki berbagai pemikiran di manajemen operasi sehingga memuculkan berbagai fenomena baru yang berasal dari pengalaman di Gemba dan bukan berasal dari kajian akademik di perguruan tinggi, seperti 5S, Pull System, Muda,  Jidoka dan berbagai artefak alat bantu dan peralatan.
Heijunka, yang juga tersemangati oleh Ky’zen,  muncul untuk menghilangkan Muda di penjadwalan operasi. Cara pandang dan cara pikir lama selama ini terpaku pada dua continuum yaitu Job Shop dan Flow Shop. Kedua continuum tersebut memiliki karakteristik proses dan penjadwalan yang dipandang mengandung Muda oleh cara pikir dan cara pandang baru tersebut.
Job Shop bekerja untuk memenuhi pesanan, tata ruang berdasar fungsi masing-masing peralatan, alur proses mengikuti tahapan penyelesaian produk, proses tidak teratur atau intermittent sehingga work in process tinggi, dan penjadwalan menyebabkan beban kerja masing-masing unit kerja atau peralatan tidak seimbang sehingga sering terjadi idle capacity, bagaimana kalau pesanan semakin bervariasi dalam jumlah, disain, dan spesifikasi?
Proses1
Flow Shop, bekerja untuk memenuhi permintaan gudang atau bagian distribusi. Tata ruang diatur sesuai dengan urutan penyelesaian produk  demikian pula prosesnya, proses teratur atau continous sehingga work in process relatif sangat kecil, dan penjadwalan hanya untuk satu jenis produk saja untuk setiap kali proses. Bagaimana kalau harus mengerjakan produk yang bervariasi?
Meskipun diantara kedua continuum tersebut masih ada berbagai variasi proses dan di poros tengahnya ditemukanFlexible Manufacturing System namun Hejiunka melihatnya dengan cara pandang yang beda.
Dalam Pull System dikenal Batch Flow dimana barang secara batch atau kelompok  mengalir dari satu unit kerja ke unit kerja yang lain, dan One Piece Flow dimana hanya satu barang yang mengalir pada setiap kali proses yang melewati setiap unit kerja. Dalam kedua model ini aliran proses dari satu unit kerja ke unit kerja berikutnya teratur sesuai dengan siklus prosesnya sehingga work in process bisa tetap dijaga rendah. Dalam hal ini,  Jidoka memungkinkan terjadinya mekanisme interupsi yang mengendalikan work in process di unit yang bermasalah menumpuk.
Heijunka, memandang idle capacity di line atau rangkaian unit kerja adalah Muda. Maka, Heijunka menghilangkan Muda tersebut melalui dua cara yaitu:
  • volume produksi
  • jenis atau macam produksi
kombinasi kedua cara ini untuk meminimumkan idle capacity pada line atau rangkaian unit kerja adalah esensi dari Hejunka sehingga production level pada setiap unit kerja cenderung akan stabil. Sebagai ilustrasi, adalah lebih baik dalam satu line mengerjakan berbagai macam produk tetapi tingkat produksi terjaga dari pada hanya satu macam produk tetapi tingkat produksi berfluktuasi. Praktek lapangan menurut cara pandang dan cara pikir lama adalah satu line hanya untuk satu macam produk saja, sehingga pilihan penjadwalannya adalah :
  • bekerja di economic of scale dengan resiko menyimpan persediaan yang beresiko pada kenaikan biaya penyimpanan, atau
  • dibawah economic of scale dengan resiko idle capacity yang berakibat pada kenaikan biaya rata-rata operasi.
EOS
Jadi, cara pandang dan cara pikir lama dalam penjadwalan yang menganut mazab Push System akan selalu melakukan trade off diantara kedua resiko tersebut.
Heijunka yang bermazab Pull System mencari solusi lain yaitu dengan memainkan Volume dan Variasi Produk dalam penjadwalan sehingga trade off itu dihilangkan dan sistem beroperasi pada tingkat operasi yang dikehendaki dan tidak fluktuatif untuk meminimumkan idle capacity sehingga biaya rata-rata cenderung minimum.
Dalam suatu hari, di production line, bisa saja terjadi ada berbagai variasi produksi dan variasi jumlah produksi. Bukan hanya masalah resiko trade off yang dihilangkan tetapi juga memenuhi kepuasan pelanggan tepat waktu, tepat, jumlah, dan tepat sepesifikasi. Di Honda, terjadi di production line,  beberapa tipe kendaraan dan warna berbeda diproduksi dalam satu hari. Juga, Toshiba, dalam satu hari di production line bisa dijumpai beberapa model Refrigerator dengan warna yang berbeda-beda. Inilah esensi dari Heijunka. Ini tentu saja berbeda dengan cara pandang dan cara pikir lama dimana dalam satu production line hanya satu jenis produk yang diproduksi.


KANBAN MENDUKUNG HEIJUNKA
Bagaimana mungkin dalam satu hari di production line terdapat beberapa variasi produk dengan jumlah yang berbeda pula? Kuncimya adalah di Kanban sebagai sebuah sistem informasi persediaan dan sekaligus sistem pemasok persediaan.
Rencana produksi harian diturunkan menjadi rencana kebutuhan suku cadang dengan informasi mengenai kebutuhan seperti jumlah, unit kerja yang membutuhkan,  lokasi, dan kapan dibutuhkan. Sebenarnya hampir mirip dengan MRP yang menggabungkan sekaligus Scheduling dan Inventory Control. Namun, MRP tidak berbicara mengenai penjadwalan produksi, hanya penjadwalan kapan persediaan harus dipesan, kapan harus datang, danberapa jumlahnya.  Master Scheduling adalah input MRP. Jadi, Heijunka justru mulai dari penjadwalan produksi yang mengutamakan yang meminimumkan idle capacity dan diturunkan ke panjadwalan persediaan secara bertahap dan berangkai dengan Pull System; mulai dari level 0 kalau di MRP hingga ke level yang paling bawah. Ini berlaku untuk semua jenis assembly line, misal Water Pump, Generator, Car, Refrigerator, dll, Sebagai contoh,  bila mobil adalah level 0 maka nut and bolt mungkin di level terbawah. Semuanya secara detil baik jumlah, waktu harus tersedia, dan lokasi tertera di Kanban.
Pull
Heijunka bukan hanya menggabungkan Scheduling dan Inventory Control, tetapi juga meminimumkan idle capacity sehingga output dari Heijunka, adalah penjadwalan produksi dengan volume produksi yang stabil dan meminimumkan idle capacity. Dengan Pull System, penjadwalan produksi itu ditunjang oleh sistem Kanban dimana Mizushumasi mengalirlkan persediaan dari gudang penyangga ke unit kerja dan pemasok memenuhi permintaan gudang penyangga.
Jadi, fenomena Just In Time memang tidak bisa dilihat sepotong-sepotong, misal fallacious concept atau salah kaprah dalam memahami JIT sebagai  zero inventory; setiap fenomena yang lahir selalu bisa dijelaskan dengan argumentasi logis dalam kaitannya dengan Ruh Ky’zen, perbaikan terus menerus tiada akhir yang melibatkan semua anggota organisasi.

Muda ( Non Added Value : tidak memberikan nilai tambah )

Muda

Muda1
無 berarti tidak ada, dan 駄 berarti tidak bermanfaat atau berguna atau bernilai tambah. Muda means Waste, anything that does not have any added value. Atau, secara sederhana Muda berarti tidak bermanfaat atau tidak produktif.

Dalam setiap proses, proses apapun, dimanapun, dan kapanpun, penciptaan baik added Value atau Nilai Tambah dan Non Added Value atau Bukan Nilai Tambah, secara simultan terjadi secara alami, disadari atau tidak disadari. Demikian pula dalam kehidupan sehari-hari atau organisasi. Fenomena identifikasi Muda atau Non Added Value atau Waste ditemukan di Gemba dalam Japanese Management Practises.
Apabila pendekatan sistem digunakan:
Output tentu akan menghasilkan nilai lebih besar dari Input. Bila Input 1000,-   tentu output > 1000,- Perubahan nilai itu terjadi didalam proses. Semakin besar selisih antara nilai Input dibanding nilai Output maka itu mengindikasikan bahwa Non Added Value atau Waste semakin rendah; sebaliknya itu akan mengindikasikan Added Value yang semakin rendah atau dengan kata lain sistem, atau kehidupan sehari-hari, atau organisasi itu menciptakan banyak pemborosan. Sistem
.
Cara pandang dan cara pikir demikian baru muncul setelah fenomena Japanese Management Practices di Gemba. Sebelumnya, cara pandangnya tidak demikian. Penciptaan Muda dalam proses tidak diperhatikan dan lebih tertuju pada bagaimana Added Value dinaikkan. Cara pandang baru dan cara pikir baru ini melihat bahwa membebankan Muda kepada konsumen adalah tidak adil karena konsumen harus membayar sesuatu yang tidak mereka inginkan. Pada dasarnya, konsumen menginginkan  segala sesuatu yang memiliki nilai tambah baginya. Pada dasarnya, Target Value Taguchi dan Blue Ocean Strategy berhulu kesini sebagai sebuah ide. Ilustrasi Excel berikut mungkin bisa memberi gambaran dengan mudah mengenai fenomena cara pandang dan cara pikir yang baru tersebut.
AV&NAV
Dengan penciptaan NAV senilai 10+5+2 = 17, maka nilai output menjadi 23. Padahal sebenarnya nilai AV adalah 15+20+5 = 40. Seandainya NAV -10 bisa dihilangkan maka nilai output akan naik menjadi 23+10 = 33.
AV&NAV0
Pembuktian ini menjelaskan bagaimana cara pandang baru dan cara pikir baru yang muncul di fenomena eliminasi NAV di Gemba dalam Japanese Management Practices terbukti. Jadi, menaikkan produktivitas sistem dilakukan dengan cara mengeliminasi Muda. Inilah cara pandang baru dan cara pikir baru. Klik  added_value bila ingin bermain dengan Excel. Berikut adalah berbagai jenis Muda yangsering dijumpai di organisasi bisnis.
.
Jenis-jenis MUDA
  1. Muda of waiting atau Menunggu dalam sebuah proses adalah Muda, karena tidak melakukan aktivitas  yang berkaitan dengan proses kerja, dan itu berarti tidak menghasilkan nilai tambah.  Dengan kata lain, waktu untuk menunggu itu mempunyai opportunity cost positif. Menunggu barang yang sedang dikerjakan, menunggu kiriman barang, menunggu proses adalah contoh-contoh Muda. Maka membiasakan membaca ketika menunggu transportasi atau membunuh waktu dengan melakukan kegiatan yang bermanfaat adalah bentuk lain bagaimana Muda dieliminasi. Container yang sewanya perhari 2 juta menunggu saat mulai loading barang selama beberapa hari hari di sebuah perusahaan  furniture di daerah Sleman adalah contoh nyata Muda. Security yang hanya duduk-duduk atau melihat TV namun tidak melakukan aktivitas yang berkaitan dengan tugas utamanya adalah Muda.
  2. Muda of Transportation atau Transportasi dalam sebuah proses bisa menciptakan Muda bila tidak memiliki nilai tambah.  Forklift yang mondar mandir memindahkan barang dalam proses tanpa menciptakan nilai tambah adalah Muda. Muda Transportasi muncul karena disain sistem, disain tata ruang, atau disain proses. Disain yang tidak tepat ini bukan hanya memunculkan Muda Transportasi tetapi juga penambahan tenaga kerja yang sebenarnya Muda.
  3. Muda of Movement atau Gerak yang tidak perlu dalam proses Karyawan yang lalu lalang ditempat pekerjaan tanpa kejelasan, sebagai contoh karyawan yang kesana-kemari mencari alat yang akan digunakan dalam proses, bersosialisasi pada saat kerja yang tidak berkaitan dengan proses, adalah Muda.
  4. Muda of Over Production atau Produksi Berlebih adalah Muda. Produksi lebih banyak dari yang dibutuhkan oleh konsumen berarti akan memunculkan sisa yang akan memakan tempat, menimbulkan perawatan yang tidak berkaitan langsung dengan kebutuhan konsumen.
  5. Muda of Inventory atau Persediaan berlebih akan menjadi Muda bila tidak sesuai dengan kebutuhan yang telah ditetapkan sebelumnya. Persediaan yang berlebih adalah Muda atau tidak mempunyai nilai tambah bagi konsumen karena akan menggunakan temat  atau ruang yang lebih besar, membutuhkan modal yang lebih besar. Indikator keuangan adalah inventory turn over yang menjadi lambat. Persediaanbukan berarti berlebih ini tidak  Persediaan menyangkut bahan baku, bahan dalam proses, dan barang jadi. Persediaan yang  Yang terakhir merupakan rentetan dari Muda Produksi Berlebih. EOQ & JIT
  6. Muda of Producing Reject atau Produksi Cacad dalam cara pandang dan cara pikir lama bukan menjadi perhatian setiap proses kerja. Cara pandang ini akan memungkinkan terjadinya proses berkelanjutan terhadap produk cacad berkelanjutan, padahal sudah jelas produk tersebut akan direject atau di rework.   Maka, cara pandang dan cara pikir baru melihat produksi cacad sebagai Muda karena disamping produk cacad tidak mempunyai nilai tambah juga bila proses dilanjutkan akan menciptakan Muda secara bertahap.
  7. Muda of Process atau Proses bekerja sering tanpa disadari mengandung gerakan yang tidak perlu atau Muda dan bisa dihemat; atau juga gerakan atau disain kerja yang berbahaya bagi manusia. Disain peralatan, disain kerja mikro,  dan peletakan alat bantu yang berada dalam jangkauan dan kapasitas normal operator  (ergonomic berperan)  serta sesuai dengan aliran proses harus dipikirkan agar Muda dieliminasi. Misal Disain U untuk Tata Ruang mengeliminasi Muda Trasnportasi. One Piece Flow mengelimasi Muda Produksi Berlebih dan Muda Produksi Cacad berkelanjutan, disamping Quality Control bertahap yang mengikuti proses.
Eliminasi Muda ini akan membawa implikasi terhadap cara pandang dan cara pikir baru mengenai terminologi Konsumen. Siapakah konsumen itu?
.
MUDA dalam kehidupan pribadi
Apakah konsep MUDA hanya berlaku di Gemba? MUDA adalah Non Added Value, anything that does not have any Added Value.  Artinya, itu berlaku pula dalam kehidupan diri. Bagaimana bentuknya?
  • membeli barang yang tidak diperlukan
  • menyimpan barang yang tidak diperlukan
  • mengerjakan segala sesuatu dengan tidakbaik
  • mengisi waktu kosong dengan hal-hal yang tidak bermanfaat
  • mondar-mandir yang tidak jelas manfaatnya
  • mengerjakan segala sesuatu yang tidakbermanfaat
  • Meletakkan segala sesuatu sembarangan, tidak pada tempatnya, sehingga susah mencari pada saat akan membutuhkan.

Teori keputusan ( Decision Teory ) : Decision tree & Decision Analysis

Decision tree

Decision tree atau Pohon Keputusan adalahs alah satu alat untuk membantu manusia dalam mengurai caa berpikirnya dalam menghafapi suatu masalah dan harus membuat keputusan.

Decision Analysis

Manusia sejak lhir mulai bbelajar untuk membuat putusan. Semakin berkembang dan bertambah usia, seiring perkembangan tanggungjawabnya, keputusankeputusan yang arus dia buat semakin mempunyai konsekuensi tanggungjawab dan dampak.
Keputusan dibuat manusia ketika manusia hendak menyelesaikan masalah yangs edang dihadapi.

Mengenal Kanban dalam sistem industri

KANBAN terdiri dari  Kan yang berarti terlihat dan Ban berarti kartu. Kurang lebih KANBAN berarti kartu yang terlihat atau penanda.  KANBAN adalah media visual dan menjadi bagian dari Sistem Informasi Persediaan yang berbasis Pull Sytem. Kanban yang menyertai persediaan menjadi alat koordinasi dalam manajemen persediaan antara unit operasi dengan unit pengguna dan berisi berbagai informasi mengenai properti persediaan, seperti identitas, pesanan minimum, unit operasi, unit pengguna.Sebagai alat dari sebuah sistem informasi, Kanban berisi informasi standard mengenai properti persediaan, dan berbeda dalam format tergantung kepada kegunaan dan disain pengguna.
Kanban2 Kanban3
Pada awal penggunaannya, yaitu fenomena di Gemba atau tempat kerja,  Kanban dioperasikan oleh Mizusumashi yang secara teratur melayani unit kerja dengan memasok kebutuhan  persediaan yang diambil dari gudang penyangga atau buffer agar persediaan selalu tersedia pada saat yang tepat.
Gudang penyangga ini yang menyimpan persediaan yang dibutuhkan oleh unit-unit kerja dan dimana pemasok memasukkan persediaan. Mizusumashi yang secara teratur mengalirkan persediaan dari gudang penyangga ke unit kerja dengan koordinasi Andon. Maka JIT bukan berarti Zero Inventori. Konsep Zero Inventory adalah konsep persediaan optimal yang juga ada didalam EOQ, yaitu persediaan datang tepat pada saat unit kerja tepat membutuhkan. Bayangkan bila Zero Inventory dipahami secara sempit. Ketika jam kerja mulai dan persediaan tidak ada di setiap unit kerja karena menunggu pemasok atau unit kerja sebelumnya, maka unit kerja tidak mungkin bekerja berhubung tidak ada yang dikerjakan. Maka, disinilah peran dari gudang penyangga sehingga di manajemen sistem persediaan yang berbasis Pull System tidak dikenal zero inventory tetapi few inventory.
Mizusumashi dikoordinasi oleh Andon yaitu alat penunjang sistem infomasi persediaan yang secara visual memberi tanda kepada Mizusumashi mengenai unit kerja yang membutuhkan persediaan. Andon bisa berupa lampu merah, kuning, dan hijau, atau bendera. Intinya adalah tanda untuk koordinasi mengenai apa yang terjadi atau dibutuhkan dari sebuah unit kerja. Dalam hal sistem infomasi manajemen persediaan, ketika persediaan tinggal tersedia selama lead time yang diketahui oleh operator atau pekerja maka operator atau pekerja tersebut menekan tombol untuk menghidupkan lampu kuning yang menandai bahwa persediaan di unit kerjanya telah habis dan meminta Mizusumashi untuk segera mengisinya. Dalam hal ini lead time adalah saat lampu kuning hidup dan Mizusumashi datang membawa dan meletakkan persediaan di unit kerja.
Kanban yang sebenarnya berarti  kartu penanda yang menyertai persediaan dan menjadi bagian sistem infomasi manajemen persediaan di Gemba dalam Japanese Management Practices, akhirnya meluas maknanya dan menjadi sebuah identitas dari  Manajemen Persediaan yang menganut Pull System dan sering pula dikenal dengan JIT Inventory.
pull1

Apakah dengan JIT, EOQ tidak dipakai?

Apakah dengan JIT,  EOQ tidak dipakai?

Pertanyaan tersebut  sering muncul bagi mereka yang masih pada tahap awal memahami fenomena The Japanese Management Practices dan Teori Persediaan.
EOQ atau Economic Order Quantity adalah model persediaan yang bisa menjelaskan kapan  pembelian harus dilakukan dan berapa banyak harus dibeli dari sudut pandang ekonomi. Model ini memadukan dua model paling primitif yaitu Periodical atau P System dimana pembelian dilakukan secara rutin dengan jumlah yang belum tentu sama; dan Quantity atau Q System dimana pembelian dilakukan dalam jumlah tetap namun dalam periode pembelian yang belum tentu sama.  Paduan P System dan Q System ini menghasilkan Model EOQ yaitu P System dan Q System. Artinya, siklus pembelian tetap demikian pula jumlah yang dibeli. Perhatikan gambar berikut, Q selalu sama dan demikian pula P. Itulah paduan PSystem dan Q System yang ada di EOQ.

P System



Q System


Paduan itu turun dari karakteristik model matematik EOQ = √(2DS/h) yang menghasilkan Q optimal dan akan membuat Biaya Pesan D/Q(S)= Biaya Simpan Q/2(h) serta Biaya Total Persediaan D/Q(S) + Q/2(h)  minimum. Model menurunkan Q optimal yang akan selalu sama pada setiap periode pesanan  P yang akan selalu sama pula. Ilustrasi hubungan antara perilaku biaya pesan dan biaya simpan dengan Q Optimal yang memberi Biaya Total Persediaan minimum serta Biaya Pesan = Biaya Simpan adalah:
eoq2

Model EOQ menggunakan Variabel Kebutuhan persediaan D atau kebutuhan selama satu periode perencanan misal satu tahun. Model, dalam hal ini, menurunkan pembelian pesediaan setiap kali pesan sebesar Q. Maka, D/Q tidak lain adalah berapa kali siklus pesanan dalam satu periode perencanaan.
P $ Q
Jadi, berdasar kebutuhan satu periode D, komposisi parameter biaya persediaan maka jumlah siklus pesanan optimal pada setiap periode perencanaan diturunkan oleh model. Gambaran lengkap setiap siklus pesanan adalah sbb:
ROP


Dalam satu siklus Persediaan Y, saat memesan adalah t1 atau pada saat Persediaan tinggal R. Lead Time L adalah selang waktu antara pesanan dibuat dan pesanan datang. Maka, selama t1-t2, proses
menggunakan persediaan selama L. Ketika pesanan Q datang pada saat t0, pada t2 persediaan akan tepat habis namun pada saat itu pula pesanan tepat datang. Inilah Teori dasar Persediaan EOQ yang deterministik, artinya bisa ditentukan sebelumnya. Pemahaman teori dasar persediaan EOQ deterministik ini penting diketahui untuk memahami perilaku persediaan.
Perilaku model persediaan EOQ deterministik menjelaskan situasi kritis dimana persediaan harus tersedia agar proses tidak terganggu namun biaya total persediaan tetap minimum. ΔR/ΔL adalah tingkat penggunaan persediaan sejak pesanan dibuat. Artinya, selama itu pula titik kritis dimulai, karena penyimpangan atau perubahan ΔR/ΔL akan menyebabkan persediaan tidak tepat habis di t2 padahal persediaan yang sudah dipesan saat t1 atau ketika persediaan tinggal R akan datang tepat di t1.

Bagaimana dengan JIT ?
JIT tidak mengenal Zero Inventory, tetapi Few Inventory. Bagaimana konsepnya? Pull Systemadalah cara pikir baru dan cara pandang baru yang membalik cara pikir dan cara pandang lama dalam hal siapa konsumen dan bagaimana cara melayani konsumen. Agar konsumen memperoleh apa yang dibutuhkan pada saat yang tepat, jumlah yang tepat dan sepefisifikasi yang tepat, maka Pull System adalah landasannya. Implementasi Pull System dalam hal Persediaan memunculkan Kanban, yaitu sebuah sistem pemenuhan persediaan yang menggunakan kartu sebagai sistem informasi yang menjelaskan properti persediaan, minimum pesanan, unit kerja yang membutuhkan.
Implikasi dari Pull System membuat pemasok atau unit kerja sebelumnya selalu aktif untuk mememenuhi kebutuhan konsumennya tepat waktu, tepat jumlah, dan tepat spesifikasi.  Jadi, berbeda dengan cara pandang dan cara pikir lama. Akibat selanjutnya, mudah dimengerti bila biaya pemesanan dalam teori persediaan menurun. Penurunan bisaya persediaan ini ternyata membawa akibat turunan yaitu penurunan jumlah pesanan setiap kali memesan.
EOQ+JIT
Penurunan  biaya pesan S dalam model EOQ mengakibatkan D/Q(S) lebih rendah sehingga perpotongan antara Q/2(h) dengan D/Q(S) agar Biaya Persediaan Total minimum bergeser ke kiri. Dengan demikian,  Q menjadi lebih sedikit dibanding Q optimal pada EOQ. Disamping itu,  penurunan Q menjelaskan pula bahwa frekuensi pesanan atau D/Q menjadi lebih banyak dan ini juga memodifikasi model P system dan Q system yang diadopsi oleh EOQ. Baik Q maupun P kini sangat tergantung kepada permintaan konsumen atau unit kerja yang membutuhkan. Dalam praktek di Gemba, perencanaan kebutuhan satu tahun diurai secara bertahap menjadi perencanaan 6 bulan, 3 bulan, 12 bulan, mingguan, hingga menjadi perencanaan harian. Maka, target kebutuhan operasi harian ini yang menjadi isu Kanban dengan kebutuhan tepat waktu, tepat jumlah, dan tepat spesifikasi. Di Pabrik Honda yang saya kunjungi, hari itu target produksi ditetapkan 40 mobil yang terdiri dari beberapa tipe. Dengan model Pull System, target ini kemudian diturunkan menjadi target-target operasi dan pemenuhan kebutuhan persediaan hari itu. Inilah misteri manajemen persediaan yang berbasis Pull System dengan menggunakan Kanban sebagai bagian dari Sistem Informasi Manajemen Persediaan. Dengan demikian, jelas sekali kalau JIT tidak berarti Zero Inventory dari preposisi manapun, namun few inventory sebagai akibat eliminasi Muda.
Esensi dari perubahan cara pandang dan cara pikir dalam perencanaan harian yang Pull System ini adalah menghindari kegiatan yang tidak bernilai tambah atau MUDA sehingga setiap kegiatan yang dilakukan adalah bernilai tambah dan semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Dalam Push System, resiko kegiatan tidak bernilai tambah diambil. Dalam manajemen persediaan eliminasi kegiatan yang tidak bernilai tambah itu menyebabkan S menjadi lebih dan mengakibatkan Q turun dan dikenal sebagai few inventory.
JIT

Jumlah Persediaan yang turun tersebut akhirnya akan mempengaruhi modal kerja yang dibutuhkan dan mengubah proporsi unsur dalam Current Aset sehingga kualitas likuiditas juga akan menjadi semakin baik.
FICO-JIT

EOQ Economic Order Quantity, Wagner & Within dan Silver & Meal

EOQ atau Economic Order Quantity memiliki rangkaian asumsi yang harus dipenuhi untuk membuat model tersebut valid  bila henda diterapkan. Namun, ada asumsi yang sangat penting namun jarang dicantumkan dan bahkan merebak diberbagai kampus dan sekripsi  sampai Wagner and Within yang pertma kali memperhatikannya. Kerja Wagner and Within yang telah memunculkan masalah EOQ di masalah Demand bervariasi, namun belum berhasil memberi jawaban yang memuaskan atas kritik yang dibuat oleh mereka sendiri. Maka, Silver and Meal melanjutkan kerja tersebut dan menjadi pedoman mengenai validitas demand bila hendak menggunakan model EOQ.
`

EOQ

EOQ atau Economic Order Quantity, adalah model penentuan persediaan yang meminimumkan biaya total persediaan. D atau demand dalam model EOQ = √2DS/h adalah salah satu dasar bagi penentuan pembelian persediaan optimal. Karakateristik atau asumsi D tidak pernah diperhatikan dan seakan-akan dianggap tidak bermasalah.

Demand selama periode perencanaan diasumsikan linier dan kemudian output EOQ, yaitu persediaan Q menjadi pembagi bagi D untuk memunculkan berapa banyak N atau frekuensi pemesanan, N=D/Q. Jadi, pemahaman D memang sesederhana itu sejak model tersebut diusulkan.
`

Wagner & Within

Wagner dan Within memperhatikan karaketristik D tersebut dengan membuat sebuah simulasi D yang bervariasi selama satu tahun dengan kemudian membuat sebuah model tandingan untuk membuktikan. Model heuristik yang dikembangan oleh Wagner dan Within memang berhasil membuktikan bahwa untuk data hipotetik D bervariasi selama satu tahun yang mereka buat,  model Wagner dan Within memberikan biaya total persediaan lebih rendah untuk parameter yang sama.
Cara kerja model Wagner Within adalah mulai dari periode terakhir perencanaan kedepan; Misal dari bula Desember ke bulan Januari. Model pertema kali memperhatikan kebutuhan bulan Desember dengan memperhitungkan parameter biaya pesan dan simpan. Kebutuhan bulan Desember dipenuhi pada bulan Desember. Kemudian gergerak maju ke bulan November dengan membandingkan mana lebh murah memenuhi kebutuhan bulan Desember sekaligus dengan bulan November, artinya hanya membeli sekali dan menyimpan kebutuhan Desember di bulan November, atau membeli kebutuhan November dan Desember masiung-masing sendiri. Perbedaan biaya tortal yang merupakan penjumlahan biaya persediaan dan biaya pesan dibandingkan. Memenuhi kebutuhan setiap bulan berarti biaya pesan naik tetapi biaya simpan turun, sebaliknya membeli skaligus di bulan November jelas akan menaikkan biaya simpan namun biaya pesan lebih murah. Inilah hakekat penghitungan biaya persediaan model Wagner dan Within. Cara seperti itu diteruskan ke bulan selumnya hingga januari.
Jadi, pembuktian ini telah menunjukkan bahwa D dalam model EOQ harus diperhatikan.
Sayang sekali proposal Wagner dan Within ini mempunyai dua kelemahan utama, yaitu:
  1. Dengan model heuristik folding back, model Wagner Within menjadi tidak praktis, bahkan kalah praktis dibanding model EOQ meskipun dipertanyakan.
  2. Proposal Wagner dan Within tidak memberi jalan keluar mengenai batasan D sehingga modelnya lebih valid dibanding EOQ.
`

Silver & Meal

Silver Meal melihat kelemahan tersebut dan kemudian melakukan penelitian dan menghasilkan sebuah batasan yang dinamakan Variance Coeficient atau VC. Bila VC> 0.25 maka penggunaan EOQ tidak direkomendasikan disarankan menggunakan model SM, namun sebaliknya bila VC< 0.25 maka penggunaan EOQ direkomendasikan

VC

VC = Variance Coefficient

N = Jumlah data

Dj = Demand ke j, j= 1, 2 …, N



Setelah Silver Meal memunculkan batasan Variance Coeficient atau VC untuk menilai apakah EOQ valid digunakan atau tidak maka adopsi EOQ deterministik selanjutnya mengikuti flow chart sbb:
VC1
Kejelian Silver Meal dalam mencermati model heuristik Wagner Within yang selalu membandingkan biaya total persediaan yang dipengaruhi S/h oleh dua komponen biaya, yaitu Biaya Simpan dan Biaya Pesan,  bukan hanya menemukan VC namun juga menemukan batasan kapan pesanan harus dibuat. Terobosan ini mematahkan model heuristik Wagner Within. Batasan kapan memesan Silver Meal adalah:

VC3

Dj : Demand ke j

S : Biaya Pesan

h : Biaya Simpan

Jadi, bila D1+D2 ≤ S/h maka pesanan belum dibuat, maka perlu ditambah lagi dengan D3. Bila D1+D2+D3 ≥ S/h maka itu berarti bahwa kebutuhan D1, D2, dan D3 dipesan sekaligus pada periode pertama. Sebaliknya, bila sebagai misal D4 ≥ S/h maka pesanan hanya dibuat untuk memenuhi D4.  Formulasi ini sebenarnya berdasar pada model EOQ dimana Q* diperoleh bila terjadi keseimbangan antara biaya pesan dan biaya simpan, yaitu D/Q (S) = Q/2(h), dimana Q = √2DS/h atau Q2 = 2DS/h; sehingga Q2/2D =S/h. Rasio S/h tidak lain mencerminkan perbandingan relatif antara biaya pesan S dengan biaya simpan h. Bila Q2/2D atau Dj (j=1,2…,n) ≥  S/h maka pemesanan segera dilakukan agar D/Q(S) dijaga seimbang atau tidak jauh berbeda dengan Q/2(h).
eoq2

Teori persediaan ( inventory teory )

Pertanyaan yang harus dijawab ketika akan mengadakan persediaan bahan baku atau bahan pembantu adalah berapa harus dibeli, kapan harus dibeli, dan dimana harus dibeli pada saat proses perencanaan. Jawaban terhadap pertanyaan ini dicari  agar efisiensi dan efektifitas operasi dijaga.  Secara teoritik, masalah utama persediaan atau Inventory adalah meminumkan Biaya Total Persediaan atau Total Inventory Cost.

Ada empat macam kategori biaya yang terlibat dalam masalah Persediaan, yaitu:
Biaya Pesan atau Ordering Cost, yaitu biaya-biaya langsung yang timbul atau bisa di-iedentifikasi karena pengadaan persediaan seperti Biaya Telp, Fax, Perjalanan, dan biaya lain-lain.
Biaya Pembelian atau Purchase Cost, yaitu biaya langsung yang berhubungan atau bisa di-identifikasi dengan harga persediaan.  Jenis biaya ini disamping dibutuhkan pada saat penentuan parameter biaya persediaan yang berupa proporsi atau persentase antara biaya simpan per unit per periode dengan harga persediaan, juga dibutuhkan oleh model Quantity Discount ketika Volume persediaan menjadi penentu harga.
Biaya Kehabisan Persediaan atau Stock Out Cost, yaitu biaya yang timbul karena persediaan tidak tersedia pada saat proses berjalan. Biaya jenis ini pada umumnya berupa opportunity cost dan bisa dipisahkan menjadi dua yaitu internal opportunity cost dan external opportunity cost. Internal Opportunity Cost berupa idle capacity baik tenaga kerja maupun mesin. Akibatnya adalah average cost naik karena unit yang diproduksi per periode turun. Dengan kata lain, satuan biaya produk pasti akan naik. Ini rentetannya akan menjadi panjang karena hitumngan investasi didasarkan pada proceed yang bersumber pada kemampaun organisasi untu menghasilkan output.  Sedang External Opportunity Cost berupa opportunity gain yang hilang karena kepuasan pelanggan menurun atau pasar di-isi oleh pesaing karena output berkurang sehingga pasar mencari subtitusi. Dampaknya akan etrlihat pada penurunan penjualan yang juga akan berakibat panjang bagi organisasi, mulai dari kembalian investasi,  retrurn on investment. hingga pertumbuhan organisasi.
Biaya Persediaan atau Holding Cost berupa biaya langsung yang bisa di-identifikasi dengan munculnya persediaan di gudang seperti biaya asuransi, keamanan, listrik, perawatan, dan biaya-lain-lain. Jenis biaya ini bisa dinyatakan dalam  biaya satuan persediaan per unit per periode atau dalam proporsi antaraharga persediaan dengan total biaya persediaan dalam satu periode.
`

Inventory Management

Dimensi Manajemen Persediaan atau Inventory Management mencakup:
  • Persediaan output atau barang jadi
  • Persediaan barang dalam proses
  • Persediaan bahan baku
  • Persediaan bahan pembantu
Diantara ke-empat dimensi persediaan tersebut, persediaan dalam proses atau work in process lebih berkaitan dengan Job Shop Management atau Gemba. Kebijaksanaan yang bersumber pada filosofi Tata Ruang dan Proses akan menentukan besar kecilnya atau perlu tidaknya persediaan dalam proses. Sedang dimensi persediaan bahan pembantu tidak terkait langsung dalam proses utama namun lebih merupakan turunan dari kegiatan proses utama. Agar lebih memudahkan untuk memahami manajemen persediaan dari awal hingga akhir maka bagan berikut mungkin membantu.
Picture4
Kegiatan bisnis dimulai dari penjualan atau sales. Apa yang akan dijual dan berapa banyak akan dijual, serta kapan akan dijual adalah awal pertanyaan yang harus dijawab dalam proses perencanaan. Setelah jawaban diperoleh dari hasil sebuah rangkaian analisis yang bisa dipertanggungjawabkan maka pertanyaan berikutnya adalah apa yang harus diproduksi,  berapa unit harus diproduksi, dimana harus diproduksi, dan kapan harus diproduksi.Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini merupakan output dari Proses Penjadwalan atau Scheduling Process.
Persediaan barang jadi dan rencana persediaan barang jadi di akhir periode menjadi parameter proses penjadwalan, sedang Prediksi Penjadwalan menjadi Variabel. Outputnya sdalah unit yamng akan diproduksi. Secara sederhana, unit yang akan diproduksi= persediaan awal + rencana penjualan – persediaan akhir. Output dari proses penjadwalan ini adalah Rencana Produksi yang kemudian akan diturunkan menjadi kebutuhan bahan baku, tenaga kerja, dan factory overhead.
Manajemen Persediaan bila domainnya adalah persediaan bahan baku maka inputnya adalah output proses penjadwalan. Berapa unit yang akan diproduksi menjadi variabel proses manajemen persediaan dengan parameter persediaan awal bahan baku dan persediaan akhir bahan baku, sedang outputnya adalah berapa unit persediaan yang harus dibeli, kapan hareus dibeli, dan dimana harus dibeli. Dalam hal ini, jelas sekali terminologi Production Planning and Inventory Control atau Perencanaan dan Pengendalian Produksi dan Persediaan yang menjelaskan hubungan antara perencanaan dan ;pengendalian produksi dalam proses penjadwalan dengan perencanaan produksi dan pengendalian persediaan bahan baku. Dalam praktek, masih banyak dijumpai proses tersebut tidak terintegrasi sehingga sering menyebabkan persediaan menumpuk yang berakibat pada rendahnya perputaran persediaan dan opportunity cost positif dana yang tertanam di persediaan.
Di neraca atau balance sheet, tingginya nilai persediaan akan tampak pada nilai aktiva lancar atau current assets. Sedang perputaran persediaan atau Inventory Turn Over memberi gambaran mengenai efisiensi manajemen persediaan dikaitkan dengan kesehatan keuangan perusahaan dalam konteks likuiditas, yaitu seberapa mampu hutang lancar atau currents liabilities mendanai aktiva lancar atau current assets.
Inventory Turn Over rendah dan likuiditas perusahaan rendah jelas mencerminkan ketidaksehatan manajemen persediaan dan manajemen keuangan.
Maka, tiga jenis persediaan, yait persediaan barang jadi, persediaan barang dalam proses, dan persediaan bahan baku harusm dikelola dengan baik secara optimal. Selalau tersediaa pada saat dibutuhkan dalam ukuran kuantias, kualitas, dan waktu   namun tidak berlebihan. Dengan kata lain, tepat jumlah, tepat kualitas, dan tepat waktu.

Model-Model Persediaan [lebih lengkap di Bab 13, Siswanto, Operations Research, Erlangga 1997]

Model-model persediaan dikelompokkan dalam dua kategori besar yaitu Deterministik dan Probabilistik.
Model-model determinstik adalah model persediaan yang variabelnya bisa ditetapkan sebelumnya atau diasumsikan tidak berubah-ubah. Variabel-variabel itu adalah Input yaitu Kebutuhan bahan baku yang merupakan output dari proses penjadwalan, dan kedatangan persediaan setelah dipesan atau lead time. Maka, barang akan datang tepat etika persediaan habis. Model-model determinisnistik adalah:
  • Periodical System
  • Quantity System
  • Economic Order Quantity (EOQ)
  • EOQ Quantity Discount
  • EOQ with constratints
    • warehouse capacity
    • time
    • quantitiy ordered
    • working capital
    • dll
  • EOQ Back Order
  • Economic Production Quantity (EPQ)
  • Material Requirement Planning (MRP)
Dalam hal ini, ABC Inventory  tidak masuk dalam bahasan model-model persediaan karena tujuan model berbeda.
Model-model Probabilistik adalah model-model persediaan dimana variabel-variabel yang terlibat yaitu Input dan lead time fluktuatif sehingga harus didekati dengan distribusi probabilitas. Maka, kemunginan persediaan habis dan kapan persediaan akan datang juga probabilistik sifatnya. Beberapa literatur mencoba untuk  menggabungkan model EOQ deterministik dengan pendekatan probabilistik guna mendekati safety stock yang harus disediakan ketika barang datang dan tingkat pemakaian bersifat fluktuatif. Pendekatan gabungan ini sangat pragmatis sifatnya karena tidak sesuai dengan tujuan pembentukan model yaitu untuk meminimumkan biaya persediaan. Dalam hal ini optimalitas  safety stock tidak termasuk dalam model. Dengan kata lain, safety stock dalam model gabungan tersebut, pada dasarnya berdiri sendiri. Model-model probabilistik adalah:
  • EOQ Probabilistik
  • Marginal Analysis
  • Simulasi
Dengan perkembangan teknologi digital yang luar biasa maka praktis model simulasi lebih menjawab masalah persediaan probabilistik.

Mengenai Saya

Foto saya
Mahasiswa Teknik Industri Universitas Andalas 2009 Alumni Ponpes Asy-Syarif Angkatan 09,, Alumni Ponpes Madinatul Munawwarah angkatan 06.