Join emridho's empire

Kamis, 29 Desember 2011

Upaya Mengendalikan Antraks

Upaya Mengendalikan Antraks

SPORA Bacillus Anthrax tahan pada suhu panas di atas 43 derajat Celcius. Di dalam tanah, diketahui spora mampu bertahan sampai dengan 40 tahun. Apabila lingkungan memungkinkan, yaitu panas dan lembab maka spora dapat menjadi bentuk bakteri biasa (vegetatif) yang mampu berkembang biak (membelah diri) dengan sangat cepat. Itulah sebabnya, penyakit ini cenderung berjangkit pada musim kemarau.
Penyakit antraks merupakan salah satu penyakit dengan prevalensi yang tinggi di Benua Asia, dengan sifat serangan sporadik. Kawasan endemik antraks di Indonesia meliputi Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.
Gejala umum penyakit antraks terjadinya demam dengan suhu badan yang tinggi dan hewan kehilangan nafsu makan. Sedangkan gejala yang bersifat khs: gemetar, ngantuk, lumpuh, lelah, kejang-kejang, mulas, bercak merah pada membran mukosa, mencret disertai darah, sulit bernapas sehingga mati lemas dan terdapat bisul yang makin membesar berisi nanah kental berwarna kuning. Manusia yang terinfeksi dan menderita penyakit antraks ditandai dengan gejala: suhu badan tinggi, mual-mual dan terjadi pembengkakan kelenjar getah bening di sekitar leher, dada dan ketiak.
Cara Penularan
Pada hewan-hewan pemakan rumput, lapangan penggembalaan yang tercemar Bacillus Anthrax (B.a) merupakan media penyaluran penyakit yang paling efektif. B.a. masuk ke dalam tubuh lewat pakan atau air minum melalui mulut. Nanah yang keluar dari bisul pecah banyak mengandung B.a. dapat mencemari lingkungan sekitarnya. Darah ternak yang positif sakit antraks banyak mengandung B.a. sehingga melakukan penyembelihan memungkinkan darah menyebar dan merupakan sumber penularan penyakit.
Penularan penyakit antraks pada manusia pada umumnya karena manusia mengonsumsi daging yang berasal dari ternak yang mengidap penyakit tersebut. Meskipun hanya mengonsumsi dalam jumlah kecil, B.a. mempunyai daya menimbulkan penyakit sangat tinggi. Terlebih pada saat pertahanan tubuh manusia menjadi rendah akibat: kelaparan, defisiensi vitamin A, keracunan (alkohol), kepayahan, iklim yang jelek (sangat dingin/panas) dan cekaman (stres). Disamping itu penularan pada manusia dapat melalui luka. Seyogianya peternak yang memiliki luka pada bagian tubuhnya tidak masuk kandang ternak atau merawat ternak yang diduga terserang penyakit antraks. Penularan penyakit dari manusia ke manusia jarang terjadi meskipun ada kontak langsung dengan penderita.
Pengobatan
Penyakit antraks sudah lama ada sehingga para ahli sudah menemukan obat maupun penangkalnya. Bagi ternak yang mengidap penyakit ini dapat diobati dengan menggunakan preparat antibiotika penicillin atau tetracyclin dosis tinggi lewat suntikan per intramuskuler. Pengobatan ini cukup efektif bila diberikan pada awal gejala penyakit mulai terlihat. Maka itulah sebabnya deteksi dini terhadap penyakit ini sangat diperlukan.
Bagi manusia yang terinfeksi penyakit antraks dapat diobati dengan serum Anthracocidin, yaitu suatu zat yang dapat menghancurkan B.a. Sedangkan pencegahan agar ternak tidak terserang penyakit antraks dapat dilakukan imunisasi menggunakan vaksin antraks. Dengan adanya obat-obat ini, masyarakat diimbau tidak perlu panik dalam menghadapi berjangkitnya penyakit antraks akhir-akhir ini.
Mengacu pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner, pada Bab V (Pengawasan dan Pengendalian Zoonosa Lainnya), Pasal 27 ayat 1 menyebutkan pengawasan dan pencegahan zoonosa merupakan kewajiban pemerintah dan dilaksanakan bersama antara instansi-instansi yang langsung atau tidak, berkepengintan dengan kesejahteraan dan kepentingan umum.
Dari pasal tersebut dapat dipahami pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kota maupun kabupaten bertanggung jawab terhadap pengawasan dan pengendalian penyakit zoonosa. Instansi-instansi yang terlibat langsung dengan urusan tersebut adalah: Pemerintah Daerah (Depdagri), Dinas Peternakan/Pertanian (Deptan), Dinas Kesehatan (Depkes), dan Perguruan Tinggi/Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan (Depdiknas). Tim ini harus segera membuat program pengendalian penyakit antraks, dengan langkah konkret.
Langkah Pencegahan
Langkah pencegahan dimaksudkan agar ternak-ternak yang ada tidak tertular penyakit antraks selama jangka waktu tertentu. Dengan meningkatkan kekebalan ternak setelah dilakukan suntikan pencegahan menggunakan vaksin tertentu secara periodik. Untuk kawasan endemik antraks, vaksinasi seharusnya diulang setiap tahun secara kontinyu. Keberhasilan langkah ini sangat ditentukan oleh kemudahan dan ketersediaan vaksin. Untuk itu, Dinas Peternakan/Pertanian harus bertanggung jawab dalam pengadaan vaksin.
Langkah Pengawasan
Langkah ini untuk memantau kesehatan ternak secara umum di suatu wilayah (dukuh, desa, kecamatan), khususnya terhadap penyakit antraks. Petugas Dinas Peternakan/Pertanian harus mampu merangkul seluruh anggota kelompok tani ternak di wilayahnya agar mau melaporkan kondisi kesehatan ternaknya dari waktu ke waktu. Peternak harus diyakinkan bahwa ternak yang keluar (dijual) atau yang masuk (dibeli) benar-benar dalam keadaan sehat.
Pengawasan lalu lintas ternak antarprovinsi hendaknya lebih diperketat, agar ternak-ternak yang sakit tidak berpindah wilayah sehingga penyebaran penyakit dapat dicegah. Pemerintah hendaknya menerapkan dengan ketat pengawasan kesehatan masyarakat veteriner, dengan penyembelihan ternak dilakukan di Rumah Pemotongan Hewan melalui pemeriksaan kesehatan prapenyembelihan dan pascapenyembelihan. Hanya daging yang berasal dari ternak yang sehat yang boleh diperdagangkan dan dikonsumsi. Pelanggaran dari larangan ini dapat dikenakan pidana berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.
Pembinaan dan Bimbingan
Hubungan baik antara petugas/tim pembina dan pembimbing dengan masyarakat peternak harus tetap dipelihara dan dipupuk, melalui kegiatan pendidikan/pelatihan, penyuluhan maupun sarasehan secara berkala, utamanya di kawasan endemik antraks. Langkah pembinaan dan pembimbingan tersebut antara lain dengan mengadakan kegiatan:
a. Sosialisasi Undang-undang Republik Indonesia No 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner. Sosialisasi hendaknya dilakukan secara menarik sehingga hak dan kewajiban peternak dapat dipahami dan disadari dengan baik.
b. Penyuluhan tentang manajemen zooteknis ternak potong (sapi, kerbau, kambing, domba dan babi) dengan tekanan pada manajemen pencegahan dan penanganan penyakit.
c. Pelatihan usaha ternak potong guna meningkatkan keterampilan peternak, meliputi: sistem perkandangan, pakan, pemeliharaan, penyakit dan penanggulangannya, pengaturan produksi/panen serta analisis ekonomi.
Dengan kegiatan ini maka peternak akan merasa diperhatikan dan menjadi lebih tahu sehingga lebih mudah dilibatkan dalam upaya pengendalian penyakit antraks.(Dr.Ir. Djarot Harsojo Reksowardojo MS/ Fakultas Peternakan Undip-35)

Langkah Penanganan terhadap Kawasan Penyakit Antraks:

Penutupan wilayah terhadap lalu lintas (keluar-masuk) ternak maupun lalu lintas umum.
Mengisolasi ternak yang sakit pada suatu tempat yang terpindah dari lalu lintas ramai.
Penyucihamaan ternak yang sakit, dengan cara: lantai ditaburi kapur, membuka atap kandang hingga sinar matahari dapat menjangkau seluruh luasan kandang selama pengistirahatan kandang dan gunakan desinfektan yang sesuai untuk seluruh permukaan dan bagian kandang.
Segera lakukan vaksinasi terhadap seluruh ternak yang masih sehat di seluruh kawasan.
Jangan melakukan otopsi/bedah mayat karena berisiko tinggi terhadap penyebaran B.a.
Yakinkan tidak ada ternak sakit yang disembelih dan dagingnya dikonsumsi oleh masyarakat. Bila ada, segera bawa konsumen ke rumah sakit untuk mendapat penanganan/perawatan selanjutnya.
Bakar bangkai ternak yang mati sampai habis atau kubur pada kedalaman 2,50 m di dalam tanah. Sebelum bangkai ditimbun dengan tanah, tutuplah dengan kapur atau disiram dengan larutan formalin.
Bunuh segera ternak yang dalam keadaan sakit parah.
Obati ternak yang terserang pada gejala awal dan isolasikan.
Tutup padang/lapangan penggembalaan dari aktivitas merumput.

Bentuk Tim Pemantau

KENDAL- Dinas Peternakan Pemkab Kendal membentuk tim yang bertugas untuk memantau dan mengecek lebih awal keberadaan supsect flu burung yang menjangkiti unggas di daerahnya. Tim tersebut beranggotakan 61 tenaga teknis Dinas Peternakan.
''Tim pemantau bertugas memberikan vaksinasi massal terhadap unggas. Mereka juga menyalurkan serta melakukan disinfeksi dengan bio security di lingkungan peternakan ayam serta di tempat-tempat umum seperti pasar burung,'' kata Kepala Dinas Peternakan dokter hewan Kumaedi di kantornya, kemarin.
Lebih lanjut dijelaskan, guna meminimalisir terjadinya penyebaran penyakit flu burung di wilayahnya tersebut, pihaknya dalam waktu dekat akan melakukan vaksinasi dan disinfeksi massal.
Untuk keperluan tersebut, saat ini pihaknya telah menyediakan 590.000 dosis vaksin avian influenza dan 117 liter disinfektan untuk bio security.
Pihaknya juga akan membagikan vaksin dan disinfektan kepada peternak secara cuma-cuma.
Guna mendukung kinerja tim di lapangan, saat ini Dinas Peternakan telah dilengkapi dengan dukungan peralatan seperti masker, pakaian berbahan parasut, 11 alat penyemprot manual, dan satu unit penyemprot yang menggunakan pompa mesin.
''Sampai hari ini (Senin, 27/2-Red), kami belum mendapat pelaporan adanya unggas yang dicurigai terkena flu burung. Meski demikian, tim pemantau tetap bersikap proaktif guna mengecek dan memantau kondisi di lapangan. Persediaan vaksin dan disinfektan tersebut mencukupi,'' kata Kumaedi.
Laboratorium
Setiap satu dosis vaksin, lanjut dia, untuk vaksinasi satu ekor unggas dewasa. Adapun, setiap 30 cc disinfektan dalam pemakaiannya dicampur 5 liter air. Dari sini 117 liter disinfektan, apabila sudah dicampur air bisa menjadi 17.550.000 liter yang siap digunakan untuk penyemprotan. ''Selain Dinas Peternakan, ketersediaan vaksin juga dibantu kemandirian pengusaha ternak ayam, khususnya yang berskala besar. Mereka memiliki cadangan vaksin sendiri.''
Jika ada laporan kasus flu burung, maka tim pemantau akan turun langsung ke lapangan. ''Petugas akan melakukan bedah bangkai, memeriksa ternak yang masih hidup di sekitarnya, membawa sampel darah dan organ tubuh unggas untuk selanjutnya diperiksa ke laboratorium kesehatan hewan tipe C Kendal. Untuk konfirmasi virus, akan dibawa ke balai besar veteriner (BBC) Yogyakarta.''
Direktur RSUD Dr Soewondo Kendal, dokter Hj Sri Rahayuningsih mengungkapkan kesiapannya untuk menampung pasien rujukan suspect flu burung dari puskesmas (SM, 15/2). ''Selain mempersiapkan satu ruang khusus pasien flu burung, kami juga menambah kamar utama kelas Anggrek agar lebih mengoptimalkan pelayanan masyarakat. Dana pembangunan kamar-kamar kelas utama itu bersumber dari dana operasional atau swadana , bukan bersumber dari dana fungsional rumah sakit,'' kata Rahayuningsih saat memberikan koreksi terkait berita sebelumnya. (G15-51)

Penggunaan Bahan Herbal Sebagai Obat Anti Cacing Untuk Ternak Sapi (Lombok Tengah)
Descriptive title of the technology
Penggunaan Bahan Herbal Sebagai Obat Anti Cacing Untuk Ternak Sapi (Lombok Tengah)
Global Farming System
Smallholder Rainfed Dry/Cold:
The Smallholder Rainfed Dry/Cold Farming Systems in dry or cold low potential areas cover an enormous land area - around 3.5 billion ha - but support a relatively modest agricultural population of around 500 million. These lower potential systems are generally based on mixed crop-livestock or pastoral activities, merging eventually into sparse and often dispersed systems with very low current productivity or potential because of environmental constraints to production.
Smallholder Rainfed Highland:
The Smallholder Rainfed Highland Farming Systems in steep and highland areas contain an agricultural population of more than 500 million. In most cases these are diversified mixed crop-livestock systems, which were traditionally oriented to subsistence and sustainable resource management. However, these days they are characterised by intense population pressure on the resources base, which is often quite poor - averaging 3.5 persons per cultivated ha, aggravated by heavy grazing pressure on the four-fifths of the land which is not cultivated. Given the lack of road access and other infrastructure, the level of integration with the market is often low.
Abstract
Beban biaya penggunaan obat cacing mencapai 50 % dari seluruh total biaya medikasi dalam arus kas, beberapa efek samping yang merugikan ditemukan dalam penggunaan obat cacing farmasi, seperti : peningkatan kekebalan cacing terhadap obat farmasi dan peningkatan kasus intoksikasi pada ternak akibat pemakaian dosis yang berlebihan. Pencegahan dan pengobatan dengan tehnik medikasi etno-veteriner di implementasikan di SPFS dengan tujuan mendapatkan penampilan produksi terbaik dari kelompok tani. Sistem medikasi ini menggunakan bahan dasar natural, baik berupa tanaman, mineral, jenis-jenis hewan tertentu, akupuntur, akupresur, pengeluaran darah dll. Di SPFS diperkenalkan penggunaan beberapa jenis tanaman yang tumbuh di sekitar area yang dapat digunakan sebagai obat cacing, seperti pinang, bawang putih dan biji buah pepaya. Penggunaan obat-obatan ternak natural secara rutin dilakukan di kelompok tani Amanah dan memberikan hasil peningkatan penampilan produksi ternak yang cukup signifikan, dimana hal ini disebabkan adanya penghematan di sektor pengadaan obat-obatan ternak.
Type of technology
Detail Description of technology

Mengontrol cacing pada ternak
Penggunaan obat anti parasit internal (cacing) dalam pemeliharaan sapi adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh peternak (Gambar 1), karena infestasi cacing adalah suatu fenomena yang akan terus berulang secara periodik dalam siklus pemeliharaan.   Beberapa tehnik sederhana dalam melakukan kontrol terhadap infestasi cacing pada ternak sapi dapat dilakukan dengan cara mengatur pemberian pakan dan mengatur waktu pemotongan rumput, suatu hal yang tentunya tidak dapat dilakukan bila sapi dibiarkan mencari pakan sendiri di padang rumput.

Pembuatan kompos dari kotoran sapi juga akan memutus siklus hidup parasit, karena telur cacing akan menyebar melalui kotoran sapi, sehingga bila kotoran sapi dikumpulkan dan digunakan untuk membuat kompos maka siklus hidup cacing akan terputus dengan sendirinya, karena adanya pemanasan pada proses dekomposisi kotoran sapi (34ยบ C).

Pada dasarnya beban biaya medikasi untuk pemeliharaan sapi mencapai 5-10% dari total biaya (farm overhead cost), dimana lebih kurang 50 % nya digunakan untuk biaya pembelian obat anti-cacing. Kerugian lain yang timbul adalah adanya resistensi cacing pada beberapa jenis obat, yang memaksa peternak untuk semakin meningkatkan jumlah dosis obat yang diberikan pada sapi dimana hal ini akan memberikan efek samping yang bersifat toksik pada sapi.  Residu obat cacing yang keluar melalui tinja juga akan semakin meningkatkan kekebalan cacing terhadap obat cacing di lingkungan penggembalaan sehingga penggunaan bahan farmasi sebenarnya menimbulkan efek negatif yang cukup signifikan

Medikasi Etno-Veteriner untuk infestasi cacing
Dasar dari sistem medikasi etno-veteriner sebenarnya telah diletakkan sejak manusia melakukan domestikasi pada hewan liar untuk dijadikan hewan ternak, artinya sistem ini telah dikenal oleh nenek moyang kita dengan menggunakan manusia untuk dasar perbandingan dosis dan jenis obat yang digunakan.  Sistem medikasi ini menggunakan bahan dasar natural, baik berupa tanaman, mineral, jenis-jenis hewan tertentu, akupuntur, akupresur, pengeluaran darah dll. Saat sekarang medikasi etno-veteriner telah mengalami kemajuan yang luar biasa dengan dasar-dasar biologi molekular yang sangat kuat dan ilmiah, bahkan penggunaan bahan natural telah ditujukan sebagai imuno-modulator untuk melawan beberapa jenis virus tertentu, seperti : Marek’s, gumboro, avian influenza dll.  Tehnik medikasi etno-veteriner ini telah mulai diperkenalkan di kelompok tani SPFS – Indonesia semenjak pertengahan tahun 2005 oleh Deputy Farming System-SPFS ( Johan Purnama DVM, MSc).

Sebenarnya beberapa tanaman memiliki kemampuan untuk digunakan sebagai obat anti-cacing dan hal ini biasa dilakukan dalam tehnik beternak pada jaman dahulu. Beberapa jenis tanaman yang biasa diberikan oleh peternak dengan tujuan sebagai obat cacing adalah : pinus, jahe, biji labu, biji pinang, bawang putih, pepaya, bawang putih, jahe, beberapa jenis tanaman karet (contoh : Ficus religiosa) dan beberapa jenis tanaman yang memiliki kandungan tanin dengan konsentrasi yang tinggi.  Di SPFS diperkenalkan penggunaan beberapa jenis tanaman yang tumbuh di sekitar area yang dapat digunakan sebagai obat cacing, seperti dijelaskan di bawah ini.
         Pinang
Biji buah pinang (Gambar 2) biasa digunakan oleh penduduk asli Lombok (Suku Sasak) untuk campuran mengunyah sirih, pohon pinang sengaja ditanam oleh penduduk asli untuk tujuan ini.  Penggunaan biji buah pinang ini ternyata sangat efektif dan sangat murah, sehingga tujuan penghematan biaya pemeliharaan dapat tercapai dengan baik, sehingga penampilan sapi di kelompok tani SPFS di Lombok Tengah juga semakin meningkat, karena kesehatannya yang terjaga dan tidak ada lagi kekuatiran dalam masalah biaya obat serta masalah keracunan obat cacing yang biasa timbul bila digunakan obat cacing farmasi.

Bahan :
-          10 Biji buah pinang (Gambar 3)
-          Air 1 gelas

Metode :
-          Sangrai biji pinang hingga kering, atau dapat juga dijemur hingga kering
-          Tumbuk biji pinang yang sudah kering sampai halus
-          Campur dengan air 1 gelas
-          Minumkan pada sapi
Dosis :
-          Biasanya larutan diberikan 1 bulan 1 kali untuk pemeliharaan.
-          Untuk pengobatan larutan diberikan 1 kali sehari selama 2 – 3 hari dan biasanya cacing akan keluar dalam waktu 24-48 jam.


·         Bawang Putih
Bawang putih (Gambar 4) yang biasa digunakan untuk memasak di dapur juga mempunyai khasiat anti-cacing yang sangat efektif, terutama untuk melawan infestasi cacing Ascaris sp, Enterobius dan semua jenis cacing paru-paru.  Keuntungan lain dari bawang putih adalah adanya kandungan antibiotika alami yang sangat aman dan tidak meninggalkan residu di sapi, antibiotika ini akan berperan sebagai ”growth promotor” pada laju pertumbuhan sapi.

Pada pengobatan sapi-sapi muda penggunaan bawang putih sangat disarankan karena tidak pernah ditemukan efek samping yang merugikan, beberapa cara penggunaan bawang putih sebagai obat cacing adalah sebagai berikut:
o         Bawang putih segar  dihancurkan berikut daun bawang putih dapat dicampurkan pada konsentrat yang diberikan pada ternak.(10-20 siung / bulan)
o         4 siung bawang putih yang dihancurkan  dicampur dengan konsentrat dan dibentuk seperti bola, diberikan untuk anak sapi di bawah 6 bulan .
o         Daun bawang putih juga mempunyai efek anti cacing yang kuat, sehingga di daerah penghasil bawang daun bawang putih dapat digunakan sebagai salah satu sumber obat cacing yang murah.

·         Biji Buah Pepaya
Biji buah pepaya (Carica papaya) (Gambar 5) terbukti dapat digunakan sebagai obat cacing yang sangat efektif, terutama untuk infestasi Ascaris sp. Getah pohon pepaya juga memiliki efektivitas yang sama, tetapi secara tehnis penggunaan biji buah akan jauh  lebih mudah .

Bahan dan metode
Bahan :
o         1 genggam biji buah pepaya yang telah dikeringkan
o         Air 1 gelas
Metode :
o         Tumbuk biji buah pepaya kering sampai lembut dan campurkan dengan segelas air
o         Minumkan pada sapi
Dosis :
o         Larutan dapat diberikan dengan dosis 1 bulan sekali untuk pemeliharaan
o         Untuk pengobatan larutan diberikan 1 hari sekali, selama 2 – 3 hari.

Dampak Bagi Petani SPFS di Lombok Tengah
Kelompok tani Amanah adalah salah satu lokasi implementasi medikasi etno-veteriner pada ternak, kelompok ini mendapatkan gelar sebagai kelompok petani ternak terbaik di tingkat propinsi NTB hingga belasan kali, diharapkan dengan melakukan implementasi medikasi etno-veteriner pada kelompok ini akan menjadi contoh dan teladan bagi kelompok tani lain di NTB.

Penggunaan obat-obatan ternak natural secara rutin dilakukan di kelompok tani Amanah dan memberikan hasil peningkatan penampilan produksi ternak yang cukup signifikan, dimana hal ini disebabkan adanya penghematan di sektor pengadaan obat-obatan ternak.  Hal positif lain yang didapatkan adalah bahwa petani menjadi semakin aktif belajar  dalam usaha mencari alternatif obat untuk tujuan ekonomis.

Rata-rata peningkatan populasi ternak untuk kelompok tani SPFS-Indonesia mencapai 87 % per tahun, dengan hambatan utama timbulnya penyakit-penyakit akibat sanitasi yang kurang baik karena kekurangan sumber air, oleh karena itu pemeliharaan kesehatan rutin dengan perbaikan sanitasi secara optimal dan pemberian obat-obatan herbal diharapkan akan meningkatkan performa produksi ternak kelompok tani SPFS di Indonesia.
Source(s) Information



















TUGAS KELOMPOK

KETERSEDIAAN VAKSIN DAN OBAT-OBATAN

Disusun

O

L

E

H


1. Refi Yanto             (0763016)
                                  2. Dona Melisa          (07163019)
                                                    3. Fadilah Ali             (07163020)
                                                    4.Yul Afni                 (07161055)
             5.Maulidia Helmi      (071640    )
             6.Weveri Dilahari     (041620    )






FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2008

Tidak ada komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Mahasiswa Teknik Industri Universitas Andalas 2009 Alumni Ponpes Asy-Syarif Angkatan 09,, Alumni Ponpes Madinatul Munawwarah angkatan 06.