Join emridho's empire

Jumat, 23 Desember 2011


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
                  Indonesia adalah negara kepulauan yang berada di daerah khatulistiwa  dan beriklim tropis. Terletak antara 60 LU - 110 LS dan 950 BT – 1410 BT. Sebagai negara yang beriklim tropis, Indonesia mempunyai curah hujan yang relative sama dari tahun ketahun disertai dengan hari guruh (thunderstorm day) yang cukup tinggi dengan kategori 100-200 hari per tahun (sembiring 1994:1). Angka ini sudah cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Australia, Korea dan Jepang yang mempunyai 80 hari guruh pertahun serta Amerika dengan hari guruh 100 hari pertahun. Oleh karena itu Indonesia terrmasuk salah satu wilayah didunia yang disebut sebagai zona petir, dan wilayah lainnya adalah afrika Tengah dan Amazona (Amerika Tengah).
Sebagai negara yang berada di zona petir tentu Indonesia memiliki tingkat resiko kerusakan yang cukup tinggi. Jumlah sambaran petirpun jauh lebih banyak dan rapat. Maka wajar bila masalah petir menjadi persoalan serius yang perlu ditangani dan merupakan keharusan untuk mengkaji lebih dalam tentang petir dan pengaruhnya.
Petir dapat menyebabkan kerusakan harta benda terutama benda-benda yang terbuat dari logam (metal), kematian makhluk hidup dan gangguan yang mungkin sekali terjadi bagi kehidupan dan benda lainnya. Karena sifat fisis petir yang terjadi antara awan dengan awan, dan awan dengan bumi yang sukar dikendalikan maka kondisi fisik dipermukaan bumi yang lebih tinggi dari bangunan fisik lainnya akan tersambar terlebih dahulu oleh petir yang berada di areal tersebut. Dalam hal ini bangunan bertingkat secara rata-rata lebih tinggi fisiknya, dan mempunyai kemungkinan yang lebih besar terkena sambaran petir.
Telah banyak korban akibat sambaran petir. Tidak hanya korban manusia dan bangunan, petir juga dapat menimbulkan kerusakan pada peralatan yang menggunakan rangkaian elektronika dan mikroposesor, karena peralatan tersebut sangat sensitive terhadap impuls elektromagnetik (LEMP). Adapun peralatan-peralatan yang sering tersambar petir (Dept, PU, 1987 : 60) diantaranya seperti; Pengatur suhu ruangan, lift, proteksi bahaya kebakaran, instalasi komputer, alat-alat komunikasi, televisi dan peralatan listrik lainnya. Diantara contoh nyata  kerusakan dan bahaya akibat sambaran petir adalah pada hari rabu 28 Februari  2007 Istano Basa Pagaruyung terbakar akibat sambaran petir, kerugian yang ditimbulkan tidak ternilai harganya karena bangunan bersejarah dan didalamnya banyak terdapat benda bersejarah yang berkaitan dengan kerajaan minangkabau (tempo interaktif 28 Februari 2007). Di puskom UNP kira-kira tahun 1997 dimana sebagian besar komputer disana kehilangan data-data penting, penyebab kerugian itu menurut sumber yang didapat karena pentanahan yang tidak baik, setelah diperbaiki sampai saat sekarang ini Puskom tidak mengalami masalah lagi. Pada bulan November tahun 2000, petir juga pernah menyambar gedung perpustakaan Universitas Negeri Padang (UNP) dengan tinggi gedung 25,5 meter, yang menimbulkan kerugian tidak hanya berupa kerusakan pada komputer yang terdapat dalam bangunan, namun juga terjadi pemadaman listrik disekitar gedung. Serta korban jiwa akibat sambaran petir adalah seorang penjabat di Batam yang sedang bermain golf, tiga anak dari kampung  Parigi, Kecamatan Pondok Aren, Tangerang (kompas 12/10) dan di Cina Timur 43 orang tewas  akibat sambaran petir (antara news 28 Juni 2007).
Belajar dari pengalaman dan diiringi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang pesat saat ini telah mendorong manusia untuk merancang dan membuat tempat tinggal dan bangunan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan sejalan dengan dinamika kebudayaan dan peradaban, terutama sekali untuk memproteksi petir. Cara yang dilakukan adalah memproteksi bangunan terhadap bahaya petir dengan prinsip mengalirkan arus petir yang ditangkap alat pengaman (penangkal) petir pada bangunan tersebut ke dalam bumi dan mengusahakan tahanan pentanahan yang sekecil mungkin.
Untuk mengurangi dampak akibat sambaran petir, maka perlu data tingkat kerawanan terhadap petir, sehingga dapat dibangun sistem perlindungan terhadap petir yang sesuai dengan sistem peralatan atau yang dapat menjadi sasaran sambaran petir. Salah satu data tingkat kerawanan petir adalah peta isocrounic level.
Gambar 1. Peta IKL tahun 2004-2006 di Indonesia
Berdasarkan hasil pengolahan data yang dilakukan oleh Badan Meteorology dan Geofisika  Tabing (Januari-Desember 2007), daerah Padang mempunyai hari guruh atau Isokrounic Level (IKL) yang cukup tinggi mencapai angka 105 hari guruh pertahun. Hal ini didukung dengan curah hujan yang tinggi yaitu 315 hari hujan pertahun. Sehingga daerah ini cukup potensial terhadap bahaya sambaran petir.
Universitas Negeri Padang merupakan suatu lembaga yang menyelenggarakan pendidikan, untuk itu lembaga ini akan selalu berusaha merancang bangunan-bangunan yang berada dalam lingkungannya sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan perkembangannya.
Saat ini sedang dilakukan pembangunan Gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi di lingkungan Universitas Negeri Padang, yang terdiri dari 4 lantai dengan ketinggian 22,1 meter. Dari pengamatan yang penulis lakukan, Gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang masih dalam tahap pembangunan, ternyata instalasi penangkal petir pada gedung tersebut masih dalam perencanaan. Oleh sebab itu penulis berminat merencanakan instalasi penangkal petir pada gedung tersebut, karena bangunan ini nantinya akan banyak terdapat peralatan-peralatan elektronik seperti computer, alat komunikasi, pengatur suhu ruangan dan peralatan lainnya yang rentan akibat sambaran petir serta gedung ini juga digunakan sebagai sarana dalam perkuliahan. Sebagaimana menurut Peraturan Umum Instalasi Penangkal Petir (PUIPP) bahwa letak, bentuk, dan ukuran dari bangunan sangat mempengaruhi sukar atau mudahnya suatu bangunan tersambar petir (Dept. PU, 1983 : 15).
Salah satu cara yang ditempuh untuk pengamanan Gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang ini dari sambaran petir  adalah dengan pemasang instalasi penangkal petir yang andal dan memenuhi persyaratan yang berlaku. Karena pengamanan pada suatu bangunan terhadap sambaran petir pada dasarnya adalah penyedian suatu sistim yang direncanakan dan dilaksanakan dengan baik, sehingga jika terjadi sambaran sarana inilah yang akan menyalurkan arus petir kedalam tanah dengan aman tanpa menimbulkan bahaya bagi manusia dan benda berbahaya lainnya yang berada didalam, diluar atau sekitar bangunan.
Banyaknya dampak yang ditimbulkan oleh gangguan petir maka   penulis sangat tertarik untuk mengangkat masalah sistim penangkal petir pada suatu bangunan dalam tugas akhir ini yang berjudul “Perencanaan Instalasi Penangkal Petir Di Gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang”.
B.  Pembatasan Masalah
                  Mengingat luasnya cangkupan bahasan yang dapat dilakukan, agar tidak terjadinya pengembangan dan perluasan makna maka penulis membatasi pembahasan masalah pada:
1.      Tugas proyek akhir ini hanya berdasarkan analisis dan hasil observasi ke lapangan.
2.      Pembahasan hanya pada masalah perencanaan instalasi penangkal petir pada Gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang.
3.      Pemakaian penangkal petir sistem Franklin pada Gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang.
C.  Tujuan
                  Tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan penelitian ini adalah merencanakan instalasi penangkal petir yang cocok dan baik digunakan di gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang yang terdiri dari 4 lantai dengan ketinggian 22,1 meter.
D.  Manfaat
                  Manfaat melakukan penelitian dalam merencanakan instalasi penangkal petir pada sebuah bangunan adalah :
1.      Sebagai bahan masukan bagi mahasiswa Jurusan Teknik Elektro tentang perencanaan sistim penangkal petir  pada suatu bangunan, gedung ataupun kantor.
2.      Sebagai masukan untuk Gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang mengingat pentingnya pemasangan instalasi penangkal petir.







BAB II
KAJIAN TOERI

A.  Petir
Ganasnya petir
Gambar 2.  bentuk sambaran petir (http://www.angkasa-online.com)
Satu kilatan petir adalah cahaya terang yang terbentuk selama pelepasan listrik di atmosfir saat hujan badai. Petir dapat terjadi ketika tegangan listrik pada dua titik terpisah di atmosfir masih dalam satu awan, antara awan dengan permukaan tanah, dan antara dua permukaan tanah  mencapai tingkat yang tinggi. Petir terjadi setidaknya dalam bentuk dua sambaran. Pada sambaran pertama muatan negatif (-) mengalir dari awan ke permukaan tanah. Sejumlah kilatan percabangan biasanya dapat terlihat menyebar keluar dari jalur kilat utama. Ketika sambaran pertama ini mencapai permukaan tanah, sebuah muatan berlawanan terbentuk pada titik yang akan disambarnya dan arus kilat kedua yang bermuatan positif (+) terbentuk dari dalam jalur kilatan utama tersebut langsung menuju awan. Kedua kilatan tersebut biasanya bertemu sekitar 50 meter di atas permukaan tanah. Arus pendek terbentuk di titik pertemuan antara awan dengan permukaan tanah tersebut, dan hasilnya sebuah arus listrik yang sangat kuat dan terang mengalir dari dalam jalur kilat utama itu menuju awan. Perbedaan tegangan pada aliran listrik antara awan dengan permukaan tanah ini melebihi beberapa juta volt.
  1. Mekanisme Terjadinya Petir
Petir adalah peristiwa pelepasan muatan listrik (discharge) di udara yang berasal dari awan. Awan bermuatan ini terbentuk karena adanya gerakan angin keatas yang membawa udara lembab. Semakin tinggi dari permukaan bumi maka akan semakin rendah tekanan dan suhunya. Uap air tersebut akan mengkondensasi menjadi titik air, karena tetesan air mengalami pergeseran horizontal maupun vertikal maka akan terjadi pemisahan muatan listrik. Dengan adanya awan yang bermuatan maka akan timbul muatan induksi pada muka bumi, sehingga timbul medan listrik. Jika medan listrik yang terjadi melebihi medan tembus udara maka akan terjadi pelepasan muatan yang dikenal sebagai sambaran petir (Sirait dan Zorro 1987: I-3).
Badai guruh merupakan fenomena alam yang dahsyat, dan sambaran petir merupakan pelepasan muatan listrik yang sangat berbahaya. Bergerak dengan kecepatan cahaya, arus puncak petir dapat mencapai amplitude 200.000 Amper dan menghasilkan tegangan sampai beberapa puluh juta volt.
Proses pembentukan sel bermuatan listrik pada awan petir dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 3. Pembentukan Awan Guntur
(Reynaldo Zoro dan Hira Laksmiwati, 1999: 3)

  1. Tahapan Sambaran Petir
Pelepasan muatan tidak hanya terjadi di dalam awan yang sama atau antara awan dengan awan, akan tetapi juga terjadi antara awan dengan bumi (tanah), meskipun relatif sedikit yakni ± 25% dari seluruh pelepasan muatan yang terjadi di alam (Sirait dan Zorro, 1987: I-3). Pelepasan muatan antara awan dan bumi cukup banyak menimbulkan kerusakan pada harta benda yang ada di permukaan bumi.
Pada proses pelepasan muatan petir dari awan ketanah, akan terjadi aliran electron dari awan ketanah. Lidah petir ini akan bergerak bertahap tergantung pada tersedianya electron di udara, sehingga disebut sebagai stepped leader. Arah setiap langkah stepped leader berubah-ubah, sehingga keseluruhan jalannya tidak lurus dan patah-patah dengan kecepatan rata-rata 107 cm / dt (Dept. PU, 1983 : 6). Stepped leader ini disebut juga sambaran perintis yang mengangkut muatan negative sepanjang lintasannya. Kalau sambaran perintis telah mencapai ketinggian dimana tegangan tembus listrik setempat antara perintis dengan suatu objek di tanah dilampaui, maka dimulailah sambaran positif keatas melalui lintasan untuk menemui ujung sambaran perintis. Pertemuan ini menghasilkan arus muatan dalam saluran perintis ketanah yang mulai dari ujung perintis, maka inilah yang dinamakan sambaran balik (return stroke).
Sambaran balik ini kelihatannya seperti menjalar keatas seakan-akan sambaran muatan positif. Disini kilauan cahaya timbul karena perubahan kecepatan gerak dari muatan, maka sebenarnya yang menyebabkan efek ini adalah muatan negative yang bergerak. Kilauan cahaya dari sambaran balik ini jauh lebih besar dari pada sambaran perintis. Menjalar lebih cepat sekitar  3 x 109 cm / dt (Dept. PU, 1983 : 8), melalui saluran perintis yang telah terionisasi dan berlangsung hanya dalam 100 mikro detik. Arus dari sambaran balik ini berkisar dari 5.000 sampai 200.000 Ampere.
Ciri-ciri sambaran petir yang kedua adalah tidak adanya pencabangan, disebut lidah panah (dart leader) setelah lidah panah mencapai bumi, suatu sambaran balik bergerak cepat menuju ke awan seperti sambaran balik yang pertama. Dengan dilepaskannya muatan listrik dari pusat muatan kedua, terbentuklah lidah petir pada saat muatan ketiga dengan proses yang sama terulang kembali. Pada umumnya hampir separuh sambaran petir merupakan sambaran ganda.

                                                                100
                   1000                1000                           1000
                     20000             30000                    30000
                                             Dark leader                   Dark leader                         Awan
                                                          
          Stepped leader          return stroke                  return stroke                      return stroke


 


                                      Pengukuran arus
                                       Ke tanah
                                                                                                          Waktu
                                                                                                                      
Gambar 4. Tahapan Sambaran Petir ke Tanah (Sirait dan Zorro, 1987: I-10)
Setiap sambaran petir dapat diuraikan secara matematis kelistrikan. Hal tersebut dipergunakan guna mengetahui sejauh mana akibat objek sambaran yang ditimbulkan masing-masing parameter tersebut dan untuk menentukan mutu pengaman yang harus didesain.



TABEL I.
PARAMETER-PARAMETER PETIR

  1. Kepadatan Sambaran Petir
Dalam perncanaan pengaman terhadap sambaran petir, angka kepadatannya (frekuensi) harus ditinjau dulu, untuk menentukan mutu pengamanan yang akan dipasang. Hal tersebut dapat diketahui dengan mempergunakan peta hari guruh pertahun (Isokrounic Level/IKL). Kemudian mencari harga korelasinya dengan kepadatan sambaran petir ke tanah.
Untuk menentukan kepadatan sambaran petir dapat diperoleh dari persamaan berikut :
Ft = 0,25 .T          sambaran/km2/tahun………………………….(1)
                                                                            (Zoro, 2000 : 8)
Keterangan :
Ft = Kepadatan sambaran petir
T  = Hari guruh pertahun (IKL)
4.  Pelepasan Muatan
Pilot leader akan membawa muatan mengawali aliran ketanah sehingga saluran yang dibuat oleh pilot leader ini menjadi bermuatan dan kuat medan (potensial gradient) dari ujung leader ini sangat tinggi. Selama pusat muatan diawan mampu memberikan muatannya pada ujung leader lebih besar dari kuat medan udara maka leader (petir) akan tetap mampu melanjutkan perjalanannya. Pada saat leader mendekati tanah, kuat medan statis pada permukaan tanah akan naik cukup tinggi untuk menghasilkan aliran keatas yang pendek menyonsong pilot leader. Titik tempat bertemunya dua aliran yang berbeda muatan ini disebut “ striking point “ (titik pukul). Di mana lebih lanjut Sirait dan Zoro (1987) menyatakan bahwa jarak pukul petir (striking distance) itu dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
d = 6,7  I 0,8 meter………………………………………………….(2)
Dimana: d = striking distance (m)
I = arus petir (kA)
Untuk menentukan besarnya jumlah sambaran petir per hari per km2, menurut Golde, R.H seperti yang dikutip Antonov (1994: 86) mengajukan rumus sebagai berikut:
NE  =  (0,1  +  0,35  sin l) (0,4  ±  0,2)………………………….(3)
Dimana: NE   =   Jumlah sambaran petir per hari per km2.
    l     =   Garis lintang geografis daerah
5.   Besaran sambaran petir
Jalan yang ditempuh petir tidak lurus, tetapi berkelok-kelok, di mana mata petir benar-benar berpindah-pindah sehingga merupakan cabang beranting yang indah seperti layaknya sebuah pohon tetapi membahayakan. Arus petir terjadi berkisar dari 5 kA - 220 kA (Dept PU, 1987: 8) yang nyalanya terang dengan frekuensi kecepatan pergerakan dari ujung sambaran antara 105 dan 2 x 105 m/s (Golde, R.H, 1973: 10), yang berarti lebih kecil seribu kali dari kecepatan cahaya (3 x 108 m/s). PLN menyatakan bahwa bentuk sambaran petir (bahaya tegangan lebih yang dapat terjadi) ada dua macam, yakni:
a.       Sambaran langsung
Gangguan sambaran ini menyebabkan tegangan lebih (over voltage) sangat tinggi dan dapat membahayakan benda-benda yang ada di permukaan bumi ini.
b.   Sambaran tak langsung
Gangguan inilah yang paling banyak terjadi. Sambaran ini terbagi dua yaitu:
1)      Sambaran induksi, yang besarnya antara 100-200 kV (PLN, 1985:1-4).
2)      Sambaran dekat adalah sambaran petir yang terjadi dekat dengan sistem (hanya beberapa kilometer).
6.  Bahaya Yang Ditimbulkan Sambaran Petir
a.  Terhadap Manusia
Apabila aliran listrik akibat sambaran petir mengalir melalui tubuh manusia maka organ-organ tubuh yang oleh aliran tersebut akan mengalami kejutan (shock). Arus tersebut dapat menyebabkan berhentinya kerja jantung. Selain itu efek rangsangan dan panas akibat arus petir pada organ-organ tubuh dapat melumpuhkan jaringan-jaringan (otot-otot) bahkan bila energinya besar dapat menghanguskan tubuh manusia.
Perlu diketahui yang menyebabkan kematian bukan saja karena sambaran langsung tetapi juga sambaran tidak langsung, karena disekitar titik atau tempat yang terkena sambaran akan terdapat muatan listrik dengan kerapatan muatan yang besar dimana muatan itu akan menyebar didalam tanah dengan arah radial. Penyebaran muatan ini akan menyebabkan adanya tegangan langkah pada manusia yang ada disekitar titik sambaran serta membahayakan. Tegangan langkah adalah tegangan yang timbul antara dua tubuh manusia yang berada pada satu gradient tegangan, sehingga antara kedua bagian tubuh tersebut timbul beda tegangan menyebabkan arus listrik mengalir didalam tubuh.



TABEL I.I
 PENGARUH ARUS LISTRIK PADA TUBUH MANUSIA

Kuat arus yang mengalir melalui badan
Pengaruh pada tubuh manusia
Waktu tahan
Tegangan pada bagian-bagian yang ditanahkan, jika R pentanahan =5000 ohm
(1)
(2)
(3)
(4)
0,5 mA
Terasa mulai keget
Tidak tentu
2,5 V
1 mA
Terasa jelas
Tidak tentu
5 V
2 mA
Mulai kejang
Tidak tentu
10 V
5mA
Kejang keras
Tidak tentu
25 V
10 mA
Sulit untuk melepaskan pegangan
Tidak tentu
50 V
15 mA
Kejang dengan rasa nyeri, tidak mungkin melepaskan pegangan
15 detik
75 V
20 mA
Nyeri berat
5 detik
100 V
30 mA
Nyeri yang tidak tertahan
1 detik
150 V
40 mA
Mulai tak sadar, bahaya maut
0,2 detik
200 V

 (E. Setiawan dan Van Harten, 1983 : 223)

b.  Terhadap Benda-Benda Dipermukaan Bumi
Seperti diketahui petir dapat membahayakan objek di permukaan bumi, karena jalan yang ditempuh petir tidak lurus, tetapi biasanya merupakan cabang beranting. Oleh karena itu, petir dapat menyebabkan kerusakan harta benda terutama benda-benda yang terbuat dari logam (metal).
Pelepasan muatan antara awan dengan bumi (tanah) ± 25% dari seluruh pelepasan muatan yang terjadi di alam cukup banyak menimbulkan kerusakan pada harta benda yang ada di permukaan bumi. Sehingga kondisi fisik di permukaan bumi yang lebih tinggi dari bangunan fisik lainnya akan tersambar lebih dahulu oleh petir yang berada di areal tersebut. Jadi dapat dikatakan bahwa petir biasanya menyambar pada objek-objek tertentu, misalnya bangunan-bangunan tinggi, menara-menara, pohon-pohon yang tinggi, bukit-bukit dan juga objek-objek yang bersifat magnetik.  
Perlu diingat bahwa tidak hanya benda-benda yang menjulang tinggi saja yang terkena sambaran petir, tetapi mungkin juga di tempat mendatar bahkan mungkin pula pada lembah-lembah di antara pegunungan. Karena dari hasil pengamatan, ternyata pada tanah-tanah yang mengandung magnet maupun zat radio aktif di daerah terbuka, paling sering terkena sambaran petir (Antonov, 1994).
c.  Terhadap Bangunan
Penyebab dari kerusakan bangunan yang diakibatkan oleh sambaran petir terutama karena besarnya arus petir dan kecuraman arus petir, yang mana besarnya dapat mencapai 200 kA. Kerusakan tersebut berupa kerusakan thermis, seperti terbakar pada gedung yang tersambar, bisa juga berupa mekanis seperti runtuh, bangunan retak dan lain-lain. Bahan bangunn yang paling parah bila terkena sambaran petir adalah bersifat kering, isolasi, maupun semi isolasi.
Lebih lanjut Departemen PU (1987: 17) menyatakan, bahwa instalasi-instalasi bangunan yang dianggap mudah terkena sambaran petir dan perlu diberi penangkal petir adalah sebagai berikut:
1. Bangunan-bangunan tinggi, seperti gedung-gedung bertingkat (termasuk di dalamnya rumah tinggal), menara-menara, cerobong-cerobong pabrik.
2.   Bangunan-bangunan penyimpanan bahan mudah terbakar atau meledak, misalnya seperti pabrik amunisi, gudang-gudang penyimpan bahan peledak, gudang-gudang penyimpanan cairan atau gas yang mudah terbakar.
3. Bangunan-bangunan untuk umum, misalnya gedung-gedung pertunjukan, gedung-gedung sekolah, perpustakaan, stasiun, dan lain-lain.
4.   Bangunan-bangunan berdasarkan fungsi khusus perlu dilindungi secara baik, misalnya museum, perpustakaan, gedung arsip negara.
Faktor utama yang menentukan kebutuhan pengamanan terhadap sambaran petir pada bangunan tergantung dari kemungkinan bangunan tersambar petir. Untuk mengamankan suatu bangunan terhadap sambaran petir, maka pada bagian paling atas dari bangunan yang diamankan ditempatkan benda yang paling mudah terkena sambaran petir.
B.  Instalasi Penangkal Petir
Menurut menyamin franklin seperti yang dikutip hendri (2000: II-14) petir merupakan fenomena listrik yang harus diperlakukan seperti listrik, yaitu diberi penerima sambaran petir (air terminal sistem), disalurkan ke pentanahan (down conductor) dan disebarkan ketanah dengan aman melalui suatu sistem pentanahan (earth terminal sistem).
Instalasi penangkal petir adalah instalasi suatu sistem dengan komponen-komponen dan peralatan yang secara keseluruhan berfungsi untuk menangkap petir, menyalurkan ketanah secara aman. Sistem tersebut dipasang sedemikian rupa sehingga semua bagian dari bangunan beserta isinya, atu benda-benda yang dilindungi terhindar dari bahaya sambaran petir baik secara langsung ataupun secara tidak langsung. Instalasi sistem tersebut dikelompokkan menjadi bagian penghantar atas tanah dan bagian penghantar didalam tanah.
1.  Prinsip Kerja Penangkal Petir
Pada medan listrik yang besar ada bagian yang berbentuk runcing dan memiliki permungkaan yang licin, muatan yang terkonsentrasi pada bagian ini akan lebih mudah terlepas (discharge). Prinsip inilah yang digunakan untuk membuat suatu penagkal petir. Disaat terjadinya pengumpulan muatan petir pada awan diatas bumi, maka akan terkonsentrasi muatan positif akibat terinduksi oleh muatan petir diatasnya. 
Saat terjadi medan petir antara awan dengan bumi, muatan positif dibumi akan terinduksi dan menuju tempat yang terujung sebagai jalan terdekat untuk pelepasan yaitu menuju ujung bantal penangkal petir. Jika kuat medan petir melebihi medan tembus udara maka terjadi downward leader dari awan sedangkan pada penangkap petir akan terjadi pelepasan muatan positif menuju downward leader yang disebut sebagai upward leader. Upward leader akan mempelopori jalan pergerakan downward leader menuju kebatang penangkap petir dimana terdapat konsentrasi muatan positif yang lebih besar dan jalan terdekat menuju tanah. Jarak dari titik pertemuan antara downward leader dan upward leader ke titik sambaran pada batang penagkal petir disebut sebagai jarak sambaran awal (initiation distance). Muatan petir yang menyambar batang penagkap petir akan menuju tanah melalui penghantar turun (down conductor) dan disebarkan ke tanah oleh elektroda pentanahan (Hendri, 2000).
2.  Penangkap Petir
Penangkap petir adalah penghantar-penghantar diatas atap yang berupa elektroda logam yang dipasang tegak, mendatar yang berfungsi menerima sambaran petir secara langsung. Tiang-tiang dari logam dan lain-lain dapat dimanfaatkan sebagai penangkap petir. Jenis konvensional penangkal petir adalah penangkap petir pada sistem franklin, yang menggunakan batang-batang finial yang berukuran pendek dan dipasang secara berurutan dari atap menuju elektroda pentanahan melewati dinding bangunan. Untuk sistem yang rumit digunakan metoda bola petir (Rolling Wheel Method) untuk menentukan letak finial.
Gambar 5. Metoda Bola Petir
Susunan finial penangkal petir dapat berupa finial batang tegak. Susunan finial mendatar dan finial-finial lain dengan memanfaatkan benda logam yang terpasang di atas bangunan seperti atap logam, menara logam, dan lain-lain. Tingkat perlindungan yang diinginkan menentukan susunan dan jumlah finial, dimensi dan jenis bahan finial serta konstruksinya dan semua ini secara besaran arus petir ditentukan oleh tingginya arus puncak petir (I) dan muatan arus petir (Q).
Finial batang tegak biasa digunakan untuk bangunan atap runcing, menara telekomunikasi, dll. Satu hal yang perlu dipertimbangkan untuk bangunan tinggi seperti menara komunikasi adalah adanya kemungkinan kejadian sambaran samping, yang berarti harus dapat diantisipasi bahwa petir dapat menyambar mengenai antena-antena dari samping. Antena yang tersambar petir akan dialiri arus petir dan arus petir yang mengalir dapat diperkirakan besarnya berdasar sudut lindung finial terpasang, yang dengan demikian akan dapat diperkirakan pula resiko yang timbul.
Finial mendatar biasa digunakan pada bangunan atap datar dengan menggunakan penghantar yang dipasang mendatar, dengan menggunakan atap bangunan atau atap tanki suatu kilang minyak. Konsepsi yang diterapkan adalah konsepsi sangkar Faraday.
Pada dasarnya penangkap petir terdiri dari tiga bagian (needle, 1991) yaitu: (1) terminal atas atau penangkap petir, (2) kawat tembaga (copper tape) dengan alternative baja tergavanisir sebagai konduktor, (3) elektroda pembumian yang terdiri dari batang-batang logam yang dimasukan ketanah atau bilah-bilah yang lebih pendek yang dihubungkan secara paralel. Adapun bentuk penangkap petir dapat dilihat pada gambar berikut:










Gambar 6. bentuk penangkap petir











Gambar 7. Detail Penangkal Petir
Pada masa sekarang ini umumnya bentuk penangkal petir yang digunakan pada sebuah bangunan ada 3 jenis, yaitu :
a.  Penangkal Petir Franklin
Pengamanan bangunan terhadap sambaran petir dengan menggunakan sistem penangkal petir Franklin merupakan cara yang tertua namun masih sering digunakan karena hasilnya dinilai cukup memuaskan, terutama untuk bangunan-bangunan dengan bentuk tertentu seperti gereja, menara, dan bangunan lain yang beratap runcing.
Cara pemasangan penangkal petir franklin ini pada bangunan yaitu dengan menempatkan sebuah batang penangkal petir dengan ujungnya dibuat runcing ditempatkan pada bagian teratas dari bangunan yang akan dilindungi.
Prinsip kerja dari penangkal petir franklin adalah ujung batang penangkal petir ini dibuat runcing dengan tujuan agar pada keadaan dimana terjadi aktifitas penumpukan muatan awan, maka diujung itulah akan terinduksi muatan dengan rapat muatan yang relative lebih besar bila dibandingkan dengan rapatan muatan dari muatan yang terdapat pada bagian-bagian lain dari bangunan, dengan demikian dapat diharapkan bahwa kilatan akan menyambar ujung dari batang penagkal petir itu terlebih dahulu. Batang penangkal petir ini kemudian diketanahkan melalui konduktor pentanahan keelektroda pentanahan.
Tujuan dari konduktor pentanahan dan elektroda pentanahan adalah sebagai jalan “by pass” bagi muatan bumi dan juga arus kilat untuk keluar atau memasuki bumi sehingga muatan bumi atau arus kilat tidak mengambil jalan melalui bagian-bagian lain bangunan yang bersangkutan.
b.  Penangkal Petir Sangkar Faraday
Sistem ini merupakan pengembangan dari sistem franklin, dimana perbedaannya terletak pada segi penggunaan kepala penangkal petir, pada sistem penangkal petir franklin digunakan batang-batang penangkal petir vertikal sedangkan pada penangkal petir sangkar faraday digunakan penangkal petir horizontal yang dipasang pada bagian teratas dari bangunan seolah-olah membentuk sangkar pelindung yang melindungi bangunan tersebut dan konduktor-konduktor horizontal ini kemudian diketanahkan melalui beberapa konduktor pentanahan.
c.  Penangkal Petir Radio Aktif Isotop Sebagai Preventor
Dibumi banyak terdapat tempat yang mengandung zat radio aktif, dimana dari hasil pengamatan ternyata bahwa pada tanah-tanaha yang mengandung magnet maupun zat radio aktif di daerah yang terbuka, paling sering terkena sambaran petir. Disamping itu pada tempat-tempat dimana diudara disekitarnya banyak terdapat ion-ion bebas biasanya juga sering terkena sambaran petir yang disebabkan karena adanya simpanan zat radio aktif yang dibawa oleh air waktu terjadi proses pengeringan pada permukaan lapisan tanah, maka oleh sebab itu digunakanlah preventor sebagai batang penangkal petir dengan menggunakan zat radio aktif isotop pada ujungnya.
C.  Pentanahan
  1. Teori Pentanahan
Pentanahan suatu sistim adalah pembuatan hubungan ke tanah secara listrik dari sistem tersebut, jadi agar petir dapat mengalir ke tanah tanpa menimbulkan tegangan lebih yang berbahaya, bentuk dan ukuran dari sistem pentanahan merupakan hal yang penting. Bagaimanapun juga tahanan pentanahan diusahakan agar tahanan pentanahannya lebih kecil dari satu ohm (Pabla, 1991). karena sambaran langsung maupun tidak langsung dari petir  tidak hanya  dapat  merusak  peralatan  dan membunuh  makhluk hidup, tetapi juga dapat merusak komponen elektronika pada instalasi penting yang menyebabkan terhentinya suatu kegiatan besar dengan kerugian besar.
Agar pentanahan bekerja efektif ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi (Pabla, 1994), yaitu:
a.       Membuat jalur impedansi rendah ke tanah untuk pengaman personil dan peralatan.
b.      Dapat melawan dan menyebarkan arus gangguan secara berulang
c.       Menggunakan bahan tahan korosi terhadap berbagai kondisi kimiawi ta-nah, meyakinkan kontinuitas penampilan sepanjang umur peralatan yang dilindungi.
d.      Menggunakan sistem mekanik yang kuat namun mudah dalam pelayanan. 
Rangkaian pentanahan terdiri dari saluran pentanahan dan elektroda pentanahan. Jadi sistim pentanahan adalah suatu sistim dengan elektroda-elektroda pembumian yang berhubungan dengan penghantar pembumian. Rangkaian ini berfungsi untuk menyebarkan arus gangguan kedalam tanah, dalam hal ini arus petir.
 Pentanahan selalu berhubungan dengan nilai tahan tanah, dimana faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya tahanan tanah adalah sebagai berikut :
a.  Tahanan jenis tanah
b.  Panjang elektoda pentanahan, yakni berapa panjang elektroda ditanam dalam tanah
c.  Luas penampang elektroda pentanahan
Mengingat masalah pentanahan sangat luas maka dalam uraian ini hanya akan dibahas pentanahan yang dipakai dalam sistem pengamanan bangunan terhadap sambaran petir.
2.   Konduktor Pentanahan (Down Conductor)
Kabel pentanahan adalah penghantar penyalur keelektroda pentanahan. Penghantar pentanahan harus memiliki ukuran minimum sebesar 16 mm2 dengan proteksi terhadap karat dan 25 mm2 jika terbuat dari tembaga (50 mm2 jika dibuat dari baja) bilamana proteksi sedemikian tidak diturunkan (Neidle, 1991: 230), yang berfungsi sebagai tempat kontak antara sistem penangkal petir dengan bumi.
Fungsi dari konduktor/kabel pentanahan adalah sebagai jalan atau saluran arus petir untuk mengalir ke bumi. Konduktor yang digunakan untuk penghantar turun harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain (Dept PU, 1987: 24):
a.       Ketahanan mekanis
b.      Ketahanan terhadap panas
c.       Ketahanan terhadap pengaruh kimia terutama korosi
d.      Ketahanan terhadap pengaruh lingkungan lain
Menurut Andreas (2000: 59) luas penampang penghantar turun (A) dari suatu instalasi penangkap petir tergantung pada besarnya arus petir maksimum yang berkisar antara 5 kA – 220 kA (Dept PU, 1987). Untuk itu persamaan yang digunakan adalah :
A = Io mm2……………………………………..(4)
            Dimana :          A = penampang konduktor (mm2)
                                    Io = arus petir maksimum (A)
                                    S  = Lama gangguan (detik)
                                    T = Temperatur konduktor yang diizinkan (0C)
3.  Elektroda Pentanahan (Earth Electroda)
Elektroda pentanahan (elektroda bumi) sangat perlu diketahui dalam sistem pentanahan. Menurut PUIL 1987 pasal 320.A.1, elektroda bumi adalah penghantar yang ditanam dalam bumi dan membuat kontak langsung dengan bumi. Elektroda-elektroda pentanahan tersebut di bagi atas:
a.       Elektroda pita
Elektroda pita menurut PUIL 2000 pasal 3.18.1.1 ialah elektroda yang dibuat dari hantaran berbentuk pita atau berpenampang bulat, atau hantaran pilin yang pada umumnya ditanam secar dangkal. Jenis elektroda ini dapat berbentuk radial, lingkaran atau kombinasi.
b.      Elektroda batang
Elektroda batang menurut PUIL 2000 pasal 3.18.2.2 ialah elektroda yang dibuat dari pipa atau besi baja profil yang dipancangkan tegak lurus ke dalam tanah. Panjang elektroda pentanahan yang harus digunakan disesuaikan dengan tahanan pentanahan yang diperlukan.

c.       Elektroda pelat
Elektroda pelat menurut PUIL 2000 pasal 3.18.2.3 ialah elektroda yang dibuat dari pelat logam utuh, pelat logam berlubang. Pelat ini ditanam tegak lurus di dalam tanah, dengan luas pelat yang harus digunakan tergantung pada tahanan pentanahan yang diperlukan.

TABEL III.
UKURAN MINIMUM ELEKTRODA PENTANAHAN

No
                Bahan
Jenis
Elektroda
Baja digalvanisasi dengan proses pemanasan
Baja berlapis tembaga
Tembaga


(1)
(2)
(3)
(4)
1
Elektroda pita
-Pita baja 
100 mm2 setebal
minimum 3 mm
50 mm2
Pita tembaga
100 mm2
setebal mini-mum 2 mm


-penghantar pilin
 95 mm2 (bukan  
 kawat halus)

Penghantar pilin 35 mm2 (bukan kawat halus)
2
Elektroda batang
-Pipa baja  25
  mm
-Baja profil
 (mm)
L 65 x 65x7
 U 6,5
 T6x 50 x 3
-Batang profil
lain yang setaraf
Baja berdiame- ter 15 mm di-lapisi tembaga setebal 2,5 mm










(1)
(2)
(3)
(4)

3
Elektroda pelat
Pelat besi tebal 3 mm luas 0,5 m2 sampai 1m2

Pelat tembaga tebal 2 mm luas 0,5 m2 sampai 1m2
Sumber PUIL 2000: tabel 3.18-3
Sebenarnya kedalaman batang-batang elektroda dapat ditentukan oleh jenis tanah (Neidle, 1991: 229), di mana nilai tahanan jenis tanah dapat beru-bah karena temperatur dan musim. Untuk mengetahui besarnya tahanan jenis dari beberapa senyawa tanah dapat dilihat tabel di bawah ini.

TABEL IV.
 TAHANAN JENIS TANAH

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
Jenis tanah
Tanah rawa
Tanah liat dan tanah ladang
Pasir basah
Kerikil basah
Pasir dan kerikil kering
Tanah berbatu
Resis-tans jenis (ohm-m)

30


100

200

500

1000

3000
Sumber PUIL 2000: tabel 3.18-1
4.  Sistim Penanaman Elektroda Pentanahan
a. Satu batang elektroda ditanam tegak lurus di permukaan tanah
Ini merupakan cara yang paling sederhana tapi masih sering dipakai dalam pentanahan sistim pengaman terhadap petir. Tahanan pentanahan dari satu batang elektroda yang dipasang di permukaan tanah  dapat dihitung dengan persamaan (A.S Pabla, 1994: 159):
RE  =  ohm…………………………………………..(5)
   Dimana:
RE = Tahanan pentanahan (Ohm)
 = Tahanan spesifik tanah (Ωm)
L = Panjang batang elektroda (m)
a = Jari-jari batang elektroda (m)

b. Dua Batang Elektoda Ditanam Tegak Lurus di Permukaan Tanah
Tahanan pentanhan elektroda batang dapat diperkecil dengan memparalelkan dua batang elektroda dimana untuk susunan dua batang elektroda yang ditanam tegak lurus dipermukaan tanah, harga tahanan pentanahannya dihitung berdasarkan harga tahanan rata-rata pada salah satu konduktor yang disebabkan oleh muatan pada batang elektroda itu sendiri. Dalam memparalel batang elektroda, biasanya jarak antara elektroda paling sedikit sama dengan dalamnya penanaman. Ini dilakukan agar dapat dirasakan pengaruh pentanahan pada bagian bawah dari elektroda tersebut. Persamaan yang dipakai dalam perhitungan adalah (A.S Pabla. 1994: 163):
R =  ohm………………………….……………….…(6)
X = d  ………………………………...(7)
Dimana:
RE = Tahanan pentanahan (Ohm)
d   = Jarak Antar Elektroda (m)
L = Panjang batang elektroda (m)
a = Jari-jari batang elektroda (m)
Sistim pentanahan harus dirancang sedemikian rupa sehingga tahanan pentanahan yang didapatkan serendah mungkin. Karena semakin kecil tahanan pentanahan maka akan semakin baik.
5.   Prinsip-Prinsip Yang Dipakai Untuk Tahanan Pentanahan
Salah satu faktor kunci dalam setiap usaha pengamanan (perlindungan) rangkaian listrik adalah pentanahan (Pabla, 1994), Pada prinsipnya tahanan pentanahan adalah semakin kecil semakin baik, sehingga arus gangguan yang terjadi semuanya dialirkan dan disebarkan ke tanah.
Untuk menurunkan harga tahanan pentanahan agar rangkaian pentanahan bekerja efektif digunakanlah sistim-sistim elektroda batang paralel, dan perlakuan terhadap kondisi kimiawi tanah. Karena Peraturan Umum Instalasi Listrik (PUIL) 2000 sebagai salah satu peraturan yang mengatur masalah kelistrikan di Indonesia menyatakan bahwa tahanan pentanahan/pembumian total tersebut sebaiknya tidak lebih dari 5 Ohm.
6.   Pengukuran Tahanan Pentanahan
Untuk mengukur nilai tahanan tanah digunakan suatu alat khusus “earth tester” berikut instruksi pemakaiannya.
a.   Benamkan elektroda batang yang akan diukur.
b.  Pasangkan elektroda Bantu masing-masing berjarak 10 meter dan 20 meter terhadap elektroda yang akan diukur.
c. Hubungkan ketiga elektroda dengan kabel masing-masing terhadap alat ukur.
d.  Periksa kondisi baterai alat ukur dengan memindahkan chanel swich ke terminal baterai dan tekan tombol sehingga jarum menunjukan kolom posisi baterai, itu artinya alat ukur siap untuk di pergunakan.
e.  Pindahkan channel swich ke posisi cek dan tekan tombol sehingga jarum akan menunjukan posisi C pada pembacaan alat ukur, artinya semua elektroda pengukuran dalam posisi yang benar.
f.  Pindahkan swich pada posisi R Pengukuran siap dilakukan dengan memilih posisi nilai batas ukur yang dikehendaki.
Gambar 8.  pengukuran dengan earth tester
D.  Jenis Bangunan Berdasarkan Fungsinya
1.  Bentuk Atap Bangunan
Bentuk atap bangunan didasarkan pada panjang dan lebarnya serta keinginan dan kebutuhan manusia (Dept PU, 1987) yakni:
a.       Tipe atap datar
Atap datar adalah bangunan-bangunan yang mempunyai selisih tinggi antara bubungan dengan lisplang lebih kecil dari 1 m (Dept PU, 1987: 30)


                                      Tampak depan                       Tampak samping
                                                                        
                                 Tampak atas                               Tipe atap datar
Gambar 9. Bentuk Atap datar
b.      Tipe atap runcing
Atap runcing ialah suatu atap dengan beda tinggi antara bubungan dan lisplang lebih besar dari 1 m (Dept PU, 1987: 31).
c.       Tipe atap jurai
                    Tampak depan                                       Tampak samping
                       Tampak atas                                        Tipe atap jurai
Gambar 10. Bentuk Atap Jurai (Dept PU, 1987: 37).

d.      Tipe atap pelana
Tampak atas                                                     Tipe atap pelana
Gambar 11. Bentuk Atap Pelana (Dept PU, 1987: 38)
e.       Tipe atap jurai talang
  Tampak depan                           Tampak samping

                       Tampak atas                                      Tipe atap jurai talang

Gambar 12. Bentuk Atap Jurai Talang (Dept PU, 1987: 38).

f.       Tipe atap kerucut
                           Tampak depan                 Tampak samping
                       Tampak atas                                        Tipe atap kerucut
Gambar 13. Bentuk Atap Kerucut (Dept PU, 1987: 39).
g.      Tipe atap joglo
                               Tampak depan                                            Tampak samping
                              Tampak atas                                                   
Gambar 14. Bentuk Atap Joglo (Dept PU, 1987: 39).
Tipe atau bentuk atap tersebut akan menentukan penempatan penangkal petir, sekaligus dapat pula mempengaruhi biaya yang diperlukan karena ber-hubungan dengan panjang instalasi pentanahan petir yang akan dipasang.
2.   Bangunan Berdasarkan Fungsinya
Bangunan yang berfungsi adalah bangunan yang dibuat dengan tujuan yang jelas; untuk apa, untuk siapa, dan apa jenis kegiatannya, sebab fungsi bangunan adalah cara bangunan melayani penggunanya dalam suatu kegiatan yang mengandung proses.
Berdasarkan fungsinya  bangunan terdiri atas 4 bagian:
a.       Wisma, yaitu: bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal, seperti rumah, rumah susun, flat, apartemen, dan lain sebagainya.
b.      Karya, maksudnya adalah: bangunan berfungsi sebagai tempat bekerja, seperti kantor, sekolah dan industri.
c.       Suka, yaitu: bangunan difungsikan sebagai tempat berekreasi, seperti kebun binatang, tempat bermain, bioskop.
d.      Ibadah, yaitu: bangunan berfungsi sebagai tempat untuk beribadah, seperti mesjid, gereja, dan kuil.
Berdasarkan fungsi-fungsi bangunan tersebut dapat diperkirakan apakah bangunan tersebut patut memiliki instalasi penangkal petir atau tidak. Jika ya, maka perlu direncanakan sehingga bangunan dan penghuninya selamat dari ancaman bahaya petir.
E.  Kemungkinan Suatu Bangunan Tersambar Petir
Dimensi bangunan sangat berpengaruh pada besar kecilnya kemungkinan bangunan tersebut tersambar petir, karena luas daerah yang menarik sambaran petir (atractive area) tergantung dari dimensi bangunan yang bersangkutan dan dapat digambarkan sebagai berikut:























 
                              d=10h        d=8h      d=6h      d=4h                                    d=2h
                                                                 

                   i = 135 kA    i = 90 kA  i = 60 kA   i = 40 kA                           i = 20 kA
                      0,5%            2%              10%           22%                                   50%
   
                    h = Tinggi bangunan


 
                                                     D                                              Potongan bangunan
                                                                                           daerah yang  menarik sambaran petir                                        
Gambar 15. daerah yang menarik sambaran petir (Antonov, 1994: 87)
Di samping itu, besarnya arus petir pada suatu daerah juga sangat mempengaruhi luas daerah di sekitar bangunan tersebut yang menarik sambaran petir. Semakin besar arus petir semakin besar pula luas daerah yang menarik sambaran petir tersebut, karena jarak terkaman petir semakin besar dan luas. Hal ini merupakan salah satu faktor dalam proses perancangan dan perencanaan sistim pentanahan petir suatu bangunan bertingkat.
Luas daerah bangunan yang menarik sambaran petir menurut standar NFPA-781 1994  seperti yang dikutip Hendri (2000: III-7) menggunakan persamaan:
Ca = (L x W) + (4L x H) + (4W x H) + 4 (pH2) m2…………….(8)
Dimana:  L   = panjang bangunan (m)
                           W  = lebar bangunan (m)
 H   = tinggi bangunan (m)
 Ca = luas daerah yang menarik sambaran petir (m2)
Dari persamaan di atas dapat dihitung perkiraan kemungkinan bangunan tersambar petir yang diperoleh dari hubungan:
Ps = Ca x NE x IKL x 10-6 x C1………………….…………….(9)
Dimana:
   Ps   = kemungkinan bangunan tersambar petir
 NE   = jumlah sambaran petir per hari per km2
 IKL = banyaknya hari guruh per tahun
  C1   = faktor pengali untuk berbagai macam kondisi daerah.  
Berdasarkan luas daerah yang menarik sambaran petir dan perkiraan kemungkinan bangunan tersambar petir, maka tingkat kebutuhan pengamanan terhadap sambaran petir pada bangunanpun dapat dihitung melalui rumus:
Pr = Ps x C2 x C3 x C4 x C5………...…………………………….(10)
Dimana:
Pr     =               tingkat kebutuhan pengamanan terhadap sambaran petir pada bangunan atau tingkat bahaya
C2    =   faktor pengali untuk berbagai macam konstruksi  bangunan.
C3 = faktor pengali untuk berbagai macam isi dan kandungan bangunan
C4 = faktor pengali untuk berbagai macam kondisi penghunian bangunan.
C5 =     faktor pengali untuk berbagai macam manfaat dan pengaruh bangunan terhadap lingkungan

TABEL V.
TINGKAT KEBUTUHAN PENGAMANAN

Nilai Probable Of Strike (Ps)
Tingkat Proteksi
(1)
(2)
Pr                 <   5 x 10-4 
Proteksi optional (dapat memilih)
5 x 10-4        £   5 x 10-3   
Proteksi tingkat I
5 x 10-3        £   5 x 10-2   
Proteksi tingkat II
Pr                 >   5 x 10-2  
Proteksi tingkat III

(Menurut standar NFPA- 781 1994)


Pembakuan persyaratan  sistem terminasi udara yang cukup memadai dikeluarkan oleh IEC (TC 81 :Lightning Protection) disajikan dalam table berikut. Masing-masing tingkat proteksi memiliki jarak inisiasi (D) sebagai berikut :

TABEL VI.
 JARAK INISIASI (POSISI TERMINASI UDARA)

Tingkat Proteksi
Jarak Inisiasi (D)
(1)
(2)
Optional
D =  60 m
Proteksi tingkat I           
D =  45 m
Proteksi tingkat II          
D =  30 m
Proteksi tingkat III
D =  20 m
(Menurut Standar IEC 2041-7. 1990)

Jarak inisiasi merupakan jarak awalan dari sambaran petir atau jarak dari titik sambaran suatu penangkap petir ke pergerakan downward pada stepped leader. Besarnya kemungkinan suatu bangunan tersambar petir dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam merencanakan sistim pengaman bangunan terhadap petir.
  1. Faktor Yang Mempengaruhi Kebutuhan Pengamanan Terhadap  Sambaran Petir
Untuk menentukan secara tepat dan akurat besarnya kebutuhan pengamanan terhadap sambaran petir merupakan hal yang sulit sekali. Pada umumnya, faktor utama yang menentukan kebutuhan pengamanan terhadap sambaran petir pada bangunan tergantung pada penggunaan, konstruksi bangunan, tinggi bangunan, banyak hari guruh pertahun di daerah tersebut (IKL), serta situasi dan letak bangunan. Disamping itu masih ada factor lain yang mempengaruhi, seperti besarnya arus petir, frekuensi petir, dan letak geografis bangunan. Semua factor inilah yang dapat digunakan sebagai pedoman perencanaan instalasi penangkal petir.
Secara praktis faktor-faktor di atas dapat digunakan untuk menentukan kebutuhan pengamanan bangunan terhadap sambaran petir. Menurut standart NFPA-781 1994, untuk menentukan tingkat kebutuhan pengamanan terhadap sambaran petir pada bangunan dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
R = A + B + C + D + E ………………………………………….(11)
Dimana :
TABEL VII.
 FAKTOR-FAKTOR PENGAMANAN  BANGUNAN

A = Macam penggunaan bangunan
Penggunaan dan isi
Indeks A
(1)
(2)
Bangunan biasa yang tak perlu diamankan baik bangunan maupun isinya.
-10
Bangunan dan isi jarang dipergunakan, seperti dangau di tengah sawah, gudang, menara atau tiang dari logam.

0
Bangunan yang berisi peralatan sehari-hari atau tempat tinggal orang, seperti tempat tinggal rumah tangga, toko, pabrik kecil, tenda atau stasiun kereta api.

1
Bangunan atau isinya cukup penting, seperti menara air, tenda yang dihuni cukup banyak orang, toko barang-barang berharga, kantor, pabrik, gedung pemerintah, tiang atau menara bukan dari logam.


2
Bangunan yang berisi banyak sekali orang, seperti bioskop, mesjid, gereja, sekolah, monumen bersejarah yang sangat penting.

3
Instalasi gas, minyak atau bensin, rumah sakit.
5
Bangunan yang mudah meledak.
15

B = Konstruksi bangunan
Konstruksi bangunan
Indeks B
(1)
(2)
Seluruh bangunan terbuat dari logam (mudah menyalurkan listrik).
0
Bangunan dengan konstruksi beton bertulang, atau rangka besi dengan atap logam.

1
Bangunan dengan konstruksi beton bertulang, atau rangka besi dan atap bukan logam.

2
Bangunan kayu dengan atap bukan logam
3

  C = Tinggi bangunan
Tinggi bangunan
(m)
Indeks C
(1)
(2)
(3)
Sampai dengan
6
0

12
2

17
3

25
4

35
5
             
50
6

D = Situasi bangunan
Situasi bangunan
Indeks D
(1)
(2)
Di tanah datar pada semua kegiatan.
0
Di kaki bukit samapi 3/4 tinggi bukit/di pegunungan sampai 1.000 m.
1
Di puncak gunung atau pegunungan lebih dari 1.000 m
2

E = Pengaruh kilat
Hari guruh per tahun (IKL)
Indeks E
(1)
(2)
2
0
4
1
8
2
16
3
32
4
64
5
128
6
256
7
384
8

R = Perkiraan bahaya
R = A + B + C + D + E
Perkiraan bahaya
Pengamanan
(1)
(2)
(3)
Di bawah                   11
Diabaikan
Tidak perlu
Sama dengan             11
Kecil
Tidak perlu
                                  12
Sedang
Agak dianjurkan
                                  13
Agak besar
Dianjurkan
                                  14
Besar
Sangat dianjurkan
Lebih dari                  14
Sangat besar
Sangat perlu
            (Menurut Standar NFPA-781 1994)














BAB III
METODE PERENCANAAN

Penulisan proyek akhir ini bertujuan untuk merencanakan suatu sistim instalasi penangkal petir yang cocok dipasang di Gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang sehingga gedung tersebut benar-benar dapat terlindungi dari bahaya sambaran petir.
Langkah-langkah yang digunakan dalam perencanaan diuraikan sebagai berikut:

A.    Prosedur

Prosedur yang dilalui untuk mendapatkan data yang diperlukan adalah:
1.      Meminta surat izin melakukan pengambilan data mulai dari tingkat Jurusan, Fakultas, sampai kelapangan yaitu Badan Meteorologi dan Geofisika Tabing dan CV Arsindah Konsultan.
2.       Melakukan observasi lapangan.

B.     Objek Perencanaan

Objek dalam penelitian ini adalah Gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang terdiri dari 4 lantai, dengan ketinggian 22,1 meter dengan atap kerucut.

C.  Jenis Data

Jenis data yang diambil dalam penelitian ini adalah data hasil observasi langsung pada objek penelitian, sedangkan data dokumentasi  diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika Tabing dan dari CV Arsindah Konsultan sebagai pemborong dari bangunan tersebut.
 Adapun data-data tersebut adalah :
1.      Gambar perencanaan gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi UNP
2.      Data tinggi, lebar, dan panjang gedung Laboratorium Terpadu Fakultas
Ekonomi UNP
3.      Data hari guruh pertahun di kota Padang yang diambil dari Badan Meteorologi dan Geofisika Tabing

D.  Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang diambil dalam penelitian ini adalah metode observasi dan studi kepustakaan

E.  Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh akan diolah dan dianalisis. Langkah-langkah perencanaan instalasi penangkal petir  yang dilakukan adalah:
1.      Menentukan kepadatan sambaran petir
Ft = 0,25 .T          sambaran/km2/tahun
                                                                         (Zorro dan Sirait, 1987: I-1)
2.      Menentukan jarak pukul petir
d = 6,7 . I0,8        meter
                                                                   (Zorro dan Sirait, 1987: III-3)

3.      Menentukan tingkat perkiraan bahaya gedung Laboratorium Terpadu Fakultas
Ekonomi Universitas Negeri Padang .
R = A + B + C + D + E
                                                                              (Dept. PU 1983 :17-19)
4.      Menentukan luas daerah yang menarik sambaran petir (Ca)
Ca = (L x W) + (4L x H) + (4W x H) + 4 (p H2)
                                                                         (Standar NFPA-781 1994)
5.      Menentukan jumlah sambaran petir per hari per km2
NE  =  (0,1  +  0,35  sin l) (0,4  ±  0,2)
                                                                                                         (Golde R.H. 1973 : 105)
6.      Menentukan perkiraan kemungkinan gedung tersambar petir (Ps)
Ps = Ca x NE x IKL x 10-6 x C1
                                                                         (Standar NFPA-781 1994)
7.      Menentukan tingkat kebutuhan pengamanan terhadap sambaran petir
Pr = Ps x C2 x C3 x C4 x C5
                                                                         (StandarNFPA-781 1994)
8.      Menentukan radius perlindungan terhadap sambaran petir
Rp = h
                                                                                   (Golde R.H. 1973)
9.       Menentukan luas daerah perlindungan terhadap sambaran petir
Ap = Rp2
                                                                                  (Golde R.H. 1973)
10.  Menentukan luas penampang penghantar turun
A=Iomm2
                                                                                     (Dept. PU 1983)
11.   Menentukan besarnya tahanan tanah dari batang elektroda
R =  ohm
X = d
                                                               (Pabla dan Ir Hadi,1994:159)













BAB IV
PERENCANAAN INSTALASI PENANGKAL PETIR DI GEDUNG LABORATORIUM TERPADU FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI PADANG



A.  Deskripsi Lokasi
Dalam perencanaan ini akan dilakukan analisa mengenai perencanaan instalasi penangkal petir dengan menggunakan penggabungan sistem penangkal petir franklin  pada gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang. Adapun kondisi, situasi dan lokasi dari gedung pemasaran ini adalah sebagai berikut:
1.      Gedung terletak pada posisi 000053’ LS dan 100022’ BT
2.      Konstruksi gedung terdiri dari beton bertulang dengan ukuran :
Tinggi gedung             = 22,1 meter
Panjang gedung          = 109,5 meter
Lebar gedung              = 19 meter
3.      Gedung berdiri di daerah dataran rendah dengan ketinggian  2,6-2,8 meter dari permukaan laut
4.      Curah hujan per tahun di daerah gedung yang sedang dibangun cukup tinggi dengan rata-rata 315 hari per tahun
5.      Hari guruh per tahun (IKL) untuk daerah Padang : 105
6.      Keadaan tanah pada gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang adalah tanah pada lapisan atas yaitu tanah pasir dan berdebu karena adanya penimbunan pada lokasi, sedangkan lapisan bawah adalah tanah rawa.
B. Perencanaan Instalasi Penangkal Petir
1.      Penentuan Tingkat Proteksi
Untuk merencanakan instalasi penangkal petir, maka terlebih dahulu ditentukan tingkat proteksi pada bangunan tersebut dengan cara mengikuti aturan yang berlaku, antara lain:
a.       Menentukan kepadatan sambaran petir (Ft).
Kepadatan sambaran petir (Ft) dengan IKL (T) untuk kota Padang dari bulan Januari 2007 sampai bulan Desember 2007 yakni105 adalah (Persamaan 1):
Ft = 0,25 .T sambaran/km2/tahun
Ft = 0,25 x 105
    = 26,25 sambaran/km2/tahun
                      = 26 sambaran/km2/tahun
b.      Menentukan tingkat perkiraan bahaya pada gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang
Untuk mengetahui diperlukan atau tidaknya gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang menggunakan instalasi penangkal petir dapat ditentukan berdasarkan nilai perkiraan bahaya (R) = A + B + C + D + E dengan indek-indek sebagai berikut (Persamaan 11) :

1)      Indek A, penggunaan dan isi
      Gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang merupakan gedung perkuliahan.
      Nilai = 3
2)      Indek B, konstruksi bangunan
      Gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang termasuk bangunan dengan konstruksi beton bertulang
      Nilai = 2
3)      Indek C, tinggi bangunan
      Gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang mempunyai ketinggian 22,1 meter
      Nilai = 3
4)      Indek D, situasi bangunan
Gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang berdiri di daerah dataran rendah dengan ketinggian  2,6-2,8 meter dari permukaan laut
      Nilai = 1
5)      Indek E, pengaruh kilat
      Hari guruh per tahun di daerah Padang  adalah 105
      Nilai = 5                     
                  Jadi jumlah            R = A + B + C + D + E
                              R = 3 + 2 + 3 + 1 + 5
                                  =14
Karena nilai R = 14 maka indeks perkiraan bahaya pada gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang terhadap sambaran petir adalah besar. Dengan sendirinya pengamanan gedung terhadap sambaran petir sangat dianjurkan.
c.       Menentukan luas daerah bangunan yang menarik sambaran petir (Ca)
Perhitungan luas daerah bangunan yang menarik sambaran petir dilakukan dengan menggunakan  (Persamaan 8) berikut:
Ca = (L x W) + (4L x H) + (4W x H) + 4 (p H2)
Berdasarkan rumus tersebut dan data yang diperoleh mengenai gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang dengan tinggi gedung (H) 22,1 meter, panjang gedung (L) 109,5 meter, dan lebar gedung (W) 19 meter maka luas daerah yang menarik sambaran petir adalah:
Ca = (109,5 m x 19 m) + {(4 x 109,5 m) x 22,1 m}  + {(4 x 19 m) x  22,1 m} + 4 {(3,14 x (22,1)2} m2
Ca = (2080,5 + 9679,8 + 1679,6 + 6134,4) m2
Ca = 19574,3 m2
d.      Menentukan perkiraan kemungkinan gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang tersambar petir
Dari luas daerah yang menarik sambaran petir tersebut (Ca), maka kemungkinan daerah gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang tersambar petir dapat diketahui dengan menggunakan (Persamaan 9) berikut:
Ps = Ca x NE x IKL x 10-6 x C1
karena terkait dengan jumlah sambaran petir per hari per km2 (NE) dengan l untuk kota Padang adalah 0,0000530, maka: (Persamaan 3)
NE  =  (0,1  +  0,35  sin l) (0,4  ±  0,2)
 = (0,1  +  0,35  sin 0,00053) (0,4  ±  0,2)
 = (0,1  +  0,35 x 9,25 x 10-6) (0,4  ±  0,2)
 = (0,1) (0,4  ±  0,2)
 = 0,04 ± 0,02 sambaran petir/hari/ km2
untuk ini diambil nilai maksimum yaitu
      = 0,04 + 0,02 sambaran petir/hari/ km2.
    = 0,06 sambaran petir/hari/ km2.
Sehingga:
Ps   = 19574,3 m2 x 0,06 x 105 x 10-6 x 2,0 (dari tabel C1).
= 0,246 sambaran petir/km2/tahun
e.       Menentukan tingkat kebutuhan pengamanan gedung terhadap sambaran petir
Berdasarkan perhitungan di atas maka tingkat kebutuhan pengamanan dari daerah gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang adalah berdasarkan (Persamaan 10):
Pr   = Ps x C2 x C3 x C4 x C5
Pr   = 0,246 x 1,4 x 2 x 1,5 x 1,5
      = 1,549
sehingga tingkat proteksi dari daerah gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang termasuk proteksi tingkat III dengan nilai jarak inisiasinya (D) = 20 m
2.      Pemilihan Penangkal Petir
Dalam perencanaan instalasi penangkal petir pada gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang penulis memilih penangkal petir sistem franklin.
Proses pemilihan penangkal petir sistem Franklin adalah:
1.      Bangunan Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang memiliki atap kerucut, sehingga akan efektif dipasangi penangkal petir sistem franklin dengan perhitungan luas proteksi yang tepat.
2.      Tiap- tiap finial penangkal petir franklin dihubungkan dengan menggunakan kawat BC 50 mm2.
Radius perlindungan (Rp) pada sistem franklin dapat dihitung dengan menggunakan rumus
               Rp = h
              Δp = Rp2
                          Berdasarkan perencanaan tinggi finial sistem franklin adalah 40 cm.            Maka:
                           Rp = 0,4
      = 2,4 meter
               Δp = Rp2
Δp = 3,14 (2,4)2
Δp = 18,08 m2

3.       Penentuan Penghantar Penangkal Petir
Luas penghantar turun dari suatu instalasi penangkal petir dengan arus gangguan berlangsung selama 0,001 detik dan temperatur konduktor yang diizinkan 10000 C adalah (Persamaan 4):
A =Io
    = 220 x 103
    = 9,406 mm2
Karena hasil perhitungan didapatkan lebih kecil, maka Andrias (2000: 59) lebih lanjut mernyatakan bahwa jika luas penampang kabel atau kawat yang diperoleh dari perhitungan tidak ada maka dapat digunakan kawat atau kabel dengan luas penampang yang mendekati hasil perhitungan dan tidak diizinkan lebih kecil dari hasil perhitungan. Menurut diameter dari penangkal petir yang digunakan maka luas penampang penghantar turun yang cocok untuk  penangkal petir ini adalah kawat BC 50 mm2.

4.   Sistim Pentanahan
Untuk sistim pentanahan terlebih dahulu dilakukan beberapa pengukuran tahanan tanah di daerah gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang yang menggunakan Eart Tester dengan spesifikasi:
Eart Tester
Merk                       : National Type BN- 303 V
Batas Ukur              :1/10/100 Ohm
Kelas Alat Ukur    : 0,1
Sehingga didapatkan hasil pengukuran sebagai berikut:
TABLE VIII.
HASIL PENGUKURAN
a. Pengukuran 1
Sistim Penanaman Elektroda
Kedalaman Ditanam (Meter)
Tahanan Pentanhan (Ohm)
Satu Batang Elektroda Ditanam di Dalam Tanah
1
6,7
2,4
3,2

b. Pengukuran 2
Sistim Penanaman Elektroda
Kedalaman Ditanam (Meter)
Tahanan Pentanhan (Ohm)
Dua Batang Elektroda Ditanam Dalam Tanah (Diparalel)
1
1,24
2,4
0,55

Berpedoman pada hasil pengukuran yang telah dilaksanakan maka disini perencanaan yang dilakukan adalah sistim penanaman dua batang elektroda tegak lurus di permukaan tanah dengan panjang elektroda 2,4 meter, jarak antar elektroda 3 meter dan jari-jari batang elektroda 31,5 10-3 meter.
Maka perhitungan harga tahanan pentanahannya dapat dilakukan dengan (Persamaan 11 dan12):
R =  ohm
X = d

    = m
    =
    = -0,083
Jadi harga tahanan pentanahannya (R) adalah:
R =  ohm
    = 
    =
    = 0,4585 ohm

C. Bahan-Bahan Dan Komponen Instalasi Penangkal Petir Yang Dipasang
Bahan-bahan dan material yang dibutuhkan dalam perencanaan instalasi  penangkal petir ini adalah:
TABEL IX.
 BAHAN-BAHAN INSTALASI PENANGKAL PETIR

Bahan-Bahan Yang Digunakan
Jumlah
Harga Perbuah
Harga Keseluruhan
(1)
(2)
(3)
(4)
Finial Franklin
54 buah
Rp 30.000
Rp 1.620.000
Kawat BC 50 mm2
250 meter
Rp 42.000
Rp 10.500.000
Pipa Galvanis
54 batang
Rp 125.000
Rp 6.750.000
Pipa Fiberglass
10 meter
Rp 150.000
Rp 1.500.000
Elektroda Batang
12 buah
Rp 275.000
Rp 3.300.000
Sepatu Kabel u/50 mm
24 buah
Rp 4000
Rp 96.000
Klem BC

Rp 1250

Besi Pejal
secukupnya
-
-
Pasir, Bata, Kerikil
secukupnya
-
-


D. Pembahasan Hasil Perencanaan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang merupakan gedung yang terletak di daerah dataran rendah dengan ketinggian dari permukaan laut  2,6-2,8 meter, dan mempunyai curah hujan  serta hari guruh yang cukup tinggi,.
Dari hasil perhitungan didapatkan nilai perkiraan bahaya 14, maka Gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang  mempunyai tingkat bahaya yang sangat  besar. Selanjutnya luas daerah yang menarik sambaran petir pada gedung Laboratorium Terpadu Fakulatas Ekonomi Universitas Negeri Padang sebesar 19574,3 m2 dengan jumlah sambaran petir 0,06 sambaran petir perhari  per km2. Kemungkinan gedung tersambar petir 0,246 sambaran petir perkm2 per tahun. Dengan didapatkan nilai tingkat kebutuhan pengaman terhadap sambaran petir sebesar 1,549 maka gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang berada pada proteksi tingkat tiga dengan jarak inisiasi 20 meter.
Gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang yang memiliki atap kerucut ini direncanakan memakai instalasi penangkal petir jenis franklin dengan diameter 2 inch dan panjang 40 cm maka didapatkan radius proteksi sebesar 2,4 meter tiap-tiap finial sehingga dibutuhkan 54 batang finial dihubungkan dengan kawat BC 50 mm2 menuju tanah. Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan luas penampang turun adalah 9,406 mm2. karena luas penampang kabel yang sesuai tidak ada maka diizinkan memakai yang mendekati hasil perhitungan. Namun tidak diizinkan memakai yang lebih kecil dari luas penampang hasil perhitungan.
Sistim pentanahan yang digunakan dalam perencanaan instalasi penangkal petir pada gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang adalah sistim penanaman dua batang elektroda dengan panjang 2,4 meter ke dalam tanah. Tanah pada daerah gedung ini adalah tanah rawa, sehingga besar tahanan jenis tanah apabila dilihat pada tabel tahanan pentanahan adalah 50 ohm. Hal ini berarti belum baik karena tahanan pentanahan masih besar dari 1 ohm. Untuk itu dilakukan usaha untuk menghasilkan tahanan pentanahan yang kecil, diantaranya dengan memparalelkan dua batang elektroda, sehingga tahanan pentanahan yang didapatkan sebesar 0,4585 ohm.
Untuk lebih jelasnya gambar perencanaan instalasi penangkal petir di gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang  ini dapat dilihat pada lampiran 25.

















BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A.    Kesimpulan
Dari hasil analisis dan perencanaan instalasi penangkal petir pada gedung yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan yaitu :
1.  Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh besarnya indeks perkiraan bahaya 14 sehingga gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang  mempunyai tingkat bahaya yang tergolong besar dan membutuhkan suatu instalasi penangkal petir
2. Kepadatan sambaran petir di kota Padang dalam satu tahun sebesar 26,25 sambaran /km2/tahun
3.  Luas daerah yang menarik sambaran petir pada gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang sebesar 19574,3 m2 dengan jumlah sambaran petir 0,06 per hari per km2. Kemungkinan gedung tersambar petir 0,246 sambaran petir per tahun.
4. Tingkat proteksi untuk daerah gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang merupakan  proteksi tingkat III dengan jarak inisiasi (D) 20 meter.
5. Jenis penangkal petir yang direncanakan pada gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang adalah jenis franklin karena gedung tersebut mempunyai atap berbentuk kerucut maka diperlukan perhitungan radius proteksi dari setiap finial penagkal petir tersebut.
 6.  Jumlah penghantar turun yang dipasang pada gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang sebanyak 54 buah, sedangkan kabel penghantar yang digunakan adalah kawat BC 50 mm2.
7.  Sistem pentanahan yang digunakan dalam perencanaan instalasi penangkal petir pada gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang adalah penanaman elektroda pentanahan secara horizontal didalam tanah yang dipasang secara paralel dengan kedalaman 2,4 meter.

B.  Saran
Berdasarkan hasil perencanaan dan kesimpulan dari penelitian ini, maka penulis mengemukakan beberapa saran yaitu:
1.      CV Arsindah Konsultan sebagai pihak yang berwenang dalam pembangunan gedung Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang disarankan untuk memasang instalasi penangkal petir mengingat ketinggian gedung dan bahaya gedung akan tersambar petir yang sangat besar.
2.      Karena Gedung laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang berada pada daerah tepi pantai yang mempunyai hari guruh dan curah hujan yang cukup tinggi, maka sebaiknya dilakukan pemeliharaan dan pemeriksaan secara berkala untuk menjaga umur dan kemampuan finial dalam mengamankan gedung dari bahaya sambaran petir yang sewaktu-waktu dapat terjadi.


Tidak ada komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Mahasiswa Teknik Industri Universitas Andalas 2009 Alumni Ponpes Asy-Syarif Angkatan 09,, Alumni Ponpes Madinatul Munawwarah angkatan 06.