Join emridho's empire

Senin, 16 Januari 2012

Sektor Bisnis (Corporate) Sebagai Subyek Hukum dalam Kaitan dengan HAM

Sektor Bisnis (Corporate) Sebagai Subyek Hukum dalam Kaitan dengan HAM
Peran sektor usaha dalam pemenuhan, pemajuan, dan perlindungan HAM di Indonesia tidak lepas dari Global Compact yang digulirkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (tahun 1999) dan dokumen PBB tentang tanggung jawab perusahaan (transnational) terhadap HAM (disahkan dalam tahun 2003). Bersama-sama dengan sepuluh asas Global Compact (GC), maka konsep Corporate Social Responsibilities (CSR) sekarang merupakan bagian pedoman melaksanakan Good Corporate Governance (GCG). Sekarang, masalah etika bisnis dan akuntabilitas bisnis makin mendapat perhatian masyarakat di beberapa negara maju, yang biasanya sangat liberal dalam menghadapi perusahaan-perusahaannya, mulai terdengar suara bahwa karena “self-regulation” terlihat gagal, maka diperlukan peraturan (undang-undang) baru yang akan memberikan “higher standards for corporate pratice” dan “tougher penalties for executive misconduct”(1). Global Compact terdiri dari sepuluh asas: dua di bidang HAM (no. 1-2), empat di bidang standar tenaga kerja (no. 3-6), tiga di bidang lingkungan hidup (no. 7-9), dan satu di bidang anti-korupsi (no.10; masuk tahun 2004). Asas-asas dalam GC ini dapat ditemukan pula dalam berbagai peraturan perundang-undangan kita, khususnya mengenai ketenagakerjaan, perlindungan lingkungan hidup, dan pemberantasan korupsi. Tentang HAM kita tentu merujuk kepada KomNas HAM dan Konstitusi (UUD 1945) kita yang mempunyai Bab XA tentang HAM (Pasal 28 A s/d Pasal 28J - Perubahan II tahun 2002)(2).
Dalam Kerangka Acuan (TOR) pertemuan ini antara lain dijelaskan bahwa Corporate Social ResponsibillitY (CSR) telah diterapkan oleh sejumlah perusahaan multinasional dan nasional di Indonesia. Umumnya kepatuhan dan pelaksanaan CSR ini dikaitkan dengan program Community Development (CD) dan dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).

Sebenarnya CSR tidak saja berhubungan dengan CD, justru CSR harusnya lebih terkait pada GC. Sebagaimana kita tahu GC adalah sejumlah asas yang berlaku secara sukarela pada perusahaan yang mau turut serta dalam GC tersebut. Peningkatan CSR akan memperkuat pengaruh GC pada perilaku perusahaan (corporate behaviour).

 Corporate Social Responsibility (CSR)
Wineberg dan Rudolph(3) memberi definisi CSR sebagai:
“The contribution that a company makes in society through its core business activities, its social investment and philanthropy programs, and its engagement in public policy”.

Selanjutnya dikatakan bahwa konsep CSR itu memang agak tumpang tindih, (overlap) dengan konsep (good) corporate governance (CG) dan konsep etika bisnis (EB). Dalam CG kita mengacu pada standar dasar yang bertujuan pada ketaatan (compliance) terhadap peraturan negara maupun aturan internal perusahaan. Etika bisnis lebih luas konsepnya, didasarkan pada nilai-nilai yang melampaui ketentuan atau norma aturan (peraturan). Pada dasarnya CG dan EB fokusnya adalah pada internal perusahaan dan diwujudkan sebagian besar dalam bentuk aturan (rules-based flavour)(4).

Sebaliknya, masih menurut Wineberg(5), CSR itu lebih berdasarkan nilai-nilai (values-based) dan fokusnya keluar (external) perusahaan. Karena itu CSR juga ditujukan pada jajaran stakeholder yang lebih luas. Misalnya, stakeholder internal, seperti: pegawai, pemegang saham; stakeholder ekstenal: komuniti, customer, LSM; dan stakehoder lainnya seperti: supplier, kelompok SRI (social responsible investors) dan licensing patners. Dengan demikian dalam SC, perhatian manajemen tidak saja harus ditujukan pada standar dasar ekonomi, tetapi juga pada dampak kegiatan perusahaan itu terhadap lingkungan hidup, komuniti, sekitarnya dan masyarakat pada umumnya.

Dewasa ini, menghadapi dampak globaslisasi, kemajuan informasi teknologi, dan ketebukaan pasar, perusahaan harus secara serius memperhatikan CSR. Hanya taat kepada peraturan perundang-undangan belum cukup untuk melindungi perusahaan dari berbagai risiko tuntutan hukum, kehilangan partner bisnis maupun risiko terhadap citra perusahaan (brand risk). Tekanan secara nasional dan internasional sedang dan terus akan berlanjut untuk mempengaruhi perilaku bisnis korporasi. Tekanan ini datang antara lain dari para pemegang saham (yang sadar CSR), LSM, partner-partner bisnis (terutama dari negara yang komuniti bisnisnya peka terhadap CSR) dan advokat yang memperjuangkan kepentingan publik (public interest lawyers)(6). Dikatakan pula oleh para pengamat bahwa ada “mounting public anxiety about the growth of corporate power and the potential for corporate misconduct”. Keadaan seperti inipun perlu dicermati di Indonesia, terutama dalam usaha pemerintah melakukan “economic recovery”.


Mengapa CSR perlu perhatian manajemen
Mempunyai program CSR bukanlah hanya sekedar untuk tunduk pada tekanan publik dan politik. Seperti dikatakan dalam TOR pertemuan ini, pelaksanaan CSR (khususnya yang dikaitkan pada Community Development) telah dianggap pula sebagai “faktor pendukung daya saing” perusahaan bersangkutan. Seperti terungkap dalam suatu survei di tahun 1999 terhadap ribuan responden di dunia (23 negara di 6 benua), maka antara lain:

(a) separuh responden “care about the social behaviour of companies”;
(b) duapertiga responden ingin perusahaan meninggalkan peranan perusahaan yang hanya menekankan pada: membuat keuntungan, membayar pajak, dan menggunakan tenaga kerja; mereka minta agar fokus perusahaan adalah juga bagaimana menyumbang pada tujuan-tujuan masyarakat secara lebih luas (broader societal goals); dan
(c) perhatian masyarakat sekarang lebih pada “corporate citizenship”, ketimbang hanya pada “brand reputation” dan “financial factors”.
[disarikan dari “Global Perception of the Role of Corporations”](7)

Dalam iklim reformasi dan demokrasi di Indonesia sekarang ini, keterbukaan dan akuntabilitas sangat dipentingkan dan diperhatikan oleh publik. Peranan pengawasan publik dilakukan melalui LSM (NGO), sebagai organisasi nir-laba yang pendukungnya menyuarakan berbagai “public issues”, yang punya dampak besar pada penyelenggaraan bisnis di indonesia. Perusahaan harus menyadari bahwa suara LSM ini mempunyai pengaruh besar dan sangat diperhatikan oleh konsumen perusahaan dan karena itu tidak dapat diabaikan(8). Isu bagaimana tenaga kerja mempersepsikan suatu perusahaan juga akan berpengaruh pada rekrutmen pegawai, memotivasi kerja mereka, dan mengusahakan mereka tidak pindah ke perusahaan lain. Tenaga ahli yang cakap sekarang juga sudah mulai memilih perusahaan yang dinilai baik dari segi kepemimpinannya dalam melaksanakan CSR (CSR leadership). Karena itu “faktor pendukung daya saing” juga harus dilihat dari program CSR yang dijalankan oleh perusahaan. Seperti dikutip Wineberg(9) dari suatu survei CEO di Eropa tahun 2002: “.......78% of the chief executives agreed that integrating responsible business practices makes a company more competitive”.

Global Compact telah memasukkan “anti-korupsi” sebagai asas ke-10 (dalam tahun 2003). Dalam tahun yang sama, PBB telah mengeluarkan Konvensi Global Anti-Korupsi, dan yang telah turut ditandatangani pula oleh Indonesia. Dalam pengertian “responsible business practices” di atas, tentunya termasuk pula usaha perusahaan untuk menolak melakukan transaksi yang mempunyai sifat “penyuapan” dan/atau “korupsi”(10).


HAM dan CSR
Sebagaimana didefinisikan di atas konsep CSR berkaitan pula dengan sumbangan perusahaan pada masyarakat antara lain dalam “social investment” dan “engagement in public policy”. Sumbangan ini ditujukan ke dalam (internal) dan keluar (ekternal). Ke dalam, antara lain terhadap tenaga kerja (pegawai), ke luar antara lain terhadap lingkungan hidup, komuniti sekitarnya, dan masyarakat luas.

Sebagaimana diuraikan sebelumnya, Global Compact merupakan nilai-nilai yang mempedomani CSR. Dua dari sepuluh asas dalam GC secara langsung merujuk pada penghormatan HAM sebagaimana diakui oleh dunia internasional(11). Dasar internasional tentang HAM adalah Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Indonesia menghormati UDHR dan telah memasukkan sebagian asas-asas tersebut dalam konstitusi (UUD 1945 yang telah diamandemen). Meskipun memang pada dasarnya negara yang bertanggung jawab tentang penegakan HAM ini, tetapi peranan perusahaan juga tidak kecil dalam turut serta menghormati HAM. Karena GC merupakan pedoman bagi CSR dan GC merujuk pada penghormatan HAM, maka pelaksanaan CSR oleh perusahaan berarti pula kewajiban perusahaan untuk menghormati perlindungan HAM di Indonesia. Ketidaktaatan perusahaan melindungi HAM di Indonesia, terutama yang tertuang dalam konstitusi, akan merupakan pelanggaran serius dari perusahaan bersangkutan.

Namun, dalam kenyataan tidaklah mudah untuk menentukan pelanggaran HAM. Sejumlah masalah yang pernah diajukan dalam konsultasi antara kantor UNHCHR dengan kantor Global Compact(12), adalah antara lain:

(a) mengenai “scope and legal status of initiatives and standards”, apakah dapat menjadi dasar untuk “binding obligations enforceable in national law”; diambil sebagai contoh Voluntary Guidelines on Security and Human Rights, yang baru dapat ditegakan apabila dimasukkan sebagai klausula dalam kontrak-kontrak dengan perusahaan sekuriti;
(b) mengenai legitimasi dari para penyusun “initiatives dan standards”; dalam hal inisiatif dan standar ini diambil-alih (adopted) oleh pemerintah, maka status hukumnya akan menjadi lebih kuat;
(c) mengenai verifikasi (verification) tentang ketaatan perusahaan pada standar perilaku bisnis yang sudah disepakati; bagaimana meningkatkan (improve) verifikasi ini?
(d) mengenai “the meaning of complicity”, sejauh mana perusahaan dapat dianggap “turut serta” dalam pelanggaran HAM, misalnya membayar pajak yang digunakan pemerintah bersangkutan untuk kegiatan yang melanggar HAM? [penyertaan dalam KUHPidana, diatur dalam Pasal 55-56 - yurisprudensi Indonesia belum jelas apakah konsep penyertaan: (i) memperluas tanggung jawab pidana, atau (ii) memperluas perbuatan (tindak) pidana].

Sehubungan dengan luas lingkup suatu perusahaan dapat dianggap turut serta (merupakan pelaku peserta) dalam pelanggaran HAM, dapat berkaitan dengan penggunaan perusahaan (atau tenaga) satuan pengamanan (satpam). Telah sering terjadi bahwa unit (satuan) pengamanan perusahaan melakukan tindakan-tindakan yang melanggar HAM (misalnya mulai dari “menggeledah badan pekerja” sampai dengan “menghalau” demontrasi pekerja). Dengan sendirinya perusahaan bertanggung jawab atas pelanggaran HAM ini, baik secara gugatan sipil (civil laibility), maupun dakwaan kriminal (criminal liability). Akan lebih rumit permasalahannya kalau pelanggaran HAM dilakukan oleh unit pengamanan yang berasal dari Kepolisian atau TNI. Unit pengamanan ini biasanya memperoleh pula bantuan biaya dari perusahaan. Apakah “bantuan biaya” ini dapat ditafsirkan bahwa perusahaan telah “membantu” terjadinya pelanggaran HAM? Ingat bahwa asas Global Compact kedua meminta “that businesses should make sure that they are not complicit in human right abuses”(12)!


Korupsi dan CSR
Global Compact telah menambah asas ke-10, yaitu tentang anti-korupsi, sejalan dengan adanya UN Convention against Corruption. Dengan begitu dapatlah dikatakan bahwa perusahaan-perusahaan yang telah menggabungkan diri (secara sukarela) dalam Global Compact, juga “terikat” untuk “memerangi korupsi”. Untuk Indonesia yang sedang menjalani reformasi di bidang hukum dan sistem peradilan, keterikatan perusahaan untuk “memerangi KKN” tentunya teramat penting. Kenyataan adanya “bribery in the private sector” telah merupakan salah satu faktor yang mempersulit Indonesia melakukan pemulihan di sektor ekonomi, karena ketidakpercayaan para investor pada hukum dan sistem peradilan kita(14).

Untuk negara yang berada dalam keadaan transisi seperti Indonesia, KKN dan pencucian uang (money laundering) merupakam masalah besar. Meningkatnya pertumbuhan kejahatan transnasional telah diakui oleh PBB dengan disahkannya UN Convention against Transnational Organized Crime (2000) yang dianggap sebagai ancaman pada “the integrity of national financial industries”. Masalah ini cukup banyak dibicarakan di Indonesia, dan berbagai studi dan rekomendasi telah pula di ajukan(15). Untuk perhatian kita bersama hanya perlu dikemukakan bahwa pada tanggal 18-25 April 2005 di Bangkok (Thailand) akan berlangsung The Eleventh UN Congress on Crime Prevention and Criminal Justice, dengan tema “Synergies and responses: strategic alliances in crime prevention and criminal justice”. Dari sekian banyak topik agenda, yang relevan dengan pertemuan ini adalah agenda pembicaraan(16):

(1) Effective measures to combat transnational organized crime (dengan antara lain isu: international law enforcement cooperation, including extradition measures);
(2) Corruption: threats and trends in the twenty first century (dengan antara lain isu: criminal justice reform);
(3) Economic and financial crime: challenges to sustainable development (dengan antara lain isu: measures to combat terrorism and economic crime, including money laundering; dan measures to combat computer-related crime).


Tanggung jawab Perusahaan
Sebagian besar perusahaan yang menjalankan bisnis dengan memakai “ijin perusahaan” berbentuk badan hukum (rechtspersoon; legal person) perseroan terbatas (PT). Badan hukum PT ini adalah suatu relaitas (bukan fiksi) dan berupa suatu kontruksi hukum. Dikatakan bahwa badan hukum adalah subyek hukum, sama dengan manusia (natuurlijke persoon; natural person), dengan perbedaan bahwa badan hukum mempunyai hak dan kewajiban yang diberikan oleh undang-undang untuk mengabdi pada kehidupan hukum manusia. Manusia sendiri mempunyai hak dan kewajiban berdasarkan asas-asas kesusilaan dan kemasyarakatan, dan karena itu dikenal adanya hak asasi manusia(17).

Dalam kenyataan kita tahu bahwa badan hukum PT (selanjutnya “korporasi”) berbuat atau bertindak melalui manusia (yang dikenal dalam UU Perseroan Terbatas No. 1/1995 sebagai Direksi). Dalam Pasal 82 dikatakan bahwa “Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili ... baik di dalam maupun di luar pengadilan”. Dengan demikian antara Direksi dan korporasi ada hubungan istimewa yang dinamakan “fiduciary relationship” (hubungan kepercayaan), yang melahirkan “fiduciary duties” bagi setiap anggota Direksi(18).

Dalam hukum perdata telah lama diakui bahwa suatu badan hukum (sebagai suatu subyek hukum mandiri; persona standi in judicio) dapat melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatig handelen; tort). Penafsiran ini dilakukan melalui asas kepatutan (doelmatigheid) dan keadilan (bilijkheid). Oleh karena itu dalam hukum perdata suatu korporasi (legal person) dapat dianggap bersalah melakukan perbuatan melawan hukum, disamping para anggota direksi sebagai natural persons. Oleh karena itu suatu korporasi, secara hukum Indonesia, dapat dinyatakan bersalah (terpisah dari direksinya), berdasarkan hukum perdata (gugatan perdata) karena telah tidak memenuhi CSR, apabila asas-asas dalam Global Compact telah menjadi “binding obligations enforceable in national law” (lihat halaman 5-6 makalah ini: HAM dan CSR).

Berbeda permasalahannya dalam hukum pidana. Dalam ilmu hukum pidana Indonesia, gambaran tentang pelaku tindak pidana (kejahatan) masih sering dikaitkan dengan perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pelaku (fysieke dader). Dalam pustaka hukum pidana modern telah diingatkan, bahwa dalam lingkungan sosial ekonomi atau dalam lalu lintas perekonomian, seorang pelanggar hukum pidana tidak selalu perlu melakukan kejahatannya itu secara fisik. Dikatakan bahwa karena perbuatan korporasi selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia (direksi; manajemen), maka pelimpahan pertanggungjawaban manajemen (manusia; natural person), menjadi perbuatan korporasi (badan hukum; legal person) dapat dilakukan apabila perbuatan tersebut dalam lalu lintas kemasyarakatan berlaku sebagai perbuatan korporasi. Ini yang dikenal sebagai konsep hukum tentang “pelaku fungsional” (functionele dader)(19).

Meskipun KUHPidana kita (yang berasal dari masa Hindia Belanda), belum menerima pemikiran di atas (Pasal 59 WvS 1918) dan menyatakan bahwa (hanya) pengurus (direksi) korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum pidana (criminal liability), sebenarnya konsep criminal liability of corporations sudah ada sejak tahun 1955 di Indonesia(20).


Penutup
Dalam konteks pertemuan ini dengan tema “Peran Sektor Usaha dalam Pemenuhan, Pemajuan, dan Perlindungan HAM di Indonesia”, maka ingin ditekankan pada tugas pengurus (direksi) perusahaan (korporasi sebagai subyek hukum mandiri). Pengurusan (dalam Pasal 79 UU PT di pergunakan istilah “Kepengurusan”) dijelaskan sebagai tugas Direksi ”yang antara lain meliputi pengurusan sehari-hari dari perseroan”. Sebenarnya pengurusan adalah lebih daripada “melaksanakan (keputusan RUPS)” dan juga lebih daripada “pengurusan sehari-hari”. Pengurus harus “memimpin”, “menyusun rencana masa depan”, “menyusun program kerja (baru)”, dan “memperinci kebijakan perusahaan”. Dan dalam kaitan CSR, pengurusan ini tidak saja ditujukan ke dalam (stakeholder internal), tetapi juga keluar (stakeholder Eksternal) (lihat halaman 2-3 di depan).

Karena itu pengurus harus juga dapat dalam “kepengurusan”-nya untuk merujuk pada kepentingan umum atau broader societal goals. Dengan ini dimaksudkan kepentingan-kepentingan di luar organisasi perseroan secara langsung, atau lebih tepat mungkin kepentingan dan tujuan stakeholder eksternal, dengan mengacu pada asas-asas Global Compact dan berdasarkan tanggung jawab menurut konsep Corporate Social Responbility.

Oleh: Mardjono Reksodiputro,
Disampaikan dalam Lokakarya Nasional Departemen Luar Negeri RI,
dengan tema “Peran sektor usaha dalam pemenuhan, pemajuan,
dan perlindungan HAM di Indonesia”
Hotel Borobudur, Jakarta (20/12/04)
 Sumber: Komisi Hukum Nasional





Penulis adalah Teman Serikat dalam Kantor Konsultan Hukum ABNR dan Sekretaris KHN RI; Gurubesar Universitas Indonesia.

1. Lihat misalnya Christian Aid (Oktober 2004), “Submission to the Office of tne United Nations High Commissioner for Human Rights (UNHCR) – resposibilities of transnational corporatins and related business enterprises with regar to human rights”.

2. Dalam Perubahan ke-II UUD 1945 ini (18 Aagustus 2000), terdapat sejumlah asas-asas HAM yang relevan (langsung dan tidak langsung) dengan kegiatan bisnis, seperti: berhak untuk hidup; pemenuhan kebutuhan dasar; meningkatkan kualitas hidup; perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja; kebebasan berserikat; lingkungan hidup yang baik; jaminan sosial; bebas perlakuan yang bersifat diskriminatif; penghormatan atas hak masyarakat tradisional; dan sebagainya.

3. Danette Wineberg and Phillip H. Rudolph (May 2004) “Corporate Social Responsibility – What Every In House Counsel Should Know”, dalam ACC Docket, hal. 72.

4. loc. cit.
5. loc. cit.

6. Op. cit., hal. 70; Pemerhati kepentingan publik biasanya memfokuskan pada pelanggaran perusahaan terhadap: HAM, peraturan tenaga kerja, standar perlindungan lingkungan hidup, factory emission standards, health and safety standards, perlindungan konsumen, product liability, dan/atau tentang anti monopoli dan praktik bisnis curang.

7. Op. cit., hal. 77.

8. Sehubungan dengan ketaatan perusahaan memperhatikan CSR, para pengamat mengatakan bahwa masih banyak perusahaan yang melakukan “complicity in human right abuses, exploitation of workers” dan “flaunting environmental standards”.

9. Op. cit., hal. 78.

10. United Nations Convention against Corruption disahkan dalam General Assembly tanggal 31 Oktober 2003. Selanjutnya 9 Desember 2003 dilakukan upacara penandatanganan yang diikuti pula oleh Indonesia. Mulai 9 Desember 2004, hari tersebut diperingati sebagai International Anti-Corruption Day di dunia. Daniel Kaufman dari World Bank Institute menyatakan bahwa jumlah penyuapan oleh perusahaan setiap tahunnya diperkirakan sebesar satu trilyun dollar (5 November 2004).

11. UN Global Compact Principles, menyatakan:
1. Business are asked to support and respect the protection of international human rights within their sphere of influence;
2. Make sure their own corporations are not complicit in human right abuses.
Global Compact Guidance Packet on Communication On Progress, Annex 6: “The 10 UN Global Compact Principles and Selected GRI Performance Indicators”.

12. UN Office Geneva (22 October 2004), Consultation on Business and Human Rights: Summary of Discussions, hal. 4-6.

13. Kasus Perusahaan Enron (Amerika Serikat) terkenal tahun 2002 karena merupakan kepailitan terbesar di Amerika Serikat (kerugian tahap pertama 618 juta US dollar) dan merupakan kecurangan politik (public fraud): sahamnya jatuh dari 90 US dollar menjadi kurang dasri satu US dollar. Enron pun dituduh menjadi political profit pipeline di India (Mardjono Reksodiputro, catatan kaki 13 dalam Jurnal Hukum Internasional, Vol. 1 No. 4 (Juli 2004), hal. 707). Yang kurang diungkapkan adalah bahwa Enron Corporation, yang membangun “the biggest private power plant” di India, telah dituduh pula membiarkan polisi India memukuli dan menahan demonstran yang menolak pembangunan unit tenaga listrik tersebut. Dikatakan: “The police ... are under the command of local headquarters, but the company pays their salaries. Enron can not pretend it has no responsibility ... Sub-contractors have attacked and beaten local villagers ... is Enron complicit in those abuses? Absolutely”. (Arivind Ganesan, “Business and Human Rights – The Bottom Line”, December 1, 2004 in Human Rights Watch, www.hrw.org/advocacy/corporations/commentary.htm).

14. UN Convention against Corruption menyebut bentuk penyuapan di sektor privat (swasta ini) sebagai “by means of promise, offering, giving ... of un unduc advantage, in any capacity, for a private sector entity ... in order that her or she, in braech of his or her duties, act or refrain from acting”. Dalam bahan pustaka terkenal sebagai contoh adalah “Lockheed Corporation Bribes” antara tahun 1965-1975, terhadap government officials di Indonesia (1973-1974: spare parts dan pesawat terbang); Arab Saudi (Adnan N. Khashoggi; 1970-an); Jepang (Perdana Menteri Tanaka; 1976) Belanda (Pangeran Bernard; 1976); dan merupakan bribery scandals of multinational corporations, yang menyebabkan pemerintah Amerika Serikat mengundangkan The Foreign Corrupt Practices Act (1978). Menurut peraturan ini “international bribery” dapat dihukum maksimum US satu juta dollar dan penjara lima tahun.

15. Antara lain misalnya: (a) Ali, Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro (dengan MKK) (1977), Law Reform in Indonesia; (b) Komisi Hukum Nasional (2003), Law Reform Policies (Recommendations), (c) The World Bank (2004), Combating Corruption in Indonesia. Enhancing Accountability for Development.

16. UN Congress on The Prevention of Crime and Criminal Justice bersidang setiap lima tahun. Persiapan untuk kongres lima tahunan ini sangat intensif dan melibatkan negara-negara anggota ke pertemuan (lokakarya) antara yang diselenggarakan secara regional. Pada bulan November 2004 persiapan untuk daerah Asia dilakukan oleh Asian Crime Prevention Foundation (ACPF), yang menyelenggarakan 10th ACPF World Conference di Macao, SAR, RRC.

17. Lihat van Schilfgaarde (1981), Van de naamloze en de besloten vennootschap, Gouda Quint BV, hal. 1-2. Universal Declaration of Human Rights (UDHR), dimulai dengan mukadimah yang berbunyi: “... recognition of the inherent dignity and of the equal and inalienable rights of all members of the human family ...”. Jadi perlindungan HAM (hak) memang hanya ditujukan untuk kepentingan kemanusiaan, tetapi kewajiban menghormati ada pada manusia, negara, korporasi (sebagai suatu subyek hukum mandiri), dan organisasi lain dalam masyarakat.

18. Lihat lebih lanjut Fred B.G. tumbuan (Agustus 2003), “Mencermati Pembaharusn Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseoran Terbatas (Suatu Sketsa)” (makalah untuk AAI).

19. Lebih lanjut lihat Mardjono Reksodiputro (Juni 1993), “Tindak Pidana Korporasi dan Pertanggungjawabannya – Perubahan Wajah Pelaku Kejahatan di Indonesia” (Pidato Dies Natalis ke-47 PTIK).

20. Ini dilakukan melalui Pasal 15 UU No. 7/Drt/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi. Selanjutnya di luar KUHP perkembangan legislatif menunjukkan bahwa sejumlah undang-undang telah mengakui perlunya memungkinkan suatu korporasi (badan hukum) dijadikan terdakwa dan, bilamana bersalah, menjadi terpidana. Misalnya UU Subversi (1963), UU Narkotika (1976), UU tentang Lingkungan Hidup (1997), UU Korupsi, dan UU tentang Money Laundering. Dalam konsep RUU KUHPidana Nasional (2002) terdapat Pasal 44 yang menyatakan bahwa “korporasi dapat dipertanggungjawabkan dalam melakukan tindak pidana”. Lihat selanjutnya Mardjono Reksodiputro (2004), “Kejahatan Korporasi – Suatu Fenomena Lama dalam Bentuk Baru”, dalam Jurnal Hukum Internasional, op. cit., hal. 693-708.

Tidak ada komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Mahasiswa Teknik Industri Universitas Andalas 2009 Alumni Ponpes Asy-Syarif Angkatan 09,, Alumni Ponpes Madinatul Munawwarah angkatan 06.