Hukum dan Perilaku Investasi
TEMAN saya-seorang analis pasar-memberi tahu, semula para investor dan pelaku pasar kecewa dengan komposisi tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). Mereka menilai tim ekonomi jauh dari ideal, apalagi the dream team. Dugaan saya, puncak kekecewaan ada pada posisi Menko Perekonomian yang ditempati oleh orang yang tidak tepat.
Namun, kekecewaan itu segera terobati setelah mengamati tim hukum KIB yang dianggap solid dan memberi harapan. Itulah mengapa respons negatif indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta (BEJ) hanya bersifat sementara, sebelum secara meyakinkan lalu naik. Hingga pertengahan Desember, |IHSG menembus bukan saja "titik psikologis", tetapi mengukir rekor baru dalam sejarah pasar modal Indonesia, menembus "titik historis" pada kisaran 1.000 poin. Jika dibandingkan dengan nilai penutupan akhir tahun 2003, kini IHSG telah meningkat lebih dari 35 persen.
Masalahnya, banyak yang curiga, modal yang beredar di BEJ adalah uang haram yang sedang dicuci (money laundring). Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, masuknya modal (entah haram atau halal) menandai semakin pulihnya kepercayaan investor terhadap iklim investasi domestik. Hal itu terkait stabilitas ekonomi makro dan stabilitas politik pasca-Pemilu 2004. Kedua, jika benar bursa diramaikan oleh para "pencuci uang", hal itu menunjukkan betapa lemahnya institusi dan perangkat hukum, baik di pasar modal maupun sektor finansial lainnya. Dengan demikian, stabilitas politik yang didukung kinerja ekonomi makro yang baik masih menyisakan satu agenda lagi, yaitu reformasi hukum.
Sistem hukum
Salah satu mazhab penting dalam "teori finansial" mencoba mengaitkan sistem hukum dengan perilaku investasi. Sebuah artikel berjudul Law and Finance dalam The Journal of Political-Economy (Vol 106, No 6, Th 1998) menjadi salah satu karya klasik yang ditulis dari hasil penelitian Rafael La Porta, Florencio Lopez-de-Silanes, Andrei Shleifer (dari Universitas Harvard) dan Robert W Vishny (dari Universitas Chicago).
Berikut, dua kesimpulan penting dari penelitian dengan analisis komparatif statistik (comparative statistical analysis) terhadap 49 negara. Pertama, negara dengan sistem Common-Law (Inggris dan Amerika) memiliki perlindungan hukum paling kuat terhadap para investor. Sementara negara dengan sistem Civil-Law (Perancis, Jerman, dan Skandinavia)- yang bersumber pada sistem hukum Romawi (Roman-Law)-ada perlindungan hukum yang bervariasi. Negara-negara yang berbasis French-civil-law memiliki perlindungan hukum paling buruk, sementara negara-negara dengan sistem Scandinavian-civil-law dan Germany-civil-law ada pada posisi moderat.
Kedua, konsentrasi kepemilikan di aneka perusahaan publik berhubungan secara negatif dengan perlindungan investor. Semakin terkonsentrasi sistem kepemilikan, kepentingan investor semakin berpotensi dimanipulasi. Penelitian berseri ini sekaligus menjadi antitesis dari tesis klasik Adolf A Berle dan Gardiner C Means (1932) tentang pemisahan antara kepemilikan (ownership) dan kontrol terhadap modal dalam sistem korporasi modern. La Porta dan kawan-kawan menunjukkan kecenderungan sebaliknya, sistem kepemilikan kian terpusat pada para pemegang saham mayoritas, sekaligus menandai kaburnya pemisahan antara pemilik dan pengelola perusahaan.
Para peneliti dari mazhab hukum-finansial (judicio-financial) ini merekomendasikan, dalam negara dengan sistem hukum yang lemah perlindungannya terhadap investor, sebaiknya sistem kepemilikan perusahaan bersifat kecil (small) dan menyebar (diversified). Dengan demikian, mengurangi risiko munculnya pemegang saham mayoritas yang berpotensi menyeleweng (moral hazard).
Berdasarkan hasil penelitian itu, kita bisa menyaksikan, pasca-restrukturisasi, industri perbankan di Indonesia memiliki kerawanan substansial. Meski bebas dari bisnis keluarga, peta perbankan tidak lepas dari pemilik mayoritas yang umumnya pihak asing. Sebesar 52,03 persen saham BCA dikuasai Farindo Investment (Mauritius) Ltd. Sedangkan 50,99 persen saham Bank Niaga dikuasai Commerce Asset-Holding Berhand Malaysia. Saham Bank Danamon dijual kepada Asia Financial (Indonesia) Pte.Lte sebesar 51,00 persen. Sementara Bank International Indonesia (BII), 51 persen sahamnya dikuasai Konsorsium Sorak (Kookmin Bank & Asia Financial Holding). Dan, 51 persen saham Bank Permata dikuasai konsorsium PT Astra International dan Standard Chartered Bank.
Program restrukturisasi di bawah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) tak mampu menghasilkan struktur kepemilikan yang lebih baik dengan komposisi menyebar. Kita khawatir, sistem kepemilikan perbankan yang bersifat mayoritas di tangan asing akan menjadi persoalan di kemudian hari. Sementara itu, carut-marut dunia perbankan dan sektor finansial masih terus berlanjut.
Carut-marut
Penegakan hukum merupakan sisi paling terbengkalai di negeri kita. Sebagian besar masalah yang menyebabkan krisis ekonomi adalah dilanggarnya aturan hukum, misalnya pelanggaran BMPK (batas maksimal pemberian kredit). Kemudian, usaha memulihkan perekonomian juga terhambat rendahnya penegakan hukum.
Sejauh ini ada empat institusi yang dibentuk dalam rangka memulihkan perekonomian dari krisis, yaitu BPPN, Indonesian Debt Restructuring Agency (INDRA) untuk menyelesaikan utang swasta dengan luar negeri, Jakarta Initiative untuk kasus utang swasta dalam negeri, dan Pengadilan Niaga yang memfasilitasi upaya penyelesaian perkara lewat metode kepailitan. Mekanisme kerja pada keempat institusi ini selalu diiringi masalah penegakan hukum. Seandainya hukum bisa segera ditegakkan, ekonomi kita sudah pulih sejak dulu.
Kini, sederet masalah hukum kian menggunung. Belum lagi kasus pembobolan bank (kasus Bank BNI) bisa diselesaikan, kompleksitas masalah hukum mulai terasa dalam industri reksa dana. Apa pun motifnya, peristiwa yang menimpa nasabah PT Bank Global International yang tertipu dengan produk reksa dana yang dikeluarkan pengelola reksa dana Prudence menandakan lemahnya sistem hukum di sektor finansial. Sudah terlalu sering berita mengenai lemahnya perlindungan investor, termasuk kasus Bank Asiatik dan Bank Dagang Bali.
Janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menuntaskan berbagai perkara besar di bawah Ketua Mahkamah Agung yang baru belum menunjukkan hasil menjanjikan. Penyelesaian kasus besar amat penting untuk menimbulkan efek psikologis bagi penegak hukum sendiri dalam rangka membangun track-record guna menyelesaikan aneka persoalan hukum yang telah menggunung. Dan, keberhasilan menyelesaikan kasus besar diharapkan akan menimbulkan efek pengganda (multiplier effect) terhadap kasus-kasus yang lebih kecil lainnya.
Dalam kasus melonjaknya IHSG di BEJ pada kisaran 1.000 poin, ada dua kemungkinan bisa terjadi. Pertama, para investor optimistis terhadap peningkatan kualitas penegakan hukum mengiringi stabilitas makro-ekonomi dan politik. Dengan begitu, lonjakan IHSG tidak perlu dikhawatirkan karena memiliki dasar fundamental. Kedua, sebaliknya para investor melihat penegakan hukum masih terlalu lemah sehingga mereka memutar uang-uang haram untuk dianakpinakkan di bursa saham kita.
Apa pun alasannya, tanpa bukti nyata dalam hal penegakan hukum, kualitas pemulihan ekonomi tidak pernah tercapai. Salah satu implikasinya, pasar modal kita menjadi ajang bagi pencuci uang.
A Prasetyantoko Pengajar di Unika Atma Jaya Jakarta, Sedang Studi Doktoral di Departemen Ekonomi, Ecole Normale SupĂ©rieure (ENS)– LSH, Lyon-Perancis
Sumber: Kompas Cyber Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar