Join emridho's empire

Jumat, 27 Januari 2012

Makalah DELIK PENODAAN AGAMA DAN KEHIDUPAN BERAGAMA DALAM RUU KUHP


Makalah

DELIK PENODAAN AGAMA DAN KEHIDUPAN BERAGAMA
DALAM RUU KUHP

Rumadi
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

I. Acuan Pemikiran
Secara normatif, jaminan kebebasan kehidupan beragama di Indonesia sebenarnya cukup kuat. Namun, keindahan aturan-aturan normatif tidak serta merta indah pula dalam kenyataannya. Banyak sekali warga Negara Indonesia yang merasa dikekang kebebasannya dalam memeluk agama dan berkeyakinan. Kebebasan itu hanya ada dalam agama yang “diakui” pemerintah, artinya kalau memeluk agama di luar agama yang “diakui” itu maka ada efek yang dapat mengurangi hak-hak sipil warga negara. Bahkan, orang yang mempunyai keyakinan tertentu, bias dituduh melakukan penodaan agama. Keyakinan keagamaan kelompok Lia “Eden” Aminuddin misalnya, bisa dituduh melakukan penodaan agama dan divonis 2 tahun karena melanggar KUHP pasal 156a. Hal ini merupakan contoh telanjang betapa diskriminasi atas dasar agama dan keyakinan, meski diingkari oleh perundang-undangan kita, namun dalam realitasnya berbeda.
Jaminan kebebasan beragama pertama-tama dapat dilihat dari konstitusi atau Undang-Undang Dasar negara kita. Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945 hasil amandemen disebutkan: 1) “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”; 2) “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Hal tersebut ditegaskan lagi dalam pasal 29 (1) "Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.", (2) "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaanya itu."
Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan landasan normatif bahwa agama dan keyakinan merupakan hak dasar yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam pasal 22 ditegaskan: 1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; 2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam pasal 8 juga ditegaskan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara,  terutama pemerintah”.
Dari pasal tersebut jelas bahwa negara (c.q. pemerintah) adalah institusi yang pertama-tama berkewajiban untuk menjamin kebebasan berkeyakinan dan segala sesuatu yang menjadi turunannya, seperti pengakuan hak-hak sipilnya tanpa diskriminasi. Dalam pasal 1c UU No. 39 Tahun 1999 dijelaskan bahwa “diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung maupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar suku, ras, etnis, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya”.
Di samping itu, tuntutan untuk menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan juga menjadi tuntutan international sebagaimana tertuang dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICPPR). Indonesia sudah meratifikasi tentang ICCPR melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Dengan ratifikasi itu, maka Indonesia menjadi Negara Pihak (State Parties) yang terikat dengan isi ICCPR.
Kovenan menetapkan hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut (Pasal 18); hak orang untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat (Pasal 19); persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi (Pasal 26); dan tindakan untuk melindungi golongan etnis, agama, atau bahasa minoritas yang mungkin ada di negara pihak (Pasal 27).
ICCPR pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh aparat represif negara, khususnya aparatur represif Negara. Makanya hak-hak yang terhimpun di dalamnya juga sering disebut sebagai hak negatif (negative rights). Artinya, hak-hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara dibatasi. Apabila negara terlalu intervensi, hak-hak dan kebebasan yang diatur di dalamnya akan dilanggar oleh negara. Negara-negara Pihak yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak tersebut, akan mendapat kecaman sebagai negara yang telah melakukan pelanggaran serius hak asasi manusia (gross violation of human rights).
            Meski secara konstitusi jaminan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan cukup kuat, namun pada tingkat implementasi masih sangat lemah. Bahkan ada kesan, paradigma dan perspektif pemerintah dalam melihat agama dan segala keragamannya tidak berubah. Keragaman masih dianggap sebagai ancaman daripada kekayaan. Watak negara yang ingin sepenuhnya menguasai segi-segi kehidupan dalam masyarakat, terutama keyakinan, sebagai ciri negara otoriter juga belum sepenuhnya hilang.

II. Penodaan Agama dalam KUHP
Dalam KUHP (WvS) sebenarnya tidak ada bab khusus mengenai delik agama, meski ada beberapa delik yang sebenarnya dapat dikategorikan sebagai delik agama. Istilah delik agama itu sendiri sebenarnya mengandung beberapa pengertian: a) delik menurut agama; b) delik terhadap agama; c) delik yang berhubungan dengan agama. Prof. Oemar Seno Adji seperti dikutip Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa delik agama hanya mencakup delik terhadap agama dan delik yang berhubungan dengan agama.[1] Meski demikian, bila dicermati sebenarnya delik menurut agama bukan tidak ada dalam KUHP meski hal itu tidak secara penuh ada dalam KUHP seperti delik pembunuhan, pencurian, penipuan/perbuatan curang, penghinaan, fitnah, delik-delik kesusilaan (zina, perkosaan dan sebagainya).
Sedangkan pasal 156a yang sering disebut dengan pasal penodaan agama bisa dikategorikan sebagai delik terhadap agama. Sedang delik kategori c tersebar dalam beberapa perbuatan seperti merintangi pertemuan/upacara agama dan upacara penguburan jenazah (pasal 175); mengganggu pertemuan /upacara agama dan upacara penguburan jenazah (pasal 176); menertawakan petugas agama dalam menjalankan tugasnya yang diizinkan dan sebagainya.
Bagian ini akan lebih difokuskan pada pasal 156a yang sering dijadikan rujukan hakim untuk memutus kasus penodaan agama. Pasal ini selengkapnya berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang maha Esa.”
Sebagaimana telah disinggung, pasal ini bisa dikategorikan sebagai delik terhadap agama. Asumsinya, yang ingin dilindungi oleh pasal ini adalah agama itu sendiri. Agama, menurut pasal ini, perlu dilindungi dari kemungkinan-kemungkinan perbuatan orang yang bisa merendahkan dan menistakan simbol-simbol agama seperti Tuhan, Nabi, Kitab Suci dan sebagainya. Meski demikian, karena agama “tidak bisa bicara” maka sebenarnya pasal ini juga ditujukan untuk melindungi penganut agama.[2]
Pasal tersebut masuk dalam Bab V KUHP tentang Kejahatan terhadap Ketertiban Umum. Di sini tidak ada tindak pidana yang secara spesifik mengatur tindak pidana terhadap agama. Pasal 156a merupakan tambahan untuk men-stressing-kan tindak pidana terhadap agama. Dalam pasal 156 disebutkan: Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.[3]
            Perlu dijelaskan bahwa pasal 156a tidak berasal dari Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda, melainkan dari UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Pasal 4 undang-undang tersebut langsung memerintahkan agar ketentuan di atas dimasukkan ke dalam KUHP.[4]
            Benih-benih delik penodaan agama juga dapat dilihat dalam pasal 1 Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tegas menyebutkan larangan mengusahakan dukungan umum dan untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama. Ketentuan pasal ini selengkapnya berbunyi: "Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang utama di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama itu".
            Pasal 156a ini dimasukkan ke dalam KUHP Bab V tentang Kejatahan terhadap Ketertiban Umum yang mengatur perbuatan menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap orang atau golongan lain di depan umum. Juga terhadap orang atau golongan yang berlainan suku, agama, keturunan dan sebagainya. Pasal-pasal tersebut tampaknya merupakan penjabaran dari prinsip anti-diskriminasi dan untuk melindungi minoritas dari kewenang-wenangan kelompok mayoritas.
Mengapa aturan tentang penodaan agama perlu dimasukkan dalam KUHP? Pertanyaan ini barangkali bisa dijawab dengan memperhatikan konsideran dalam UU No. 1/PNPS/1965 tersebut. Di sana disebutkan beberapa hal, antara lain: pertama, undang-undang ini dibuat untuk mengamankan Negara dan masyarakat, cita-cita revolusi dan pembangunan nasional dimana penyalahgunaan atau penodaan agama dipandang sebagai ancaman revolusi. Kedua, timbulnya berbagai aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang dianggap bertentangan dengan ajaran dan hukum agama. Aliran-aliran tersebut dipandang telah melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama, sehingga perlu kewaspadaan nasional dengan mengeluarkan undang-undang ini.
Ketiga, karena itu, aturan ini dimaksudkan untuk mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan; dan aturan ini melindungi ketenteraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Keempat, seraya menyebut enam agama yang diakui pemerintah (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu [Confusius]), undang-undang ini berupaya sedemikian rupa agar aliran-aliran keagamaan di luar enam agama tersebut dibatasi kehadirannya.
Prof. Oemar Seno Adji dapat ditunjuk sebagai ahli hukum yang paling bertanggung jawab masuknya delik agama dalam KUHP. Dasar yang digunakan untuk memasukkan delik agama dalam KUHP adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai causa prima negara Pancasila. UUD 1945 pasal 29 juga menyebutkan bahwa negara berdasar Ketuhana Yang Maha Esa. Karena itu, kalau ada orang yang mengejek dan penodaan Tuhan yang disembah tidak dapat dibiarkan tanpa pemidanaan. Atas dasar itu, dengan meilihat Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai titik sentral dari kehidupan kenegaraan, maka delik Godslastering sebagai blasphemy menjadi prioritas dalam delik agama.[5]
            Pasal 156a dalam praktiknya memang menjadi semacam peluru yang mengancam, daripada melindungi warga Negara. Ancaman itu terutama bila digunakan oleh kekuatan yang anti demokrasi dan anti pluralisme, sehingga orang dengan mudah menuduh orang lain telah melakukan penodaan agama. Dalam pratiknya pasal ini seperti “pasal karet” (hatzaai articelen) yang bisa ditarik-ulur, mulur-mungkret untuk menjerat siapa saja yang dianggap menodai agama. Pasal ini bisa digunakan untuk menjerat penulis komik, wartawan, pelaku ritual yang berbeda dengan mainstream, aliran sempalan, dan sebagainya. Karena kelenturannya itu, “pasal karet” bisa direntangkan hampir tanpa batas.
Pada dasarnya, pasal ini tidak hanya bisa dipakai untuk menjerat aliran-aliran seperti Lia Eden dan Ahmadiyah, misalnya, melainkan juga bisa dikenakan kepada aliran-aliran atau organisasi agama yang suka membuat kekerasan dan onar di dalam masyarakat yang mengatasnamakan agama tertentu. Sayangnya, dalam praktiknya, pasal 156a ini tidak pernah diterapkan baik oleh Polisi maupun Hakim untuk melindungi korban. Dalam kasus Lia “Eden” Aminudin, misalnya, yang justru ditangkap dan diadili ketika ada tekanan massa. Lia sebagai korban justru dikorbankan dan dijerat dengan pasal ini karena ada tekanan dari FPI yang dipicu oleh Fatwa MUI yang menganggapnya sesat.
Jika dalam KUHP yang selama ini berlaku penodaan agama hanya ada dalam satu pasal (156a), dalam RUU KUHP yang merevisi KUHP lama, pasal penodaan agama diletakkan dalam bab tersendiri, yaitu Bab VII tentang Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Keagamaan yang di dalamnya ada 8 (delapan) pasal. Dari delapan pasal itu dibagi dalam dua bagian: Bagian I mengatur tentang tindak pidana terhadap Agama. Bagian ini mengatur tentang Penghinaan terhadap Agama (pasal 341-344) dan Penghasutan untuk Meniadakan Keyakinan terhadap Agama (pasal 345). Bagian II mengatur tentang Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah. Bagian ini mengatur dua hal, yaitu Gangguan terhadap Penyelenggaraan Ibadah dan Kegiatan Keagamaan (pasal 346-347); dan Perusakan Tempat Ibadah (pasal 348).
            Dari gambaran tersebut dapat dilihat dengan jelas adanya upaya untuk merentangkan lebih luas aspek penodaan agama ini. Di sini perlu ketelitian dan antisipasi untuk menyusun dan memunculkan pasal-pasal tentang agama dalam R-KUHP yang lebih berorientasi pada perlindungan korban. Pasal-pasal dalam R-KUHP tentang agama ini semestinya diorientasikan disamping untuk melindungi kepentingan umum, juga untuk melindungi kebebasan beragama baik mayoritas maupun minoritas dan juga melindungi minoritas dari ancaman diskriminasi dan kewewenang-wenangan mayoritas. Pasal ini juga harus bisa menjamin bahwa perbedaan penafsiran dan cara pandang atas berbagai masalah keagamaan tidak kemudian dituduh melakukan penodaan agama. Karena, menuduh orang melakukan penodaan agama tidak bisa hanya berangkat dari asumsi dan prasangka, namun harus bias dibuktikan bahwa orang tersebut memang bermaksud melakukan permusuhan, merendahkan, dan melecehkan agama. Revisi KUHP tidak boleh disandera kelompok tertentu dengan meminjam “tangan Negara” guna memuluskan agenda-agenda politiknya.

III. Penodaan Agama dalam Praktek Peradilan
Dalam bagian ini akan diuraikan bagaimana praktek penggunaan pasal 156a dalam pengadilan. Akan diuraikan problem dan korban dari penggunaan pasal ini. Hal ini penting karena salah satu problem krusial dalam revisi KUHP adalah masalah agama. Ada kecenderungan, kebijakan pemerintah dalam masalah agama senantiasa menimbulkan pro-kontra. Hal ini karena kelompok-kelompok agama di Indonesia mempunyai aspirasi yang bukan saja berbeda, tapi saling bertentangan. Karena itu, kelompok-kelompok agama cenderung ramai-ramai meminjam “tangan negara” untuk memperjuangkan dan mengamankan posisinya. Kecenderungan ini tampak kian jelas bila kita mengikuti pro-kontra sejumlah regulasi daerah yang biasa disebut dengan Perda Syariat Islam.
Dengan “mengamankan” agenda keagamaan melalui pasal dalam undang-undang dan regulasi lainnya, maka tindakan yang diskriminatif sekalipun bisa menjadi “kebenaran” karena disahkan oleh undang-undang. Kondisi ini jelas berbahaya, karena undang-undang bisa menjadi sandera untuk membenarnya tindakan yang melanggar konstitusi sekalipun.
Salah satu fungsi penting hukum pidana adalah untuk memberikan dasar legitimasi bagi tindakan represif negara terhadap seseorang atau kelompok orang yang melakukan perbuatan yang mengancam dan membahayakan, serta merugikan kepentingan umum. Ia memberikan mandat kepada negara untuk melindungi masyarakat luas dari perbuatan orang per orang atau kelompok orang yang hak-haknya terlanggar di satu sisi, dan memberi kewenangan kepada negara untuk menghukum orang yang tindakannya melanggar hukum. Berikut ini akan diuraikan beberapa kasus penodaan agama yang sudah divonis oleh pengadilan.
           
1. Kasus Cerpen “Langit Makin Mendung” karya ki Pandji Kusmin
            Sejauh riset yang dilakukan di sini, kasus merupakan kasus penodaan agama pertama setelah pasal 156a dimasukkan dalam KUHP. Korbannya adalah Hans Bague Jassin (HB Jassin) yang divonis telah melakukan penodaan agama dengan hukuman satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun.
Masalah itu bermula dari terbitknya cerpen berjudul Langit Makin Mendung (LMM) karya Ki Pandji Kusmin yang dimuat di majalah Sastra edisi 8 Agustus 1968. Cerpen itu menimbulkan kecaman dari berbagai pihak, terutama umat Islam. Akibat rekasi massa yang semakin kuat, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara melarang peredaran majalah Sastra yang memuat cerpen tersebut karena isinya dianggap menghina kesucian agama Islam. Akibatnya ratusan eksemplar majalah Sastra disita di berbagai toko, agen dan pengecer di kota Medan.
Bukan itu saja, protes massa terus berlanjut dengan demonstrasi ke kantor majalah Sastra. Sekitar 50 pemuda berunjuk rasa dari mulai orasi sampai aksi coret-coret dinding kantor dengan segala macam penghinaan. Nuansa sindrom komunisme begitu kuat dalam tulisan-tulisan demonstran seperti H.B Jassin Kunjuk! (Kunyuk, ejaan lama-red), H.B Jassin Tangan Kotor Gestapu PKI, Ini Kantor Lekra, Majalah Sastra: Anti Islam, dan lain-lain. Akibat demonstasi tersebut majalah Sastra kemudian ditutup sampai batas waktu yang ditentukan.
Kalangan sastrawan pun bereaksi. Di Medan sejumlah sastrawan terkemuka seperti Sori Siregar, Zakaria M. Passe dan Rusli A. Malem membuat pernyataan protes. Di Jakarta tak ketinggalan Umar Kayam, Taufiq Ismail, Trisno Sumarjdo, D. Djajakusuma dan Slamet Soekirnanto ikut menandatangani pernyataan protes. Nama Ki Pandjikusmin sendiri ‘mencuat’ sehingga dipelesetkan menjadi "Kibarkan Pandji-Pandji Komunis Internasional" . Polemik terus berkelanjutan. Setahun sesudah itu tajuk rencana harian Indonesia Raja menulis : "Ki Pandji Kusmin, Tampillah Engkau Sekarang Sebagai Ksatria."
H.B Jassin selaku redaktur majalah Sastra diseret ke pengadilan. Akan tetapi di muka pengadilan ia berkeras tidak mengungkap identitas Ki Pandji Kusmin dengan berpegang pada UU Pers 1966: "bila sang pengarang tidak membuka identitasnya redaksi mempunyai hak tolak memberitahukan identitas pengarang sesungguhnya." Cerpen ini juga berbuntut panjang dan menyebabkan polemik sastra meributkan soal fantasi, kebebasan mencipta dan agama. Polemik tersebut berkepanjangan hingga dua tahun lamanya.
Di pengadilan H.B Jassin mengaku selama ini hanya berhubungan lewat surat. Ia juga mengatakan sang pengarang berprofesi sebagai pelaut. Alamatnya selalu berpindah-pindah. Spekulasi bermunculan. Bahkan ada yang berasumsi H.B Jassin sendirilah Ki Pandji Kusmin itu.
Ki Pandji Kusmin sendiri bukannya tidak tinggal diam. Pengarang misterius ini lewat redaksi Harian Kami tertanggal 22 Oktober 1968 mengeluarkan pernyataan mencabut cerpennya dan menganggapnya tak pernah ada. Berikut pernyataannya:
"Sebermula sekali bukan maksud saya menghina agama Islam. Tujuan sebenarnya adalah semata-mata hasrat pribadi saya mengadakan komunikasi langsung dengan Tuhan, Nabi Muhammad S.A.W, sorga. dll. Di samping menertawakan kebodohan di masa rezim Soekarno. Tapi rupanya saya telah gagal, salah menuangkannya ke dalam bentuk cerpen. Alhasil mendapat tanggapan di kalangan umat Islam sebagai penghinaan terhadap agama Islam."

Kisah ini belakangan diterbitkan dalam buku berjudul “Pledoi Satra: Kontroversi Cerpen Langit Makin Mendung Ki Pandji Kusmin” tahun 2004. Berikut ini dilampirkan cerpen dimaksud dan juga resensi buku Pledoi Sastra.

2. Kasus Tabloid Monitor
Kasus ini terjadi pada 1990 dengan korban Arswendo Atmowiloto (pemimpin redaksi tabloid Monitor). Dia divonis lima tahun penjara dengan tuduhan melakukan penodaan agama.
Monitor  merupakan tabloid terlaris milik Kelompok Kompas Gramedia (KKG). Hari itu, Senin 15 Oktober 1990, Monitor menurunkan hasil angket mengenai tokoh yang paling dikagumi pembaca. Hasil angket itu menunjukkan Nabi Muhammad SAW  menempati urutan ke sebelas sebagai tokoh yang paling dikagumi, satu tingkat di bawah Arswendo Atmowiloto, pemimpin redaksi Monitor yang menempati peringkat kesepuluh.
Sontak publikasi itu menimbulkan kegemparan di kalangan umat Islam. Monitor dianggap melecehkan Nabi Muhammad, membangkitkan kembali sentimen suku, agama, dan ras. Protes pun gencar dilancarkan pada Monitor, dari Majelis Ulama Indonesia hingga organisasi-organisasi yang mengatasnamakan Islam, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pemuda Muhamadiyah. Hanya KH. Abdurrahman Wahid, satu-satunya tokoh Islam yang berani berpendapat lain tentang kasus ini.
Dengan makin gencarnya protes terhadap Monitor, pemerintah melalui Menteri Penerangan Harmoko, Selasa 23 Oktober 1990 membatalkan surat ijin usaha penerbitan persnya. Tak lama, Persatuan Wartawan Indonesia cabang Jakarta, mengeluarkan surat yang isinya memberhentikan Arswendo Atmowiloto dari keanggotaan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan mencabut rekomendasi untuk jabatan pemimpin redaksi, tidak hanya untuk Monitor tapi juga untuk majalah Hai. Ia dianggap menyalahi kode etik jurnalistik sehingga keanggotaan PWI-nya gugur. Dia pun otomatis tidak bisa menduduki jabatan pemimpin redaksinya. Menurut aturan, dia masih berhak membela diri di dalam kongres PWI, namun hal ini tidak berlaku bagi Arswendo Atmowiloto. (S. Sinansari Ecip, Kode Etik dan Undang-undang Pers, Berguna ataukah Percuma?, Jumat, 07 Februari 2003 dalam www.dewankehormatanpwi.com). Puncak dari peristiwa heboh angket itu, Arswendo Atmowiloto, diadili dan dijatuhi hukuman penjara selama lima tahun.
Menghadapi pembredelan itu, editorial Kompas 23 Oktober 1990, menyatakan, "Monitor memang telah salah langkah dengan memuat hasil angketnya. Karena itu, kita pun menyesalkan dan mengecamnya." Hal yang sama dinyatakan oleh Jakob Oetama, "Saya sendiri menganggap tindakan itu sudah pantas ditimpakan pada Monitor." Lalu, bagaimana tanggung jawab KKG sebagai induk dari Monitor?
"Monitor itu berdiri sendiri dan jangan dikait-kaitkan dengan yang lain," tukas Polycarpus Swantoro, yang saat itu menjabat wakil pemimpin umum Kompas dan salah satu pemimpin KKG.
Mengenai Arswendo Atmowiloto, Oetama mengatakan "Saya sangat menyesalkan dia, sebagai pemimpin media tidak bisa melihat efek dari apa yang ditulisnya. Padahal, dalam segala hal prinsip dan sikap dasar kami hati-hati, tahu diri dan timbang rasa, terutama dalam hal-hal yang menyangkut suku agama dan ras. Hal itu tampak dari isi surat kabar dan semangat suratkabar yang selama ini saya asuh bersama rekan-rekan." Tak lama kemudian, Arswendo diberhentikan sebagai karyawan KKG.

3. Kasus Saleh Situbondo
            Kasus ini bermula dari pernyataan sepele seorang pemuda lugu penjaga sebuah masjid di Situbondo bernama Saleh (26). Meski sepele tapi kasus ini mempunyai dampak yang luar biasa atas kehidupan beragama di Situbondo. Puluhan gereja dibakar sebagai dampak kasus ini. Saleh sendiri akhirnya divonis lima tahun penjara dengan tuduhan melakukan penodaan agama. Kasus ini terjadi pada 1996.
Saleh dilaporkan K.H. Achmad Zaini, pimpinan pondok Nurul Hikam, yang juga tetangga Saleh di Kecamatan Kapongan, Situbondo. Kepada K.H. Zaini, Saleh menyatakan Allah adalah mahluk biasa dan K.H. As'ad Syamsul Arifin, pendiri pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Situbondo, dan ulama Nahdlatul Ulama yang amat dihormati, meninggal tidak sempurna, atau dalam bahasa Madura disebut mate takacer.
Kronologisnya cukup panjang. Menurut KH Achmad Sofyan, sebenarnya peristiwa yang berkenaan dengan terdakwa Saleh adalah peristiwa kecil. Dikatakan kecil, karena Saleh itu terhitung saudara sepupu KH Zaini Abdul Aziz pengasuh pesantren Nurul Hikam, Kesambi Rampak, Kapongan. Keberadaan Saleh sendiri hanyalah sebagai tukang kebun di Masjid Nurul Islam, Gebang, Kapongan. "Itu sebabnya, waktu Kiai Zaini meminta PCNU Situbondo melalui MWC NU Kapongan agar menuntut Saleh, ya saya sarankan agar soal itu tak perlu dilanjutkan. Tapi Kiai Zaini rupanya berkukuh memerkarakan Saleh ke pengadilan," ujar Kiai Sofyan.
Ustadz H Mohammad Romly, 43, Wakil Ketua PCNU Situbondo menilai bahwa kasus Saleh sebenarnya hanya kasus kecil. Saleh sendiri, menurut Ustadz Romly, tidak pernah meresahkan masyarakat karena Saleh memang bukan orang terkenal. Keresehan masyarakat, lanjut Ustadz Romly, justru disulut oleh KH Zaini Abdul Aziz. "Sebab dalam setiap pengajian, Kiai Zaini selalu mengekspose kesesatan ajaran yang diikuti Saleh. Bahkan surat pernyataan yang dibuat Saleh yang menyatakan bahwa KH As'ad meninggal tidak baik, difotokopi oleh Kiai Zaini dan disebarluaskan. Anehnya, surat pernyataan yang difotokopi dan disebarkan itu bentuk tulisannya tidak sama dengan tulisan Saleh," ujar Ustadz Romly.
Dalam usaha menjatuhkan Saleh, ungkap Ustadz Romly, KH Zaini Abdul Aziz telah meminta kepada MWC-NU Kapongan agar melapor ke Polsek Kapongan. Melalui surat bernomor O9/MWC/V/1996 tertanggal 7 Mei 1996, Ketua MWC-NU Kapongan H Saiful Abrori dan Sekretarisnya H Samsuddin meminta Kapolsek Kapongan agar menangani kasus Saleh secara serius sesuai hukum yang berlaku. "Tapi entah disengaja atau tidak, stempel yang digunakan pada surat itu keliru menggunakan stempel lama yang sudah tidak berlaku," ungkap Romly.
Tanggal 14 Mei 1996, ungkap Ustadz Romly, para pengurus NU Situbondo membahas surat dari MWC-NU Kapongan itu di kantor PCNU. Rapat dipimpin langsung oleh KH Achmad Solyan, Ketua Syuriah. Hasil rapat diputuskan, bahwa masalah Saleh tidak perlu dibesar-besarkan. Sebab Saleh masih tergolong anak-anak dan belum berkeluarga. Di samping itu, Saleh juga bukan orang yang berpengarah. Pekerjaan sehari-hari Saleh adalah sebagai penjaga Masjid Nurul Islam di Gebang, Kapongan. "Waktu itu Kiai Sofyan malah mengusulkan agar Saleh dititipkan saja sebagai tahanan di kepolisian selama 3 atau 4 bulan agar jera. Tapi pada prinsipnya Kiai Sofyan dan seluruh pengurus PCNU Situbondo tidak setuju jika kasus itu dilanjutkan ke pengadilan," ujur Ustadz Romly.
Pada saat bertemu dengan KH Zaini Abdul Aziz, ungkap Ustadz Romly, ia dimintai penjelasan mengenai hasil rapat di PCNU. Dengan apa adanya, lanjut Ustadz Romly, ia menjelaskan alasan PCNU untuk tidak menyetujui dibawanya kasus Saleh itu ke pengadilan. Malah melalui H Fatchurasyid juga diungkapkan jika Komandan Kodim 0823 yaitu Letkol Imam Prawato tidak menghendaki kasus itu dilanjutkan ke pengadilan. "Tapi Kiai Zaini bilang kalau dia akan memperbarui gugatan. Saya waktu itu hanya menjawab ya terserah saja kalau kemauan kiai begitu. Dan sesudah itu pengurus PCNU tidak mengikuti lagi masalah tersebut," ujar Ustadz Romly.
Mursawi Z.A, 46, Sekretaris LP Ma'arif Situbondo menuturkan bahwa niat KH Zaini Abdul Aziz untuk menuntut Saleh ke pangadilan sebenarnya juga sudah diingatkan oleh Habib Abdurrachman Alkaf, putera Habib Achmad Alkaf (almarhum). Habib Abdurrachman Alkaf, ungkap Mursawi, waktu itu sudah memohon agar kasus Saleh itu tidak perlu dibawa ke pengadilan. Tapi Kiai Zaini tidak mau. Ia tetap berkukuh menuntut Saleh ke pengadilan. “Selama proses peradilan berlangsung, saya sering berjumpa dengan pengikut Kiai Zaini dari berbagai tempat di Besuki. Pengikut Kiai Zaini dari desa Bungatan, Buduan, Mlandingan, dan Besuki menyapa saya dan saya sapa balik," ujar Mursawi.
Soal pernyataan Saleh yang menandaskan bahwa KH As'ad Syamsul Arifin mati tidak baik, ungkap Mursawi, diperoleh Saleh dari seorang Madura yang tak dikenalnya. Ucapan itu kemudian didengar KH Zaini Abdul Aziz dan Saleh diminta untuk membuat pernyataan tertulis tentang pernyataannya itu. Pada saat surat tulisan Saleh itu diedarkan oleh Kiai Zaini, Saleh dipanggil oleh Habib Abdurrachman Alkaf. "Waktu itu Saleh dimarahi Habib Abdurrachman dan disuruh meminta lagi surat pernyataannya itu kepada Kiai Zaini. Tapi Kiai Zaini tidak memberikan malah memfotokopi dan menyebarluaskan. Namun setahu saya, keluarga Kiai As'ad tidak ada yang terpancing emosi oleh surat itu," ujarnya.
KH Kholil As’ad, pengasuh Pondak Pesantren Walisongo menuturkan bahwa seseorang tak dikenal telah memberikan fotokopi surat pangakuan Saleh itu kepadanya. "Tapi saya tidak menghiraukannya. Bahkan saat Saleh disidang karena suratnya itu, saya tidak tahu-menahu. Baru pada sidang Saleh yang ke-4 saya tahu kalau anak itu diadili. Itupun setelah ada petugas yang datang meminta bantuan agar saya ikut mengamankan sidang," ujar kiai muda yang dikenal sebagai guru ilmu tasauf itu (Laporan Tim Pencari Fakta GP Ansor Jatim, 1996).

Dalam sidang keempat kasus itu, 3 Oktober 1996, Saleh membantah tuduhan menodai agama Islam. "Saya datang hanya untuk musyawarah dan saya ingin tahu tanggapan Kiai Zaini, apakah pendapat saya betul atau tidak," kata lulusan SMAN II Situbondo itu. Massa yang antara lain datang dari Besuki, Panarukan, dan Asembagus yang mencapai 1.000 orang itu marah. Hadir pula dalam sidang itu Ny. Aisyah, putri Kiai As'ad yang duduk dengan kaki diangkat ke kursi. Aisyah, yang biasa dipanggil Nisa itu, tampak marah dan meremas-remas rokok Gudang Garam, serta menyalakan korek api sampai habis satu kotak. Ia tak menggubris, meskipun sudah diperingatkan petugas.
Seusai sidang teriakan "Bunuh Saleh" pun terdengar. Massa berusaha mengeroyok Saleh, tapi diamankan puluhan petugas dengan memasukkannya ke tahanan PN Situbondo. Massa yang sudah kalap merusak pintu dan jendela tahanan. Sekitar 10 orang membongkar genteng, jendela plafon, dan berhasil menghajar Saleh dalam selnya. Tindakan ini bisa dihentikan dengan bantuan Ny. Aisyah. Tapi, massa yang ada di luar tahanan tak mau beranjak. Mereka menuntut Saleh dihukum mati dan mereka yang akan mengeksekusinya. Teriakan Kapolres Situbondo, Letkol Endro Agung, sudah tak didengar. Baru setelah Ny. Aisyah berteriak-teriak lewat megaphone mengajak pulang, massa pun bubar. Saleh diantar ke rutan dalam satu mobil bersama Ny. Aisyah. "Saya sudah tidak dendam pada Saleh," kata Nisa.
Dalam sidang ke lima, 10 Oktober 1996, Saleh yang dijaga oleh 100 orang aparat dari komando distrik militer (kodim) sudah sampai pada tuntutan jaksa. Hadir pula ribuan pengunjung dari luar kota. Mayoritas adalah Madura pendalungan (pendatang) yang beragama Islam dan jemaah NU. Kabar akan adanya sidang Saleh mereka dengar dari mulut ke mulut. Tapi ada sumber yang menyebutkan bahwa K.H. Zaini yang telah memfotokopi undangan dari PN itu. Selama sidang, massa tetap tenang. Jaksa menuntut Saleh hukuman 5 tahun penjara, sesuai dengan Pasal 156 (a) KUHP tentang Penodaan Agama.
Tindakan brutal baru terjadi seusai sidang. Sebagian massa yang tak puas dengan tuntutan jaksa, dan ingin Saleh dihukum mati, mulai melempari gedung pengadilan dengan batu. Suasana jadi kacau. Seorang petugas Kodim terkena lemparan batu. Teriakan peringatan Komandan Kodim, Letkol Imam Prawoto, tidak digubris. Batu-batu terus berjatuhan, setelah ada aparat yang membalas aksi massa itu. Karena terdesak, aparat masuk ke dalam gedung. Massa yang sudah kalap terus mengamuk. Aparat dan para hakim, termasuk Erman Tanri, ketua PN Situbondo yang keningnya luka kena lemparan batu, melarikan diri lewat sungai di belakang gedung PN. Saleh pun diselamatkan ke arah belakang.
Entah siapa yang menyulut, ada massa yang berteriak bahwa Saleh dilarikan ke Gereja Bukit Sion yang terletak sekitar 200 meter sebelah barat gedung PN. Isu bahwa hakim yang mengadili ada yang beragama Kristen pun merebak. "Padahal, 3 hakim dan jaksa yang mengadili Saleh, semua beragama Islam," kata Erman Tanri. Massa yang marah kemudian membakar mobil di depan gedung PN milik kejaksaan dan anggota Polres, serta sebuah sepeda motor. Pesawat televisi pun dibakar. Akhirnya, gedung PN pun membara. Massa pun bergerak ke Gereja Bukit Sion. Berbekal bensin dari pom bensin di depan gereja dan dari kendaraan-kendaraan bermotor yang dihentikan, mereka membakar gereja setelah lebih dulu menguras isinya.
Mereka dengan aksinya ini pun lalu mencari sasaran lainnya. Gereja Protestan Indonesia Barat (GPIB) yang terletak di sebelah Polres akan jadi sasaran berikutnya. Tapi pembakaran gagal karena dicegah oleh petugas anti huru-hara. Hanya pagar dan papan nama gereja saja yang sempat dirusak. Karena diblokir, massa pun kemudian bergerak ke Jalan W.R. Supratmam. Mereka membakar bangunan SD dan SMP Katholik dan Gereja Maria Bintang Samudra. Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) dan gedung TK/SD/SMP Kristen Imanuel jadi sasaran berikutnya. "Untung murid-murid sudah kami pulangkan. Kalau tidak, wah, ngeri saya membayangkannya." kata seorang guru SMPK.
Massa bergerak lagi ke arah timur. Gereja Pantekosta dan Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) di Jalan A. Yani turut pula menjadi sasaran amukan massa. Tak hanya gereja dan bangunan sekolah Kristen saja yang diincar, rumah makan Malang dan pertokoan Tanjungsari pun tak luput dari perusakan. Malapetaka juga terjadi pada sasaran berikutnya, yaitu rumah pendeta dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Bahtera Kasih. Di dalam rumah itu tinggal pendeta Ishak Kristian, 71 tahun, isterinya Ribka Lena, 68 tahun, dan anaknya Elisabeth Kristian 23 tahun. Juga keponakannya, Nova Samuel dan Rita Karyawati, yang sedang magang pendeta di sana. Mereka tak berani keluar dan akhirnya terbakar di dalam rumah.
Secara lebih lengkapnya, gereja yang dirusak adalah sebagai berikut:
1.Gereja Bethel Indonesia/GBI Bukit Sion (di bakar)
2.Gereja Pantekosta di Indonesia /GPdI (di hancurkan)
3.Gereja Bethel Injili Sepenuh/GBIS (di bakar)
4.Gereja Sidang Jemaat Pantekosta/GSJP (di bakar)
5.Gereja Kristen Jawi Wetan/GKJW (di bakar)
6.Gereja Pantekosta Pusat Surabaya/GPPS (di bakar)
7.Gereja Protestan Indonesia Barat/GPIB (dihancurkan)
8.Gereja Katolik (di bakar), Panarukan
9.Gereja Katolik (dibakar)
10.Gereja Pantekosta di Indonesia/GPdI (di bakar), Wonorejo
11.Gereja Pantekosta di Indonesia/GPdI (di rusak)
12.Gereja Kristen Jawi Wetan/GKJW (di bakar)
13.Gereja Bethel Tabernakel/GBT (di bakar),
14.Gereja Katolik (di rusak), Asembagus
15.Gereja Bethel Injili Sepenuh/GBIS (di bakar)
16.Gereja Pantekosta di Indonesia/GPdI (di rusak)
17.Gereja Katolik (di bakar), Besuki
18.Gereja Pantekosta di Indonesia/GPdI (dirusak)
19.Gereja Bethel Injili Sepenuh/GBIS (dirusak)
20.Gereja Kristen Jawi Wetan/GKJW (dirusak)
21.Gereja Katolik (di rusak), Ranurejo
22.Gereja Kristen Jawi Wetan/GKJW (Induk) di bakar
23.Greja Kristen Jawi Wetan/GKJW (cabang) di bakar
24.Gereja Kristus Tuhan /GKT (di bakar).
Menurut Sanidin, ketua RT O3/O03 Kampung Mimba'an, Desa Panji, yang rumahnya bersebelahan dengan GPPS, ketika gereja itu dibakar masyarakat tidak ada yang bisa melakukan pertolongan. Bahkan, ketika Sanidin berusaha menyiramkan air ke api yang hampir membakar rumahnya, ia di marahi massa. Tapi, Sanidin berkilah bahwa ia menyirami rumahnya sendiri. Sebenarnya, ketika GPPS terbakar, ada 10 orang di dalamnya. Namun, dua pembantu bisa menyelamatkan diri dengan naik ke atap dan meluncur ke rumah tetangga lewat pipa. Walaupun salah satu lengan pembantu ini terbakar tapi jiwanya selamat. Sanidin menduga pendeta Ishak yang dikenal sebagai orang baik semasa hidupnya itu, tidak bisa menyelamatkan diri karena berusaha melindungi isterinya yang lumpuh karena rematik.
Saat itu tak ada seorang petugas pun yang bisa mencegah kebrutalan massa. Massa malah ikut mengajak para pelajar SMEA yang letaknya di depan GPPS ini untuk membakar gereja. "Kalau kalian santri, ayo, ikut bakar gereja," kata seorang diantaranya. Tapi, para pelajar itu tak menurutinya.
Sanidin tidak tahu massa itu berasal dari mana. "Saya tak kenal mereka," ujarnya.  Warga kota santri itu pun melihat banyak-nya massa yang berbicara dengan logat bukan khas Situbondo. Bahkan dilaporkan, saat kejadian begitu banyak kendaraan bermotor yang bernomor polisi dari luar Situbondo (Kompas, 1 Pebruari 1997)
Setelah membakar gereja, sebagian massa naik ke 3 truk menuju ke arah timur. Mereka diduga menuju Asembagus. Lainnya menyebar ke JalanArgopuro dan membakar salah satu rumah pendeta yang juga dijadikan gereja. Massa masih bergerak menuju pertokoan Mimbaan Baru di depan terminal Situbondo. Selain rumah bilyar, mereka juga merusak gedung bioskop.
Ketika merusak pertokoan itulah, satu kompi senapan batalyon infantri 514 datang. Petugas langsung memukuli dan mengangkut orang yang dianggap sebagai biang kerusuhan. Tindakan para petugas itu membuat massa lari tunggang langgang. Sebagian lari ke Gang Karisma, dan masih sempat-sempatnya membakar rumah anak yatim di bawah asuhan Yayasan Buah Hati. Sebagian massa lainnya lari ke Jalan Jaksa Agung Suprapto dan di sana mereka membakar TK Santa Theresia dan sebuah susteran. Tragedi Situbondo itu baru benar-benar berhenti pada pukul 15.00.
Namun, aksi massa menjalar ke daerah sekitarnya. Di Asembagus dan Besuki, yang jaraknya lebih dari 30 kilometer ke arah timur Situbondo, mereka membakar 3 gereja, sedang di Kecamatan Banyuputih ada 6 gereja dan sebuah rumah pendeta yang dibumihanguskan. Massa juga bergerak ke arah barat. Sejak pukul 15.00 sampai Magrib, massa beraksi di Panarukan, 6 kilometer dari Situbondo dan membakar 2 gereja. Dari sana, mereka bergerak ke Besuki yang jaraknya hampir 30 kilometer dari Situbondo dan membakar 2 gereja, sebuah klenteng, serta merusak sebuah toko di alun-alun. Aksi bakar hangus ini baru benar-benar reda pada pukul 23.00.
Aparat keamanan dari lokasi seputar kerusuhan baru berdatangan ke Situbondo menjelang Magrib. Malam itu 120 orang ditangkap dan diseleksi menjadi 46 orang. Dari jumlah sekian, 11 diantaranya pelajar dari STM, SMA, dan SMEA Ibrahimi yang ketua yayasannya dipegang oleh K.H. Fawaid, salah satu putra K.H. As'ad. "Kami pengurus sekolah merasa malu pada masyarakat dan pengasuh pondok, tapi mereka hanya ikut-ikutan," kata seorang guru. Selain pelajar, juga ditahan sejumlah santri dari pondok Wali Songo, Mimbaan dan "anjal" alias anak jalanan, sebuah perkumpulan bekas preman yang dibina oleh K.H. Cholil, juga salah satu putra K.H. As'ad.
Malam itu diadakan pertemuan antara Kasdam Brawijaya Brigjen Muchdi. kapolwil Besuki, Danrem Malang, Muspida Situbondo, dan para ulama. Kepala staf daerah militer meminta ulama untuk menenangkan suasana. Pertemuan serupa diadakan oleh Pangdam Imam Oetomo pada keesokan harinya. "Semua pelaku akan diusut tuntas," janji Imam Oetomo (www.tempointeraktif.com, 19 Oktober 1996).

4. Kasus Mas’ud Simanungkalit
Masud Simanungkalit, 50 tahun, adalah mantan wartawan Harian Angkatan Bersenjata yang kemudian berprofesi sebagai karyawan di Otorita Batam. Rabu (24/03/05) dia divonis tiga tahun penjara di Pengadilan Negeri Batam, Kepulauan Riau. Masud, menurut Ketua Majelis Hakim Janatul Firdaus, bersalah karena telah salah menafsirkan al-Quran.
Masud menerbitkan buku berjudul "Kutemukan Kebenaran Sejati dalam al-Qur’an". Dalam Buku setebal 25 halaman itu, Masud menyelewengkan dua kalimat syahadat, dari asyhadu Anla ilaha ilallah wa asyhadu anna Muhammadan Rusullah diubah menjadi asyhadu anla ilaha ilallah wa asyhadu anna Isa Mahdiyah Ruhullah Wakalimatullah. Selain itu dalam tafsir itu Masud menyebutkan Allah Bapak di Surga. "Dalam Islam itu tidak ada," kata Hakim Janatul. Dalam buku yang disebarluaskan atas nama Yayasan al- Hanif, menurut hakim, Masud menafsirkan secara salah surat Yasin.
Lebih lengkapnya dikemukakan oleh Ja’far Usman al-Qari
Pengurus Masjid Raya Batam Center, Sekretaris Eksekutif MUI Batam. Menurutnya, di halaman 10 buku tersebut misalnya, Simanungkalit membuat sebuah statemen persaksian yang dalam Islam dikenal dengan syahadat. Sebagai kesimpulannya dalam memahami yang sekaligus menyalahgunakan firman Allah SWT yang terdapat dalam QS. al-Nisa’ ayat 171, 172, 173; Ali Imran ayat 45; al-Zuhruf ayat 61; Maryam ayat 17, 19, 20, 21; Lukman ayat 34; al-Tin ayat 8; dan al-Nas ayat 1. Dari pemahaman ayat-ayat tersebut Masud menciptakan sebuah syahadat bagi alirannya (Islam al-Hanif) yang berbunyi: ”Asyhadu anla Ilaha Illallah wa asyhadu anna Isa Mahdiyah Ruhullah Wakalimatullah” yang artinya: Saya bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Isa adalah Ruh dan Firman Allah.
Dalam telaah yang dilakukan Drs H Masrum M Noor MH.terhadap buku tersebut bahwa di halaman 7, Simanungkalit juga memberikan tanggapannya terhadap paham Trinitas dengan mendasarkan pendapatnya pada dasar yang tidak tepat, yaitu menggunakan QS. al-Maidah ayat 72 dan 73 yang tidak bercerita tentang hal tersebut. Dan pada halaman 12 buku itu, Simanungkalit menyatakan bahwa umat Islam al-Hanif melakukan salat berjamaah atau ibadah pada hari Sabtu dan mejadikan QS. al-Nahl: 124; al-Nisa:47, 154; al-A’raf: 163; dan al-Baqarah: 65, 66 sebagai dasarnya. Ini adalah pemerkosaan pemahaman ayat yang sangat bodoh dan pengecut. Karena Simanungkalit dalam penjelasannya dengan sengaja membuang bagian ayat yang menjelaskan bahwa ayat-ayat tersebut adalah memang menerangkan tentang kondisi Bani Israil dan Yahudi. Maka semestinya Simanungkalit sportif untuk tidak menyebutnya sebagai cara ibadah umat Islam al-Hanif. (www.harianbatampos.com, 24/09/05).
Menafsirkan al-Qur'an, kitab suci umat Islam, menurut Hakim Jannatul, tak bisa dilakukan sembarang orang. Apalagi penafsiran itu dijadikan buku guna disebarluaskan. Sebab bisa memicu kemarahan umat dan berujung permusuhan antar umat beragama. Majelis Hakim menilai Masud telah melanggar pasal 156a huruf a jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP tentang penodaan agama."Masud Simanungkalit dengan sengaja melakukan perbuatannya serta tidak sedikitpun merasa menyesal atas perbuatannya," kata Hakim Jannatul.
Memang terdakwa sempat mengirim surat permintaan maaf kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Batam. Namun tak sedikitpun merasa bersalah. Bahkan dalam surat tersebut Masud minta agar MUI menyetujui Islam al-Hanif yang didirikannya.
Ashari Abbas, Ketua MUI Batam menyatakan, putusan hakim itu cukup bagus dan memuaskan. Sebab, sepengetahuannya, Masud Simanungkalit bukan beragama Islam. Dalam persidangan terdakwa mengaku masuk agama Islam setahun yang lalu. "Orang beragama Islam saja belum tentu bisa menafsirkan al-Qur'an, apalagi agama lain," kata Ashari (www.tempointeraktif.com, 24/03/05).

5. Kasus Sekte Pondok Nabi
            Kasus ini terjadi di lingkungan agama Protestan. Korbanya adalah Mangapin Sibuea, 59 tahun, pimpinan sekte ‘Pondok Nabi’ di Bandung. Mangapin Sibuea dijatuhi hukuman dua tahun penjara dengan tuduhan melanggar pasal 156a KUHP tentang tindak pidana bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia oleh Pengadilan Negeri Bale Endah, Bandung, Jawa Barat (www.tempointeraktif.com, 8 April 2004).
Vonis penjara dengan potongan masa tahanan itu dibacakan Ketua Majelis Hakim Sir Johan, didampingi hakim anggota, Dwi Sugiarto dan DS Dewi, Selasa 6/4/2004. Selain vonis penjara, hakim memutuskan bahwa barang bukti berupa tiga keping VCD berisi rekaman khotbah Mangapin dan sebuah buku berjudul ‘Kiamat Dunia Akan Segera Terjadi’ disita (Kompas Cyber Media, 7 April 2004).
Sebanyak 283 anggota jemaat sekte yang sedang menunggu kiamat di rumah peribadatan mereka dipimpin pendeta Mangapin Sibuea di Jalan Siliwangi, Bale Endah, Kabupaten Bandung, Senin (10/11/03). Namun, mereka kemudian dievakuasi aparat Kepolisian Resor Bandung. Ini dilakukan menyusul protes warga sekitarnya. Selain itu, ada kekhawatiran para anggota jemaat yang di dalamnya banyak anak-anak akan melakukan upaya bunuh diri.
Sebelumnya, suasana di Bale Endah pada petang hari menjelang pukul 15.00 memang kurang kondusif, dengan berkumpulnya puluhan warga masyarakat yang umumnya keberatan tentang adanya aktivitas jemaat di sekitar lingkungan mereka itu. Dari dalam rumah ibadah Pondok Nabi yang berlantai dua itu sendiri terdengar nyanyian dan tangis jemaat.
Pada pukul 15.30, aparat Bimbingan Masyarakat Polres Bandung memutuskan mengevakuasi jemaat Pondok Nabi ke Gereja Bethel Tabernakel di Jalan Lengkong Besar, Bandung, dengan menggunakan mobil pengendalian massa (dalmas). Evakuasi ke gereja itu atas petunjuk Dewan Gereja Jawa Barat, agar jemaat itu bisa dibina kembali.
Jemaat Pondok Nabi tersebut dievakuasi dengan didampingi Tim Crisis Center Forum Komunikasi Kristen (TCC FKK) Jawa Barat.  Acara pengangkatan dengan berkumpul di Pondok Nabi, memang gagal. Tapi dia mengelak kalau pengangkatan urung terjadi, lantaran aparat polisi dan pihak Crisis Center Forum Komunikasi Kristen Indonesia (FKKI) menghentikan acara tersebut. “Ditengah-tengah acara Pendeta Simon Timorason masuk,” kata Sibuea. Pendeta Simon Timorason adalah Ketua Crisis Center FKKI Jawa Barat. FKKI tergolong menentang dan menganggap Sibuea sesat (www.tempointeraktif.com, 12 November 2003).
Sibuea kemudian diperiksa dan ditahan. 13 tersangka yang lain juga diperiksa selama dua hari lalu ditahan di Markas Polres Bandung. Mereka adalah Michael Timotius, Ester Sinaga, Andreas, Ferry, Charles, Brijones, Marthen, Josep Hasian, Ery Indiardi, Yohanes, Daniel Kale, Yani Batuwael, dan Sela. Mereka juga masih menjalani pemeriksaan. Sebelas dari mereka bertindak sebagai rasul dan seorang selaku nabiah (nabi perempuan). Sedangkan 21 pengurus sekte kiamat pimpinan pendeta Mangapin Sibuea lain hingga kini masih diperiksa intensif. Mereka semua perempuan dan 14 di antaranya adalah nabiah (www.liputan6.com, 12/11/2003).
Pada proses berikutnya, Mangapin yang diduga menyebarkan aliran sesat kepada para jemaatnya, dituntut tiga tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Hutagaol, SH., dalam sidang pembacaan tuntutan di PN Bale Bandung. Sidang dipimpin majelis hakim yang diketuai Sir Johan, SH dengan dua anggotanya Eddy Pangaribuan, SH., serta Bachtiar Sitompul, SH.
ia dituntut telah melakukan tidak pidana penodaan agama secara berulang kali sebagaimana diatur dalam pasal 156a KUHP. Penodaan agama tersebut dilakukan terdakwa sekitar Mei 2002-Januari 2003 lalu di tempat tinggalnya di RT 02 RW.08, Kel. Baleendah Kec. Baleendah, Kab. Bandung. Sibuea dengan sengaja di muka umum melakukan perbuatan bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan agama yang dianut di Indonesia. 
Yang dianggap lebih menyesatkan lagi, Mangapin meyakini bahwa pada 10 November 2003 dunia akan kiamat. Ia meyakini hal itu melalui suara langsung yang didengar dari Tuhan ke telinganya setelahnya berpuasa selama tujuh hari tujuh malam. Di bulan Mei 2002, Mangapin telah merekam ajarannya dalam sebuah VCD kemudian disampaikan kepada para jemaatnya. Dalam rekaman itu terdakwa mengatakan bahwa pendeta-pendeta Kristen adalah nabi-nabi palsu yang tempatnya di neraka dan menyebutkan baptisan di luar kebenaran al-Kitab.
Pembelanya, Habel, menyatakan, tidak realistis. Karena di persidangan tidak ditemui unsur-unsur penodaan agama yang dilakukan kliennya. Bahkan, tidak ada tindak provokasi terhadap agama lain serta melakukan paksaan terhadap para jemaatnya untuk mengikuti ajarannya. Justru dalam Surat Penetapan Presiden (PNPS) No. 1/1965, yang dimaksud penodaan agama jika satu kegiatan agama tertentu telah memprovokasi agama lain.  (Pikiran Rakyat, 10 Maret 2004)
Pembacaan vonis yang memakan waktu hampir satu setengah jam itu berjalan tenang. Hanya sekali Managapin menunjukkan perasaannya dengan bertepuk tangan, tatkala mendengar tuduhan yang dibacakan hakim anggota. Terhadap putusan itu, Mangapin menyatakan banding, dan menunjuk pengacara baru, yakni Djonggi M. Simorangkir. Kepada wartawan, Mangapin menyatakan, dirinya tidak pernah berpendapat bahwa kiamat dunia terjadi pada 10 November 2003 ditandai dengan lenyapnya langit dan bumi, serta binasanya semua manusia. "Itu persepsi orang lain yang dikenakan kepada kami, lalu dituntut di pengadilan," katanya. Lalu, ia mengungkap kiamat versi dirinya. "Kiamat itu berarti, kami sudah kiamat, sudah tidak bisa berbuat dosa lagi. Sebab, kami sudah dikuasai oleh roh dari Allah," kata Sibuea.
Di tempat yang sama, Djonggi menyatakan pihaknya akan mengajukan banding karena persidangan terhadap Mangapin berbeda dengan persidangan 12 rasul pengikut Mangapin yang juga ia dampingi. Sekadar contoh, di persidangan, ia sudah memeriksa saksi Jhon Madris Nainggolan (Bimbingan Masyarakat Kristen, Depag Jawa Barat) dan Lumban Tobing (Sekretaris Umum PGI Wilayah Jawa Barat). Ternyata, keduanya mengaku tidak ada yang dirugikan. Selain itu, ia juga keberatan jika pernyataan Mangapin disebut menodai agama. "Kalaupun penjabaran al-Kitab (yang dilakukan Mangapin) tidak benar, itu upahnya hanya dosa dari Tuhan, bukan dari pemerintah," ujarnya, dengan nada tinggi.
Ditahan di Rutan Kelas I Kebon Waru, Bandung, Mangapin tetap yakin bahwa tanggal 10 November terjadi pengangkatan dan para jemaat telah dimurnikan Tuhan. Ia  juga "meralat" keyakinan sebelumnya soal kiamat 10 November 2003 menjadi 11 November 2007 (KCM, 13/11/2003). Esoknya, tepat tanggal 14/11/2003, sekitar pukul 13:00 WIB, ratusan warga sekitar menghancurkan ‘Pondok Nabi’ Jalan Siliwangi 75 Baleendah --tempat pendeta itu mengajarkan ajarannya kepada sekitar 284 jamaah. Selain merobohkan pagar pondok, warga juga menjebol pintu pondok lalu merobek-robek seluruh dokumen Mangapin maupun buku-buku berisi ajarannya yang masih tersisa di sana. Akibatnya sepenggal jalan Siliwangi penuh sobekan kertas di antaranya berisi penafsiran Mangapin dalam Alkitab tentang datangnya hari kiamat 10 November 2003.
Warga juga merusak tempat tinggal Mangapin di jalan yang sama nomor 55. Namun, kerusakan di rumah ini tidak separah di ‘Pondok Nabi’ karena keburu petugas dari Polsek Baleendah datang ke lokasi. Setelah merobohkan pagar pondok, warga beramai-ramai menempeli kertas karton bertuliskan kecaman-kecaman terhadap Mangapin. Tulisan itu, di antaranya "jangan kotori RW 10 dengan ajaran sesat", "jangan kotori kami dengan ajaran setan". Tulisan lain, yakni "bongkar bangunan Pondok Nabi".
Sekadar tahu saja, RW 10 yang dimaksud dalam tulisan itu adalah wilayah pondok itu berada, tepatnya kampung Sibolga RW 10 Kelurahan Baleendah. "Bangunan ini (Pondok Nabi) harus dirobohkan, karena memang juga belum punya izin bangunan (IMB)," kata seorang tokoh warga RW 10. Bukan hanya menempelkan kertas bertuliskan kecaman terhadap Mangapin. Sebagian warga juga menorehkan kecaman dengan cat pilok di dinding ruang utama ‘Pondok Nabi’--ruang bekas 284 jamaah Mangapin menggelar ritual menunggu datangnya kiamat 10 November. Tulisan cat pilok itu, di antaranya berbunyi "Mangapin Setan", Mangapin Penyebar Ajaran Sesat", dan lainnya (Banjarmasin Post, 15/11/05).
Sumber yang dihimpun di lapangan menyebutkan, ratusan warga yang meluapkan kekesalan mereka terhadap Mangapin itu terjadi secara mendadak. "Mereka datang satu per satu, lalu tidak lama kemudian menjadi kumpulan massa. Kejadiannya tidak lama, kurang dari seperempat jam," tutur Erma, warga yang rumahnya berdampingan dengan ‘Pondok Nabi’.
Pada proses selanjutnya, pihak Mangapin menuntut balik. Menurut Habel Rumbiak, sang pengacara, tindakan FKKI dianggap telah mendeskriditkan banyak pihak di kelompok pondok nabi, pribadi dan keluarga Managapin. Dugaan adanya unsur fitnah pun ditujukan kepada Simon dan FKKI dalam tiap pernyataannya. Secara organisasi, FKKI akan dituntut secara perdata. "Untuk tuntutan yang satu lagi, kita akan mengajukan pasal 310, 311 tentang pasal penghinaan KUHP pidana," kata Habel.
Menanggapi itu, Pendeta Simon mengaku tidak gentar. Karena apa yang dilakukannya adalah gerakan kemanusiaan. "Bayangkan, kalau waktu itu mereka bunuh diri massal?,” kata Simon. Ketidak-gentaran Simon ditunjukkannya dengan dukungan pengacara dari Persatuan Gereja Indonesia Wilayah (PGIW) Jawa Barat, Gerakan Angkatan Muda Kristen (Gamki) dan lainnya.
Simon juga membantah dirinya melakukan penghinaan terhadap Mangapin. Karena apa yang dilakukan FKKI adalah mengevakuasi. "FKKI khawatir massa stress, lalu terjadi bunuh diri atau mati massal," kata Simon. Simon justru menyesalkan sikap pengacara yang hanya memikirkan Sibuea. "Pikirkan dong nasib ratusan jemaatnya," katanya. Dicontohkannya, para jemaat kesulitan biaya untuk pulang kampung, lantaran harta benda sudah dijual demi Mangapin (www.tempointeraktif.com, 20 November 2003).
Sekedar informasi, Managapin dilahirkan di Tapanuli, 17 Oktober 1944. Ia menamatkan pendidikan sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat pertama, sampai sekolah kejuruan (STM) di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Dari sana ia masuk sekolah Alkitab di daerahnya, kemudian dilanjutkan ke Beji, Malang, Jawa Timur, sampai tahun 1966. Selama 16 tahun dia menjadi pendeta Gereja Pantekosta di Indonesia, dan menjadi pendeta jemaat Filadelfia sampai tahun 1999. Ia keluar dari jemaat itu dan membentuk sekte Pondok Nabi.
Tempat ibadah kelompok yang dipimpin Mangapin pernah dibakar warga sekitar yang resah. Soalnya, ia mengaku sebagai rasul terakhir dan mengajak warga bergabung. Untuk kasus ini, Managapin masih menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri Bale, Bandung. Ia kemudian memindahkan tempat ibadahnya ke sebuah gudang di Bale Endah, Bandung (www.liputan6.com, 11/11/2003).
Sekte pimpinannya ini sebenarnya telah dilarang Kantor Wilayah Departemen Agama Jawa Barat pada tahun 2000. Pondok Nabi dinyatakan sebagai aliran sesat. Tim Reserse Kriminal Kepolisian Resor Bandung Tengah menetapkan 13 dari 34 pengurus sekte kiamat sebagai tersangka. Mereka bakal dijerat Pasal 156a KUHP tentang permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan agama dengan ancaman penjara lima tahun.

6. Kasus Artikel ‘Islam Agama yang ‘Gagal’ Karya Rus’an
Rus’an adalah dosen Fakultas Agama Universitas Muhammadiyah Palu. Rus’an menulis artikel berjudul ‘Islam Agama yang ‘Gagal’ dan dimuat di harian Radar Sulteng pada hari Kamis, 23 Juni 2005. Akibat tulisannya itu polisi mengenakan tuntutan tindak kriminal kepada Rus’an karena telah menghina Islam, dan menahannya selama 5 hari sebelum mengenakan tahanan kota.
Penulis yang juga sekretaris DPC PAN Palu itu mempersoalkan agama yang ternyata tidak berpengaruh banyak kepada pemeluk-pemeluknya. Dengan bahasa yang ekstrem, agama di Indonesia telah gagal semua. Sembari itu, ia mengutip ucapan-ucapan Karl Marx yang menyatakan bahwa ‘agama merupakan candu bagi masyarakat. Agama merupakan suatu minuman keras spritual. Agama dipandang sebagai penyebab penindasan, eksploitasi kelas dan lebih jauh lagi penyebab munculnya imajinasi-imajinasi non produktif. Sehingga kaum komunis menganggap agama sebagai racun dan harus dibinasakan keberadaannya. Semuanya disitir dari tulisan Vladimir Lenin tahun 1905.
Ia bahkan menyatakan bahwa ternyata masyarakat lebih suka nonton sinteron dari pada mau mendengarkan nasihat-nasihat para tokoh agama yang penuh dengan retorika belaka. Yang lebih menyakitkan bagi tokoh muslim di Palu adalah  pernyataannya yang mempersalahkan agama dan bukan oknum penganutnya berkaitan dengan merebaknya kasus korupsi.
Pada paragraf terakhir berbunyi; “Dengan melihat realitas yang terjadi seperti yang digambarkan di atas, kita harus memutuskan apakah agama masih memiliki makna bagi kehidupan manusia di masa kini? Bila jawabannya tidak, maka itulah agama yang gagal." diklaim menyulut amarah massa.
Inilah yang mendorong sejumlah warga (tak kurang dari 2000 orang versi detikcom atau ratusan massa menurut Media Indonesia Online atau  ribuan massa seperti ditulis Portal Berita Sulteng yang menamakan dirinya Komunitas Muslim Kota Palu—antara lain terdiri dari pelajar, mahasiswa, dan pemuda Perguruan Islam al-khairat Palu, mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Palu, mahasiswa Universitas al-khairat, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, dan Himpunan Mahasiswa Islam berdemo pada hari Sabtu, 25 Juni 2005. Mereka meminta harian kelompok media Jawa Pos Group itu untuk berhenti terbit. Penutupan dianggap sebagai bentuk permohonan maaf mereka atas artikel itu (www.aji-jakarta.org, 25 Juni 2005). Karena maraknya protes, Radar Sulteng akhirnya memutuskan tidak terbit selama 3 hari sejak hari ini meskipun kantor tetap buka dan karyawan masih masuk.
Sebelum bertolak ke kantor Radar Sulteng, mereka membacakan sikap di Mapolda Sulteng. Mereka meminta aparat penegak hukum segera menangkap oknum yang menghina umat Islam sekaligus memberikan hukuman yang seberat-beratnya. Juga mengancam akan mengerahkan massa yang lebih besar dan menyelesaikan sendiri kasus tersebut apabila dalam tempo 1x24 jam lembaga kepolisian di daerah itu tidak bereaksi mengambil tindakan tegas.
Hukuman yang dimaksud bukan saja karena bersangkut paut dalam soal penodaan agama tetapi menyangkut pasal penyebaran faham atheisme. Opini tersebut, seperti diklaim mereka, merupakan bentuk penyebaran ajaran komunisme sementara ketetapan MPRS yang melarang ideologi tersebut hingga kini belum dicabut.
Menanggapi tuntutan pengunjuk rasa, Kapolda Sulteng Brigjen Aryanto Sutadi yang menerima mereka mengatakan pihaknya sudah melakukan proses penyidikan terhadap kasus tersebut sebelum ada permintaan dari masyarakat, sebab tulisan di kolom opini Radar Sulteng itu telah memenuhi unsur penondaan terhadap agama. Prosesnya tidak dimulai dari penyelidikan tetapi langsung ke penyidikan.
Sementara itu, Wakil Pemimpin Redaksi / Penanggung jawab Radar Sulteng Udin Salim yang dikonfirmasi secara terpisah mengakui terjadi keteledoran di pihak redaksi sehingga muncul tulisan saudara Rus'an yang meresahkan itu. Pihak kami sudah menyampaikan permohonan maaf kepada umat Muslim dan khalayak atas kehilafan ini, dengan menurunkannya dalam menerbitan dua kali berturut-turut sejak Jumat (24/6/2006) (Media Indonesia Online, 25 Juni 2005).
            Lalu apa jawaban Rus'an. Ia menyatakan bahwa tulisan tersebut sekedar kritik. “Saya juga Islam tapi saya juga mengkritisi perilaku elit kita yang jauh dari nilai-nilai agama agung ini,". Pria kelahiran Tolitoli 11 Juni 1973 yang juga diduga merupakan anggota JIL ini menyebutkan kalau ia tak berniat sedikit pun menistakan agama. Namun, jika menyakiti perasaan umat, ia meminta maaf. “Saya tidak bermaksud apa-apa," ujarnya.
Polda Sulteng, di pihak lain, meminta keterangan keterangan Ketua Majelis Ulama Indonesia Sulteng HS Saggaf al-Jufri. Polisi juga telah memeriksa Rus'an. Menurut Kapolda Sulteng Brigjen Ariyanto Sutadi, ia telah menjadi tersangka, terkait artikel opini yang dituding menista agama Islam ini. "Sebelum ada laporan Polisi terkait artikel opini itu, kami sudah membahasnya. Rus'an langsung kami tetapkan sebagai tersangka," kata Kapolda Ariyanto di Polda Sulteng, Jalan Sam Ratulangi, Palu Timur (detikcom, 25 Juni 2005).

7. Kasus YKNCA Probolinggo
Kasus ini menimpa Yayasan Kanker dan Narkoba Cahaya Alam (YKNCA) Probolinggo yang dipimpin Ardhi Husein. Dalam kasus ini Ardhi Husein dipenjaran 5 tahun dengan tuduhan melakukan penodaan agama. Pada Jum’at, 27 Mei 2005, padepokan YKNCA, di desa Kerampilan, Kecamatan Besuk, Probolinggo diserbu dan dirusak ribuan massa. Perusakan dan penyerbuan yayasan ini terkait dengan kontroversi isi buku Menembus Gelap Menuju Terang 2 yang ditulis Ardhi Husein dan dinilai sesat oleh MUI Kabupaten Probolinggo. Berbagai media yang terbit esok harinya memberitakan bahwa sekitar 3000 orang menyerbu dan sebagian melempari padepokan tersebut hingga bangunan rumah yayasan itu hancur. Namun semua penghuni dan pasien yang ada di dalamnya dapat diselamatkan.
Dalam pernyataan yang dibuat MUI Probolinggo dan ditandatangani KH. M. Hasan Mutawakkil A, SH dan KH. Mahfud Syamsul Hadi tanggal 16 Mei 2005, dinyatakan beberapa masalah yang dianggap sesat, dari masalah aqidah, syari’ah, dan masalah lain-lain. Dalam masalah aqidah misalnya dipermasalahkan beberapa hal: 1. menganggap rasul masih ada; 2. iblis lebih beriman dari manusia; 3. menganggap kitab Wedha, Tripitaka, Tao, dan Khong futse termasuk shuhuf Ibrahim; 4. masih adanya wahyu yang turun; 5. mengaku bertemu Allah di dunia; 6. Islam hanya untuk orang Arab; 7. masuk surga tidak harus masuk Islam; 8. seiman tidak harus seagama; 9. berucap atas nama nabi Muhammad; 10. menjadi Muslim sejati tidak harus masuk Islam; 11. kitab yang menjadi petunjuk bagi Muslim sejati tidak ada di bumi; 11. mohon ampun kepada Allah tidak diterima tanpa melalui hambanya.
Sedang masalah syari’ah yang dipermasalahkan antara lain: 1. membolehkan menggauli perempuan dengan suka sama suka; 2. menafsirkan al-Quran menurut akal pikiran; 3. syariat nabi Muhammad dianggap berakhir setelah nabi wafat dan dilanjutkan oleh hambanya yang mendapat wahyu langsung dari Allah; 4. perbedaan syariat dianggap sebagai perbedaan yang tidak prinsip; 5. poligami hanya boleh bagi nabi, waliyullah; 6. beribadah dengan menginginkan surga dianggap sombong, dan beribadah takut masuk neraka tidak tulus; 7. para insan kamil berjalan, berpikir dan beribadah tidak seperti manusia sewajarnya.
Tuduhan yang diberikan MUI tersebut diambil berdasar kutipan-kutipan dari buku Menembus Gelap menuju Terang 2 tersebut. Tuduhan-tuduhan inilah yang dijadikan sebagai amunisi dan bahan bakar untuk menggerakkan emosi massa. Meski beberapa tuduhan sudah diklarifikasi dan dijawab oleh Ardhi Husein, namun massa tetap tidak puas, dan akhirnya menyerbu yayasan tersebut.
Dalam amar putusan Majlis Hakim Pengadilan Negeri Probolinggo No. 280/Pid.B/2005/PN.Kab. Prob. tanggal 6 Oktober 2005, Ardi Husein dianggap secara sah meyakinkan melakukan tindak pidana penodaan agama. Barang bukti yang digunakan adalah buku Menembus Gelap menuju Terang 2, lima lembar fatwa MUI tanggal 19 Mei 2005. Tuduhan-tuduhan yang dijadikan dasar putusan PN Probolinggo juga sepenuhnya berdasar surat MUI tersebut.

8. Kasus Shalat Dwi Bahasa Yusman Roy
Yusman Roy adalah pemimpin “Pondok I’tikaf Ngaji Lelaku” di Malang Jawa Timur. Dalam komunitasnya itu, Yusman Roy mempratekkan shalat dua bahasa (Arab-Indonesia), sebuah praktek dalam shalat yang agak tidak lazim. Sebagai hal yang tidak lazim, praktik tersebut dianggap salah dan “menyesatkan”. Oleh karena itu, semua komunitas agama seperti Majlis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah menganggap hal tersebut menyalahi praktik shalat yang dilakukan Nabi Muhammad saw (shallû kamâ ra`aitumûnî ushallî). Dia akhirnya diadili dan dipenjaran 2 tahun karena dianggap melakukan perbuatan yang meresahkan. Semula dia dituduh melakukan penodaan agama tapi tidak terbukti, sehingga dihukum dengan pasal yang lain. Ada kesan, yang penting Yusman Roy masuk penjara.
            Muhammad Yusman Roy mendapat serangan dari berbagai kalangan nyaris tanpa pembelaan dan argumentasi yang memuaskan. Maklum, dia bukan seorang seorang ulama, kiai, akademisi, atau orang yang tumbuh dan berkembang dalam tradisi keagamaan yang ketat. Dia juga bukan seorang pengikut “Islam liberal” yang terus berupaya menerobos ortodoksi Islam. Karena itu, wajar kalau dia tidak begitu peduli dengan metodologi berfikir para ahli fiqih yang jlimet itu. Dia hanya orang yang ingin mengajarkan kepada komunitasnya agar apa yang dibaca dalam shalat diketahui maknanya sehingga diharapkan shalat tidak sekedar menjadi rutinitas ritual tapi mempunyai atsar kepada pelakunya. Ditemukanlah formula shalat dua bahasa, di samping membaca “edisi Arab” diikuti pula “edisi Indonesia”.
Jadi Roy bukan mengganti Bahasa Arab dengan Bahasa Indonesia, tapi sekedar menambahkan terjemahan dalam Bahasa Indonesia. Dengan begitu, orang yang shalat mengetahui apa yang sedang dibaca. Roy semakin yakin dengan “ijtihadnya” itu setelah menemukan QS. Ibrahîm (14): 4 yang artinya: “Kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya”. Ayat ini seolah menjadi “inspirasi” bagi kebolehan shalat dengan tambahan terjemahan ke dalam bahasa non-Arab.
            Argumen Roy dari sisi ilmu ushûl al-fiqih konvensional memang bisa dikatakan lemah. Argumen pertama (agar shalat mempunyai makna) akan dengan mudah dipatahkan dengan mengatakan bahwa shalat dengan dua bahasa karena tidak tahu artinya bukanlah formula untuk menjadikan shalat mempunyai makna, karena jalan keluarnya adalah belajar bagaimana agar orang yang tidak tahu makna bacaan dalam shalat menjadi tahu.  Demikian juga dengan QS. Ibrahîm (14): 4 tidak mempunyai wajh al-istidlâl untuk membenarkan praktik shalat dua bahasa karena ayat tersebut tidak mempunyai keterkaitan sama sekali dengan problem yang sedang dibahas.
            Meskipun argumen yang dikemukakan Muhammad Yusman Roy lemah dari sisi manhaj al-istidlâl, namun hal itu tidak berarti tidak mempunyai preseden sama sekali dalam khazanah fiqih klasik. Memang nyaris tidak ada fuqaha yang memperbolehkan shalat selain dengan bahasa Arab, terutama dalam membaca surat al-fatihah, kecuali Imam Abu Hanifah (w. 150 H). Kalau toh ada sebagian kecil ulama yang memperbolehkan mengganti bacaan shalat selain Bahasa Arab, namun hal itu tidak berlaku untuk surat al-fatîhah. Surat al-fatîhah adalah ‘harga mati’ yang tidak boleh diganti dengan bahasa apapun.
Namun demikian, Imam Abu Hanifah memperbolehkan membaca al-fatihah dalam shalat dengan bahasa Parsi bagi yang tidak mampu berbahasa Arab. Bahkan, dia berpendapat, membaca al-fatihah dengan bahasa Parsi –atau bahasa-bahasa lain tentunya- tidak menghalangi sahnya salat meskipun orang tersebut mampu berbahasa Arab. Hal yang terakhir ini (bagi orang yang mampu berbahasa Arab) memang hukumnya makruh menurut Imam Abu Hanifah. (Abu Zahra, Abû Hanîfah: Hayâtuhu wa ‘Ashruhu wa arâ`uhu wa Fiqhuhu, [Dâr al-Fikr al-‘Arabî, 1977], hlm. 34-35).
            Memang pendapat Imam Abu Hanifah tersebut bagaikan “suara lirih” di tengah kuatnya arus pendapat yang tidak memperbolehkan shalat selain Bahasa Arab. Imam Syafi’i (w. 204 H) adalah tokoh yang paling keras menyuarakan hal ini. Bagi Imam Syafi’i tidak ada pilihan kecuali harus menggunakan Bahasa Arab dalam Shalat, baik orang yang tahu Bahasa Arab maupun tidak. Imam Syafi’i memang dikenal sebagai seorang tokoh yang mempunyai pembelaan gigih terhadap Bahasa Arab, terutama Bahasa Arab versi suku Quraisy. Dia, misalnya, menolak pendapat yang mengatakan bahwa di dalam al-Qur’an ada serapan dari Bahasa non-Arab.
            Pendapat Imam Syafi’i tersebut bertumpu pada pemahaman mengenai esensi al-Qur’an. Menurutnya, esensi al-Qur’an bukan semata-mata makna tapi makna yang dibungkus dengan kata-kata. Dengan demikian, Bahasa Arab (al-Qur’an) -dengan segenap ideologinya- adalah bagian substansial dari struktur teks (al-talâzum bain al-lafdzi wa al-ma’nâ)..
Nasr Hamid Abu Zayd mempunyai penilaian yang menarik mengenai hal ini. Menurutnya, sikap Imam Syafi’i yang begitu keras membela Bahasa Arab (Quraisy) karena dia memang seorang Arab (Quraisy) yang begitu fanatik dengan ke-Arab-annya. Hal ini berbeda dengan Imam Abu Hanifah yang non-Arab, Persia, sehingga ia tidak mensakralkan Bahasa Arab. (Nasr Hâmid Abu Zayd, al-Imâm al-Syâfi’î wa ta`tsîts al-Idiolojiyat al-Wasathiyah, [Kairo: Maktabah Madbûlî, 1996], cet. II, hlm. 66).
Perdebatan pro-kontra demikian pasti akan selalu berakhir dengan “penindasan” terhadap kelompok yang dianggap menyimpang. Dalam sejarah, pemahaman keagamaan yang dianggap menyimpang dari mainstream hampir selalu (di)kalah(kan) dan dilibas oleh kelompok mainstream dengan berbagai cara, seperti dengan memberi fatwa sesat atau meminjam tangan kekuasaan untuk mengadili dan memenjara.
Kasus ini sebenarnya bisa direfleksikan lebih jauh mengenai wajah keagamaan kita (Islam) yang sangat Arab oriented. Arab, terutama Mekah dan Madinah, menjadi orientasi hampir seluruh segi kehidupan orang Islam, baik ilmu, religiusitas, maupun kebudayaan. Akibatnya, orang sering mencampuradukkan antara agama dan tradisi. Tradisi sering dianggap sebagai agama, dan agama sering dianggap sebagai tradisi. Maraknya revivalisme Islam sekarang ini antara lain disebabkan kegagalan dalam membedakan dan memisahkan aspek-aspek tersebut.
Siapapun tidak bisa menolak bahwa Islam sangat lekat dengan budaya Arab. Hal ini sebenarnya wajar-wajar saja, karena Islam lahir di Arab, al-Qur’an berbahasa Arab, Nabi Muhammad orang Arab, kiblatnya ada di Arab, kitab-kitab fiqih ditulis dengan bahasa Arab, dan seterusnya. Oleh karena itu tidak perlu heran jika cita rasa Arab begitu dominan dalam hampir seluruh konstruk keislaman. Budaya Arab adalah bahan baku untuk membentuk bangunan Islam. Ke-Arab-an senantiasa menjadi standar dalam menentukan baik-buruk, pantas-tidak pantas, halal-haram dan sebagainya. Bahkan, untuk menentukan apakah suatu jenis makanan itu halal atau haram, lidah orang Arab yang menjadi standar. Kalau lidah orang Arab menganggap sesuatu khabîts (kotor, menjijikkan) maka haram dimakan. Sebaliknya, jika lidah orang Arab mengatakan thayyib (baik, enak), maka halal dimakan untuk semua orang Islam di berbagai belahan dunia.
Dengan demikian, wilayah Islam di luar Arab dianggap sebagai wilayah Islam pinggiran yang tidak mempunyai otonomi untuk mengatur dirinya sendiri. Segala sesuatu yang ada di wilayah pinggiran, harus dikonfirmasikan bagaimana “pusat Islam” menyikapi. Tokoh-tokoh intelektual Indonesia sejak abad 18 M banyak yang menulis kitab fiqih, namun hampir semuanya fiqih berkepribadian Arab. Bahkan, gagasan merumuskan fiqih Indonesia yang pernah dipikirkan Hasbi Ash-Shiddiqi, tetap saja tidak bisa melepaskan diri dari “kepribadian Arab”. Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang digagas untuk membuat fiqih Indonesia juga masih terjebak pada Arabisme.
Dari perspektif tersebut, apa yang dilakukan Yusman Roy di Malang merupakan “suara lirih” untuk melawan hegemoni Arabisme. Memang Yusman Roy kalah berargumentasi, bahkan dipenjara, tapi semangatnya untuk menegaskan identitas keindonesiaan ditengah kuatnya Arabisme patut dihargai.

9. Kasus Komunitas Eden
Korban dari kasus ini adalah Lia “Eden” Aminuddin. Dia divonis dua tahun penjara dengan tuduhan penodaan atas agama. Peristiwa itu berawal pada Rabu, 28 Desember 2005, ketika rumah Lia Aminuddin yang beralamat di Jalan Mahoni 30, Bungur, Jakarta Pusat, dikepung oleh sebagian masyarakat. Mereka memprotes penyebaran ajaran Lia, yang oleh Majelis Ulama Indonesia telah dinyatakan sebagai ajaran sesat. Polisi pun kini telah menetapkan Lia sebagai tersangka dengan tuduhan telah melanggar Pasal 156-a dan 157 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penodaan agama dan penghasutan.
Komunitas Eden lahir tahun 1997 dari kelompok kajian Islam yang bermarkas di rumah pribadi Lia Aminuddin di Jalan Mahoni 30, Senen, Jakarta Pusat. Dulunya, Lia Aminuddin yang merupakan  perangkai bunga yang terkenal. Dia sering tampil di TVRI dan membawakan acara merangkai bunga. Dalam perkembangannya, Lia mengaku merasakan mendapat petunjuk dari Jibril, bahkan kemudian dirinya mengaku sebagai Jibril. Dia menyampaikan pengalaman hidupnya kepada rekan-rekannya dan dapat memperoleh pengikut sebanyak 48 0rang, 15 di antaranya adalah anak-anak. Sejak kelahirannya, komunitas itu tak putus dirundung teror. Pada bulan Mei 2001, sekelompok orang merusak dan mengusir komunitas itu sewaktu bertempat di Mega Mendung, Bogor. Pada 28 Desember 2005, massa kembali mengepung Komunitas Eden. Dan akhirnya anggota komunitas itu dievakuasi secara paksa oleh polisi.
Pengikutnya yang berjumlah 48 ditangkap. Ketut Untung (Kabag Humas Polda Metro Jaya) mengatakan, 15 orang dipulangkan oleh polisi karena dalam pemeriksaan mereka terbukti bukan sebagai anggota aliran itu tetapi sebagai pelayan rumah, pekerja ataupun orang yang bekerja di rumah Lia, Jalan Mahoni 30, Senen, Jakarta Pusat. "Masa orang yang jadi pembantu di rumah itu juga diperiksa terkait dengan aliran. Mereka kan bukan pengikut aliran karena hanya sebagai pekerja," tegasnya. Sebelumnya, Polda Metro Jaya membawa 48 pengikut aliran Lia Aminuddin dari kediamannya, Rabu (28/12) petang setelah dua hari berturut-turut rumah itu dikepung warga sekitar yang merasa terganggu dengan keberadaan aliran pimpinan Lia.
Kendati para pengikut aliran itu menolak untuk dibawa ke Polda Metro Jaya, namun polisi akhirnya berhasil mengevakuasi kendati sebagian pengikut harus digotong untuk masuk ke dalam bus milik Polda Metro Jaya. Lia, seperti diketahui, menyebarkan ajarannya sudah enam tahun lebih. Dia mencampurkan sejumlah agama. Dan, dia juga berinovasi dalam beribadah. Semula salah satu ibadahnya dengan menyanyikan lagu-lagu rohani diiringi organ. Penampilan jemaat wanitanya serbatertutup, lengkap dengan kerudung, dan berwarna putih semua. Namun belakangan, ibadah kelompok Lia juga dengan mengaji diiringi musik. Belakangan lagi, kelompoknya membuat ritual dengan mengelilingi kawasan Mahoni.
Penampilannya pun selalu berubah sesuai dengan ''wahyu'' yang dia terima. Dahulu, dia berjubah dan berkerudung warna putih. Namun, beberapa tahun kemudian menggunduli rambutnya dan berpakaian ala biksu. Namun, reaksi anggota masyarakat sekitar selama ini tidak terlalu dahsyat. Baru pada Selasa lalu, warga sekitar marah. Pengurus masjid sekitar akan menggelar tablig akbar untuk memerangi ajaran perempuan yang mengaku sebagai Malaikat Jibril itu. Kegiatan itu akan digelar di depan rumah Lia, Sabtu (31/12). Materi tablig akbar tentang Malaikat Jibril palsu.
Warga mengultimatum agar ''Kerajaan Tuhan'' pindah dari Kecamatan Bungur. Lia diberi waktu seminggu dan Rabu kemarin telah memasuki hari ketiga dari ultimatum.Belum diketahui apa ajaran Lia yang meresahkan warga sekitar itu namun diduga karena Lia pernah mengklaim sebagai malaikat Jibril dan mendaulat anaknya sebagai Nabi Isa. Rumah dua lantai milik Lia pun dijadikan sebagai "Kerajaan Tuhan". Diperkirakan, Lia telah menyebarkan ajarannya lebih dari enam tahun. 
Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Firman Gani mengatakan bahwa polisi hanya menetapkan Lia Aminudin sebagai tersangka tunggal dalam kasus penodaan agama. Puluhan pengikut Lia hanya dijadikan saksi dan diwajibkan melapor ke polda. "Undang-undang mengatakan pengikut tidak bisa dijadikan tersangka. Jadi, hanya Lia yang dijadikan tersangka," ujar Firman Gani di Mapolda Metro Jaya, Jumat (30/12). Ia dijerat Pasal 156A KUHP, sebagaimana Lia.
Lia masih meringkuk di tahanan Polda Metro Jaya. Sumber di kepolisian menyebutkan, wanita yang mengaku sebagai Malaikat Jibril itu tetap menolak tuduhan ia menodai agama. Lia bersikukuh bahwa ajaran yang dianut dan dikembangkannya  benar. "Ya tetap merasa kalau dirinya benar. Tapi, itu hak dia, karena menyatakan benar atau tidak adalah pengadilan," kata sumber tersebut. Dalam sidang, pengacara dari Koalisi Pembela Kebebasan Beragama itu menuduh Majelis Hakim melanggar asas peradilan yang fair karena menghadirkan saksi ahli yang juga merupakan saksi pelapor, yakni anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Prof Dr Ali Mustofa.
“Baik, kalau begitu Majelis, dengan hormat, karena kami mintakan surat kami, dengan hormat kami berkeberatan untuk mengikuti persidangan ini. Dengan hormat, kami meninggalkan persidangan! Sekian dan terima kasih….” kata Saor Siagian. Saksi lainnya ternyata memberatkan. Ia mengaku kepalanya digunduli, dipukul, bahkan mulutnya dibakar karena dianggap berbohong. Saksi mengaku tinggal di Komunitas Eden selama tiga tahun. Anggota Koalisi Pembela Kebebasan Beragama Asfinawaty menyatakan persidangan kasus Lia Eden tidak pantas dilanjutkan karena cacat hukum. Menurut pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta itu, persidangan kasus Lia Eden menjadi ujian bagi Indonesia dalam menerapkan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang sudah disahkan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Ketua Majelis Hakim Lief Sufijullah yang membacakan putusan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Kamis, menyatakan Lia Eden terbukti melakukan perbuatan menodai salah satu ajaran agama yang dilindungi di Indonesia sebagaimana dakwaan pertama Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan sebagaimana dakwaan ketiga JPU.

Komentar atas Kasus-Kasus
Dalam kaitan ini, ada beberapa catatan penting yang perlu diberikan. Pertama, kasus-kasus penodaan agama senantiasa terkait dengan agama apa/siapa yang dinodai. Siapa yang berhak mengatakan agama tertentu telah dinodai atau tidak. Hal ini sangat mendasar dalam masalah ini. Secara yuridis formal, tentu saja pengambil keputusan pada akhirnya adalah hakim. Namun semua orang tahu bahwa hukum dan hakim tidak berbicara dengan dirinya sendiri. Apalagi dalam masalah agama, hakim seringkali merasa tidak punya “otoritas” dalam bersikap dan membuat penafsiran.
Kedua, karena masalah di atas, maka suara mainstream seringkali diambil sebagai referensi kebenaran. Dalam Islam misalnya ada doktrin: ‘alaikum bi al-sawâd al-a’dham (hendaklah kamu mengikuti pendapat mayoritas) yang sering digunakan untuk melegitimasi kebenaran mayoritas. Doktrin ini semakin kuat dengan adanya hadis: lâ tajtami’u ummatî ‘alâ dhalâlatin (umatku tidak akan pernah bersepakat dalam kesesatan). Dari doktrin inilah dalam hukum Islam dikenal konsep Ijmâ’ (konsensus ulama) yang menjadi standar kebenaran. Dalam konteks modern, apa yang disebut mayoritas sebagai penguasa kebenaran itu bisa merupakan hasil rekayasa.
Ketiga,  karena itu, kasus pengadilan penodaan agama senantiasa melibatkan massa. Pengerahan massa dilakukan bukan saja untuk menyuarakan aspirasi, tapi untuk menimbulkan kesan bahwa apa yang disuarakan adalah pendapat mayoritas. Tekanan ini pada akhirnya diharapkan mempengaruhi keputusan hakim. Akhirnya, klaim penodaan agama bukanlah masalah hakikat dari kebenaran itu sendiri, tapi lebih karena tekanan massa, masalah mayoritas-minoritas, yang dibungkus dengan otoritas penafsiran agama. Suka atau tidak, demikianlah realitasnya.
Keempat, khusus menyangkut masalah penodaan Lia Eden, pertanyaan yang harus segera dijawab adalah agama apa yang dinodai? Sebagian orang Islam mengatakan bahwa ajaran Lia Eden  telah menodai agama Islam. Lia Eden bilang dia adalah Jibril yang mendapat wahyu dari Tuhan, seorang anggotanya dikatakan reinkarnasi Nabi Muhammad, dan sebagainya. Sampai di sini saya belum merasa ada penodaan terhadap Islam, meskipun orang mungkin mengatakan bahwa membawa-bawa nama Jibril dan Nabi Muhammad tidak dalam posisi “sewajarnya” adalah bentuk penodaan terhadap Islam. Lia Eden sendiri mengatakan bahwa dia tidak memeluk agama, tapi percaya pada Tuhan. Karena itu tidak tepat kalau ajaran-ajarannya itu dikatakan menodai Islam. Ajaran-ajaran Lia Eden tidak bisa diletakkan dalam konteks penafsiran tentang Islam, sehingga ajarannya tidak bisa dilihat dengan menggunakan kacamata Islam. Kalau Lia mengaku tidak beragama, mengapa Islam, merasa dinodai? Kalau Lia merasa Jibril datang kepadanya, mengapa Islam merasa terhina? Ini sungguh aneh.

IV. Penodaan Agama versus Otoritas Kelompok Mainstream
Sebelum membicarakan lebih jauh tentang pasal penodaan agama, perlu didiskusikan dulu tentang sifat melawan hukum. Hal ini penting untuk melihat jenis perbuatan yang bisa dikatakan melanggar hukum.  Dalam hukum pidana dikenal dua jenis sifat melawan hukum, yaitu sifat melawan hukum materiil dan sifat melawan hukum formil. Sifat melawan hukum materiil sebagaimana tercantum di dalam pasal 1 rancangan KUHP yang baru memungkinkan orang dijatuhi hukuman jika melakukan hal-hal yang tidak patut dan menusuk rasa keadilan dalam masyarakat, meski perbuatan itu tidak dilarang UU. Sebaliknya, ajaran sifat melawan hukum secara formal (asas legalitas) menentukan seseorang dapat dijatuhi hukuman pidana jika melakukan hal-hal yang dilarang UU yang ada sebelum perbuatan itu dilakukan.
Di sini memang ada dilema. Persoalan antara perbuatan melawan hukum secara materiil dan secara formal merupakan persoalan dilematis yang cukup lama. Dilemanya terletak pada apakah kita akan menggunakan prinsip kepastian hukum ataukah rasa keadilan. Keduanya sama-sama ada di dalam konsepsi negara hukum. Prinsip kepastian hukum lebih menonjol di dalam tradisi kawasan Eropa Kontinental dengan konsep negara hukum rechtstaat, sedangkan rasa keadilan lebih menonjol di dalam tradisi hukum kawasan Anglo Saxon dengan konsep negara hukum the rule of law.
Rencana KUHP kita sebagaimana terlihat dalam pasal 1 ayat (1) menggunakan prinsip kepastian hukum di bawah asas legalitas. Tetapi, sejak berlakunya UU No 14/1970, selain menerapkan bunyi UU, hakim harus menggali nilai-nilai keadilan di dalam masyarakat. Itu berarti, selain kepastian hukum, dunia peradilan menekankan pada rasa keadilan. Jadi, keduanya diakomodasi di dalam sistem peradilan kita. Akomodasi atas keduanya kemudian menimbulkan dilema. Sebab, di dalam praktiknya, keduanya tidak diperlakukan secara integratif, melainkan alternatif.
Akomodasi atas dilema yang memberi tempat pada kedua prinsip tersebut menimbulkan ambiguitas orientasi konsep yang sering dipergunakan aparat penegak hukum untuk mencari "kemenangan", bukan "kebenaran" dalam perkara pidana. Proses mencari kemenangan bagi pengacara, jaksa, dan hakim sering dilakukan melalui manipulasi atas pilihan antara kepastian hukum dan rasa keadilan.
Judicial corruption yang di dalam masyarakat lebih populer disebut mafia peradilan dilakukan dengan manipulasi atas konsep-konsep itu. Jika satu kasus dapat dimenangkan -menurut kehendak dalam proses mafia- melalui prinsip kepastian hukum, proses mafianya mengarahkan putusan pengadilan untuk menggunakan hukum-hukum tertulis dan bukti formal. Tetapi, jika kasus tak bisa dimenangkan -negatif dengan mafia-, yang dipergunakan adalah dalil-dalil tentang rasa keadilan. Itulah sebabnya tidak jarang satu kasus yang sama diputus secara berbeda oleh hakim dengan kelompok penegak hukum yang berbeda. Untuk itu, para hakim tak dapat disalahkan. Sebab, mereka selalu berlindung di bawah prinsip kebebasan dan kemandirian hakim.[6]
Bab tersebut sesungguhnya dimaksudkan untuk melindungi agama dan praktik beragama yang berkembang di masyarakat. Dengan kata lain, tampaknya negara bermaksud melindungi setiap keyakinan agama dan praktik yang dilakukan oleh pengikutnya dari penodaan dan kecenderungan berbuat tindak pidana terhadap agama.
            Namun, pasal-pasal yang termaktub dalam Rancangan KUHP itu bisa saja dipahami secara salah atau terbalik, karena ketidakjelasan definisi yang ada di dalamnya. Apa yang dimaksud dengan penodaan terhadap agama. Bukankah setiap penganut agama bisa menyatakan bahwa agamanya telah dinodai oleh kelompok lain hanya karena berbeda ajaran dan praktik agama, meskipun dalam satu jenis agama. Seperti yang terjadi pada kasus Ahamdiyah atau Lia Eden, jelas sekali nuansa kerumitannya untuk menentukan apakah mereka telah menodai agama Islam. Pertanyaan mendasarnya adalah siapa yang bisa menjamin pengertian dari penodaan terhadap agama. Bukankah selama ini istilah penodaan terhadap agama selalu ditafsirkan oleh kelompok mainstream. Kenyatannya justru banyak aliran keagamaan diserang oleh kelompok mainstream dengan tuduhan kepercayaannya sesat dan menyesatkan. Seharusnya pasal-pasal tersebut justeru untuk melindungi mereka dari serangan pihak mainstream dan hegemonik itu. Tapi apa boleh buat hakim mengikuti cara pandang kelompok mainstream sehingga menghukum kelompok minoritas karena dianggap telah menodai agama.
            Istilah penodaan agama sesungguhnya sangat abstrak sehingga bisa digunakan oleh kelompok tertentu, terutama kelompok mainstream yang menuduh kelompok lain telah menodai agama dengan keyakinan dan praktik agamanya. Dalam praktiknya pasal tentang penodaan agama menjadi pasal yang sangat lentur (hatzaai articelen) yang bisa dipahami secara sepihak. Pasal ini bisa digunakan untuk menjerat pelaku ritual dan penganut keyakinan keagamaan yang berbeda. Dan inilah yang terjadi dengan berbagai kasus yang dituding sebagai kelompok aliran sesat, seperti kasus Pondok Nabi di Bandung (2004), kasus Saleh Situbondo (1996), Lie “Eden” Aminudin di Jakarta (2006).
            Karena itulah, istilah-istilah yang terdapat dalam Rancangan KUHP bersifat multitafsir karena istilahnya yang sangat abstrak, sehingga mengakibatkan kelompok mainstream mendominasi dan menghegemoni tafsir atas teks-teks Rancangan KUHP. Untuk itu, maka perlu ada kesepakatan-kesepakatan tentang berbagai istilah yang tertuang dalam KUHP agar tidak salah tafsir.[7]
            Jika dilihat dari disain besar keagamaan di Indonesia, secara kasat mata kita bisa lihat, kelompok agama mainstream dari agama-agama resmi terus mengontrol pemahaman keagamaan masyarakat yang ditunjukkan dengan sikap aktif dan reaktif mereka dalam setiap praktik sosial-keagamaan di masyarakat, terutama terhadap aliran yang dianggap menyimpang kelompok mainstream. Karena jumlahnya yang besar (meskipun fragmentasinya sangat beragam), kelompok mainstream dianggap sebagai representasi agama yang sebenarnya, sehingga menafikan kebenaran lain yang berkembang di masyarakat. Dalam kasus Islam, dengan fatwa agama yang dikeluarkan oleh MUI, masyarakat umum lebih mudah menerima dan melakukan proses justifikasi teologis, karena MUI lah yang dianggap memiliki otoritas yang kuat dalam menafsirkan agama. Sehingga dalam praktiknya, Islam yang bukan mainstream dianggap sesat dan menyimpang dengan tolak ukur pada praktik beribadah dan keyakinan teologisnya yang berbeda.
Dalam beberapa kasus akhir-akhir ini tentang aliran sesat mestinya pasal-pasal tersebut bisa melindungi mereka dari penghinaan, penyalahan secara sepihak, tuduhan sesat dan serangan serta pelarangan secara sepihak oleh aparat hukum karena tekanan dari manapun, dari mereka yang tidak sepaham atau bahkan dari MUI. Tetapi kenyataannya justeru sebaliknya. Mereka dipersalahkan dan dituduh menodai agama, padahal kalau dilihat dari pasal-pasal di sini seharusnya MUI dan seseorang atau sekelompok orang yang menghina, menuduh sesat serta menyerang lah yang seharusnya dikenai pasal-pasal agama dalam KUHP ini, dan juga aparat keamanan dan hukum yang melarang tanpa proses pengadilan bisa dikenai pasal-pasal.[8] Tapi apa boleh buat, kelompok yang bukan mainstream tidak memiliki kekuatan untuk melakukan perlawanan guna mendapatkan perlindungan yang layak dari negara.
            Pasal-pasal yang termaktub dalam Rancangan KUHP jelas sekali terlihat bahwa objek hukum yang diatur menimbulkan perbedaan tafsir. Ketidakjelasan objek yang diatur, seperti soal simbol agama, sifat dan keagungan Tuhan bisa membuat perbedaan pemahaman di masyarakat. Di satu sisi, bagi penganut agama tertentu, simbol itu dianggap suci, yang diagung-agungkan, tetapi bagi kelompok lain tidak dianggap suci. Hal ini bisa berakibat konflik serius dalam mendudukkan simbol keagamaan yang dianggap suci. Lantas bagaimana menafsirkan dan mengimplementasikannya dalam persoalan-persoalan riil di masyarakat. Sudah seharusnya objek hukum yang diatur adalah sesuatu yang mudah dipahami dan tidak menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan umat beragama.

V. Agama Resmi dan Tidak Resmi
Agama-agama yang dianut di Indonesia sebenarnya berjumlah sangat banyak, dari agama yang sering disebut sebagai agama samawi (Yahudi, Kristen, dan Islam) hingga agama-agama lain, seperti Hindu, Budha, Konghucu, Sinto, dan lain sebagainya. Belum lagi agama-agama lokal yang telah lama dianut oleh masyarakat sebelum kedatangan agama pendatang (Islam dan Kristen), yang kemudian sering disebut sebagai aliran kepercayaan sesuai dengan kebudayaan dan adat istiadatnya. Realitas inilah yang menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk, masyarakat yang dihuni oleh banyak suku dan agama. Dengan kemajemukannya inilah, potensi pertentangan dalam kontestasi untuk menyatukan berbagai aliran dan paham kagamaan semakin besar. Paling tidak, kelompok mainstream akan menguasai panggung kontestasi untuk merebut makna-makna pemahaman keagamaan yang berserakan dalam kemejemukan masyarakat.
Dalam konteks keanekaragaman agama yang dianut masyarakat Indonesia ini, ternyata negara justru membatasi agama-agama yang diakui secara resmi oleh negara.  Negara tidak mengakui secara resmi seluruh keyakinan agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang sangat banyak atau paling tidak mengakui seluruh keyakinan agama yang berkembang di masyarakat. Negara justru hanya memberi batasan bahwa ada 6 agama resmi yang diakui. Selain agama yang 6 ini, dianggap tidak resmi dan tidak diakui.
Hal itu bermula dari Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan atau Penodaan Agama yang status hukumnya kemudian ditingkatkan menjadi UU berdasar UU No. 5 tahun 1969. UU No. 1 /PNPS/1965 tersebut belakangan mulai direvisi dengan terbitnya Inpres No. 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina. Meskipun Inpres tersebut tidak secara eksplisit mencabut pengakuan terhadap eksistensi agama Konghucu, namun dalam praktek di lapangan kesan pengingkaran terhadap Konghucu sangat dirasakan, sehingga hak-hak sipil penganut agama Konghucu menjadi terabaikan, seperti masalah perkawinan dimana Kantor Catatan Sipil tidak mau mencatat, tidak memperoleh pendidikan agama Konghucu di sekolah, perayaan hari raya dan sebagainya. Hal demikian semakin dipertegas dengan terbitnya Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/BA.01.2/4683/95 tanggal 18 Nopember 1978 yang antara lain menyatakan bahwa agama yang diakui oleh pemerintah adalam Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Dari SE tersebut, Konghucu dikeluarkan dari daftar agama-agama di Indonesia.  Akibatnya, hak-hak sipil mereka tidak diakui, sehingga banyak penganut Konghucu yang secara terpaksa harus pindah ke agama lain, pelajaran agama Konghucu juga dihilangkan dari sekolah kecuali UGM yang sejak 1967 tetap menawarkan agama Konghucu sebagai salah satu mata kuliahnya. Belakangan, pada masa pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Inpres No. 14 tahun 1967 tersebut dicabut dengan Kepres No. 6 tahun 2000. Dengan terbitnya Kepres yang terakhir ini maka hak-hak sipil penganut agama Konghucu dipulihkan kembali.
            Inilah yang mendasari dirumuskannya Rancangan KUHP terutama soal tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama (pasal 341-348). Di  Bab itulah agama menjadi kata kunci untuk menentukan tindak pidana seseorang. Apakah yang dimaksud dengan agama? Apakah agama masih dipahami secara konvensional; memiliki Tuhan, kitab suci, nabi, dan jumlah penganut. Kalau demikian penegertiannya, maka jelas sekali bahwa arti kata agama dalam  Rancangan KUHP dipahami dengan 6 agama resmi yang diakui  negara, sehingga tidak mencakup atau tidak memberi ruang terhadap kepercayaan lokal (CF pasal 18 ICCPR), karena tidak memiliki persyaratan untuk disebut agama.
Pengakuan 6 agama resmi ini diiringi juga dengan didirikannya lembaga-lembaga agama ”korporatis” negara yaitu MUI (Majelis Ulama Indonesia), KWI (Konferensi Wali Gereja Indonesia), PGI (Persatuan Gereja-Gereja Indonesia), Walubi, dan Hindu Dharma Indonesia.  Lembaga-lembaga agama “korporatis” negara ini kemudian dipercaya sebagai pemegang otoritas agama di Indonesia, yang kemudian jangkauan kerjanya mencakup interpretasi ajaran agama, menyelesaikan sengketa internal dan eksternal agama, dll.[9]
Lembaga-lembaga agama tersebut sesungguhnya mencerminkan kebenaran yang dijustifikasi. Dengan kata lain, lembaga agama inilah yang memproduksi dan menjustifikasi kebenaran suatu agama. Sementara kebenaran yang dimiliki oleh kelompok lain menjadi tidak terjustifikasi. Inilah yang menjadikan telah hilangnya makna agama yang substansial, yang pada gilirannya digantikan oleh lembaga agama atau agama yang dilembagakan, yang dalam teori sosial disebut institusionalized religion dalam bentuk organisasi keagamaan. Sehingga militansi dan fanatisme selalu dirujuk pada bagaimana pengikut organisasi mengikuti kebenaran yang telah dirumuskan oleh suatu organisasi agama. Kebenaran kemudian menjadi milik suatu organisasi agama yang dianut oleh anggotanya. Selama ini orang tidak sadar bahwa militansi terhadap “agama yang telah terlembaga” lebih besar ketimbang agamanya itu sendiri. Meskipun terkesan seseorang berjuang untuk menegakkan agama, tetapi yang sesungguhnya kita lihat adalah ia berjuang untuk “agama yang telah terlembaga”.
            Dampak dari perlakuan yang berbeda secara normatif dalam Undang-undang dengan pemilahan agama resmi dan agama tidak resmi adalah negara tidak memiliki kesadaran untuk melindungi agama yang dipandang tidak resmi (agama-agama yang tidak disebutkan dalam Undang-undang No. 1/PnPs/1965 pasal 1 ). Pada gilirannya, negara hanya melindungi agama yang diakui dan dinyatakan resmi yang termuat dalam peraturan perundang-undangan. Ini artinya, agama kepercayaan lokal tidak mendapatkan tempat yang layak secara normatif dalam negara Indonesia yang majemuk. Tak heran, jika perilaku kekerasan terhadap kepercayaan agama lokal yang dianggap sesat oleh kelompok mainstream tidak mendapatkan jaminan hak asasi manusia, bahkan mereka cenderung dipersalahkan secara hukum dengan vonis penjara di pengadilan.
            Jika dilhat latarbelakang sejarahnya, Undang-undang ini dibuat untuk mengamankan negara dan masyarakat, cita-cita revolusi dan pembangunan nasional di mana penyalahgunaan atau penodaan agama dipandang sebagai ancaman revolusi. Ditambah lagi dengan munculnya aliran-aliran atau oraganisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang dianggap bertentangan dengan ajaran dan hukum agama. Aliran-aliran tersebut dipandang telah melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama sehingga perlu kewaspadaan nasional. Dan yang terpenting, Undang-undang ini dimaksudkan untuk mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan dan aturan ini melindungi ketentraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tak pelak lagi, Undang-undang ini dimaksudkan untuk membatasi aliran-aliran keagamaan di luar agama yang resmi.
            Kecenderungan negara yang diskriminatif tampaknya akan terlihat jelas dalam Rancangan KUHP, karena perlindungan menjalankan ibadah hanya diberikan kepada agama yang diakui negara saja, yaitu Islam, Hindu, Budha, Kristen, Katolik, dan Konghucu. Sementara keyakinan atau kepercayaan lain di luar itu tidak mendapat jaminan menjalankan keyakinan. Bahkan, keyakinan itu dapat dianggap sebagai “meniadakan keyakinan agama yang dianut”yang dijadikan tindak pidana. Perlindungan terhadap agama resmi itu dengan aktivitas mengganggu, mengejek, merintangi, atau dengan melawan hukum membubarkan orang yang sedang menjalankan ibadah, upacara keagamaan dan sebagainya.[10]
            Argumentasi ini ingin mengatakan Rancangan KUHP, tidak mengakomodasi agama atau kepercayaan/keyakinan lokal diluar agama yang diakui oleh negara, yaitu Islam, Kristen Protestan, Buddha, Hindu, Konghucu, dan Kristen Katolik. Para peserta seminar dan workshop juga dapat menangkap ide pemikiran di balik pasal ini, bahwa kepercayaan atau keyakinan lokal yang tumbuh subur di masyarakat dianggap sebagai penghalang, dan pengganggu bagi agama yang formal tadi. Secara tidak langsung negara melakukan tindakan disriminatif terhadap kepercayaan lokal. 

VI. Tindak Pidana Agama dan Kehidupan Beragama dalam RUU KUHP
            The Wahid Instutute telah menyelenggarakan seminar dan workshop di lima kota; Jakarta, Surabaya, Banten, Bandung, dan Mataram yang dimaksudkan untuk mengkritisi RUU KUHP yang telah disiapkan oleh pemerintah untuk dijadikan sebagai Undang-undang. Seminar dan workshop secara khusus membahas, mendiskusikan, dan mengkritisi pasal-pasal yang berkaitan dengan tindak pidana agama (Bab VII: Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama; pasal 341-348).
Berikut ini akan dikemukakan pasal-pasal tindak pidana agama dan kehidupan beragama sebagaimana terdapat dalam RUU KUHP:

Bab VII
Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama

Bagian I
Tindak Pidana terhadap Agama Dan Kehidupan Beragama

Penghinaan terhadap Agama
Pasal 341
Setiap orang yang di muka umum menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang sifatnya penghinaan terhadap agama, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Kategori III.

Pasal 342
Setiap orang yang di muka umum menghina keagungan Tuhan, firman dan sifat-Nya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.

Pasal 343
Setiap orang yang di muka umum mengejek, menodai, atau merendahkan agama, Rasul, Nabi, Kitab Suci, ajaran agama, atau ibadah keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.

Pasal 344
(1) Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar, sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan suatu rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 341 atau Pasal 343, dengan maksud agar isi tulisan, gambar, atau rekaman tersebut diketahui atau lebih ditahui oleh umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.
(2)               Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap karena melakukan tindak pidana yang sama, maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk menjalankan profesi tersebut. 

Penghasutan untuk Meniadakan Keyakinan terhadap Agama

Pasal 345
Setiap orang yang di muka umum menghasut dalam bentuk apapun dengan maksud meniadakan keyakinan terhadap agama yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.

Bagian II
Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah

Gangguan terhadap Penyelenggaraan Ibadah dan Kegiatan Keagamaan

Pasal 346
(1)               Setiap orang yang mengganggu, merintangi, atau dengan melawan hukum membubarkan dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap jamaah yang sedang menjalankan ibadah, upacara keagamaan, atau pertemuan keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.
(2)               Setiap orang yang membuat gaduh di dekat bangunan tempat untuk menjalankan ibadah pada waktu ibadah sedang berlangsung, dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II.

Pasal 347
Setiap orang yang di muka umum mengejek orang yang sedang menjalankan ibadah atau mengejak petugas agama yang sedang melakukan tugasnya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Kategori III.

Perusakan Tempat Ibadah

Pasal 348
Setiap orang yang menodai atau secara melawan hukum merusak atau membakar bangunan tempat beribadah atau benda yang dipakai untuk beribadah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.
           
Jika dalam KUHP lama hanya ada satu pasal yang dikaitkan dengan penodaan agama (pasal 156ª), dalam RUU KUHP, satu pasal itu direntang menjadi 8 pasal. Tindak pidana terhadap agama yang termaktub dalam RUU KUHP terdiri dari dua bagian, yaitu tindak pidana terhadap agama dan tindak pidana terhadap kehidupan beragama. Bagian pertama berisi penghinaan terhadap agama yang terdiri dari  4 pasal (pasal 341-344). Pada bagian ini, RUU KUHP sebenarnya melanjutkan KUHP lama soal delik agama, tepatnya delik terhadap agama. Karena itu, yang ingin dilindungi oleh bagian ini adalah agama itu sendiri. Perlindungan itu diberikan untuk melindungi agama dari tindakan penghinaan.
Hal-hal yang dipandang sebagai penghinaan terhadap agama antara lain adalah penghinaan terhadap agama (341), menghina keagungan Tuhan, firman, dan sifat-Nya (342); mengejek, menodai, atau merendahkan agama, Rasul, Nabi, Kitab Suci, ajaran agama, atau ibadah keagamaan (343); menyiarkan, mempertunjukkan, menempelkan tulisan, gambar, memperdengarkan rekaman yang berisi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 341-343 (344 ayat 1); penghasutan untuk meniadakan keyakinan terhadap agama yang dianut di Indonesia (345).[11]
Pertanyaan yang bisa didiskusikan dalam masalah ini adalah sejauhmana negara mempunyai kewenangan untuk memberi perlindungan terhadap agama? Benarkah ada yang namanya delik agama? Kalau ada, apakah delik agama bisa memenuhi syarat kriminalisasi sebagaimana dikenal dalam hukum pidana?[12]
Sebagaimana telah diuraikan, delik agama dalam KUHP diperkenalkan oleh Prof. Oemar Seno Adji dengan argumen-argumen yang sebagian telah dijelaskan di atas. Penulis cenderung berpendapat, bahwa hukum pidana tidak sepatutnya diarahkan untuk melindungi agama, karena pada dasarnya keberadaan agama tidak memerlukan perlindungan dari siapapun, termasuk negara. Perlindungan negara dalam bentuk undang-undang akhirnya ditujukan pada pemeluk agama, bukan agama itu sendiri. Terlalu naif kalau sebuah undang-undang yang relatif dan temporer sifatnya bermaksud melindungi sesuatu yang mutlak dan diyakini berasal dari Tuhan. Yang absolut tidak bisa disandarkan pada yang relatif. Karena itu, delik agama dalam RUU KUHP yang bermaksud melindungi agama jelas merupakan kesalahan berpikir.
Selain itu, perluasan delik agama ini terlihat mengarah pada over kriminalisasi (overcriminalization). Seharusnya yang diproteksi melalui hukum pidana adalah freedom of religion. Kalau hal ini yang dilindungi, maka menurut hukum hak asasi manusia internasional, yang dilindungi adalah respecting people’s rights to practice the religion of their choice,  bukan melindungi respecting religion. Sedangkan yang diatur dalam Rancangan KHUP ini lebih banyak ditujukan pada perlindungan respecting religion ketimbang respecting people’s rights to practice the religion of their choice.[13]
Indonesia sebagai bangsa majemuk yang terdiri dari bermacam-macam agama dan kelompok-kelompok agama, sudah seharusnya mengembangkan suatu paradigma freedom of religion, yakni seluruh keyakinan agama yang hidup dan berkembang di masyarakat dilindungi bukan untuk diseragamkan sesuai dengan keyakinan kelompok mainstream. Namun sayangnya, dalam beberapa tahun belakangan ini, bangsa kita sedang dihadapkan pada persoalan krusial, yakni hilangnya toleransi yang sudah sejak lama dipupuk sebagai bagian dari modal sosial yang paling berharga bagi bangsa.
Indonesia sebagai negara yang toleran seakan tidak mampu menghilangkan sikap-sikap intoleran yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang menginginkan unifikasi pandangan keagamaan. Apalah jadinya jika sikap-sikap intoleran yang dibarengi dengan aksi kekerasan menjadi trade mark baru bagi bangsa Indonesia. Karena itulah, pemaksaan keyakinan dan praktik agama sesuai dengan keyakinan dan pratik keagamaan mainstream sesungguhnya tidak bisa memahami perbedaan pandangan dan praktik keberagamaan yang terjadi dalam proses menuju jalan Tuhan.
            Dalam konteks inilah, cukup praktik kehidupan beragama (pasal-pasal bagian II RKUHP) yang diatur dalam perundang-undangan karena memang inilah yang mesti mendapat perlindungan dari negara. Dalam hal ini, negara semestinya melindungi hak-hak setiap warga negara yang ingin melakukan praktik ritual keagamannya secara bebas. Lagi pula untuk membuktikannya tidak mengalami kesulitan karena ukuran yang dijadikan sebagai tolak ukur untuk menentukan apakah perbuatan itu melanggar hukum atau tidak mudah didapatkan. Perbuatan merintangi, mengganggu dan membubarkan kekerasan terhadap jamaah yang sedang beribadah, merusak atau membakar tempat ibadah adalah perbuatan yang jelas ukurannya dan tidak sulit untuk membuktikannya.
Dengan cara pandang demikian, maka negaralah yang melindungi agama masyarakatnya, apa pun agamanya tanpa adanya tudingan sesat, kehidupan beragama akan lebih mengarah pada orientasi yang toleran, damai, tanpa kekerasan. Jika negara hanya memihak pada agama resmi dengan segala tafsir yang dimilikinya, maka negara gagal mengelola kemajemukan agama di masyarakat. Karena itulah, 8 pasal dalam Rancangan KUHP sudah sepantasnya disederhanakan untuk kepentingan jaminan kebebasan beragama. Maka cukup pasal-pasal yang mengatur tindak pidana terhadap kehidupan beragama dan sarana ibadah (pasal 346-348).
Dengan demikian, sudah sepantasnya pasal-pasal yang terdapat dalam bagian  tentang Tindak Pidana terhadap Agama ditinjau ulang. Selama tidak ada kejelasan tentang sesuatu yang diatur dalam pasal-pasal tersebut, yang bisa berakibat pada perselesihan pemahaman, maka lebih baik dihapus. Bukankah ketidakjelasan tentang apa yang diatur itu akan berakibat pada kesulitan untuk membuktikannnya. Peninjauan ulang pasal penodaan agama itu (pasal 341-344 RUU KUHP) dengan mempertimbangkan beberapa alasan sebagai berikut:
1.      Pasal-pasal tersebut lebih diorientasikan untuk melindungi dan memproteksi agama, bukan memproteksi kebebasan beragama. Yang diperlukan dalam hal ini adalah memproteksi jaminan kebebasan beragama, bukan perlindungan terhadap agama.
2.      Pasal-pasal agama multi tarsir. Hakim biasanya akan mengikuti pendapat mayoritas, sehingga sangat potensial penindasan atas paham keagaamaan yang non-mainstream oleh kelompok mainstream. Akibat lebih jauh kelompok mainstream akan dengan mudah menuduh seseorang melakukan tindak pidana agama, apalagi kalau tuduhan tersebut digerakkan melalui provokasi massa.
3.      Definisi agama hanya mencakup agama yang diakui oleh negara, tidak mencakup kepercayaan lokal. Akibatnya, menghina keyakinan lokal masyarakat adat dianggap bukan sebagai penodaan agama.
4.      Definisi pelaku dan korban (subyek dan obyek hukum) tidak jelas. Adakah tindak pidana terhadap agama? Jika seseorang melakukan tindak pidana agama, pada dasarnya bukan tindak pidana terhadap agama tapi tindak pidana terhadap umat beragama.
5.      Pasal-pasal penodaan agama dapat dimasukkan dalam pasal-pasal lain dalam RUU KUHP tentang penghinaan terhadap golongan penduduk pasal 286-287. Bunyinya: Pasal 286: “setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap satu atau beberapa golongan penduduk Indonesia yang dapat ditentukan berdasar ras, kebangsaan, etnik, warna kulit, dan agama, atau kelompok yang dapat ditentukan berdasarkan jenis kelamin, umur, cacat mental, atau cacat fisik yang berakibat timbulnya kekerasan terhadap orang atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.” Pasal 287: “(1) Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi pernyataan permusuhan dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, terhadap satu atau beberapa golongan penduduk Indonesia yang dapat ditentukan berdasar ras, kebangsaan, etnik, warna kulit, dan agama, atau terhadap kelompok yang dapat  ditentukan berdasarkan jenis kelamin, umur, cacat mental, atau cacat fisik yang berakibat timbulnya kekerasan terhadap orang atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Sedangkan menyangkut pasal 345 RUU KUHP tentang Penghasutan untuk Meniadakan Keyakinan terhadap Agama perlu mendapat perhatian serius. Pasal 345 dirumuskan: Setiap orang yang di muka umum menghasut dalam bentuk apapun dengan maksud meniadakan keyakinan terhadap agama yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.” Pasal ini ingin mengkriminalisasi terhadap orang yang di depan umum menghasut orang lain untuk tidak beragama atau mengajak pindah agama. Orang yang berpindah agama atau tidak beragama itu sendiri tidak dianggap perbuatan kriminal, tapi orang yang “menghasut” dianggap kriminal.
Penulis berpendapat bahwa pasal ini sangat potensial menimbulkan ketegangan antar umat beragama, terutama agama-agama misionaris seperti Islam dan Kristen. Orang yang berdakwah di televisi atau radio untuk “mengajak” orang yang berbeda agama untuk masuk pada agama si pendakwah, bisa dikatakan telah melakukan tindak kriminal. Kata “menghasut” itu sendiri sangat multitafsir karena orang berceramah bisa juga dikatakan sebagai hasutan bagi orang yang merasa keyakinannnya terancam. Oleh karena itu, pasal ini lebih tepat diarahkan sebagai bentuk perlindungan pada keyakinan keagamaan individu dari kemungkinan pemaksaan dan ancaman orang lain untuk pindah agama. Oleh karena itu, krimiminalisasi bukan dengan kata “mengahasut” yang bisa multi tafsir, tapi harus disertai dengan unsur “paksaan” dan “ancaman”. Dengan demikian rumusan pasal 345 bisa berbunyi: “Setiap orang yang memaksa dan atau mengancam orang lain  dalam bentuk apapun dengan maksud meniadakan keyakinan keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.”    

Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama
            Pasal-pasal yang mengatur soal tindak pidana terhadap kehidupan beragama dan sarana ibadah menjadi tolak ukur krusial bagi kebebasan beragama bagi masyarakat yang beragama. Dalam konteks ini, apakah negara menjamin kebebasan beragama masyarakat atau justru menjustifikasi kekerasan atas nama agama.
            Delik pidana terhadap kehidupan beragama dimaksudkan untuk melindungi umat beragama dari berbagai perbuatan yang dianggap sebagai tindak pidana. Dalam RUU KUHP terdapat beberapa hal yang dipandang perumus RUU KUHP sebagai hal yang harus dilindungi dari perbuatan tertentu. Perlindungan terhadap umat beragama itu dirumuskan dalam beberapa bentuk: mengganggu, merintangi, membubarkan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap  jamaah yang sedang menjalankan ibadah, upacara keagamaan, atau pertemuan keagamaan (346 ayat 1); membuat gaduh di dekat bangunan tempat ibadah pada waktu ibadah sedang berlangsung (346 ayat 2); mengejek orang yang sedang menjalankan ibadah atau mengejak petugas agama yang sedang melakukan tugasnya (347); menodai, merusak atau membakar bangunan tempat beribadah atau benda yang dipakai untuk beribadah (348).
            Meski secara garis besar penulis bisa menerima delik penodaan terhadap kehidupan beragama, namun tetap saja perlu diwaspadai kemungkinan kesewenang-wenangan yang justru bisa mengancam kebebasan kehidupan beragama. Misalnya saja, apa yang dimaksud “...membuat gaduh di dekat bangunan tempat ibadah...”, “....mengejek orang yang sedang menjalankan ibadah...” atau siapa yang dimaksud dengan “petugas agama”. Hal-hal demikian perlu dirumuskan secara lebih tajam agar rumusan tersebut tidak justru merusak harmoni kehidupan beragama.[]






















Lampiran:

LANGIT MAKIN MENDUNG
(Majalah Sastra, Th. VI. No. 8, Edisi Agustus 1968 / Sumber: Dok. PDS H.B Jassin)

Lama-lama mereka bosan juga dengan status pensiunan nabi di sorga loka. Petisi dibikin, mohon (dan bukan menuntut) agar pensiunan-pensiunan diberi cuti bergilir turba ke bumi, yang konon makin ramai saja.
"Refreshing sangat perlu. Kebahagiaan berlebihan justru siksaan bagi manusia yang bisa berjuang. Kami bukan malaikat atau burung perkutut. Bibir-bibir kami sudah pegal dan kejang memuji kebesaranMu; beratus tahun tanpa henti."
Membaca petisi para nabi, Tuhan terpaksa menggeleng-gelengkan kepala. Tak habis pikir pada ketidakpuasan di benak manusia….Dipanggil penanda-tangan pertama: Muhammad dari Madinah, Arabia. Orang bumi biasa memanggilnya Muhammad S.A.W.
"Daulat, ya Tuhan."
"Apalagi yang kurang di sorgaku ini? Bidadari jelita berjuta, sungai susu, danau madu. Buah apel emas, pohon limau perak. Kijang-kijang platina, burung-burung berbulu intan baiduri. Semua adalah milikmu bersama, sama rasa sama rata!"
"Sesungguhnya bahagia lebih dari cukup, bahkan tumpah ruah melimpah-limpah."
"Lihat rumput-rumput jamrud di sana, bunga-bunga mutiara bermekaran."
"Kau memang maha kaya. Dan manusia alangkah miskin, melarat sekali."
"Tengok permadani sutera yang kau injak. Jubah dan sorban cashmillon yang kau pakai. Sepatu Aladdin yang bisa terbang. Telah kuhadiahkan segala yang indah-indah!"
Muhammad tertunduk, terasa betapa hidup manusia hanya jalinan-jalinan penyadong sedekah dari Tuhan. Alangkah nista pihak yang selalu mengharap belas kasihan. Ia ingat waktu sowan ke sorga dulu dirinya hanya sekeping jiwa telanjang.
"Apa sebenarnya kau cari di bumi? Kemesuman, kemunafikan, kelaparan, tangis dan kebencian sedang berkecamuk hebat sekali."
"Hamba ingin mengadakan riset." jawabnya lirih.
"Tentang apa?"
"Akhir-akhir ini begitu sedikit umat hamba yang masuk sorga."
"Ah, itu kan biasa. Kebanyakan mereka dari daerah tropis kalau tak salah?"
"Betul, Kau memang Maha Tahu."
"Kemarau lewat panjang di sana. Terik matahari terlalu lama membakar otak-otak mereka yang bodoh " kata Tuhan sambil meletakkan kacamata model kuno dari emas yang diletakkannya di atas meja yang terbuat dari emas pula.
"Bagaimana, ya Tuhan?"
"Umatmu banyak kena tusukan sinar matahari. Sebagian besar berubah ingatan, lainnya pada mati mendadak."
"Astaga! Betapa nasib mereka kemudian?"
"Yang pertama asyik membadut di rumah-rumah gila."
"Dan yang mati?"
"Ada stempel Kalimat-Syahadat dalam paspor mereka. Terpaksa raja iblis menolak memberikan visa neraka untuk orang-orang malang itu."
"Heran, tak pernah mereka mohon suaka ke sini!" (kening sedikit mengerut)
"Tentara neraka memang telah merantai kaki-kaki mereka di batu nisan masing-masing."
"Apa dosa mereka gerangan? Betapa malang nasib umat hamba, ya Tuhan!"
"Jiwa-jiwa mereka kabarnya mambu Nasakom. Keracunan Nasakom!"
"Nasakom? Racun apa itu, ya Tuhan? Iblis laknat mana meracuni jiwa mereka?"
Muhammad S.A.W nampaknya gusar sekali. Sambil tinjunya mengepal ia memberi perintah,
"Usman, Umar dan Ali! Asah pedang kalian tajam-tajam!"
Tuhan hanya mengangguk-angguk, senyum penuh pengertian penuh kebapaan.
"Carilah sendiri fakta-fakta yang otentik. Tentang pedang-pedang itu kurasa sudah kurang laku di pasar loak pelabuhan Jeddah. Pencipta Nasakom sudah punya bom atom, kau tahu!"
"Singkatnya, hamba diizinkan turba (turun ke bawah- red )ke bumi?"
"Tentu saja. Mintalah surat jalan pada Soleman yang bijak di sekretariat. Tahu sendiri, dirasai polisi-polisi dan hansip paling sok iseng, gemar sekali ribut-ribut perkara surat jalan."
"Tidak bisa mereka disogok?"
"Tidak, mereka lain dengan polisi dari bumi. Bawalah Jibrail serta supaya tak sesat!"
"Daulat, ya Tuhan." kata Muhammad sambil bersujud penuh sukacita.

***
Sesaat sebelum mereka berangkat sorga sibuk sekali. Timbang terima jabatan ketua kelompok grup muslimin di sorga telah ditandatangani naskahnya. Abu Bakar tercantum sebagai pihak penerima. Dan masih banyak lainnya.
"Wahai yang terpuji, jurusan mana yang paduka pilih?" Malaikat Jibrail bertanya dengan takzim.
"Ke tempat jasadku diistirahatkan; Madinah, kau ingat? Ingin kuhitung jumlah musafir-musafir yang ziarah. Disini kita hanya kenal dua macam angka, satu dan tak terhingga."
Seluruh penghuni sorga menghantar ke lapangan terbang. Lagu-lagu padang pasir terdengar merayu-rayu, tapi tanpa tari perut dan bidadari. Entah dengan berapa juta lengan Muhammad S.A.W harus berjabat tangan. Nabi Adam a.s sebagai pinisepuh tampil depan mikropon. Dikatakan bahwa penurbaan Muhammad merupakan lembaran baru dalam sejarah manusia. Besar harapan akan segera terjalin saling pengertian yang mendalam antara penghuni sorga dan bumi.
"Akhir kata Saudara-saudara, hasil peninjauan on the spot oleh Muhammad S.A.W harus dapat dimanfaatkan secara maksimal nantinya. Ya, Saudara-saudara kita di bumi melawan rongrongan iblis-iblis neraka beserta antek-anteknya. Kita harus bantu mereka dengan doa-doa dan sumbangan-sumbangan pikiran yang konstruktif agar mereka semua mau ditarik ke pihak Tuhan; sekian. Selamat jalan Muhammad! Hidup persatuan Rakyat Sorga dan Bumi!"
"Ganyang!!!" (Berjuta suara menyahut serempak).
Muhammad segera naik ke punggung buraq – kuda sembrani yang dulu jadi tunggangannya waktu ia mi’raj. Secepat kilat buraq terbang ke arah bumi dan Jibrail yang sudah tua terengah-engah mengikuti di belakang. Mendadak, sebuah sputnik melayang di angkasa hampa udara.
"Benda apa di sana?" tanyanya keheranan.
"Orang bumi bilang sputnik! Ada tiga orang di dalamnya, ya Rasul."
"Orang? Menjemput kedatanganku?" (Gembira)
"Bukan, mereka justru rakyat negara kapir terbesar di bumi. Pengikut Marx dan Lenin yang ingkar Tuhan. Tapi pandai-pandai otaknya."
"Orang-orang malang. Semoga Tuhan mengampuni mereka. Aku ingin lihat orang-orang kapir itu dari dekat. Ayo buraq!"
Buraq melayang deras menyilang arah sputnik mengorbit. Dengan pedang apinya Jibrail memberi isyarat sputnik berhenti sejenak. Namun, sputnik Rusia memang tidak ada remnya. Tubrukan tak dapat dihindarkan lagi. Buraq beserta sputnik hancur jadi debu; tanpa suara, tanpa sisa. Kepala-kepala botak di lembaga aeronautic di Siberia bersorak gembira.
"Diumumkan bahwa sputnik Rusia berhasil mencium planet tak dikenal. Ada sedikit gangguan komunikasi…" terdengar siaran radio Moskow.
Muhammad dan Jibrail terpental ke bawah. Mujur mereka tersangkut di gumpalan awan yang empuk bagai kapas.
"Sayang-sayang. Neraka bertambah tiga penghuni lagi." Bisik Muhammad sedih. Sejenak dilontarkan pandangannya ke bawah. Hatinya tiba-tiba berdesir ngeri.
"Jibrail, neraka lapis ke berapa di sana gerangan?"
"Paduka salah duga. Di bawah kita bukan neraka tapi baigan bumi yang paling durhaka, Jakarta namanya. Ibu kota sebuah negeri dengan seratus juta rakyat yang malas dan bodoh. Tapi ngakunya sudah bebas buta huruf."
"Tak pernah kudengar nama itu. Mana lebih durhaka, Jakarta atau Sodom dan Gomorah?"
"Hampir sama."
"Ai, hijau-hijau di sana bukankah warna api neraka?"
"Bukan, Paduka! Itulah barisan sukwan dan sukwati guna mengganyang negara tetangga, Malaysia."
"Adakah umatku di Malaysia?"
"Hampir semua, kecuali Cinanya tentu."
"Kalau begitu, kapirlah bangsa di bawah ini!"
"Sama sekali tidak, 90% dari rakyatnya orangnya Islam juga."
"90% (sambil wajah Nabi berseri), 90 juta ummatku! Muslimin dan muslimat tercinta. Tapi tak kulihat masjid yang cukup besar. Di mana mereka bersembahyang Jum’at?"
"Soal 90 juta hanya menurut statistik bumiawi yang ngawur. Dalam catatan Abu Bakar di sorga, mereka tak ada sejuta yang betul-betul Islam!"
"Aneh! Gilakah mereka?"
"Memang aneh!"
"Ayo Jibrail, segera kita tinggalkan tempat terkutuk ini. Aku selalu rindu kepada Madinah!"
"Tidak inginkah paduka menyelidiki sebab-sebab keanehan itu?"
"Tidak, tidak di tempat ini. Rencana risetku di Kairo."
"Sesungguhnya Paduka nabi terakhir, ya Muhammad?"
"Seperti telah tersurat di kitab Allah." Sahutnya dengan rendah hati.
"Tapi bangsa di bawah sana telah menabikan orang lain lagi."
"Apa peduliku dengan nabi palsu?"
"Umat Paduka hampir takluk pada ajaran nabi palsu: Nasakom!"
"Nasakom, jadi tempat inilah sumbernya. Kau bilang umatku takluk, nonsens!"
"Ya, Islam terancam. Tidakkah Paduka prihatin dan sedih?"
(Terdengar suara iblis, disambut tertawa riuh rendah)
Nabi tengadah ke atas.
"Sabda Allah tak akan kalah. Betatapun Islam, ia ada dan tetap ada walau bumi hancur sekalipun!"
Suara nabi mengguntur dahsyat, menggema di bumi; di lembah-lembah, di puncak-puncak gunung, kebun karet dan berpusat-pusat di laut lepas. Gaungnya terdengar sampai ke sorga disambut takzim ucapan serentak :
"Aamin, amin, amin."
Neraka guncang. Iblis-iblis gemetar menutup telinga. Guntur dan cambuk petir bersahut-sahutan.
"Baiklah, mari kita berangkat ya, Rasulullah!"
Muhammad tak hendak beranjak dari awan tempatnya berdiri. Hatinya bimbang pedih dan dukacita. Wajahnya gelap, segelap langit mendung di kiri kanannya. Jibrail menatap penuh tanda tanya, namun tak berani bertanya.
Musim hujan belum datang-datang juga. Di Jakarta banyak orang kejangkitan influenza, pusing-pusing dan muntah-muntah. Naspro dan APC sekonyong-konyong melonjak harga. Jangan dikata lagi pil vitamin C dan ampul penstrip. Kata orang sejak pabriknya diambil alih bangsa sendiri, agen-agen naspro mati kutu. Hanya apotik-apotik Cina dan tukang catut orang dalam leluasa mencomot jatah lewat jalan belakang.
Koran sore Warta Bhakti menulis: di Bangkok 1000 orang mati kena flu tapi terhadap flu Jakarta Menteri Kesehatan bungkam. Paginya Menteri Kesehatan yang tetap bungkam dipanggil menghadap Presiden alias PBR (Pemimpin Besar Revolusi).
"Zeg, Jenderal. Flu ini bikin orang mati apa tidak?"
"Tidak, Pak. Komunis yang berbahaya, pak."
"Ah, kamu. Komunisto phobi ya?"
Namun, meski tak berbahaya flu Jakarta tak sepandai polisi-polisinya, flu tak bisa disogok, serangannya membabi buta tidak pandang bulu. Mulai dari pengemis-pelacur-Nyonya Menteri-sampai Presiden diterjang semna-mena. Pelayan istana geger. Menko-Menko menarik muka sedih dan pilu, Panglima terbalik petnya karena gugup menyaksikan sang PBR muntah-muntah seperti perempuan bunting muda.
Sekejab mata dokter-dokter dikerahkan, kawat telegram sibuk minta hubungan rahasia ke Peking:
"Mohon segera dikirim tabib-tabib Cina yang kesohor, pemimpin besar kami sakit keras. Mungkin sebentar lagi mati."
Kawan Mao di singgahsananya tersenyum-senyum. Dengan wajah penuh welas asih ia menghibur kawan seporos yang sedang sakratul maut.
"Semoga lekas sembuh. Bersama ini rakyat Cina mengutus beberapa tabib dan dukun untuk memeriksa penyakit Saudara. Terlampir obat kuat akar Jinsom umur 1000 tahun. Tanggung manjur. Kawan nan setia: tertanda Mao."
(Pada tabib-tabib ia titipkan pula sedikit oleh-oleh untuk Aidit.)
Rupanya berkat khasiat obat kuat si sakit berangsur-angsur sembuh. Sebagai orang beragama tak lupa mengucap syukur pada Tuhan yang telah mengkaruniai seorang sahabat sebaik kawan Mao. Pesta diadakan. Tabib-tabib Cina dapat tempat duduk istimewa. Untuk sejenak tuan rumah lupa agama, hidangan daging babi dan kodok ijo disikat tandas-tandas. Kiai-kiai yang hadir tersenyum-senyum kecut.
"Saudara-saudara, pers Nekolim gembar-gembor, katanya Soekarno sedang sakit keras. Bahkan hampir mati katanya. (hadirin tertawa mentertawakan kebodohan Nekolim). Wah, Saudara-saudara. Mereka itu selak kemudu-mudu (keburu jamuran/keburu nunggu sampai berjamur-red) melihat musuh besarnya mati. Kalau Soekarno mati mereka pikir Indonesia akan gampang digilas, mereka kuasai seenak udelnya sendiri, seperti negerinya Tengku.
Padahal, (sambil menunjuk dada) lihat badan saya, Saudara-saudara! Soekarno tetap segar bugar. Soekarno belum mau mati, kataku. (tepuk tangan gegap gempita, tabib-tabib Cina tak mau ketinggalan) Insya Allah, saya belum mau menutup mata sebelum pojok Nekolim Malaysia hancur lebur jadi debu!" (tepuk tangan lagi)
Acara bebas dimulai. Dengan tulang-tulangnya yang sudah tua Presiden menari lenso bersama gadis-gadis daerah Menteng yang spesial diundang. Patih-patih dan Menteri tak mau kalah gaya. Tinggal para hulubalang cemas melihat Panglima Tertinggi bertingkah seperti anak kecil urung disunat.
Dokter pribadinya berbisik,
"Tak apa. Baik buat ginjalnya. Biar kencing batu PJM tidak kumat-kumat."
"Menyanyi! Menyanyi, dong Pak!" (gadis-gadis merengek)
"Baik, baik. Tapi kalian yang mengiringi, ya!" (sambil bergaya burung onta)
Siapa bilang Bapak dari Blitar
Bapak ini dari Prambanan
Siapa bilang rakyat kita lapar.
Malaysia yang kelaparan…!
Mari kita bergembira! (Nada-nada sumbang bau aroma champagne).
Di sudut gelap istana tabib Cina berbisik-bisik seorang Menteri,
"Gembira sekali nampaknya dia."
"Itu tandanya hampir mati."
"Mati?"
"Ya, mati. Paling tidak lumpuh. Kawan Mao berpesan sudah tiba saatnya."
"Tapi kami belum siap."
"Kapan lagi? Jangan sampai keduluan klik Nasution."
"Tunggu saja tanggal mainnya!"
"Nah, sampai ketemu lagi!" (Tabib Cina tersenyum puas.)
Mereka berpisah.
Mendung makin tebal di langit, bintang-bintang bersinar guram (berpendar-red) satu-satu. Pesta diakhiri dengan lagu langgam Kembang Kacang yang dibawakan nenek-nenek kisut 68 tahun.
"Kawan lama Presiden." (bisik orang-orang)
Tamu-tamu permisi pamit. Perut kenyangnya mendahului kaki-kaki setengah lemas. Beberapa orang muntah-muntah mabuk di halaman parkir…Sendawa mulut mereka berbau alkohol. Sebentar-sebentar kiai mengucap ‘alhamdulillah’ secara otomatis.
Menteri-menteri pulang belakangan bersama gadis-gadis, cari kamar sewa. Pelayan-pelayan sibuk kumpulkan sisa-sisa makanan buat oleh-oleh anak istri di rumah. Anjing-anjing istana mendangkur kekenyangan-mabuk anggur Malaga. Pengemis-pengemis di luar pagar istana memandang kuyu, sesali nasib kenapa jadi manusia dan bukan anjing!
***
Desas-desus Soekarno hampir mati-lumpuh cepat menjalar dari mulut ke mulut. Meluas seketika, seperti loncatan api di kebakaran gubuk-gubuk gelandangan di atas tanah milik Cina. Sampai juga ke telinga Muhammad dan Jibrail yang mengubah diri jadi sepasang burung elang. Mereka bertengger di puncak menara emas bikinan pabrik Jepang. Pandangan ke sekeliling begitu lepas-bebas.
"Allahuakbar, nabi palsu hampir mati." Kata Jibrail sambil mengepakkan sayap.
"Tapi ajarannya tidak. Nasakom bahkan telah mengoroti jiwa prajurit-prajurit. Telah mendarah daging pada sebagian kiai-kiaiku." Kata Muhammad sambil mendengus kesal.
"Apa benar yang Paduka risaukan?"
"Kenapa kau pilih bentuk burung elang ini dan bukan manusia? Pasti kita akan dapat berbuat banyak untuk ummatku!"
"Paduka harap ingat; di Jakarta setiap hidung harus punya kartu penduduk. Salah kena garuk razia gelandangan!"
"Lebih baik sebagai ruh, bebas dan aman."
"Guna urusan bumi wajib kita jadi sebagian dari bumi."
"Buat apa?"
"Agar kebenaran tidak telanjang di depan kita."
"Tapi tetap di luar manusia?"
"Ya, untuk mengikuti gerak hati dan pikiran manusia justru sulit bila satu dengan mereka."
"Aku tahu!"
"Dan dalam wujud yang sekarang mata kita tajam. Gerak kita cepat!"
"Ah, ya. Kau betul, Tuhan memberkatimu jibrail. Mari kita keliling lagi. Betatapun durhaka kota ini mulai kucintai."
Sepasang elang terbang di udara senja Jakarta yang berdebu menyesak dada dan hidung mereka tercium asap knalpot dari beribu mobil. Diatas Pasar Senen tercium bau timbunan sampah menggunung, busuk dan mesum. Kemesuman makin keras terbau di atas Stasiun Senen. Penuh ragu Nabi hinggap di atas gerbong-gerbong kereta daerah planet.
Pelacur-pelacur dan sundal asyik berdandan. Bedak penutup bopeng, gincu merah murahan dan pakaian pengantin bermunculan. Di bawah gerbong beberapa sundal tua mengerang-lagi palang merah-kena raja singa. Kemaluannya penuh borok, lalat-lalat pesta menghisap nanah. Senja terkapar menurun diganti malam bertebar bintang di sela-sela awan. Pemuda tanggung masuk kamar mandi berpagar sebatas dada, cuci lendir. Menyusul perempuan gemuk penuh panu di punggung, kencing dan cebok. Sekilas bau jengkol mengambang. Ketiak berkeringat amoniak, hasil main akrobat di ranjang reot.
Di kamar lain, bandot tua asyik main pompa di atas perut perempuan muda 15 tahun. Si perempuan tak acuh dihimpit, sibuk cari tuma dan nyanyi lagu melayu. Hansip repot-repot mengontrol, cari uang rokok.
"Apa yang Paduka renungkan?"
"Di negeri dengan rakyat Islam terbesar, mereka begitu bebas berbuat cabul!" (menggelengkan kepala).
"Mungkin pengaruh ajaran Nasakom! Sundal-sundal juga soko guru revolusi," kata si Nabi palsu.
"Ai, binatang hina yang melata. Mereka harus dilempari batu sampai mati. Tidakkah Abu Bakar, Umar dan Usman teruskan perintahku pada kiai-kiai disini? Berzina, langkah kotor bangsa ini. Batu mana batu!"
"Batu-batu mahal disini. Satu kubik dua ratus rupiah, sayang bila hanya untuk melempari pezina-pezina. Lagipula…."
"Cari di sungai dan di gunung-gunung!"
"Batu-batu di seluruh dunia tak cukup banyak guna melempari pezina-pezinanya. Untuk dirikan mesjid saja masih saja kekurangan. Paduka lihat?"
"Bagaimanapun tak bisa dibiarkan!" (Nabi merentak).
"Sundal-sundal diperlukan di negeri ini ya, Rasul."
"Astaga! Sudahlah Iblis menguasai dirimu Jibrail?"
"Tidak Paduka, hamba tetap sadar. Dengarlah penuturan hamba. Kelak akan lahir sebuah sajak, begini bunyinya :
Pelacur-pelacur kota Jakarta
Naikkan tarifmu dua kali
dan mereka akan kelabakan
mogoklah satu bulan
dan mereka akan puyeng
lalu mereka akan berzina
dengan istri saudaranya
"Penyair gila! Cabul!"
"Kenyataan yang bicara. Kecabulan terbuka dan murah justru membendung kecabulan laten di dada-dada mereka. (Muhammad membisu, wajah muram durja). Di depan toko buku Remaja suasana meriak kemelut, ada copet tertangkap basah. Tukang-tukang becak mimpin orang banyak menghajarnya ramai-ramai. Si copet jatuh bangun minta ampun meski hati geli mentertawakan kebodohannya sendiri: hari nahas, ia keliru jambret dompet kosong milik kopral sedang preman kosong milik Kopral setengah preman. Hari nahas selalu berarti tinju-tinju, tendangan sepatu dan cacian tak menyenangkan. Tapi itu rutin belaka. Polisi-polisi Senen tak acuh melihat tontonan sehari-hari: orang mengeroyok orang sebagai kesenangan. Mendadak sosok baju hijau muncul, menyelak di tengah. Si copet diseret keluar dibawa entah kemana. Orang-orang merasa kehilangan mainan kesayangannya, melongo.
"Dia jagoan Senen; anak buah Syafii, raja copet!"
"Orang tadi mencuri tidak?" (pandangan Nabi penuh selidik).
"Betul. Orang sini menyebutnya copet atau jambret."
"Kenapa mereka hanya sekali pukul si tangan panjang? Mestinya dipotong tangan celaka itu. Begitu perintah Tuhan kepadaku dulu."
"Mereka tak punya pedang, ya Rasul."
"Toh, bisa diimpor!"
"Lalu dengan apa bangsa ini berperang?"
"Dengan omong kosong dan bedil-bedil utangan dari Rusia."
"Negara kapir itu?"
"Ya, sebagian lagi dari Amerika. Negara penyembah harta dan dolar."
"Sama jahat keduanya pasti!"
"Dunia sudah berobah gila!" (mengeluh).
"Ya, dunia sudah tua!"
"Padahal kiamat masih lama."
"Masih banyak waktu ya, Nabi!"
"Banyak waktu untuk apa?"
"Untuk mengisi kesepian kita di sorga."
"Betul-betul, sesungguhnya tontonan ini mengasyikkan, meskipun kotor. Akan kuusulkan dipasang TV di sorga."
Kedua elang jelmaan terbang Nabi dan Jibrail itu terbang di gelap malam.
"Jibrail! Coba lihat! Ada orang berlari-lari anjing ke sana! Hatiku tiba-tiba merasa tak enak…"
"Hamba berperasaan sama. Mari kita ikuti dia, ya Muhammad."
Sebentar kemudian diatas sebuah pohon pinang yang tinggi mereka bertengger. Mata tajam mengawasi gerak-gerik orang berkaca mata.
"Siapa dia? Mengapa begitu gembira?"
"Jenderal-jenderal menamakannya Durno, Menteri Luar Negeri merangkap pentolan mata-mata."
"Sebetulnya siapa dia menurut kamu?"
"Dia hanya Togog, begundal-begundal raja angkara murka."
"Ssst! Surat apa di tangannya itu?"
"Dokumen."
"Dokumen?"
"Dokumen Gilchrist, hamba dengar tercecer di rumah Bill Palmer."
"Gilchrist? Bill Palmer? Kedengarannya seperti nama kuda!"
"Bukan, mereka orang-orang Inggris dan Amerika."
"Ooh."
Di bawah sana Togog melonjak kegirangan. Sekali ini betul-betul makan tangan, nemu jimat gratis. Kertas kumal mana ia yakin bakal bikin geger dunia. Tak henti-henti diciuminya jimat wasiat itu. Angannya mengawang, tiba-tiba senyum sendiri.
"Sejarah akan mencatat dengan tinta emas: Sang Togog berhasil telanjangi komplotan satria-satria pengraman baginda raja."
Terbayang gegap gempita pekik sorak rakyat pengemis di lapangan Senayan.
"Hidup Togog, putra mahkota! Hidup Togog, calon baginda kita!"
Sekali lagi ia senyum-senyum sendiri. Baginda tua hampir mati, raja muda togog segera naik takhta, begitu jenderal selesai-selesai dibikin mati kutunya. Pintu markas BPI (badan pusat intelijen) ditendang keras-keras tiga kali. Itu kode!
"Apa kabar Yang Mulia Togog?"
"Bikin banyak-banyak fotokopi dari dokumen ini! Tapi awas, top secret. Jangan sampai bocor ke tangan dinas-dinas intel lain. Lebih-lebih intel AD."
"Tapi ini otentik apa tidak, Pak Togog? Pemeriksaan laboratoris?"
"Baik, baik yang mulia" (pura-pura ketakutan)
"Nah, kan begitu. BPI Togog harus disiplin dan taat tanpa reserve pada saya tanpa hitung-hitung untung atau rugi. Semua demi revolusi yang belum selesai!"
"Betul, Pak; eh, yang mulia."
"Jadi kapan selesai?"
"Seminggu lagi, pasti beres."
"Kenapa begitu lama?"
"Demi security, Pak. Begitu saya baca dari buku-buku komik detektif."
"Bagus, kau rajin meng-up-grade diri. Soalnya begini saya mesti lempar copy-copy itu depan hidung para panglima waktu briefing dengan PBR (Pemimpin Besar Revolusi-red). Gimana?"
"Besok, juga bisa asal uang lembur dibayar dimuka."
Togog meluruskan seragam dewanya. Dan gumpalan uang puluhan ribu keluar dari kantong belakang. Sambil tertawa senang ditepuk-tepuknnya punggung pembantunya.
"Diam! Diam! Dokumen ini bakal bikin kalang kabut Nekolim dan antek-anteknya dalam negeri."
"Siapa mereka?"
"Siapa lagi? Natuurlijk de zogenaamde ‘our local army friends’. Jelas toh?"
Sepeninggal Togog jimat ajaib ganti berganti dibaca jin-jin liar atau setan-setan bodoh penyembah Dewa Mao nan agung. Mereka jadi penghuni markas Badan Pusat Intelijen secara gelap sejak bertahun-tahun. Syhadan, desas-desus makin laris seperti nasi murah. Rakyat jembel dan kekerlak baju hijau rakus berebutan, melahap tanpa mengunyah lagi.
"Soekarno hampir mati lumpuh; Jenderal kafir mau kup, bukti-bukti lengkap di tangan partai!"
***
Sayang, ramalan dukun-dukun Cina sama sekali meleset. Soekarno tidak jadi lumpuh, pincang sedikit Cuma. Dan pincang tak pernah bikin orang mati. Tanda kematian tak kunjung tampak, sebaliknya Soekarno makin tampak muda dan segar.
Kata orang dia banyak injeksi H-3, obat pemulih tenaga kuda. Kecewalah sang Togog melihat baginda raja makin rajin pidato, makin gemar menyanyi, makin getol menari dan makin giat menggilir ranjang isteri-isteri yang entah berapa jumlahnya.
Hari itu PBR dan Togog termangu-mangu beruda di Bogor. Briefing dengan Panglima-panglima berakhir dengan ganjalan-ganjalan hati yang tak lampias.
"Jangan-jangan dokumen itu palsu, hai Togog." (PBR marah-marah).
"Ah, tak mungkin Pak. Kata pembantu saya jimat tulen."
"Tadinya sudah kau pelajari baik-baik?"
"Sudah pak. Pembantu-pembantu saya bilang siang malam mereka putar otak dan bakar kemenyan."
"Juga sudah ditanyakan pada dukun-dukun klenik?"
"Lebih dari itu! Jailangkung bahkan memberi gambaran begitu pasti!"
"Apa katanya?"
"Biasa, de bekendste op vrije voeten gesteld, altjid!"
"Ah, lagi-lagi dia. Nasution sudah saya kebiri dengan embel-embel Menko Hankam-Kasab. Dia tidak berbahaya lagi.
"Ya, tapi jailangkung bilang CIA yang mendalangi ‘our local army friends’."
"Gilchrist toh orang Inggris, kenapa CIA campur adukkan?"
"Begini, Pak. Mereka telah berkomplot. Semua gara-gara kita nuruti kawan Mao buka front baru dengan konfrontasi Malaysia."
"Dunia tahu, Hanoi bisa bernapas sekarang. Paman Ho agak bebas dari tekanan Amerika."
"Kenapa begitu?"
"Formil kita berhadapan dengan Inggris Malaysia. Sesungguhnya Amerika yang kita rugikan: mereka harus memecah armadanya jadi dua. Sebagian tetap mengancam RRT lainnya mengancam kita!"
"Mana lebih besar yang mengancam kita atau RRT?" (RRT= Republik Rakyat Tjina; ejaan lama dari ‘Cina’-red).
"Kita. Itu sebabnya AD ogah-ogahan mengganyang Malaysia. Mereka khawatir Amerika menjamah negeri ini. "
Soekarno tunduk. Keterangan Togog membuatnya sadar telah ditipu mentah-mentah sahabat Cinanya. Kendornya tekanan Amerika berarti biaya pertahanan negeri Cina dapat ditransfer ke produksi. Dan Indonesia yang terpencil jadi keranjang sampah raksasa buat menampung barang-barang rongsokan Cina yang tak laku di pasaran. Kiriman bom atom, upah mengganyang Malaysia tak ditepati oleh Chen-Yi yang doyan omong kosong. PBR naik pitam.
"Togog, panggil Duta Cina kemari, sekarang!"
"Persetan dengan tengah malam. Bawa serdadu-serdadu pengawal itu semua kalau kamu takut."
Seperti maling kesiram air kencing Togog berangkat di malam dingin kota Bogor. Angan-angan untuk seranjang dengan gundiknya yang di Cibinong buyar. Dua jam kemudian digiring masuk seorang Cina potongan penjual bakso. Dia Cuma pakai piyama mulutnya berbau ang ciu dan daging babi.
"Ada apa malam-malam panggil saya? Ada rezeki nih!" (Duta Cina itu sudah pintar ngomong Indonesia. Dan PBR senang pada kepintarannya).
"Betul, kawan. Malam ini juga kau harus pulang ke negeri leluhur. Dan jangan kembali kemari sebelum dibekali oleh-oleh dari Chen Yi. Ngerti toh?"
"Buat apa bom atom, sih?" (Duta Cina menghafal kembali instruksi dari Peking. Tentaramu belum bisa merawatnya. Jangan-jangan malah terbengkalai jadi besi tua dan dijual ke Jepang. Ah, sahabat Ketua Mao; lebih baik kau bentuk angkatan kelima. Bambu runcing lebih cocok untuk rakyatmu."
"Gimana ini, Togog?"
"Saya khawatir bambu runcing lebih cocok untuk bocorkan isi perut Cina WNA disini." (Togog mendongkol).
"Jelasnya?" (tanya PBR dan Duta Cina serentak).
"Amerika mengancam kita gara-gara usul pemerintah kamu supaya Malaysia diganyang. Ngerti, tidak?" (Cina itu mengangguk).
"Dan sampai sekarang pemerintahmu Cuma nyokong dengan omong kosong!"
"Kami tidak memaksa, bung! Kalau mau stop konfrontasi, silakan."
"Tak mungkin!" (PBR meradang). Betul or tidak, Gog?"
"Akur, pak! Konfrontasi mesti jalan terus. Saya jadi punya alasan berbuat nekad."
"Nekad bagaimana?" (Cina menyipitkan matanya yang sudah sipit.)
"Begitu Amerika mendarat akan saya perintahkan potong leher semua Cina-Cina WNA." (menggertak).
"Ah, jangan begitu kawan Haji Togog. Anda kan orang beragama!"
"Masa bodoh. Kecuali kalau itu bom segera dikirim."
"Baik, baik. Malam ini saya berangkat."
PBR mau tak mau kagum akan kelihaian Togog. Mereka berangkulan.
"Kau memang Menteri Luar Negeri terbaik di dunia."
"Tapi Yani jenderal terbaik, kata Bapak kemarin."
"Memang ada apa rupanya? Apa dia ogah-ogahan juga ganyang Malaysia?"
"Maaf PJM hal ini kurang jelas. Faktanya keadaan berlarut-larut hanya menguntungkan RRT."
"Yani ragu-ragu?"
"Begitulah. Sebba PKI ikut jadi sponsor pengganyangan. Sedangkan mayoritas AD anggap aksi ini tak punya dasar."
"Lalu CIA dengan ‘our local army friends’ nya mau apa?"
"Konfrontasi harus mereka hentikan. Caranya mana kita bisa tebak? Mungkin coba-coba membujuk dulu lewat utusan diplomat penting. Kalau gagal cara khas CIA akan mereka pakai."
"Bagaimana itu?"
"Unsur-unsur penting dalam konfrontasi akan disingkirkan. Soekarno-Subandrio-Yani dan PKI harus lenyap!"
Sang PBR mengangguk-angguk karena ngantuk dan setuju pada analisa buatan Togog. Hari berikutnya berkicaulah Togog depan rakyat jembel yang haus sensasi. Seperti penjual obat pinggir jalan, ia sering lupa mana propaganda jiplakan dan mana hasil gubahan sendiri.
"Saudara-saudara, di saat ini ada bukti-bukti lengkap di tangan PJM Presiden/PBR tentang usaha Nekolim untuk menghancurkan kita. CIA telah mengkomando barisan algojonya yang bercokol dalam negeri untuk menyingkirkan musuh-musuh besarnya. Waspadalah saudara-saudara Soekarno-Subandrio-Yani dan rakyat progresif-revolusioner lainnya akan mereka musnahkan dari muka bumi. Tiga orang ini justru dianggap paling berbahaya untuk majikan mereka di London dan Washington.
"Tapi jangan gentar, Saudara-saudara! Saya sendiri tidak takut demi Presiden/PBR dan demi revolusi yang belum selesai. Saya rela berkorban jiwa raga. Sekali lagi tetaplah waspada. Sebab algojo-algojo tadi ada di antara Saudara-saudara."
Rakyat bersorak kegirangan. Bangga punya Wakil Perdana Menteri berkaliber Togog yang tidak gentar mati. Sejenak mereka luput perut-perut lapar ditukar dengan kegemasan dan geram meluap-luap  atas kekurangajaran nekolim.
Rapat diakhiri dengan membakar orang-orangan berbentuk Tengku sambil menari-nari. Bendera-bendera Inggris dan Amerika yang susah payah dijahit perempaun-perempuan mereka di rumah, diinjak-injak dan dirobek penuh rasa kemenangan dan kepuasan luar biasa.
Setelah bosan mereka bubar satu-satu. Tinggal pemuda-pemudanya yang melantur kesana kemari, bergaya tukang copet. Mereka ingin mencari tahu algojo-algojo Nekolim yang dikatakan Togog barusan.
Di Harmoni segerombolan tukang becak asyik kasak-kusuk, bicara politik. Kalau di Rusia Lenin bilang koki juga mesti milik politik, di Jakarta tukang-tukang becak juga keranjingan ngomong politik.
"Katanya Dewan Jenderal mau coup. Sekarang Yani mau dibunuh, mana yang benar?"
"Dewan Jenderal siapa pemimpinnya?"
"Pak Yani, tentu."
"Jadi Yani akan bunuh Yani. Gimana, nih?"
"Aaah! Sudahlah. Kamu tahu apa." (Suara sember.)
"Untung menteri luar negeri kita jago. Rencana nekolim bisa dibocorin."
"Dia nggak takut mati?"
"Tentu saja kapan dia sudah puas hidup-hidup. Berapa perawan dia ganyang!" (suara sember menyela lagi).
Yang lain-lain tidak heran atau marah. Seakan sudah jamak Menteri mengganyang perawan dan isteri orang.

***
Pengganyangan Malaysia yang makin bertele-tele segera dilaporkan PBR ke Peking.
"Kawan-kawan seporos, harap bom atom segera dipaketkan, jangan ditunda-tunda. Tentara kami sudah mogok berperang: Jenderal-Jenderal asyik ngobyek cari rezeki dan prajurit-prajurit sibuk ngompreng serta nodong. Jawaban dari Peking tak kunjung datang. Yang datang membanjir hanya textil, korek api, senter, sandal, Pepsodent, tusuk gigi dan barang-barang lain bikinan cina.
Soekarno tiba-tiba kejatuhan ilham akan pentingnya berdiri di atas kaki sendiri. Rakyat yang sudah lapar dimarahi habis-habisan karena tak mau makan lain kecuali beras. Ubi, jagung, singkong, tikus, bekicot dan bahkan kadal, obat eksim paling manjur.
"Saya sendiri dikira makan nasi tiap hari? Tidak! PBR-mu ini Cuma kadang-kadang makan nasi sekali sehari. Bahkan sudah sebulan ini tidak makan daging. Tanya saja Jenderal Saboer!"
"Itu Pak Leimena disana (menunjuk seorang kurus kering) dia lebih suka makan sagu daripada nasi. Lihat Pak Seda bertubuh tegap (menunjuk seorang bertubuh kukuh mirip tukang becak), dia tak bisa kerja kalau belum sarapan jagung."
Paginya ramai-ramai koran memuat daftar menteri-menteri yang makan jagung. Lengkap dengan potretnya sekali. Sayang, rakyat sudah tidak percaya lagi, mereka lebih percaya pada pelayan-pelayan istana. Makan pagi Soekarno memang bukan nasi, tapi roti panggang bikinan Perancis di Hotel Indonesia. Guna mencegah darah tingginya kumat, dia memang tidak makan daging. Terpaksa hanya telor goreng setengah matang dicampur sedikit madu pesanan dari Arab sebagai pengiring roti. Menyusul buah apel kiriman Kosygin dari Moskow.
Namun rakyat tidak heran atau marah. Seakan sudah jamak seorang presiden harus bohong dan buka mulut seenaknya. Rakyat Indonesia rata-rata memang pemaaf dan baik hati. Kebohongan dan kesalahan pemimpin selalu disambut dengan dada lapang. Hati mereka bagai mencari, betapa pun langit makin mendung, sinarnya tetap ingin menyentuh bumi.[]


Saat Jibril Mampir di Monas, HB Jassin Masuk Penjara
(tempointeraktif.com/26 April 2006)
Judul Buku: Pleidoi Sastra: Kontroversi Cerpen “Langit Makin Mendung” Ki Pandjikusmin
Penulis: Kipandjikusmin, H.B Jassin, Hamka, dll
Editor: Mujib Hermani, Muhidin M. Dahlan
Penerbit: Melibas, Jakarta
Tebal: 484 halaman
Cetakan  I, 2004

Coba anda bayangkan, suatu waktu Nabi Muhammad yang ditemani malaikat Jibril nangkring di pucuk Monas dan juga sampai di lokalisasi di bilangan Pasar Senen. Kira-kira apa jadinya? Buku Pleidoi Sastra: Kontroversi Cerpen “Langit Makin Mendung” Ki Pandjikusmin bisa memberi sebuah kesaksian sekaligus jawaban atas pertanyaan itu.

Kurang lebih jawabannya begini: “Sepucuk belenggu bernama sensor akan mampir di meja redaksi majalah Sastra. Tapi tak cuma mampir, sensor itu juga membawa dua biji kado yang baunya agak sengak: (1) majalah itu dibredel kejaksaan dan (2) sang pemimpin redaksinya dihukum penjara selama satu tahun dengan masa percobaan dua tahun.
Dakwaannya mengerikan: menghina agama Islam dan merusak akidah umat.”

Pertanyaannya, apa benar Muhammad dan Jibril pernah ke Jakarta dan mampir di Monas dan Pasar Senen? Tentu saja tidak. Sebab, peristiwa mampirnya Muhammad dan Jibril ke Jakarta hanya ada dalam sebuah cerpen. Cerpen “nekat” itu berjudul Langit Makin Mendung. Penulisnya bernama Kipandjikusmin. Cerpen ini diterbitkan di halaman pertama majalah Sastra edisi Agustus 1968, yang mana Paus Sastra Indonesia, H.B. Jassin, menjadi Pemimpin Redaksinya. Akibat pemuatan cerpen itu, majalah Sastra dibredel kejaksaan dan dan H.B. Jassin sendiri divonis setahun penjara oleh pengadilan.

Siapa sebenarnya Kipandjikusmin? Petunjuk yang bisa menerangkan siapa dia terlampau sedikit. Ia hanya diketahui berasal dari Yogyakarta. Sejak kasus ini mencuat, ia tak muncul lagi. Entah jika ia menggunakan nama lain. Akibatnya, hingga kini Kipandjikusmin masih menjadi misteri. Jassin sendiri di pengadilan bersitegang leher untuk sekukuhnya menolak membeberkan identitas Kipandjikusmin: keteguhan sikap yang cukup jadi alasan kita untuk memberinya standing ovation.

Sebenarnya, seberapa hebat capaian literer Langit Makin Mendung? Pembaca tentu bisa menilai sendiri. Tapi pendapat Wiratmo Soekito bisa dinukilkan di sini. Mas Wir, demikian orang memanggilnya, menyebut cerpen itu dengan kalimat “…karangannya itu jelek dan merupakan kitsch.” (hal. 139). Cerpen ini memang hanya bisa mengumpulkan bahan-bahan mentah saja. Akibatnya, ia tak lebih dari sekadar guntingan-guntingan berita surat kabar yang kemudian disulam menjadi sebuah (pinjam frase-nya Bur Rusuanto) fucilleton editorial yang berpretensi literer.

Dan memang bukan capaian literer yang membikinnya heboh. Kehebohannya lebih mirip kehebohan novel The Satanic Verses-nya Salman Rushdie.
Banyak yang bilang, karya Rushdie Midnight Children jauh lebih mentereng untuk soal capaian literer. Tapi The Satanic Verses heboh mula-mula memang bukan karena kualitasnya, tapi karena tema dan alur ceritanya yang dinilai menghina Islam, Muhammad dan al-Qur’an.

Langit Makin Mendung berkisah tentang Nabi Muhammad yang turun kembali ke bumi. Muhammad diijinkan turun oleh Tuhan setelah memberi argumen bahwa hal itu merupakan keperluan mendesak untuk mencari sebab kenapa akhir-akhir ini manusia lebih banyak yang dijebloskan ke neraka. Upacara pelepasan pun diadakan di sebuah lapangan terbang. Nabi Adam yang dianggap sebagai pinisepuh swargaloka didapuk memberi pidato pelepasan.

Dengan menunggangi buraq dan didampingi Jibril, meluncurlah Muhammad. Di angkasa biru, mereka berpapasan dengan pesawat sputnik Russia yang sedang berpatroli. Tabrakan pun tak terhindar. Sputnik hancur lebur tak keruan. Sedang Muhammad dan Jibril terpelanting ke segumpal awan yang empuk. Tak dinyana, awan empuk itu berada di langit-langit Jakarta.
Untuk menghindari kemungkinan tak terduga, Muhammad dan Jibril pun menyamar sebagai elang. Dalam penyamaran itulah, Muhammad berkeliling dan mengawasi tingkah polah manusia Jakarta dengan bertengger di pucuk Monas (yang dalam cerpen itu disebut “puncak menara emas bikinan pabrik Jepang”) dan juga di atas lokalisasi pelacuran di daerah Senen.

Lewat dialog antara Muhammad dan Jibril maupun lewat fragmen-fragmen yang berdiri sendiri, Kipandjikusmin memotret wajah bopeng tanah air masa itu: negeri yang meski 90 persen Muslim, tetapi justru segala macam perilaku lacur, nista, maksiat dan kejahatan tumbuh subur. Lewat cerpen ini, Kipandjikusmin menyindir elit politik Indonesia dengan cara telengas. Soekarno disebutnya sebagai “nabi palsu yang hampir mati”. Soebandrio yang saat itu menjabat Menteri Luar Negeri disindirnya sebagai “Durno” sekaligus “Togog”.

Cerpen diakhiri dengan sebuah sindiran halus tapi pedas; sebuah sindiran yang persis menancap di ulu hati kepribadian manusia negeri ini. Begini bunyinya: “Rakyat Indonesia rata-rata memang pemaaf serta baik hati. Kebohongan dan kesalahan pemimpin selalu disambut dengan lapang dada. Hati mereka bagai mentari, betapapun langit makin mendung, sinarnya tetap ingin menyentuh bumi.”

Publikasi Langit Makin Mendung betul-betul menjadi pemantik yang melahirkan “prahara sastra yang panjang dan panas”. Dikatakan “panjang” karena polemik itu berlangsung hampir selama tiga tahun, dari 1968 hingga 1970, dan melahirkan puluhan artikel di media massa. Polemik itu juga melibatkan nama-nama besar dari lintas disiplin: Taufik Ismail, A.A. Navis, Goenawan Mohammad, Wiratmo Soekito, Bur Rusuanto, Bahrum Rangkuti hingga Hamka. Polemik pun menyentuh banyak aspek. Dari perdebatan sastra, hukum, politik, agama bahkan menyentuh sentimen nasionalisme (seorang penulis Malaysia yang memihak Jassin membikin seorang penulis Indonesia merasa tersinggung dan menyebutnya sebagai tamu tak tahu diri).

Pertanyaannya, apa benar Kipandjikusmin sungguh-sungguh menghina Tuhan, Islam dan Nabi Muhammad? Bagi faksi yang anti, yang lantas dikukuhkan pengadilan, Langit Makin Mendung dianggap benar-benar telah menghina Islam. Faksi ini beranggapan, kebebasan mencipta tak berarti orang bebas menyiarkan pikiran dan tulisan sekenanya, lebih-lebih jika menyentuh aspek yang sudah nyata-nyata dilarang.

Mereka berkeyakinan, menggambarkan nabi dan malaikat sebagai haram. Dan Kipandji dianggap telah melanggar dalil itu dengan lancang melukiskan Muhammad dan Jibril. Sekadar tambahan, dalam cerpen Langit Makin Mendung, Kipandji menyebut “Muhammad dan para nabi telah bosan tinggal di surga”. Jibril yang mengiring Muhammad juga digambarkan “kerepotan mengikuti Muhammad karena dinilai sudah terlampau renta”.

Jassin menganggap tuduhan itu terlampau berlebihan. Langit Makin Mendung bagi Jassin tak lebih sebagai satire untuk mengkritik keburukan masyarakat. Pendapat ini didukung oleh, diantaranya, Wiratmo Soekito, A.A. Navis hingga Bur Rusuanto. Jassin menulis: “Pengarangnya hanya menggambarkan ‘ide tentang Tuhan dan Nabi’, bukannya menggambarkan Tuhan atau Nabi.”

Dalam pleidoi-nya di pengadilan, Jassin meminta agar kebenaran sastrawi dibedakan dengan kebenaran agama atau ilmu pengetahuan. Kebenaran sastrawi berporoskan imajinasi. Dan imajinasi, tulis Jassin, “lebih daripada gagasan. Ia adalah keseluruhan kombinasi dari gagasan-gagasan, perasaan-perasaan, intuisi manusia.” (hal. 111).

Tak cuma memuat puluhan artikel bermutu yang jadi bagian polemik panjang ini, buku Pleidoi Sastra: Kontroversi Cerpen Langit Makin Mendung Ki Pandjikusmin ini juga memuat cerpen Langit Makin Mendung yang menjadi pangkal polemik plus empat cerpen Kipandji lain. Di bagian akhir buku, disertakan pleidoi Jassin di pengadilan berikut notulensi tanya jawab Jassin dengan hakim dan jaksa. Buku ini karenanya sayang untuk diabaikan. Ia adalah momento yang patut dimiliki siapapun yang intens dengan masalah kesusateraan. Ia juga penting, lebih lebih jika kita hendak merenungkan bagaimana wacana kebebasan mencipta berhadapan dengan norma-norma agama dan sosial.

Bukan pada tempatnya jika tulisan ini mendukung atau menolak pembredelan dan pemenjaraan Jassin. Tidak kalah penting kiranya untuk mengkalkulasi, bisakah terjadi dialog yang jernih diantara yang mendukung dan menampik? Jawabannya bisa “ya”, bisa pula “tidak”. Tapi sejarah bisa berkisah, betapa kubu yang menampik pembredelan lebih banyak kalah untuk kemudian dinistakan. Dalam ketakutan dan kebingungannya, kubu yang kalah akhirnya banyak yang menyerah dan lantas membelenggu dirinya sendiri. Saat itulah, pembredelan dan sensor ditahbiskan sebagai hal yang pasti benar. Bisa ditebak akhirnya, kita akan sukar membedakan: sebuah pendapat itu mengganggu ketertiban ataukah mengganggu tahta seseorang/kelompok yang berkuasa?

Kiranya, paragraf pertama tulisan Goenawan Mohammad di buku ini (hal. 166) layak kita renungkan. Begini bunyinya: “Kita percaya pada kesusastraan: dan di sini, kita hanya percaya pada kesusastraan yang menentramkan dan bukan yang menggelisahkan.” Itulah. Jadi, jangan terlampau kejut seumpama naas yang menimpa Jassin itu datang menerpa kita suatu saat kelak.

ZEN RACHMAT SUGITO
Bekerja di Riset Independen Arsip Kenegaraan (RIAK) Jakarta




Islam Agama yang "Gagal"
Oleh Rus'an*
(Radar Sulteng / Kamis, 23 Juni 2005)

PENULIS suatu ketika pernah melontarkan pernyataan yang membuat teman-teman yang mendengarnya agak terkejut, pernyataan saya adalah "masih" berfungsikah agama" pernyataan ini saya ungkapkan tidak lebih dari keprihatinan saya melihat bangsa ini, bangsa Muslim terbesar di muka bumi tetapi juga bangsa yang paling terkorup, fondasi moral yang rapuh merupakan sebab utama mengapa setelah sekian lama kita merdeka, budaya korupsi, penyelewengan dan sebangsanya, tampaknya juga belum mencapai titik jenuh. Yang terjadi adalah gelombang korupsi semakin marak dan menghebat. Petualangan mereka (meminjam istilah Syafii Maarif) dalam menggerogoti sendi-sendi perekonomian dan keuangan negara dari hari ke hari semakin tidak tidak dapat dikontrol, inilah tindakan kebiadaban yang dilakukan oleh para elit negara. Yang lebih parah lagi adalah kasus dugaan korupsi yang dilakukan petinggi dan mantan petinggi Departemen Agama.
Salah satu yang menjadi tersangka adalah mantan menteri Agama, Said Agil Al-Munawarah, (Said artinya Bahagia, Agil cerdas, Al Munawwar orang yang diberi cahaya), nama yang cukup bagus, nama yang sangat Islami tapi sayang hanya tinggal nama besar, mereka mempertontonkan sebuah kejahatan moral yang cukup dasyat, tokoh agama yang seharusnya selalu menjadi teladan moral. Malah Dana Abadi Umat (DAU) 700 triliun menguap dengan mudah berkat kolusi dan korupsi. Pantas saja semua orang lebih suka nonton sinetron dari pada mau mendengar nasihat-nasihat para tokoh agama yang penuh dengan retorika belaka.
Tak berbeda jauh dengan judul di atas yang mungkin banyak melukai perasaan saudara kita yang mangaku muslim, saya cuplikkan dalam tulisan ini penggalan dari buku Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi (Komaruddin Hidayat 1995) "mengapa agama yang diyakini benar, hebat dan tinggi, dan di sisi lain realitas perilaku para pemeluknya yang sama sekali berbeda dengan ajaran agamanya".
Dalam ajaran Islam ada sebuah pernyataan yang biasanya diyakini oleh kaum Muslim sebagai sabda Nabi Muhammad SAW yaitu penegasan bahwa "Islam itu sangat tinggi, dan karenanya tidak ada yang lebih tinggi darinya. "Pernyataan itulah yang kini sering didengungkan oleh para da'I untuk menegaskan bahwa Islam itu hebat dan tinggi sehingga bila terjadi penyelewengan dan kezaliman yang dipersalahkan adalah para penganutnya, karena dianggap tidak memahami sekaligus tidak mempraktekkan ajaran agamanya secara benar". Dan jawaban inilah yang dipakai oleh teman saya dalam sebuah diskusi kecil "bukan agama yang gagal, tapi pelakunya yang tidak mengamalkan ajaran agama," demikian jawabannya secara spontan yang penuh dengan semangat dan sifat frontal.
Sekilas memang argumen tersebut bisa diterima. Tapi bila dikritisi, maka akan timbul pertanyaan "jika ajaran Islam itu memang benar, hebat dan tinggi, tapi ternyata tidak mampu mempengaruhi para pemeluknya, lalu dimana pembuktian kebenaran, kehebatan dan ketinggian ajarannya itu? Dan apa gunanya ajaran Islam yang benar, hebat dan tinggi itu tapi tidak mampu mempengaruhi perilaku pemeluknya?"
Dan kalau mau kata-kata yang lebih keras, sebenarnya agama di Indonesia itu "gagal". Gagal semua. Orang pergi ke mesjid, sembahyang, puasa, zakat, naik haji, dan sebagainya, inilah perilaku beragama yang penuh dengan simbol, menurut Cak Nur orang beragama seperti ini hanya berhenti pada simbol belaka, dan jelas tidak berguna buat kemaslahatan umat. Kata Allport, cara beragama semacam ini tidak akan melahirkan masyarakat yang penuh kasih sayang. Sebaliknya, kebencian, iri hati dan fitnah, serta segala penyakit hati masih tetap berlangsung.
Mungkin praktek keagamaan seperti inilah yangmembuat tokoh dunia sekaliber Karl Mark sangat kecewa dengan agama dengan mengatakan "Agama merupakan candu bagi masyarakat. Agama merupakan suatu minuman keras spritual". Inilah sikap karl Marx terhadap agama. Agama dipandang sebagai penyebab penindasan, eksploitasi kelas dan lebih jauh lagi penyebab munculnya imajinasi-imajinasi non produktif. Sehingga kaum komunis menganggap agama sebagai racun dan harus dibinasakan keberadaannya. (Vladimir Lenin, 1905). Berbagai bantahan dari tokoh Islam dengan menyatakan bahwa pandangan Karl Marx itu sangat bertentangan dengan Islam. Syamsuddin Ramadhan misalnya dengan tegas mengatakan bahwa Islam memandang bahwa dibalik alam, kehidupan, dan manusia ada yang menciptakan, yakni Alkhaliq. Walhasil Islam adalah agama sempurna dan agama yang diridloi oleh Allat swt. "Dan Kami menurunkan kepadamu (Muhammad) al-Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu, da sebagai petunjuk, rahmat, dan khabar gembira bagi orang Muslim" (Q.S.an Nahl:89).
Demikian ayat diatas sebagai bantahan dari pandangan Marx terhadap agama. Tapi persolaannya apa yang tertulis dalam kitab suci bukan realitas. Kita hidup dalam masyarakat bukan dalam sebuah kitab suci. Bukankah realitas masyarakat kita adalah masyarakat korup, bermental penindas, dan penuh dengan topeng-topeng agama. Boleh jadi arwah Karl Marx akan berkata "bukankah kesimpulan saya dulu itu benar?"
Akhirnya kepada semua elit bangsa, elit agama, mari sejenak kita menengok ke belakang melihat bagaimana sebuah tokoh yang kekuasaannya besar akhirnya tumbang karena meremehkan penderitaan rakyat, Fir'aun, Haman, Qarun, dan Bal'am. Jalalddin Rahmat menggambarkan watak semua tokoh ini seperti Fir'aun adalah penguasa yang korup, penindas yang selalu merasa benar sendiri, tonggak sistem kezaliman dan kemusyrikan. Haman mewakili kelompok teknokrat, ilmuwan yang menunjang tirani dengan melacurkan ilmu. Qarun adalah cerminan kaum kapitalis, pemilik sumber kekayaan yang dengan rakus mengisap seluruh kekayaan massa. Bal'am melambangkan kaum ruhaniyun (kaum agamawan), tokoh-tokoh agama yang menggunakan agama untuk melegitimasikan kekuasaan yang korup dan meninabobokan rakyat. Akhirnya gabungan elit ini hancur karena tidak peka terhadap nurani rakyat kecil, tidak mau mendengarkan kebenaran, dan tidak ingin menegakkan keadilan.
Dengan melihat realitas yang terjadi seperti yang digambarkan di atas kita harus memutuskan apakah "agama" masih memiliki makna bagi kehidupan manusia dimasa kini? Bila jawabannya tidak, maka itulah agama yang gagal.

* Penulis adalah Dosen Yayasan Unismuh Palu, Magister Pendidikan Sosiologi




[1]Prof. Barda Nawawi Arief, SH, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), h. 331. 
[2]Prof. H. Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, (Jakarta: Erlangga, 1981), cet. 3, h. 79-80. 
[3]Dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwa tindak pidana yang dimaksud di sini ialah semata-mata (pada pokoknya) ditujukan kepada niat untuk memusuhi atau menghina. Orang yang melakukan tindak pidana tersebut di sini, di samping mengganggu ketenteraman orang beragama pada dasarnya mengkhianati sila pertama dari negara secara total, karena itu sudah sepantasnya kalau perbuatan itu dipidana.
[4]Lebih jauh penjelasan mengenai hal ini baca Prof. H. Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, h. 71.
[5]Lebih jauh penjelasan mengenai hal ini baca Prof. H. Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, h. 92, 100-102.
[6]Moh Mahfud MD, “Dilema Sifat Melawan Hukum”, Jawa Pos Jumat, 08 Sept 2006. Tulisan ini juga dipresentasikan dalam Seminar dan Workshop: Tinjauan Kritis Pasal-Pasal Agama dalam R-KUHP, yang diselenggarakan the WAHID Institute tanggal 6-7 September 2006 di Jakarta.

                [7]Hasil Transkrip Seminar dan Lokakarya Tindak Pidana terhadap Kejahatan Agama dalam RKUHP yang diselenggaran the Wahid Institute di beberapa daerah (Jakarta, Surabaya, Banten, Bandung, dan Mataram)
                [8]Position Paper Hak Minoritas Dalam Rancangan Kuhp Baru, Makalah tidak diterbitkan, hlm.  5-6

                [9]Position Paper Hak Minoritas Dalam Rancangan KUHP Baru, Makalah tidak diterbitkan, hlm.  5-6
                [10]Ifdhal Kasim, “Tinjauan Kritis atas Tindak Pidana terhadap Agama dalam RUU KUHP, Makalah disampaikan dalam Seminar dan Workshop: Tinjauan Kritis Pasal-Pasal Agama dalam R-KUHP, yang diselenggarakan the WAHID Institute tanggal 6-7 September 2006 di Jakarta.
[11]Pasal 345 sebenarnya agak berbeda dengan pasal-pasal sebelumnya. Jika pasal 341-344 lebih memberi perlindungan terhadap agama, pasal 345 lebih menekankan perlindungan pada pemeluk agama.
Beberapa syarat kriminalisasi sebagaimana dikenal dalam hukum pidana antara lain: 1) Jangan menggunakan hukum pidana untuk pembalasan semata-mata; 2) Jangan menggunakan hukum pidana bilamana korbannya tidak jelas; 3) Jangan menggunakan hukum pidana untuk mencapai tujuan yang dapat dicapai dengan cara lain yang sama effektifnya dengan kerugian yang lebih kecil (ultima ratio principle); 4) Jangan menggunakan hukum pidana bilamana kerugian akibat pemidanaan lebih besar daripada kerugian akibat tindak pidana sendiri; 5) Jangan menggunakan hukum pidana bilamana hasil sampingan (by product) yang ditimbulkan lebih merugikan dibanding dengan perbuatan yang dikriminalisasikan; 6) Jangan menggunakan hukum pidana apabila tidak mendapat dukungan luas masyarakat; 7) Jangan menggunakan hukum pidana apabila diperkirakan tidak efektif (unenforceable); 8) Hukum pidana harus bisa menjaga keselarasan antara kepentingan negara, kepentingan umum dan kepentingan individu; 9) Penggunaan hukum pidana harus selaras dengan tindakan pencegahan yang bersifat non-penal (prevention without punishment); 10) Perumusan hukum pidana harus dapat meredam faktor utama yang bersifat kriminogin; 10) Perumusan tindak pidana harus dilakukan secara teliti dalam menggambarkan perbuatan yang dilarang (precision principle); 11) Prinsip differensiasi (principle of differentiation) terhadap kepentingan yang dirugikan, perbuatan yang dilakukan dan status pelaku dalam kerangka asas kulpabilitas. Lihat Muladi, “Beberapa Catatan terhdap Buku II RUU KUHP”, disampaikan pada Sosialisasi Rancangan Undang-undang KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA diselenggarakan oleh Departemen Kehakiman dan HAM Hotel Sahid Jakarta – 24 Agustus 2004.

 
                [13] Ifdhal Kasim, “Tinjauan Kritis atas Tindak Pidana terhadap Agama dalam RUU KUHPidana, Makalah tidak diterbitkan, hlm. 8

Tidak ada komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Mahasiswa Teknik Industri Universitas Andalas 2009 Alumni Ponpes Asy-Syarif Angkatan 09,, Alumni Ponpes Madinatul Munawwarah angkatan 06.