KOK, enggak ada nama ceweknya, ya, Pak?" Pertanyaan tersebut meluncur dari mulut putri kecil saya yang masih duduk di kelas satu sekolah dasar (SD) ketika mengunjungi Taman Makam Pahlawan Kusuma Bakti, Jurug, Solo. Bisa jadi putri saya tidak bermaksud protes lewat pertanyaannya tersebut. Bahwa semua yang dimakamkan sebagai pahlawan di sana tidak ada yang putri, bisa benar bisa tidak karena tidak sempat menanyakan kepada kantor penjaga makam pahlawan tentang jumlah pahlawan laki-laki dan perempuan di sana.
Apakah terjadi di makam pahlawan di kota-kota lain? Juga, sungguh mati, sama sekali tidak terlintas dalam pikiran saya seumur-umur mengenai laki-laki atau perempuan, mereka yang dimakamkan di taman pahlawan. Pun, putri kecil saya mungkin sekarang sudah lupa dengan pertanyaannya, tetapi saya sebagai bapak akan mengingatnya sebagai saat penting seorang anak menunjukkan "kekritisannya".
Kalau taman makam pahlawan yang ada hampir di setiap kota atau kabupaten dibangun sebagai bagian tidak terpisahkan dari sejarah perjuangan bangsa ini, bisa ditafsirkan adanya supremasi laki-laki sekaligus mengabaikan perempuan dalam perjuangan memerangi penjajah. Kelak putri saya mungkin akan merumuskan pertanyaan lain tentang apakah yang berjuang melawan penjajah hanya laki-laki, lantas siapa yang memasok makanan atau mengobati yang terluka?
Untuk situasi masyarakat pada zaman kini, inilah awal tumbuhnya kesadaran akan kesederajatan laki-laki dan perempuan. Kesadaran mesti dimulai dari keluarga dan ditumbuhkembangkan di sekolah.
PENDIDIKAN yang memperhatikan kesetaraan jender di sekolah-sekolah masih jauh dari yang diidealkan. Mary Astuti (2000) menunjuk para guru sebagai pendidik di sekolah kurang mempunyai pengalaman dalam menanamkan nilai-nilai baru dalam hubungan heteroseksual dalam pengasuhan anak di sekolah.
Mereka masih memiliki pola berpikir bahwa laki-laki akan menjadi pemimpin, sedangkan anak perempuan akan menjadi ibu rumah tangga. Anak laki-laki akan diberikan pelajaran silat atau bela diri supaya mempunyai rasa percaya yang lebih besar karena dia akan menjadi kepala keluarga, menjadi pemimpin masyarakat. Anak perempuan diberikan materi memasak atau menari sehingga mereka bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik atau bisa menjadi penghibur, di samping sekaligus pelestari budaya bangsa.
Pembedaan perlakuan antara murid perempuan dan murid laki-laki juga terjadi pada upacara-upacara yang digelar di sekolah. Anak laki-laki, karena suaranya keras, selalu dipilih sebagai pemimpin upacara. Mereka tidak menyadari murid perempuan juga mampu bersuara keras, bersuara lantang, dan pantas menjadi pemimpin upacara. Pembedaan tersebut tidak pernah diprotes siswa perempuan karena semua perlakuan tersebut mereka anggap wajar juga.
Buku-buku pelajaran pun masih menunjukkan adanya ketimpangan jender. Dalam buku pelajaran bahasa Indonesia dari sekolah dasar hingga sekolah menengah umum, peran perempuan dan laki-laki dibedakan menurut peran domestik, publik, dan sosial. Kegiatan memasak selalu untuk perempuan, sedangkan berkebun, mengurus kendaraan, kepemilikan tanah, atau barang-barang yang bernilai ekonomis tinggi selalu untuk laki-laki. Profesi polisi, dokter, atau militer masih dilekatkan pada laki-laki, sementara juru masak, penari, penyanyi, identik dengan perempuan. Padahal, sesungguhnya telah terjadi banyak perubahan.
Semasa taman kanak-kanak, permainan untuk anak laki-laki adalah perang-perangan, sementara anak perempuan main masak-masakan. Sejak dini, perempuan dan laki-laki dibedakan dari bentuk permainan. Pembedaan yang dilakukan bukan menunjukkan perbedaan yang esensial, tetapi pembedaan berdasarkan kebiasaan belaka. Perempuan diposisikan sebagai makhluk lemah dan perlu dikasihani, sedangkan laki-laki identik dengan dunia yang keras, kasar, dan mengandalkan ototnya.
Pemahaman kesetaraan jender, kesadaran, dan sensivitas jender, oleh para penyelenggara pendidikan, para pengarang buku pelajaran, serta para guru, kiranya terus-menerus diasah demi perubahan paradigma dan persepsi yang lebih adil jender. Dengan membarui paradigma guru lewat pelatihan yang mendalami jender, guru akan dapat memperlakukan siswa secara adil jender, dan tidak ada diskriminasi yang merugikan bagi siswa perempuan ataupun laki-laki.
KEMBALI pada pertanyaan putri saya pada awal tulisan ini, tentunya taman makam pahlawan tidak bisa diubah lagi soal perempuan atau laki-laki yang mesti ditempatkan sebagai pahlawan. Cukuplah bila kelak putri saya akan mendapatkan jawaban kesetaraan jender dengan melihat komposisi anggota parlemen negaranya. Betapa kecut hatinya bahwa perlakuan laki-laki dan perempuan di makam pahlawan sama saja dengan perlakuan di Gedung MPR/DPR. Padahal, Gedung MPR/DPR bukan makam pahlawan.
St Kartono Mengajar di SMU Kolese De Britto, Yogyakarta.
Sumber: Kompas Cyber Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar