BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berdasarkan fenomena yang terjadi disaat sekarang ini, dimana keadaan lingkungan disekitar kita yang cukup memprihatinkan, sudah semetinya kita awali dari sekarang untuk mulai melakukakn usaha-usaha untuk memperbaiki keadaan lingkungan agar tidak semakin parah. Menurut penelitian dari banyak ahli hamper dari 70% lingkungan disekitar kita telah tercemar, terutama dampak yang diakibatkan oleh Bahan Berbahaya dan Beracun.
Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disingkat dengan B3 adalah bahan yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau Karakteristik dan Sumber jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, dan atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya.
Bahan Berbahaya dan Beracun ini merupakan akibat dari semakin berkembangnya industri-industri saat sekarang ini. Industri tersebut selain menimbulkan banyak keuntungan juga memberikan kerugian yang banyak pula.Pembuangan limbah yang sembarangan akan menimbulkan bahaya bagi lingkungan sekitarnya. Proses pengambilan maupun pembuangan ini bila tidak terkendali, menimbulkan dampak terhadap lingkungan yang dapat merugikan bagi kehidupan manusia itu sendiri, antara lain gangguan kesehatan, gangguan kenyamanan, gangguan ekonomi dan sosial. Dalam hal tersebut diatas yang perlu kita cermati adalah bahwa alam mempunyai daya dukung dan daya tampung yang terbatas. Bila pengelolaannya tidak seimbang maka kelestarian lingkungan juga akan terganggu.
Perilaku manusia yang tidak sehat, akan memperburuk kondisi lingkungan dengan timbulnya “man made breeding places” bagi kuman dan vektor penyakit maupun sumber pencemar yang dapat memajani manusia.
Selaras dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, bertambahnya jumlah penduduk dengan mobilitas yang cepat, sangat berpengaruh terhadap kebutuhan manusia yang tidak hanya kebutuhan dasar saja. Dari kebutuhan dasar yang berupa makanan dan sandang sampai pada kebutuhan materi sebagai hasil proses industri, memunculkan kecenderungan semakin meningkatnya tempat / kegiatan yang juga menghasilkan limbah berupa bahan berbahaya dan beracun bagi kehidupan manusia maupun makhluk hidup lainnya.
Kondisi tersebut, bila tidak terkendali akan menimbulkan masalah kesehatan yang semakin berat dan luas dengan semakin tingginya angka kesakitan, baik karena penyakit infeksi maupun non infeksi sebagai akibat dari pencemaran lingkungan oleh bahan-bahan yang tidak diinginkan.
Limbah B3 dari kegiatan industri yang terbuang ke lingkungan akhirnya akan berdampak pada kesehatan manusia. Dampak itu dapat langsung dari sumber ke manusia, misalnya meminum air yang terkontaminasi atau melalui rantai makanan, seperti memakan ikan yang telah menggandakan (biological magnification) pencemar karena memakan mangsa yang tercemar.
1.2 Tujuan Makalah
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai salah satu tugas dalam mata kuliah pengetahuan Lingkungan.Sedangkan untuk secara umumnya kita juga dapat mengetahui cara-cara pengolahan zat ini yang baik, dan mengetahui karakteristik dari bahan Berbahaya dan Beracun ini lebih spesifik lagi.
1.3 Manfaat penulisan Makalah
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah agar nantinya kita dapat mengetahui pengertian dari Bahan Berbahaya dan Beracun dengan benar, selanjutnya kita juga dapat mengetahui cara-cara untuk mengatasi permasalahan yang ditimbulkan oleh zat ini, serta kita juga mengetahui dampak yang terjadi pada lingkungan akibat penggunaan zat beracun yang tidak semestinya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
B3 merupakan singkatan dari bahan berbahaya dan beracun, yang merupakan terjemahan dari hazard atau hazard waste. RCRA (Yulinah, 1998) mendefinisikan B3 sebagai limbah (padat) atau gabungan dari limbah (padat) yang karena jumlah dan konsentrasinya atau karena sifat fisik-kimia mengakibatkan timbulnya atau menyebabkan semakin parahnya penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau penyakit yang melumpuhkan.
Dalam PP No 19 tahun 1994 disebutkan bahwa B3 adalah setiap limbah yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya secara langsung atau tidak langsung dapat merusak dan/atau mencemari lingkungan hidup dan/atau membahayakan kesehatan manusia. Senada dengan dengan hal tersebut, definisi tentang B3 yang terdapat pada PP 74 tahun 2001 berbunyi : Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disingkat dengan B3 adalah bahan yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau Karakteristik dan Sumber jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, dan atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya.
Untuk menetapkan apakah suatu bahan dapat dikategorikan sebagai B3, lazimnya dilakukan identifikasi. Identifikasi diawali pemeriksaan secara fisik – kimia dilaboratorium. Selanjutnya di cocokkan dengan daftar jenis B3 yang ada. Apabila tidak cocok, biasanya ditentukan berdasarkan sifat atau karakteristinya. Menurut pasal 5 PP No 74 Tahun 2001, B3 dapat diklasifikasikan sebagai berikut
a. mudah meledak (explosive);
b. pengoksidasi (oxidizing);
c. sangat mudah sekali menyala (extremely flammable);
d. sangat mudah menyala (highly flammable);
e. mudah menyala (flammable);
f. amat sangat beracun (extremely toxic);
g. sangat beracun (highly toxic);
h. beracun (moderately toxic);
i.berbahaya (harmful);
j. korosif (corrosive);
k. bersifat iritasi (irritant);
l. berbahaya bagi lingkungan (dangerous to the environment);
m. karsinogenik (carcinogenic);
n. teratogenik (teratogenic);
o. mutagenik (mutagenic).
Yulinah (1998) mengemukakan bahwa beberapa sifat dan karakteristik B3 diantaranya adalah mudah menyala, korosif, reaktif, toksis, radioaktif, infeksius, fitotoksik, teratogenik dan mutagenik.
a) Mudah menyala dicirikan dengan bahan tersebut memiliki titik nyala < 60oC, dalam bentuk padat akan segera menyala bila terkena gesekan / tekanan, dalam bentuk gas akan mudah terbakar bila hadir bahan oksidan, bahan tersebut mudah mengalami perubahan kimia secara spontan.
b) Korosif ditandai dengan adanya keasaman (pH) < 2 atau ≥ 12,5 dan menyebabkan karat pada baja sebesar 0,625 cm/th dalam temperatur 55oC.
c) Reaktif berarti bereaksi spontan, bereaksi hebat dengan air dengan membentuk kabut, dapat membentuk gas beracun bila terkena air atau asam/basa, dapat meledak pada suhu normal.
d) Toksik dicirikan dengan bahan tersebut memiliki LD50 (oral) terhadap tikus < 50 mg/kg atau LC50 (inhalasi) terhadap tikus < 2mg/L atau LD50 (dermal) terhadap kelinci < 200 mg/kg atau dapat menyebabkan penyakit yang tidak tersembuhkan.
e) Radioaktif lebih diartikan sebagai radiasi pengion.
f) Infektius berarti mengandung bibit penyakit yang dapat/sangat menular.
g) Fitotoksik berarti dapat menyebabkan kerusakan pada tumbuhan
h) Teratogenik berarti dapat mengakibatkan kelainan (cacat) pada janin.
i) Mutagenik berarti dapat mengakibatkan mutasi sel, dengan akibat lebih jauh berupa kanker atau munculnya sifat-sifat baru yang merugikan.
Sifat dan karakteristik seperti yang sebutkan diatas, dalam beberapa kasus penetapan B3 kemudian disederhanakan menjadi 4 kriteria yang dikenal dengan ICRT. ICRT merupakan kependekan dari I=Ignitable (menyala), C=Corosive (berkarat), R=Reactive (mudah bereaksi), T=Toxic (beracun). Peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia tampaknya juga mengadopsi sifat, karakteristik dan kriteria dimaksud untuk mendeskripsikan B3.
Sumber pencemaran (limbah) B3 adalah industri manufaktur baik yang berskala besar maupun kecil, kecelakaan dan rumah tangga. B3 dari industry manufaktur berupa bahan yang tidak dipakai (spent material), produk sampingan, lumpur dari UPL, IPAL dan gas. Juga produk industri yang terkontaminasi, tidak memenuhi spesifikasi, tumpahan, tersisa dalam kontainer dan kedaluwarsa. B3 dari sumber kecelakaan misalnya tumpahan minyak dari tanker atau instalasi nuklir yang meledak. B3 yang bersumber dari rumah tangga umumnya berupa eks kemasan pestisida, cairan pencuci, baterai, lampu lisrik, dll. Sumber B3 bisa juga dikelompokkan dalam sumber spesifik (dari industri atau kegiatan tertentu) dan sumber non spesifik (dari kegiatan yang bukan proses utama, misalnya dari pemeliharaan alat, inhibitor korosi, pelarutan kerak, dll). Jenis B3 untuk masing masing sumber dapat diperiksa pada lampiran PP 18 Tahun 1999 Andreas Krisbayu R. (2001) menuturkan bahwa bahan berbahaya dan beracun, yang lebih akrab dengan singkatan B3, keberadaannya di Indonesia makin hari makin mengkhawatirkan. Lebih dari 75% bahan berbahaya dan beracun (B3) merupakan sumbangan dari sektor industri melalui limbahnya, sedangkan sisanya berasal dari sektor lain termasuk rumah tangga yang menyumbang 5-10% dari total limbah B3 yang ada. Peningkatan jumlah limbah bahan berbahaya dan beracun di Indonesia antara kurun waktu 1990 – 1998 saja mencapai 100 % ( tahun 1990 sekitar 4.322.862 ton dan pada tahun 1998 mencapai 8.722.696 ton ). Jumlah ini akan naik drastis seiring dengan perkembangan industrialisasi yang cukup pesat di negara berkembang seperti Indonesia. Dari hasil proyeksi jumlah limbah B3 yang dilakukan oleh Direktorat Pengelolaan Limbah dan B3 BAPEDAL, sampai tahun 2020 akan terdapat 60 juta ton total limbah B3.
2.2 Permasalahan
Dalam Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pada pasal 1 butir 1 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kesehatan adalah keadaan yang sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Adapun derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh 4 faktor, yaitu :
• Faktor Lingkungan
• Faktor Perilaku
• Faktor Pelayanan Kesehatan
• Faktor Bawaan (Keturunan)
Dari keempat faktor tersebut, faktor lingkungan merupakan faktor yang paling besar pengaruhnya dibandingkan dengan ketiga faktor yang lain. Pada umumnya, bila manusia dan lingkungannya berada dalam keadaan seimbang, maka keduanya berada dalam keadaan sehat. Tetapi karena sesuatu sebab sehingga keseimbangan ini tergangggu atau mungkin tidak dapat tercapai, maka dapat menimbulkan dampak yang merugikan bagi kesehatan.
Keseimbangan tersebut sangat kompleks. Dari lingkungan alaminya manusia mengambil makanan dan sumber daya lain yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan materinya, ke lingkungan alami pula manusia membuang berbagai bahan buangan baik dari badannya maupun dari proses produksinya.
Proses pengambilan maupun pembuangan ini bila tidak terkendali, menimbulkan dampak terhadap lingkungan yang dapat merugikan bagi kehidupan manusia itu sendiri, antara lain gangguan kesehatan, gangguan kenyamanan, gangguan ekonomi dan sosial. Dalam hal tersebut diatas yang perlu kita cermati adalah bahwa alam mempunyai daya dukung dan daya tampung yang terbatas. Bila pengelolaannya tidak seimbang maka kelestarian lingkungan juga akan terganggu.
Perilaku manusia yang tidak sehat, akan memperburuk kondisi lingkungan dengan timbulnya “man made breeding places” bagi kuman dan vektor penyakit maupun sumber pencemar yang dapat memajani manusia.
Selaras dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, bertambahnya jumlah penduduk dengan mobilitas yang cepat, sangat berpengaruh terhadap kebutuhan manusia yang tidak hanya kebutuhan dasar saja. Dari kebutuhan dasar yang berupa makanan dan sandang sampai pada kebutuhan materi sebagai hasil proses industri, memunculkan kecenderungan semakin meningkatnya tempat / kegiatan yang juga menghasilkan limbah berupa bahan berbahaya dan beracun bagi kehidupan manusia maupun makhluk hidup lainnya.
Kondisi tersebut, bila tidak terkendali akan menimbulkan masalah kesehatan yang semakin berat dan luas dengan semakin tingginya angka kesakitan, baik karena penyakit infeksi maupun non infeksi sebagai akibat dari pencemaran lingkungan oleh bahan-bahan yang tidak diinginkan.
Beberapa tahun terakhir ini telah terjadi transisi epidemiologik, yaitu bergesernya pola penyakit yang sebelumnya didominasi oleh penyakit infeksi, pada saat ini penyakit non infeksi antara lain hipertensi, jantung, diabetes melitus, gangguan fungsi ginjal, kanker, lebih menonjol dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Pencemaran Lingkungan
Pencemaran lingkungan sering diungkapkan dengan pembicaraan atau pemberitaan melalui media massa. Ungkapan tersebut bermacam ragam popularisasinya dikalangan pendengar atau pembaca, antara lain pernyataan yang menyebutkan : Pencemaran udara oleh gas buang kendaraan bermotor amat terasa dikota-kota besar yang padat lalulintasnya; pencemaran sungai oleh limbah cair industri sangat mengganggu kehidupan
di perairan ; limbah pulp (bubur kayu) pabrik kayu mengandung BOD dan COD yang tinggi.; sampah bahan berbahaya beracun mencemari air, dsb.
Didalam bahasa sehari-hari, pencemaran lingkungan dipahami sebagai sesuatu kejadian lingkungan yang tidak diingini, menimbulkan gangguan atau kerusakan lingkungan bahkan dapat menimbulkan gangguan kesehatan sampai kematian. Hal-hal yang tidak diinginkan yang dapat disebut pencemaran, misalnya udara berbau tidak sedap, air berwarna keruh, tanah ditimbuni sampah. Hal tersebut dapat berkembang dari sekedar
tidak diingini menjadi gangguan. Udara yang tercemar baik oleh debu, gas maupun unsure kimia lainnya dapat menyakitkan saluran pernafasan, mata menjadi pedas atau merah dan berair. Bila zat pencemar tersebut mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3), kemungkinan dapat berakibat fatal.
Hal yang sama dapat terjadi pada air. Air yang tercemar dapat menimbulkan gangguan gatal pada kulit, atau sakit saluran pencernaan bila terminum dan dapat berakibat lebih jauh bila ternyata mengandung B3. Demikian pula halnya dengan tanah yang tercemar, yang pada gilirannya dapat mengotori sumber air didekatnya. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang dimaksud dengan pencemaran lingkungan hidup adalah : masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
Limbah dan masalahnya.
Karena limbah dibuang ke lingkungan, maka masalah yang ditimbulkannya merata dan menyebar di lingkungan yang luas. Limbah gas terbawa angin dari satu tempat ke tempat lainnya. Limbah cair atau padat yang dibuang ke sungai, dihanyutkan dari hulu sampai jauh ke hilir, melampaui batas-batas wilayah akhirnya bermuara dilaut atau danau, seolah-olah laut atau danau menjadi tong sampah.
Limbah bermasalah antara lain berasal dari kegiatan pemukiman, industri, pertanian, pertambangan dan rekreasi.
Limbah pemukiman selain berupa limbah padat yaitu sampah rumah tangga, juga berupa tinja dan limbah cair yang semuanya dapat mencemari lingkungan perairan. Air yang tercemar akan menjadi sumber penyakit menular. Limbah industri baik berupa gas, cair maupun padat umumnya termasuk kategori atau dengan sifat limbah B3. Kegiatan industri disamping bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan, ternyata juga menghasilkan limbah sebagai pencemar lingkungan perairan, tanah, dan udara. Limbah
cair, yang dibuang ke perairan akan mengotori air yang dipergunakan untuk berbagai keperluan dan mengganggu kehidupan biota air. Limbah padat akan mencemari tanah dan sumber air tanah.
Limbah gas yang dibuang ke udara pada umumnya mengandung senyawa kimia berupa SOx, NOx, CO, dan gas-gas lain yang tidak diinginkan. Adanya SO2 dan NOx diudara dapat menyebabkan terjadinya hujan asam yang dapat menimbulkan kerugian karena merusak bangunan, ekosistem perairan, lahan pertanian dan hutan.
Limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang sangat ditakuti adalah limbah dari industri kimia. Limbah dari industri kima pada umumnya mengandung berbagai macam unsur logam berat yang mempunyai sifat akumulatif dan beracun (toxic) sehingga berbahaya bagi kesehatan manusia.
Limbah pertanian yang paling utama ialah pestisida dan pupuk. Walau pestisida digunakan untuk membunuh hama, ternyata karena pemakaiannya yang tidak sesuai dengan peraturan keselamatan kerja, pestisida menjadi biosida – pembunuh kehidupan. Pestida yang berlebihan pemakaiannya, akhirnya mengkontaminasi sayuran dan buah-buahan yang dapat menyebabkan keracunan konsumennya.
Pupuk sering dipakai berlebihan, sisanya bila sampai diperairan dapat merangsang pertumbuhan gulma penyebab timbulnya eutrofikasi. Pemakaian herbisida untuk mengatasi eutrofikasi menjadi penyebab terkontaminasinya ikan, udang dan biota air lainnya.
Pertambangan memerlukan proses lanjutan pengolahan hasil tambang menjadi bahan yang diinginkan. Misalnya proses dipertambangan emas, memerlukan bahan air raksa atau mercury akan menghasilakan limbah logam berat cair penyebab keracunan syaraf dan merupakan bahan teratogenik.
Kegiatan sektor pariwisata menimbulkan limbah melalui sarana transportasi, dengan limbah gas buang di udara, tumpahan minyak dan oli dilaut sebagai limbah perahu atau kapal motor dikawasan wisata bahari.
Toksikologi Lingkungan
Karena limbah industri pada umumnya bersifat sebagai bahan berbahaya dan beracun (B3), maka substansi atau zat beracun di lingkungan yang sangat menjadi perhatian ialah yang bersumber pada kegiatan manusia yang dibuang ke lingkungan sebagai limbah.
Karena kajian toksikologi adalah bahan beracun, maka obyek toksikologi lingkungan ialah limbah kimia yang beracun, umumnya termasuk kelompok limbah bahan berbahaya dan beracun (hazardous waste and toxic chemical)
Sedangkan yang dimaksud dengan toxicologi lingkungan adalah pengetahuan yang mempelajari efek substansi toksik (beracun) yang terdapat di lingkungan alam maupun lingkungan binaan; mempelajari dampak atau resiko keberadaan substansi tersebut terhadap makhluk hidup. Didalam Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, yang dimaksud dengan B3 dapat diartikan “Semua bahan/ senyawa baik padat, cair, ataupun gas yang mempunyai potensi merusak terhadap kesehatan manusia serta lingkungan akibat sifat-sifat yang dimiliki senyawa tersebut”.
Limbah B3 diidentifikasi sebagai bahan kimia dengan satu atau lebih karakteristik :
• mudah meledak
• mudah terbakar
• bersifat reaktif
• beracun
• penyebab infeksi
• bersifat korosif.
Toksikologi lingkungan menjadi sangat penting, karena kenyataanya adalah bahwa yang paling merasakan dampak suatu kegiatan adalah manusia, bagian dari makhluk hidup.
Kata racun (toksin, toksikan) memang berhubungan dengan sistem kehidupan; system biologi. Toksisitas suatu bahan kimia ditentukan dengan LD 50 atau LC 50, yaitu dosis atau konsentrasi suatu bahan uji yang menimbulkan kematian 50 % hewan uji.
Pada manusia, sasaran toksikan pertama-tama adalah saluran pencernaan. Toksikan yang masuk melalui makanan pertama kali di dalam mulut akan diabsorbsi atau mengkontaminasi kelenjar ludah (saliva) yang kemudian dapat meracuni alat-alat pencernaan, dan selanjutnya menyebar keorgan vital lainnya.
Limbah B3 dari kegiatan industri yang terbuang ke lingkungan akhirnya akan berdampak pada kesehatan manusia. Dampak itu dapat langsung dari sumber ke manusia, misalnya meminum air yang terkontaminasi atau melalui rantai makanan, seperti memakan ikan yang telah menggandakan (biological magnification) pencemar karena memakan mangsa yang tercemar.
Contoh, kasus penyakit Minamata : Dipinggir teluk Minamata di Jepang bermukim rakyat nelayan. Beberapa industry membuang limbahnya keteluk Minamata. Para ahli kimia pabrik mengatakan bahwa limbah pabrik yang mengandung methylmercury (MeHg) tidak berbahaya karena kenyataannya fitoplankton, zooplankton, dan ikan tetap hidup diteluk itu. Rupanya kebiasaan penduduk nelayan teluk Minamata yang suka makan ikan, telah menyebabkan terakumulasinya kadar methylmercury yang berlipat ganda di dalam tubuh nelayan teluk tersebut. Suatu saat setelah mengakumulasi methylmercury sekitar 10 tahun, tanpa disadari kadar mercury didalam tubuh nelayan telah berlipat ganda ribuan kali dibanding
dengan kadar mercury di dalam air limbah dan fitoplankton. Karena methylmercury termasuk B3, maka menimbulkan dampak kesehatan yaitu keturunan dari nelayan yang telah mengkonsumsi ikan dari teluk Minamata mengalami cacat jasmani dan mental. Cacat ini disebut sebagai penyakit Minamata. Jadi penyakit sejenis penyakit Minamata tersebut dapat terjadi dimana saja melalui proses akumulasi dan penggandaan biologik.
Dampak pada Kesehatan
Dalam paradigma Kesehatan Lingkungan ada 4 simpul yang berkaitan dengan proses pajanan B3 yang dapat mengganggu kesehatan.
Simpul 1 : Jenis dan skala kegiatan yang diduga menjadi sumber pencemar atau biasa disebut sebagai sumber emisi B3
Sumber emisi B3 pada umumnya berasal dari sektor industri, transportasi, yang mengeluarkan berbagai bahan buangan yang mengandung senyawa kimia yang tidak dikehendaki. Emisi tersebut dapat berupa gas, cairan, maupun partikel yang mengandung senyawa organik maupun anorganik.
Simpul 2 : Media lingkungan (air, tanah, udara, biota) mengandung Emisi dari simpul 1 dibuang ke lingkungan, kemudian menyebar secara luas di lingkungan sesuai dengan kondisi media transportasi limbah.
Bila melalui udara, maka sebarannya tergantung dari arah angin dominan dan dapat menjangkau wilayah yang cukup luas. Bila melalui air maka dapat menyebar sesuai dengan arah aliran yang sebarannya dapat sangat jauh. Komponen lain yang ikut menyebarkan emisi tersebut adalah biota air yang ikut tercemar.
Simpul 3 : Pemajanan B3 ke manusia. Di lingkungan, manusia dapat menghirup udara yang tercemar, minum air yang tercemar, makan makanan yang terkontaminasi dan dapat pula kemasukan B3 melalui kulit. Pada umumnya titik pemajanan B3 kedalam tubuh manusia melalui pernafasan, oral (mulut) dan kulit
Simpul 4 : Dampak Kesehatan yang timbul Akibat kontak dengan B3 atau terpajan oleh pencemar melalui berbagai cara seperti pada simpul 3, maka dampak kesehatan yang timbul bervariasi dari ringan, sedang, sampai berat bahkan sampai menimbulkan kematian, tergantung dari dosis dan waktu pemajanan. Jenis penyakit yang ditimbulkan, pada umumnya merupakan penyakit non infeksi antara lain : Keracunan, kerusakan organ, kanker, hypertensi, asma bronchioli, pengaruh pada janin yang dapat mangakibatkan lahir cacat (cacat bawaan), kemunduran mental , gangguan pertumbuhan baik fisik maupun psikis, gangguan kecerdasan dll.
Akibat yang ditimbulkan lebih jauh :
- Biaya mahal
- Belum tentu berhasil untuk pemulihan kesehatan
- Generasi yang tidak produktif
- Kehidupan sosial yang tidak mapan
- Depresi berkelanjutan
2.3 Pembahasan
2.3.1 Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan beracun
Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), adalah proses untuk mengubah jenis, jumlah dan karakteristik limbah B3 menjadi tidak berbahaya dan/atau tidak beracun dan/atau immobilisasi limbah B3 sebelum ditimbun dan/atau memungkinkan agar limbah B3 dimanfaatkan kembali (daur ulang). Proses pengolahan limbah B3 dapat dilakukan secara pengolahan fisika dan kimia, stabilisasi/solidifikasi, dan insenerasi.
Proses pengolahan secara fisika dan kimia bertujuan untuk mengurangi daya racun limbah b3 dan/atau menghilangkan sifat/karakteristik limbah B3 dari berbahaya menjadi tidak berbahaya. Proses pengolahan secara stabilisasi/solidifikasi bertujuan untuk mengubah watak fisik dan kimiawi limbah B3 dengan cara penambahan senyawa pengikat B3 agar pergerakan senyawa B3 ini terhambat atau terbatasi dan membentuk massa monolit dengan struktur yang kekar. Sedangkan proses pengolahan secara insinerasi bertujuan untuk menghancurkan senyawa B3 yang terkandung di dalamnya menjadi senyawa yang tidak mengandung B3.
Pemilihan proses pengolahan limbah B3, teknologi dan penerapannya didasari atas evaluasi kriteria yang menyangkut kinerja, keluwesan, kehadalan, keamanan, operasi dari teknologi yang digunakan, dan pertimbangan lingkungan. Timbunan limbah B3 yang sudah tidak dapat diolah atau dimanfaatkan lagi harus ditimbun pada lokasi penimbunan (landfill) yang memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.
Limbah B3 harus ditangani dengan perlakuan khusus mengingat bahaya dan resiko yang mungkin ditimbulkan apabila limbah ini menyebar ke lingkungan. Hal tersebut termasuk proses pengemasan, penyimpanan, dan pengangkutannya. Pengemasan limbah B3 dilakukan sesuai dengan karakteristik limbah yang bersangkutan. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa kemasan limbah B3 harus memiliki kondisi yang baik, bebas dari karat dan kebocoran, serta harus dibuat dari bahan yang tidak bereaksi dengan limbah yang disimpan di dalamnya. Untuk limbah yang mudah meledak, kemasan harus dibuat rangkap di mana kemasan bagian dalam harus dapat menahan agar zat tidak bergerak dan mampu menahan kenaikan tekanan dari dalam atau dari luar kemasan. Limbah yang bersifat self-reactive dan peroksida organik juga memiliki persyaratan khusus dalam pengemasannya. Pembantalan kemasan limbah jenis tersebut harus dibuat dari bahan yang tidak mudah terbakar dan tidak mengalami penguraian (dekomposisi) saat berhubungan dengan limbah. Jumlah yang dikemas pun terbatas sebesar maksimum 50 kg per kemasan sedangkan limbah yang memiliki aktivitas rendah biasanya dapat dikemas hingga 400 kg per kemasan.
Limbah B3 yang diproduksi dari sebuah unit produksi dalam sebuah pabrik harus disimpan dengan perlakuan khusus sebelum akhirnya diolah di unit pengolahan limbah. Penyimpanan harus dilakukan dengan sistem blok dan tiap blok terdiri atas 2×2 kemasan. Limbah-limbah harus diletakkan dan harus dihindari adanya kontak antara limbah yang tidak kompatibel. Bangunan penyimpan limbah harus dibuat dengan lantai kedap air, tidak bergelombang, dan melandai ke arah bak penampung dengan kemiringan maksimal 1%. Bangunan juga harus memiliki ventilasi yang baik, terlindung dari masuknya air hujan, dibuat tanpa plafon, dan dilengkapi dengan sistem penangkal petir. Limbah yang bersifat reaktif atau korosif memerlukan bangunan penyimpan yang memiliki konstruksi dinding yang mudah dilepas untuk memudahkan keadaan darurat dan dibuat dari bahan konstruksi yang tahan api dan korosi.
Mengenai pengangkutan limbah B3, Pemerintah Indonesia belum memiliki peraturan pengangkutan limbah B3 hingga tahun 2002. Namun, kita dapat merujuk peraturan pengangkutan yang diterapkan di Amerika Serikat. Peraturan tersebut terkait dengan hal pemberian label, analisa karakter limbah, pengemasan khusus, dan sebagainya. Persyaratan yang harus dipenuhi kemasan di antaranya ialah apabila terjadi kecelakaan dalam kondisi pengangkutan yang normal, tidak terjadi kebocoran limbah ke lingkungan dalam jumlah yang berarti. Selain itu, kemasan harus memiliki kualitas yang cukup agar efektivitas kemasan tidak berkurang selama pengangkutan. Limbah gas yang mudah terbagak harus dilengkapi dengan head shields pada kemasannya sebagai pelindung dan tambahan pelindung panas untuk mencegah kenaikan suhu yang cepat. Di Amerika juga diperlakukan rute pengangkutan khusus selain juga adanya kewajiban kelengkapan Material Safety Data Sheets (MSDS) yang ada di setiap truk dan di dinas pemadam kebarakan.
Secured Landfill. Faktor hidrogeologi, geologi lingkungan, topografi, dan faktor-faktor lainnya harus diperhatikan agar secured landfill tidak merusak lingkungan. Pemantauan pasca-operasi harus terus dilakukan untuk menjamin bahwa badan air tidak terkontaminasi oleh limbah B3.
2.3.2 Pembuangan Limbah B3 (Disposal)
Sebagian dari limbah B3 yang telah diolah atau tidak dapat diolah dengan teknologi yang tersedia harus berakhir pada pembuangan (disposal). Tempat pembuangan akhir yang banyak digunakan untuk limbah B3 ialah landfill (lahan urug) dan disposal well (sumur pembuangan). Di Indonesia, peraturan secara rinci mengenai pembangunan lahan urug telah diatur oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) melalui Kep-04/BAPEDAL/09/1995.
Landfill untuk penimbunan limbah B3 diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu: (1) secured landfill double liner, (2) secured landfill single liner, dan (3) landfill clay liner dan masing-masing memiliki ketentuan khusus sesuai dengan limbah B3 yang ditimbun.
Dimulai dari bawah, bagian dasar secured landfill terdiri atas tanah setempat, lapisan dasar, sistem deteksi kebocoran, lapisan tanah penghalang, sistem pengumpulan dan pemindahan lindi (leachate), dan lapisan pelindung. Untuk kasus tertentu, di atas dan/atau di bawah sistem pengumpulan dan pemindahan lindi harus dilapisi geomembran. Sedangkan bagian penutup terdiri dari tanah penutup, tanah tudung penghalang, tudung geomembran, pelapis tudung drainase, dan pelapis tanah untuk tumbuhan dan vegetasi penutup. Secured landfill harus dilapisi sistem pemantauan kualitas air tanah dan air pemukiman di sekitar lokasi agar mengetahui apakah secured landfill bocor atau tidak. Selain itu, lokasi secured landfill tidak boleh dimanfaatkan agar tidak beresiko bagi manusia dan habitat di sekitarnya.
Deep Injection Well. Pembuangan limbah B3 melalui metode ini masih mejadi kontroversi dan masih diperlukan pengkajian yang komprehensif terhadap efek yang mungkin ditimbulkan. Data menunjukkan bahwa pembuatan sumur injeksi di Amerika Serikat paling banyak dilakukan pada tahun 1965-1974 dan hampir tidak ada sumur baru yang dibangun setelah tahun 1980.
Sumur injeksi atau sumur dalam (deep well injection) digunakan di Amerika Serikat sebagai salah satu tempat pembuangan limbah B3 cair (liquid hazardous wastes). Pembuangan limbah ke sumur dalam merupakan suatu usaha membuang limbah B3 ke dalam formasi geologi yang berada jauh di bawah permukaan bumi yang memiliki kemampuan mengikat limbah, sama halnya formasi tersebut memiliki kemampuan menyimpan cadangan minyak dan gas bumi. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam pemilihan tempat ialah strktur dan kestabilan geologi serta hidrogeologi wilayah setempat.
Limbah B3 diinjeksikan se dalam suatu formasi berpori yang berada jauh di bawah lapisan yang mengandung air tanah. Di antara lapisan tersebut harus terdapat lapisan impermeable seperti shale atau tanah liat yang cukup tebal sehingga cairan limbah tidak dapat bermigrasi. Kedalaman sumur ini sekitar 0,5 hingga 2 mil dari permukaan tanah.
Tidak semua jenis limbah B3 dapat dibuang dalam sumur injeksi karena beberapa jenis limbah dapat mengakibatkan gangguan dan kerusakan pada sumur dan formasi penerima limbah. Hal tersebut dapat dihindari dengan tidak memasukkan limbah yang dapat mengalami presipitasi, memiliki partikel padatan, dapat membentuk emulsi, bersifat asam kuat atau basa kuat, bersifat aktif secara kimia, dan memiliki densitas dan viskositas yang lebih rendah daripada cairan alami dalam formasi geologi.
Hingga saat ini di Indonesia belum ada ketentuan mengenai pembuangan limbah B3 ke sumur dalam (deep injection well). Ketentuan yang ada mengenai hal ini ditetapkan oleh Amerika Serikat dan dalam ketentuan itu disebutkah bahwa:
1. Dalam kurun waktu 10.000 tahun, limbah B3 tidak boleh bermigrasi secara vertikal keluar dari zona injeksi atau secara lateral ke titik temu dengan sumber air tanah.
2. Sebelum limbah yang diinjeksikan bermigrasi dalam arah seperti disebutkan di atas, limbah telah mengalami perubahan higga tidak lagi bersifat berbahaya dan beracun
Bahan berbahaya dan beracun, yang lebih akrab dengan singkatan B3, keberadaannya di Indonesia makin hari makin mengkhawatirkan. Lebih dari 75% bahan berbahaya dan beracun (B3) merupakan sumbangan dari sektor industri melalui limbahnya, sedangkan sisanya berasal dari sektor lain termasuk rumah tangga yang menyumbang 5-10% dari total limbah B3 yang ada. Peningkatan jumlah limbah bahan berbahaya dan beracun di Indonesia antara kurun waktu 1990 – 1998 saja mencapai 100 % ( tahun 1990 sekitar 4.322.862 ton dan pada tahun 1998 mencapai 8.722.696 ton ). Jumlah ini akan naik drastis seiring dengan perkembangan industrialisasi yang cukup pesat di negara berkembang seperti Indonesia.
Permasalahan jumlah limbah bahan berbahaya dan beracun yang semakin meningkat ini akan terus menjadi pembahasan dengan permasalahan yang baru yakni lintas batas limbah B3. Ekspor limbah dari negara-negara maju sulit dibendung karena Indonesia mempunyai banyak sekali pelabuhan, sedangkan sistem pengamanan lautnya sendiri masih lemah. Banyak terjadi kasus ilegal dumping dari kapal luar negeri yang mengangkut limbah B3 secara sembunyi-sembunyi dan membuangnya ke perairan Indonesia. Lintas batas pembuangan limbah B3 ini sering terselubung dalam bentuk bahan baku seperti plastik bekas, seperti yang tersiar dalam massmedia Indonesia pada tahun 1992. Sebanyak 116 peti kemas limbah B3 seberat 1200 ton yang berasal dari pelabuhan Singapura ditemukan di pelabuhan Tanjung Periuk. Limbah ini ternyata didatangkan oleh 18 importir nasional dan terselubung dalam bentuk bahan baku. Data dari Multinational Monitor sendiri (juni, 1992) menunjukkan dari 1 Februari sampai 31 maret 1992 telah dikapalkan sampah plastik dari Amerika Serikat sebanyak 52.227.368 puond dalam 749 pengapalan ke berbagai tujuan di Asia.
Secara kasat mata sebenarnya terlihat mengapa kegiatan lintas batas pembuangan limbah B3 ini semakin hari semakin meningkat. Di negara-negara maju telah ditetapkan peraturan yang ketat mengenai pembuangan limbah industri khususnya yang mengandung bahan berbahaya dan beracun, sehingga biaya yang dikeluarkan oleh sebuah industri menjadi lebih mahal dan akan lebih murah jika limbah tersebut dikirim ke negara-negara berkembang, selain juga mendapatkan devisa dari pengiriman limbah tersebut. Kondisi tersebut tidak dapat dibendung dengan sistem dan hukum di negara berkembang seperti Indonesia yang masih lemah. Sejak tragedi love canal pada tahun 1976, pemerintah Amerika telah memperhatikan secara serius keberadaan timbunan-timbunan limbah B3 yang tersebar di seluruh dunia dan sesegera mungkin membuat peraturan-peraturan untuk membatasinya. Tetapi di Indonesia sendiri baru pada tahun 1994 mulai diperhatikan dengan dikeluarkannya PP 19/1994. Dapat dibayangkan selama hampir 18 tahun timbunan limbah B3 tersebar di Indonesia tanpa terdeteksi oleh sebuah peraturan hukum, dan selama itulah kegiatan lintas batas pembuangan limbah B3 dari negara maju meningkat pesat.
Sejak diberlakukannya pelarangan impor limbah B3, sampai mei 1994 saja terdapat 260 kontainer dari berbagai negara yang 95 diantaranya ternyata berkategori B3, yaitu 65 kontainer dari Belanda, 21 dari Singapura, 5 dari Jerman, 1 dari Jepang, 1 dari Korea Selatan dan 2 kontainer lagi tidak jelas asalnya. Dari hasil proyeksi jumlah limbah B3 yang dilakukan oleh Direktorat Pengelolaan Limbah dan B3 BAPEDAL, sampai tahun 2020 akan terdapat 60 juta ton total limbah B3 yang tidur nyenyak di Indonesia dan menunggu sewaktu-waktu untuk menjadi sebuah tragedi mengulang apa yang telah terjadi di love canal.
2.3.3 Pengelolaan Limbah B3 di Indonesia
Sejak Panangian Siregar yang menjabat sebagai menteri Lingkungan Hidup sampai dengan Sony Keraf, terdapat beberapa kasus pencemaran limbah B3 yang muncul ke permukaan. Antara lain PT. MASPION unit 1 di Sidoarjo yang hasil analisisnya menunjukkan konsentrasi nikel mencapai 3500 mg/kg limbah padat, khromium 1500 mg/kg dan kadmium 1100 mg/kg. PT. INDO BHARAT RAYON di Purwakarta yang mencemari sumur warga hingga berbau busuk, berwarna putih keruh, dan berminyak. PT. IIU (Inti Indorayon Utama) yang sempat ditutup karena mencemari danau Toba. Dan meledaknya tabung gas Amoniak PT. AJINEX INDONESIA di Mojokerto, produsen Ajinomoto.
Pengelolaan Limbah B3 secara spesifik sebenarnya telah diatur dalam PP 19/1994 dan disempurnakan dengan PP 12/1995. Kemudian diganti dengan PP 18/1999 yang selanjutnya disempurnakan dengan PP 85/1999. Menurut PP 18/99 jo PP 85/99, pengertian limbah B3 : “…… setiap limbah yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak dan/atau mencemarkan lingkungan hidup dan/atau dapat membahayakan kesehatan manusia.”
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam upaya pengelolaan limbah B3 di Indonesia. Pertama, adalah penerapan “produksi bersih dan minimisasi limbah” bagi industri. Teknologi end pipe treatment yang dipakai di Indonesia sendiri sebenarnya merupakan teknologi kuno (sunset technology) yang telah lama ditinggalkan oleh negara-negara maju. Namun para industriawan biasanya malas untuk mengganti teknologi pengelolaan limbah mereka dari end pipe treatment menjadi clean technology, karena adanya internalisasi biaya eksternal atas kerusakan lingkungan akibat limbah yang dihasilkan. Hal tersebut akan menambah cost tersendiri bagi mereka, apalagi dengan kondisi perekonomian sulit seperti sekarang ini. Inilah repotnya jika industriawan kita hanya mengejar short-term benefits nya saja. Padahal konsep clean technology melalui minimisasi limbah industri dengan model reduce; recycle; reused; recovery dan recuperation, bila diterapkan dengan benar dapat mengurangi cost production dari industri tersebut meskipun pada awalnya dibutuhkan investasi yang cukup besar. Selain produksi bersih, penanganan limbah yang memang tidak dapat tereduksi dalam proses minimisasi limbah harus ditangani sesuai prosedur dan tidak seadanya saja.
Kedua, adalah pembenahan sistem hukum dan peraturan yang telah ada, baik itu untuk limbah yang dihasilkan di dalam negeri maupun untuk lintas batas limbah B3. Peraturan yang ada seperti AMDAL masih jauh dari mencukupi untuk melakukan pengelolaan terhadap limbah, khususnya limbah B3. Apalagi dengan lembaga dan sumber daya manusia yang belum memadai. Sedangkan untuk lintas batas limbah B3, Indonesia sebenarnya telah meratifikasi Konvensi Basel melalui Kepres RI no. 61/1993 tentang Pengesahan Convension on The Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal. Namun pada kenyataannya, pada saat Panangian Siregar menjabat Menteri Lingkungan Hidup kabinet Habibie, turun rekomendasi untuk mengimpor lumpur dan sisa bahan galian dari Singapura yang dituangkan dalam surat no. B-495/MENLH/4/1999. Limbah dengan kapasitas 10.000 ton tersebut sudah dikirimkan sebanyak 6000 ton tanpa melalui proses Amdal terlebih dahulu, padahal PUSARPEDAL dan LIPI menyatakan limbah tersebut mengandung logam berat (Arsen, Kadmium, Krom, Nikel, Tembaga dan Timbal) dalam jumlah yang cukup membahayakan. Yang lebih aneh lagi, alamat PT. Bangka Dwiukir Lestari selaku kontraktor di Jl. Jendral Sudirman 8B adalah fiktif dan merupakan alamat kantor Harian Bangka Post. Lemahnya supremasi hukum di Indonesia inilah yang menjadikan seringnya kecolongan baik industri lokal maupun dari luar negeri.
Yang ketiga adalah sesegera mungkin membereskan kelembagaan lingkungan hidup di Indonesia yang memang mempunyai posisi yang lemah. Kedudukan Bapedal misalnya, yang hanya berfungsi secara koordinatif, sehingga seringkali ketika muncul persoalan dalam hal pencemaran lingkungan hidup, hanya fungsi administratif saja yang dijalankan oleh Bapedal, apalagi Bapedal yang ada di daerah.
Keempat yaitu melakukan evaluasi, inventarisasi dan pengembangan terhadap sumber daya yang kita miliki. Tidak dapat dipungkiri bahwa sumber daya kita masih sangat lemah dan minim dalam memahami persoalan lingkungan hidup. Sedangkan yang kelima adalah adanya transparansi informasi kepada masyarakat luas, sehingga ada partisipasi aktif dari masyarakat untuk ikut serta dalam usaha pelestarian lingkungan hidup. Salah satunya adalah sosialisasi informasi mengenai limbah B3. Dengan begitu ada keterlibatan seluruh stakeholders secara seimbang dan aktif untuk memecahkan setiap persoalan lingkungan hidup yang akan muncul puluhan bahkan ratusan masalah seiring dengan berkembangnya industrialisasi di negari kita.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam makalah ini kami dapat menyimlkan bahwa bahan berbahaya dan beracun sangat bersifat merugikan bagi manusia dan lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu dalam pengelolaannya perlu diperhatikan secara teliti bagaimana dampak positif dan negatifnya bagi manusia dan lingkungan tersebut. Agar dampak bahan B3 tersebut dapat diminimalisir sekecil mungkin.
3.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan dari makalah ini adalah bahan berbahaya dan beracun harus dikelola dengan baik dan memperhatikan aspek sekitarnya yaitu manusia dan lingkungan hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar