Pengantar "Manusia Bugis": Lapis Waktu
Setiap kali membaca buku sejarah dan kebudayaan yang ditulis dengan baik, setiap kali pula kita merasa berhadapan dengan sebentang peta yang digambar dengan apik. Yang ditemui di dalam karya itu memang bukan melulu lembaran peta ruang dengan bidang, jarak, koordinat, dan nama-nama tempat. Yang dihadapi di sana lebih merupakan peta waktu yang bergerak menjawab—sekaligus menciptakan—berbagai perubahan. Dan waktu yang dipetakan di sana adalah waktu yang silam, waktu yang dulunya ditakdirkan terkubur hilang dari pengetahuan manusia, atau mungkin tersisa sebagai reruntuhan yang tak lagi utuh, yang dijerat dalam berbagai bentuk fiksi.
Tentang waktu yang hilang ini, seorang sastrawan Perancis yang mengarang novel paling kompleks di abad ke-20 yang baru lewat menulis: ”Dan demikian pula dengan masa silam kita. Adalah kerja yang sia-sia untuk merengkuhnya kembali: segala upaya intelek kita niscaya akan berujung gagal. Masa silam lenyap sembunyi di luar telatah pengetahuan, di seberang jangkauan intelek, di dalam obyek-obyek bendawi (dalam sensasi yang akan diruahkan oleh obyek-obyek bendawi itu pada kita) yang keberadaannya tak menilaskan pratanda apa pun. Dan bergantung pada nasib dan peluang buta belaka, dapat tidaknya kita bersua dengan obyek-obyek itu sebelum pada akhirnya kita meninggal.” — Marcel Proust, In Search of Lost Time.
Tanpa memperkecil peran para cendekiawan Eropa lainnya, para cendekiawan Perancis tampaknya memang punya tempat khusus dalam gagasan tentang pemetaan waktu. Di simpang abad ke-19 dan ke-20, Marcel Proust dan Henri Bergson menggarap waktu yang berdenyut di dalam diri manusia, sementara Henri Poincare menggarap waktu kosmis yang dalam beberapa hal mendahului Albert Einstein. Di antara waktu kosmis dan waktu personal itu, ada waktu sosial—waktu sejarah. Di paruh pertama abad ke-20 sekumpulan ilmuwan Perancis yang kelak disebut sebagai ”Mazhab Annales” membentuk pendekatan baru dan revolusioner atas waktu sejarah. Dipelopori oleh Lucien Febvre dan Marc Bloch, dan dikukuhkan lebih jauh antara lain oleh Fernand Braudel, berkembanglah pendekatan interdisipliner atas sejarah yang dikenal sebagai Total History. Di Indonesia pendekatan ini jelas terlihat pada karya-karya keilmuan Anthony Reid yang sangat berharga, dan terutama pada tiga jilid karya raksasa Denys Lombard, Le Carrefour Javanais.
Dalam waktu yang hampir bersamaan dengan terbitnya versi bahasa Indonesia karya raksasa Lombard itu, Nusa Jawa: Silang Budaya (Jakarta: Gramedia, 1996), terbit pula edisi bahasa Inggris dari karya besar Christian Pelras, The Bugis (London: Blackwell, 1996). Tampaknya betul bahwa setiap upaya intelektual yang dimatangkan oleh waktu dan tekanan adalah sebutir intan yang amat berharga. Buku Pelras yang ditopang oleh riset lapangan yang luas selama empat puluhan tahun ini adalah salah satu dari intan yang berharga itu. Ia akan melengkapi rangkaian intan yang sudah ada dalam khazanah pengetahuan sejarah kita, baik di Indonesia maupun di Asia Tenggara. Buku ini menjernihkan beberapa cahaya Manusia Bugis yang berkilau membutakan, sekaligus memperterang sejumlah cahaya lain yang redup oleh informasi yang tak memadai.
Meski banyak menganggap jazirah selatan Sulawesi sebagai sumber akar dan kampung halamannya, orang-orang Bugis hidup menyebar cukup luas di Asia Tenggara. Jejaknya terlihat di sejumlah tempat di wilayah utara dan barat laut Australia. Manusia Bugis yang jumlahnya sekitar empat juta jiwa itu, sebagaimana dinyatakan dalam buku ini, adalah salah satu di antara masyarakat paling menakjubkan di Asia Tenggara dan Pasifik, dan juga yang paling sedikit diketahui. Salah satu cahaya yang coba dijernihkan buku ini adalah citra mereka yang menyilaukan dalam legenda dan fiksi modern di mana mereka banyak dihadirkan sebagai lalu diidentikkan dengan bajak laut yang menggetarkan dan niagawan budak yang menggiriskan; seakan-akan perompakan di laut lepas sekaligus perdagangan budak belian adalah mata pencarian alamiah dan satu-satunya yang mampu dikerjakan oleh Manusia Bugis.
Tentu saja ada, dan banyak, orang Bugis yang hidup meniti buih di samudra luas. Namun, sebagian besar di antara mereka, terutama yang hidup di kampung halamannya, dalam kehidupan nyata memang adalah petani, pekebun, pedagang, dan nelayan pantai. Richard Leaky, pakar ternama asal-usul manusia, tentu akan menandaskan bahwa orang Bugis adalah bagian dari umat manusia yang nenek moyang terdekatnya adalah peramu dan pemburu; dan yang menjadi spesies modern karena membangun kemampuan beradaptasi yang mencengangkan, membangun bahasa, seni, sistem nilai, dan kecakapan teknologis.
Bahwa orang-orang Bugis adalah salah satu masyarakat Asia yang menjadi pemeluk teguh ajaran Islam, sudah ditegaskan oleh cukup banyak kepustakaan. Begitu teguh mereka memeluknya sehingga Islam dijadikan bagian dari jati diri mereka. Di Tanah Bugis orang bahkan bisa membuka sejarah perang pembebasan budak dua setengah abad lebih sebelum perang pembebasan budak meletup jadi perang saudara di Amerika Serikat. Namun, seperti juga dibahas oleh buku ini, masyarakat Bugis yang sangat dalam menyerap Islam itu di banyak wilayah tetap mempertahankan berbagai bentuk peninggalan religio-kultural pra-Islam.
Sementara itu, trah bangsawan tradisional Bugis yang selama ratusan tahun menempati lapisan teratas tatanan masyarakat, menandaskan diri sebagai keturunan langsung dari dewa-dewa purba. Namun, trah ningrat penuh warna ini bukanlah despot dengan kekuasaan absolut: mereka memperoleh kekuasaan dengan semacam konsensus sosial yang ditandaskan oleh rakyat yang menawarkan kekuasaan itu kepada mereka.
Di Tanah Bugis, dan di tanah saudara-saudaranya di Sulawesi Selatan, rakyat memang lebih dahulu ada ketimbang raja. Dan rakyat yang tak puas pada pemerintahan seorang raja bisa bertindak memakzulkan raja tersebut, atau membubarkan diri sebagai rakyat lalu berpindah menyeberangi laut untuk mendirikan komunitas baru yang lebih bermartabat, sambil mungkin tetap membawa cerita tentang tappi’ (pendamping jiwa), tentang kawali dan badik, yang memilih tuannya sendiri.
Pertautan antara hal-hal yang tampak bertentangan oleh Pelras dianggap sebagai salah satu kekuatan utama masyarakat Bugis. Buku yang bukan sekadar terjemahan tetapi penyempurnaan dari edisi bahasa Inggris ini mengangkat cukup banyak pertautan antara hal-hal yang tampak bertentangan itu. Membaca buku ini, kita pun bisa menyimpulkan bahwa Sulawesi memang istimewa bukan hanya secara geo-ekologis tetapi juga secara sosio-historis. Dari Alfred Russell Wallace kita mendapat penegasan betapa geologi dan ekologi Sulawesi berbeda dari geologi dan ekologi kawasan barat Nusantara yang menjadi bagian Asia, sekaligus juga berbeda dari geologi dan ekosistem kawasan timur Nusantara yang menjadi bagian Australia.
Dengan cara yang lain, Pelras mencoba menunjukkan bahwa di masa silam masyarakat di Sulawesi, khususnya masyarakat Bugis, menempuh sejarah yang berbeda dari Masyarakat Jawa yang begitu dalam menerima pengaruh India, proses yang oleh Lombard disebut sebagai ”mutasi pertama” dunia Jawa. Ada sejumlah argumen yang diajukan Pelras, tetapi yang paling menarik adalah kenyataan yang oleh Pelras dianggap istimewa, yakni kemampuan masyarakat Bugis membangun kerajaan-kerajaan yang tak berpusat di kota-kota. Kemampuan ini tentu merupakan kontras dari masyarakat Jawa yang kerajaan-kerajaannya berpusat di ibu kota yang ditata menurut sebuah struktur konsentris.
Hal lain yang menarik dari masyarakat Bugis adalah bahwa sekalipun mereka telah membangun kerajaan-kerajaan yang tidak berpusat di kota-kota, mereka juga membangun sejumlah struktur epistemik yang bisa dikatakan berpusat. Yang paling menonjol di antara semua struktur itu adalah epik mitologis La Galigo. Narasi besar yang berkisar pada apa yang dianggap sebagai genesis manusia dan kerajaan tertua yang dijunjung di Tanah Bugis ini adalah pusat yang dengannya masyarakat Bugis Lama menjangkarkan dan menata diri. Yang tertarik ke dalam gravitasi dan kemudian mengorbit di sekitar epik mitologis La Galigo ini bukan lagi kerajaan-kerajaan Bugis tapi juga beberapa kerajaan dan komunitas lain yang ada di luar semenanjung selatan Sulawesi. Tentu bukan hanya karena fungsi penataan dan pengaturan dunia yang disediakan oleh narasi raksasa La Galigo ini, yang ikut mendorong Pelras menjadikan La Galigo sebagai bahan bagi sebuah rekonstruksi hipotetik prasejarah Bugis.
Paling luas
Walau belum sebanyak kepustakaan tentang Jawa, kepustakaan tentang Bugis sudah banyak juga yang terbit. Sarjana-sarjana Bumiputera sendiri, seperti HA Mattulada dan Hamid Abdullah untuk menyebut beberapa nama, telah menghasilkan karya intelektual yang cukup penting di bidang ini. Namun, yang menarik dari karya Pelras adalah bahwa buku inilah yang pertama dan yang sejauh ini paling luas mengurai sejarah orang-orang Bugis. Cakupannya terentang dari kurun fajar antropologis sekitar 40.000 tahun yang silam yang darinya kelak memunculkan leluhur masyarakat Bugis, kurun peradaban awal yang sejumlah unsurnya dibingkai dalam siklus La Galigo, hingga ke masa kini—masa masuknya masyarakat Bugis menyongsong fajar alaf ketiga, setelah melebur diri ke dalam satuan sosial politik yang lebih besar.
Telaah Pelras yang luas dan telah menyedot hampir 2/3 dari usianya itu seakan mengupas lapis-lapis waktu yang membentuk sejarah dan kehidupan masyarakat Bugis: lapis-lapis waktu yang tanpa kegigihan para ilmuwan seperti Pelras akan benar-benar tertimbun lenyap di luar ranah pengetahuan, di seberang jangkauan jernih intelek.
Proust agaknya betul bahwa tergantung pada unsur nasib dan peluang saja seseorang dapat bersua dengan obyek bendawi dan sensasi yang diruahkan oleh obyek bendawi itu, yang memungkinkan seseorang menemukan dan menghidupkan kembali masa-masa yang sudah silam itu.
Dalam hal masyarakat Bugis, agaknya unsur kebetulan dan nasib baik—yang bagi sebagian cendekiawan Bugis bahkan terasa nyaris mendekati berkah—itu pula yang membuat mereka mendapatkan seorang Christian Pelras, seorang ilmuwan yang praktis tak punya hubungan kekerabatan apa pun dengan masyarakat Bugis, kecuali sekadar kekerabatan sebagai sesama anggota subspesies Homo sapiens sapiens.
Sudah umum diketahui bahwa sejak beberapa dekade yang silam, upaya-upaya intelektual para ilmuwan Barat mengaji negeri-negeri Timur telah mendapat tanggapan kritis bahkan mungkin sinis, dan mereka pun sebagian dicap orientalis yang merupakan perpanjangan tangan nafsu imperial untuk menundukkan Timur. Para ilmuwan Timur pun berupaya memanggul tanggung jawab meneliti dunia mereka sendiri, dan beberapa di antaranya telah menghasilkan karya dengan mutu intelektual yang menonjol. Apa yang dilakukan oleh sejumlah ilmuwan asing di negeri-negeri yang dikajinya, sebagiannya memang berupa penggambaran peta yang tak jarang sangat simplistis dan digunakan untuk membekukan sekaligus menundukkan wilayah itu. Namun harus juga diakui bahwa sejumlah peta sejarah yang dihasilkan oleh para ilmuwan asing itu sungguh lebih halus dan lebih realistis dari kebanyakan peta yang digambar atau diangankan oleh para cendekiawan pribumi sendiri. Peta masa silam Jawa yang disajikan Lombard, dan peta masa silam Bugis yang dihadirkan Pelras, adalah contoh dari peta-peta yang dimaksud.
Di bagian akhir buku ini Pelras mengangkat pertautan masyarakat Bugis kontemporer ke dunia global mutakhir yang berlangsung relatif tanpa guncangan dan penolakan kultural. Pertautan ke dunia yang sedang tumbuh itu, yang bagi sejumlah besar Bugis bahkan menjadi pilihan satu-satunya untuk tegak sebagai manusia, terdedah jelas dalam pemaparan naiknya lapis pemimpin dan masyarakat baru Bugis yang mengandalkan bukan pendakuan silsilah supramanusiawi. Mereka bangkit (tompo’) antara lain karena keyakinan akan nasib (toto’) yang wajib ditawar dan dibentuk sendiri di tengah segala keperitan, dan penguasaan pengetahuan rasional yang diserap dari berbagai tempat di luar Tanah Bugis, sampai ke belahan bumi yang lain.
Ada memang sejumlah anasir dalam kebudayaan Bugis yang membuat perengkuhan atas dunia global mutakhir—yang menaruh hormat pada gagasan tentang universalitas akal yang menuntun dan manusia yang bertindak—menjadi sesuatu yang tampak organik. Pelras misalnya menyajikan bagaimana kebudayaan Bugis menyediakan ruang bagi gender ketiga dan keempat (calabai dan calalai), dan bagaimana perempuan menduduki tempat yang benar-benar sejajar dengan lelaki, dengan hak setara dalam merumuskan kebijakan-kebijakan kerajaan sekaligus bertakhta memerintah kerajaan itu. Dalam sejumlah peristiwa, bahkan di masa ketika abad ke-20 belum menjelang tiba dan Simone de Beauvoir belum mengarang The Second Sex, perempuan telah tampil lebih bernyali dan berotak dari para lelaki, menandaskan keputusan-keputusan penting yang mempertaruhkan masa depan kerajaan.
Kesetaraan gender dan penyediaan ruang pada gender yang lain itu adalah sebagian dari hal-hal yang membuat tercengang banyak penjelajah Eropa yang pernah singgah di Tanah Bugis. Meski tak terlalu panjang lebar, Pelras menyajikan banyak hal dari tradisi Bugis yang tampak mendahului zamannya, yang beberapa di antaranya juga terdapat di bagian lain di Asia dan Pasifik, dan dengan itu menyangkal sekali lagi banyak gagasan usang tentang Dunia Timur, sekaligus menandaskan adanya kesamaan dan potensi universal umat manusia yang akan berkembang rimbun jika keadaan dibuat memungkinkan.
Mungkin kelak akan ada orang yang dengan bekal antara lain peta Bugis Pelras berhasil mengangkat sejumlah tempat penting yang telah tertimbun waktu, namun senantiasa disebut dalam puisi epik La Galigo. Kemungkinan lain adalah bahwa sejumlah ilmuwan dan peneliti, dengan bantuan teknologi yang makin halus, akhirnya membuktikan betapa peta yang disusun Pelras ternyata, pada beberapa bagian, memang tak terlalu akurat menggambarkan keadaan yang sesungguhnya.
Namun, bahkan sejarah kartografi dunia pun dipenuhi oleh sejumlah kekeliruan yang terus-menerus dikoreksi; kekeliruan yang selain telah membantu manusia mengubah dunia di abad-abad yang silam, juga kini dihargai sebagai karya seni yang ikut merekam perkembangan pandangan dunia manusia.
Peta waktu Bugis Pelras pun, termasuk peta prasejarah yang dengan tegas dan rendah hati dikatakannya sebagai hipotetik itu jelas akan membantu banyak pihak, bukan hanya Manusia Bugis yang terus berupaya membentuk masa depannya sekaligus masa depan tempat-tempat di mana kaki-kaki fisiologis dan imajiner mereka berpijak.
Di tangan para sarjana seperti Lombard, Pelras, dan sederet nama lain, etnologi dan etnografi yang punya akar pada pelukisan kehidupan bangsa-bangsa yang dianggap barbar, berkembang menjadi persembahan yang hangat dan murah hati dari satu bangsa ke bangsa yang lain, sesuatu yang sungguh kian dibutuhkan dalam dunia yang memang tak punya batas yang tak tertembus, namun yang kadang masih ingin disekat dan dibuat kedap oleh batas-batas bikinan manusia sendiri.
Nirwan Ahmad Arsuka, Esais, ewa001@gmail.com
Sumber:Kompas Cyber Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar