Kampanye Platform?
DIAM-diam media massa di Indonesia (paling tidak sebagian) relatif lebih maju dari rekan-rekannya di Amerika Serikat dalam hal mendesak para calon presiden untuk mengampanyekan platformnya! Page (sejak 1978) telah mencatat kecenderungan pers Amerika yang kurang tertarik melaporkan posisi dan rencana kebijakan para kandidat secara spesifik.
Mengapa media perlu mendesak kampanye platform? Ada tiga jawaban yang mengandung beberapa konsep substansial. Pertama, karena (seperti ditulis Fineman, Newsweek, 1991, "The No Bull Campaign") para politisi selalu mengeluarkan janji-janji kampanye yang membesarkan hati dan menghidupkan harapan. Apakah mereka sebetulnya menyatakan hal-hal yang benar dalam janji kampanye itu? Jangan percayai para politisi, kata Fineman. Mereka sejak awal sudah tahu betul bagaimana bersembunyi di balik tuntutan-tuntutan populer yang perlu disampaikan dalam kampanye.
Jadi, mengampanyekan tuntutan-tuntutan populer, seperti saat para juru kampanye menyatakan, mereka akan memberantas korupsi, memberantas kemiskinan, meningkatkan anggaran pendidikan, menegakkan hukum, atau di negara maju ditambah menurunkan pajak serta meningkatkan jaminan sosial, tidaklah sama dengan kampanye platform! Kalau cuma menyampaikan tuntutan populer, orang yang pernah diduga melanggar hukum sampai ke level internasional bisa menyatakan akan jadi orang nomor satu yang menegakkan hukum; atau calon dari partai yang bergelimang korupsi bisa saja menyatakan dia akan menjadi pemberantas korupsi paling tegas!
Lalu batasan apa yang bisa dipakai untuk membedakan mana yang sekadar janji populer dengan yang merupakan "kampanye platform"? Mendoza dan Jamieson (2001) menyatakan "kampanye platform" dalam komunikasi politik utamanya berisi prospective policy-choice. Prinsip dasarnya adalah keyakinan, kampanye merupakan sebuah kesempatan bagi para pemilih untuk membandingkan dan mempertentangkan posisi-posisi kebijakan yang spesifik dan rinci para kandidat, lalu memilih yang terbaik di antara penyajian janji-janji itu.
JOSLYN (1991) sebetulnya telah berusaha membedakan prospective policy- choice itu dengan tiga cara kampanye lainnya. Satu, retrospective policy-satisfaction. Artinya, kampanye yang hanya menyatakan pujian-pujian terhadap seorang kandidat atas prestasi masa lalu; dan di lain kesempatan menyatakan "hukuman" atau mengungkap hal negatif dari penampilan masa lalu kandidat lain (dalam konteks attack campaign).
Dua, benevolent-leader appeals. Pendekatan ini semata-mata ingin menyampaikan kepada para pemilih sebuah jaminan, seorang kandidat benar-benar bermaksud baik, dan ia selalu berupaya mengidentifikasi dirinya bersama dengan (merupakan bagian) para pemilih, serta, pokoknya, kandidat ini merupakan tokoh yang amat bisa dipercaya.
Tiga, ritualistic. Maksudnya, sebuah partai politik hanya berusaha sekeras mungkin mengikuti alur permainan partai lainnya secara ritual. Jika kompetitornya menyatakan suatu janji populer, kandidat lain pun secara ritual harus segera membuat janji populer yang diupayakan dibungkus lebih menjanjikan atau mendekati "angin surga".
Joslyn menyimpulkan ketiga kategori pendekatan kampanye di luar kampanye platform itu setelah memeriksa lebih dari 800 iklan politik di televisi serta dua debat presiden Amerika Serikat di tahun 1988.
Jika mau jujur, apa yang kita lihat dalam kampanye pemilu legislatif kita, relatif merupakan benevolent-leader appeals. Sebentar lagi, karena pemilu presiden sudah merupakan persaingan pesona pribadi individu, maka utamanya pendekatan retrospective policy-satisfaction akan ditonjol-tonjolkan. Dan karena masa kampanye lumayan panjang, selalu terbuka kesempatan melakukan gaya ritualistic dalam menanggapi iklan politik kandidat lain.
JAWABAN kedua atas pertanyaan mengapa media perlu mendesak para kandidat melakukan kampanye platform dengan pendekatan prospective policy- choice ialah soal pendidikan politik! Untuk yang satu ini, bahkan di negara maju sekalipun, para akademisi dan pengamat tetap merisaukannya. Carlson (dalam Time, 1996, "The Rules from 1996") mengeluhkan kampanye di AS tahun 1996 yang relatif miskin pendidikan politik. Lepas dari semua kerlap-kerlip kampanye 1996, ujar Carlson, tiba saatnya untuk menanyakan apa yang bisa dipelajari dari semua ini. Dengan ketus ia mengatakan, "The voters couldn’t have learned a lot, unless they were unaware that education is good and drugs are bad…".
Inti pendidikan politik, yang selalu dijunjung tinggi para pemerhati (dan cenderung diabaikan partai politik dan politisi kita) adalah tuntutan dasar dari sebuah demokrasi melalui pemilu, yakni dialog yang logis dan jujur antara para kandidat presiden dan pemilih. Hanya dengan cara inilah terbuka peluang bagi pemilih untuk menentukan dan memengaruhi siapa yang memerintah serta bagaimana jalannya pemerintahan.
Jawaban ketiga justru terkait akibat politik dari sebuah kampanye platform. Hershey (1989) mencatat, tidak ditampilkannya platform yang substantif dalam kampanye presiden sering diinterpretasikan sebagai upaya yang diperhitungkan dengan masak-masak untuk membuat sekecil mungkin jumlah pendengar atau penonton kampanye yang merasa terasing karena isu-isu tertentu. Untuk berbicara dengan khalayak dalam jumlah besar, seorang kandidat butuh pesan-pesan yang pendek dan amat menarik.
Menurut Hershey, Bush (Senior) dan Dukakis di tahun 1988 lebih memilih berbicara tentang Willie Horton, perampok kejam yang menikam korbannya yang tak berdaya 19 kali, daripada mendiskusikan betapa kompleksnya mencoba mencari keseimbangan antara keamanan dan kebutuhan untuk rehabilitasi para pelaku kejahatan.
Salah satu suara sumbang yang banyak kita dengar di AS atau di Eropa tentang penampilan para juru kampanye kita dalam pemilu legislatif lalu adalah sangat minimnya dibicarakan isu-isu keamanan yang terkait terorisme. Kebanyakan juru kampanye seakan menghindari dengan alasan akan menyinggung perasaan atau mengasingkan sekelompok pemilih potensial (yang pada faktanya belum tentu setuju dengan terorisme).
Dalam ketiga konteks jawaban itulah, media massa kita pantas dipuji atas upayanya mendesak kampanye platform. Jika tidak, isi kampanye calon presiden kita akan persis seperti apa yang dikatakan komedian dan aktivis sosial Dick Gregory (1972) tentang dua jenis janji utama dalam politik. "…Promises made to persons or groups able to deliver the vote and called ’patronage’, and promises made by candidates to the voters which are most frequently called ’lies’…".
Effendi Gazali Staf Pengajar Pascasarjana Komunikasi UI, Research Associate di Nijmegen University, Belanda
Sumber: Kompas Cyber Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar