Join emridho's empire

Senin, 16 Januari 2012

Kebebasan Pers Era SBY-Kalla

Kebebasan Pers Era SBY-Kalla

KALAU berbicara tentang kebebasan pers, maka proses dan efek komunikasi massa tersebut tidak dapat dikaji hanya dari aspek kepentingan tunggal. Terutama, untuk apa kebebasan pers itu Atau, kebebasan pers dari siapa
Setiap tinjauan kebebasan pers, harus ditinjau dari aneka kepentingan (kepentingan yang jamak). Cara tinjauan demikian, diharap dapat menghindarkan implementasi kebebasan pers, seolah tanpa rambu, tanpa batas, di samping bersifat mutlak.
Tinjauan kebebasan pers pada kurun waktu (termasuk era pemerintahan) tertentu, minimal harus beranjak dari kedua pertanyaan tadi. Kedua pertanyaan itu akan memotivasi semangat dan tekad membangun kebebasan pers, sebagai kebebasan manusia yang dilandasi ranah pertanggungjawaban kemanusiaan. Bukan sebagai bentuk penjabaran kebebasan tanpa rambu, tanpa batas, serta bersifat to be or not to be (ada atau tidak, harus ada; bisa atau tidak, harus bisa).
Pertanyaan mendasar pertama adalah untuk apa sesungguhnya kebebasan pers? Apakah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, sebagaimana landasan idealisme dan profesionalitas media massa yang bersifat universal? Ataukah, kebebasan pers ditafsirkan sebagai prasyarat mutlak cara berpikir dan cara bergerak aktualisasi kebebasan (manusia), yang bersifat tan kena ora (mutlak, tidak bisa ditawar).
Jika kita menafsirkan kebebasan pers dalam alur berpikir pertama, kebebasan pers memang pantas, dan seharusnya diperjuangkan serta ditegakkan semua pihak. Baik oleh pengelola media massa, maupun oleh publik media (termasuk rakyat dan pemerintah).
Tetapi, sebaliknya, kalau penafsiran kebebasan pers terjebak kepentingan yang terkandung dalam pertanyaan kedua, justru bisa menimbulkan aneka kendala buat pengelola dan publiknya. Ini disebabkan kebebasan pers seakan kebal (resisten) atas segala bentuk intervensi, baik hukum maupun moral publik

Pemerintahan Silam
Pertanyaan mendasar yang kedua, yaitu kebebasan siapa, harus dijawab dengan benar. Sebab, aktualisasi kebebasan pers menghadirkan pertanyaan, kebebasan pers itu kebebasan dari (kepentingan) siapa? Apakah kebebasan pers adalah kebebasan insan pers atau pengelola media massa semata?
Atau juga kebebasan publik media dalam memanfaatkan jasa pers, khususnya guna memuasi kepentingan sendiri (kepentingan konsumen informasi publik), terlepas dari kepentingan produsen informasi (kepentingan pengelola media massa)?
Berangkat dari muara pemahaman di atas, tidak adil kalau kita menilai pers Indonesia tidak mengenal kebebasan pers di era pemerintahan silam. Pemerintahan Indonesia, mulai di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, sampai Megawati, memberi jaminan kebebasan pers. Hanya saja, pemaknaan aktualisasi kebebasan pers di setiap kurun waktu era pemerintahan, bukan hanya berlainan, tetapi acapkali juga bertentangan.
Hemat penulis, di era pemerintahan Soekarno dan Soeharto, kebebasan pers ada, tetapi lebih terbatas untuk memperkuat status quo, ketimbang guna membangun keseimbangan antarfungsi eksekutif, legislatif, yudikatif, dan kontrol publik (termasuk pers).
Karenanya, tidak mengherankan bila kebebasan pers saat itu lebih tampak sebagai wujud kebebasan (bebasnya) pemerintah, dibanding bebasnya pengelola media dan konsumen pers, untuk menentukan corak dan arah isi pers
Kebebasan pers Indonesia di pemerintahan Habibie, Gus Dur dan Megawati, nyaris tidak menunjukkan perbedaan aktual. Aktualisasi dan fluktuasi kebebasan pers pada ketiga era pemerintahan terakhir dimaksud, lebih ditentukan perkembangan kepentingan pemerintahan (nasional atau daerah), ketimbang kepentingan insan pers dan masyarakat.
Berbeda dengan kebebasan pers di era Soekarno dan Soeharto yang bias pemerintah (mutlak memprioritaskan kepentingan pemerintah), sehingga mengesankan pers menjadi budak pemerintah, atau pers tidak beda dengan buletin negara; di bawah Habibie, Gus Dur dan Megawati, kebebasan pers kita lain lagi. Sekalipun performa pers Indonesia dalam pemerintahan ketiga Presiden RI disebut terakhir bukan lagi corong negara, tetapi - dalam pengertian relatif - kebebasan pers Indonesia berada dalam kendali (samar) pemerintah.
Penilaian demikian eksis, terutama lantaran berbagai delik pers pada kurun waktu tersebut, memosisikan KUHP lebih sebagai landasan hukum penyelesaian kasus konflik pers dengan pihak lain. Padahal, semua orang tahu, filosofi yang melandasi produk hukum buatan kolonial itu, adalah untuk memperkuat fungsi pemerintahan yang berkuasa. Itu sebabnya, mengapa kendati negara dan bangsa kita sudah memiliki UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers (biasa disebut UU Pers), lembaga pengadilan di negeri ini acapkali lebih suka menggunakan KUHP dibanding UU Pers.

Era SBY-Kalla
Tidak fair memang, kalau kita menilai di bawah pemerintahan Habibie, Gus Dur dan Megawati, pers Indonesia tidak mengenal kebebasan. Sebab, justru pada pemerintahan Habibie, Gus Dur dan Mega, kebebasan pers sering dinilai terlampau maju (kebablasen).
Perkara selama ketiga era pemerintahan terjadi pemberangusan kebebasan pers secara amat halus, (dilakukan aparat negara dan tekanan publik), itu persoalan klasik, yang terjadi, dan nyaris selalu eksis, di bawah (rezim) di banyak negara di planet bumi ini.
Sesuatu yang tidak terelak, sejak pemerintahan Soekarno sampai Megawati, adalah langkanya momentum pers Indonesia berkebebasan mutlak. Negatifkah kecenderungan dan fakta tersebut? Tidak, karena kebebasan pers bukanlah kebebasan yang monopolistik milik media massa (absolutely right). Di mana pers bebas sebebas-bebasnya, pers bebas tanpa batas apa pun, dan oleh siapa pun.
Kecenderungan dan fakta disebut terakhir tidak pernah eksis di negeri ini. Kebebasan pers Indonesia tanpa rambu, bebas dari segala bentuk kontrol hukum, moral publik dan landasan nilai-nilai luhur (terutama hak asasi manusia) dan lain-lain, tidak pernah eksis di masa pemerintahan silam.
Kebebasan pers macam ini, mutlak perlu ditegakkan di bawah pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla. Di bawah SBY-Kalla, negara dan bangsa kita membutuhkan kebebasan pers yang bertanggung jawab (free and responsible press). Sebuah perpaduan ideal antara kebebasan pers dan kesadaran pengelola media massa (insan pers), khususnya untuk tidak berbuat semena-mena dengan kemampuan, kekuatan serta kekuasaan media massa (the power of the press).
Di bawah SBY-Kalla, kebebasan pers Indonesia idealnya dibangun di atas landasan kebersamaan kepentingan pengelola media, dan kepentingan target pelayanannya, tidak peduli apakah mereka itu mewakili kepentingan negara (pemerintah), atau kepentingan rakyat. Dalam kerangka kebersamaan kepentingan dimaksud, diharap aktualisasi kebebasan pers nasional kita, sedikitnya lima tahun mendatang, tidak hanya akan memenuhi kepentingan sepihak, baik kepentingan pengelola (sumber), maupun teratas pada pemenuhan kepentingan sasaran (publik media).
Sudut pandang kepentingan ini, dilandasi kajian komprehensif atas keberadaan, fungsi dan peranan pers, sebagai landasan ideal dan praksis kebebasan pers, yang bermuara dari pemahaman teori peluru (the bullet theory) yang dikenal dalam ilmu komunikasi. Teori itu menguraikan kegiatan komunikasi, termasuk pers, berpusat komunikator.
Ibarat peluru yang dibidikkan penembak (komunikator, media massa), akan tepat kena sasaran atau tidak, tergantung kepada kecakapan penembaknya. Penembak jitu, biasanya tidak memubazirkan peluru ke arah atau sasaran lain, kecuali ke titik bidik yang dituju. Karenanya, akan sangat sulit bagi sasaran tembak untuk mengelak atau menghindarkan peluru yang melesat cepat dari moncong senapan sang penembak.
Demikian pula dengan pers. Kecakapan pengelola media massa, merupakan salah satu prasyarat tercapainya tujuan penerbitan media cetak, dan pengudaraan siaran radio serta televisi.
Prasyarat lain seperti bagaimana prosesnya digarap dengan baik dan benar, di samping kemapanan publik, serta prediksi pengaruh pers, memang juga menentukan besar-kecilnya, dan signifikan tidaknya pengaruh media massa, walau kadar signifikasinya antartarget publik media, bisa berbeda-beda.

Arogansi Pers
Ketidakberdayaan publik, harus diapresiasi sebaik mungkin oleh setiap pengelola pers, khususnya guna membangun dan mengaktualisasikan kebebasan pers Indonesia, di bawah pemerintahan SBY-Kalla. Sebab, jika pengelola pers bersikap acuh tak acuh, bahkan melecehkan inferioritas publik atas keperkasaan media massa, akan menimbulkan penolakan, bahkan juga perlawanan publik terhadap media massa
Karenanya, pemerintahan SBY-Kalla, disamping pengelola media, harus berupaya mencegah agenda tersembunyi pers. Isu publik dan materi pers yang banyak disembunyikan oleh pemerintah di bawah kepemimpinan SBY-Kalla, atau dilakukan pengelola media massa sendiri (sadar atau tidak), dapat membentuk kekecewaan publik, baik terhadap pemerintah maupun pers nasional kita sendiri.
Karenanya, selama pemerintahan mendatang, pengelola media sepatutnya tidak mengapresiasi kebebasan pers sebagai penjabatan konkret keperkasaan pers, yang tan kena ora tadi. Karenanya, para insan pers tidak boleh menganggap lantaran publik media mustahil mampu mengelak dari "peluru" pers, membuat mereka (awak pers) boleh seenak hati memberondongkan isi senapannya (informasi pers) kepada publik.
Rasionalitas diuraikan di atas, mendorong seharusnya penerapan teori peluru secara ekstra hati-hati oleh setiap pengelola media cetak dan elektronika (radio, televisi), di era pemerintahan SBY-Kalla. Dalam hal ini, segenap pengelola media harus semaksimal atau seoptimal mungkin mencegah arogansi pers, yang dimungkinkan oleh kekuatan dan keperkasaan media massa pada umumnya.
Dalam konteks kebebasan pers (dengan ideal di atas), pemerintah SBY-Kalla perlu memiliki antibodi yang memadai. Untuk itu, pemerintah tidak boleh berperan di depan (mendahului publik), dalam upaya pengawasan kebebasan pers. Biarlah kegiatan media watch , termasuk pemantauan kebebasan pers dilakukan oleh masyarakat, tanpa melibatkan peran pemerintah. Kecuali jika terjadi konflik (manajemen konflik), sebagai akibat kebebasan pers.
Pemerintah mendatang dituntut untuk mampu mencegah polusi budaya media, imperialisme media, kejahatan media dan lain-lain, tanpa menghadirkan state body yang ekstra dominan menentukan corak pers. Superioritas peran negara, sebagaimana juga superioritas fungsi pers, merupakan bagian dari harapan publik, yang mesti dicegah perwujudannya di era kepemimpinan SBY-Kalla, tanpa harus berarti terjadinya pengekangan kebebasan pers di negeri ini. (18)
Oleh: Novel Ali, Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Undip; Koordinator Perisai Media Watch.
Sumber: Suara Merdeka

Tidak ada komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Mahasiswa Teknik Industri Universitas Andalas 2009 Alumni Ponpes Asy-Syarif Angkatan 09,, Alumni Ponpes Madinatul Munawwarah angkatan 06.