Membangun Resistensi, Membongkar Stereotipe
Publik kini bebas memilih dan menikmati tayangan ataupun bacaan di berbagai media. Kebebasan ini bagaikan sebuah representasi hak otonom publik untuk memilih bentuk sajian media yang mereka sukai. Namun dibalik itu, kita lupa dengan terjadinya “penyeragaman” dalam tayangan ataupun bacaan itu sendiri yang berakibat pada memaksa penonton untuk mengikuti apa yang si pembuat media inginkan. Contoh sederhana adalah tayangan iklan. Iklan yang ditayangkan terus menerus berpotensi menggiring penonton untuk “harus” mengikuti standar-standar nilai yang disematkan. Menyaksikan iklan shampo; rambut lurus hitam adalah nilai yang disampaikan penonton bahwa rambut seperti demikian yang ideal bagi perempuan.
Semua ini tentu tidak lepas dari motif-motif politik-ideologis tertentu dibalik penyajian tersebut. Sebagai contoh yang paling mudah, adalah iklan kosmetik dan minyak goreng. Iklan kosmetik mengiklankan tentang kulit putih mulus dan tubuh langsing ideal perempuan. Iklan tentang minyak goreng adalah contoh lain tentang nilai-nilai domestifikasi perempuan sebagai pihak yang harus bertanggungjawab atas segala kesehatan suaminya. Bagaimana menganalisa masalah ini? Sebagaimana Sara Mills, titik perhatian utama saya adalah pada wacana feminisme. Alasannya, seperti halnya pendapat Eriyanto (2001) banyak tayangan ataupun bacaan di media yang melibatkan perempuan dan yang terbanyak tentu saja adalah tayangan iklan.
Semua ini tentu tidak lepas dari motif-motif politik-ideologis tertentu dibalik penyajian tersebut. Sebagai contoh yang paling mudah, adalah iklan kosmetik dan minyak goreng. Iklan kosmetik mengiklankan tentang kulit putih mulus dan tubuh langsing ideal perempuan. Iklan tentang minyak goreng adalah contoh lain tentang nilai-nilai domestifikasi perempuan sebagai pihak yang harus bertanggungjawab atas segala kesehatan suaminya. Bagaimana menganalisa masalah ini? Sebagaimana Sara Mills, titik perhatian utama saya adalah pada wacana feminisme. Alasannya, seperti halnya pendapat Eriyanto (2001) banyak tayangan ataupun bacaan di media yang melibatkan perempuan dan yang terbanyak tentu saja adalah tayangan iklan.
Produksi Kekuasaan
Michel Foucault, adalah salah satu filsuf postmodernis yang menawarkan analisis tentang motif-motif tertentu pada suatu media atau teks. Foucault mengatakannya sebagai “produksi kekuasaan”. Bahwa kekuasaan tidak bertumpu pada satu titik sentral termasuk tidak hanya pada pihak-pihak yang dominan, melainkan tersebar di seluruh masyarakat (tidak ada seorang pun yang memilikinya) (John Lechte, 2001). Kuasa bukanlah milik raja, boss, presiden, atau pejabat, tetapi dalam bentuk strategi. Kekuasaan tidak bekerja melalui penindasan atau represi, melainkan melalui normalisasi yang positif dan produktif, yaitu melalui wacana. Iklan, adalah salah satu tayangan media yang menyebarkan kuasa (strategi) tentang normalisasi tubuh perempuan. Produksi kekuasaan yang terjadi kemudian adalah munculnya strategi untuk menghembuskan wacana “langsing”, “kulit putih”, “rambut lurus hitam panjang”, yang mencuat terus menerus sehingga secara tidak sadar masyarakat menganggap tubuh perempuan yang ideal dan normal adalah; langsing, berkulit putih, dan berambut lurus. Disini tengah berlangsung bergulirnya strategi kuasa yang diproduksi terus menerus.
Wacana yang dihembuskan ini secara perlahan-lahan menciptakan kategorisasi, seperti perilaku baik atau buruk yang sebenarnya mengendalikan perilaku masyarakat yang pada akhirnya dianggap kebenaran yang telah ditetapkan. Atas hal ini, bukan tubuh fisik lagi yang disentuh kuasa, melainkan jiwa, pikiran, kesadaran dan kehendak individu. Iklan bukan lagi menjadi pelayanan terhadap konsumen, melainkan menormalkan individu agar perilakunya sesuai dengan yang diinginkan si pembuat iklan. Foucault menegaskan persoalan ini sebagai kekuasaan atas kehidupan modern atau kapitalisme, salah satunya yaitu untuk mencapai target penjualan produk (Eriyanto,2001).
Sebagai contoh, iklan Pond’s yang pernah ditayangkan di media televisi jelas menunjukkan bahwa kulit putih lebih baik daripada berkulit gelap. Dalam iklan tersebut ditampilkan seorang fotografer mengambil ancang-ancang membidik dua gadis kembar, yang satu berkulit gelap, yang lain berkulit putih. Fotografer si lelaki tampan itu memilih membidik kameranya kepada si gadis yang berkulit putih. Mengetahui hal itu, gadis berkulit lebih gelap berwajah murung, kemudian berusaha memutihkan kulitnya dengan harapan lelaki itu memperhatikannya.
Iklan yang membenarkan “kulit putih lebih cantik daripada kulit hitam” tidak dibentuk dengan reproduksi kekuasaan represif, melainkan melalui reproduksi kreatif. Melalui iklan, individu didefinisikan, dibentuk, diciptakan, yaitu perempuan cantik adalah yang berkulit putih dan lelaki normal adalah yang menyukai perempuan berkulit putih.
Atau iklan tentang tubuh ideal perempuan langsing dan tinggi. Perempuan kemudian diatur, digiring untuk menjadi ramping, bahwa tubuh ideal perempuan seperti pada perempuan yang menjadi model iklan Tropicana Slim, atau iklan The Cambridge Diet yang menuliskan kata-kata,”Lost the weight, not the fun …” dengan lingkaran merah besar yang menutupi sebagaian tubuh ramping kurus perempuan bule yang sedang melompat, bertuliskan “Yes! Turunkan berat badan anda hingga 5 kg perminggu!” Kata-kata itu menunjukkan bahwa menjadi kurus adalah kegembiraan dan kepuasan.
Atau pada iklan minyak goreng, terdapat kata-kata,”jangan-jangan kolesterol suamiku tinggi karena aku salah pilih minyak goreng”. Jelas sekali adanya domestifikasi perempuan bahwa istrilah yang harus bertanggungjawab bila suaminya terkena penyakit tertentu. Istri ideal adalah yang terus merasa bersalah bila terjadi sesuatu pada suami mereka. Masyarakat kemudian menginternalisasi “istri ideal” adalah seperti itu. Iklan itu menunjukkan adanya bias dalam menampilkan perempuan dimana istri cenderung ditampilkan sebagai pihak yang salah.
Langsing putih dan berambut lurus menjadi wacana dominan perempuan ideal di masyarakat kita. Wacana dominan ini menggeser atau memarginalkan wacana lain yaitu bagi perempuan-perempuan yang tidak berkulit putih dan tidak bertubuh langsing. Akibatnya adalah perempuan yang tidak bertubuh langsing dan tidak berkulit putih kehilangan kepercayaan atas tubuhnyadan kehilangan identitas karakter tubuhnya sendiri. Wacana tubuh perempuan yang tidak dominan ini diabaikan (left out).
Berbagai upaya mengimbangi wacana dominan ini seperti yang dilakukan Dewi Huges atau Anita Roddick yang peduli terhadap masyarakat pedalaman dengan melihat kecantikan perempuan Afrika pada akhirnya tidak mampu mengalahkan wacana dominan tadi. Roddick sampai bersusah payah membuat maskot “The Body Shop” serupa boneka Barbie tetapi bertubuh besar, berambut ikal dengan kulitnya yang berwarna. Ia menyebutnya sebagai suatu pencerahan terhadap kapitalisme (Adriana Venny,2000).
Michel Foucault, adalah salah satu filsuf postmodernis yang menawarkan analisis tentang motif-motif tertentu pada suatu media atau teks. Foucault mengatakannya sebagai “produksi kekuasaan”. Bahwa kekuasaan tidak bertumpu pada satu titik sentral termasuk tidak hanya pada pihak-pihak yang dominan, melainkan tersebar di seluruh masyarakat (tidak ada seorang pun yang memilikinya) (John Lechte, 2001). Kuasa bukanlah milik raja, boss, presiden, atau pejabat, tetapi dalam bentuk strategi. Kekuasaan tidak bekerja melalui penindasan atau represi, melainkan melalui normalisasi yang positif dan produktif, yaitu melalui wacana. Iklan, adalah salah satu tayangan media yang menyebarkan kuasa (strategi) tentang normalisasi tubuh perempuan. Produksi kekuasaan yang terjadi kemudian adalah munculnya strategi untuk menghembuskan wacana “langsing”, “kulit putih”, “rambut lurus hitam panjang”, yang mencuat terus menerus sehingga secara tidak sadar masyarakat menganggap tubuh perempuan yang ideal dan normal adalah; langsing, berkulit putih, dan berambut lurus. Disini tengah berlangsung bergulirnya strategi kuasa yang diproduksi terus menerus.
Wacana yang dihembuskan ini secara perlahan-lahan menciptakan kategorisasi, seperti perilaku baik atau buruk yang sebenarnya mengendalikan perilaku masyarakat yang pada akhirnya dianggap kebenaran yang telah ditetapkan. Atas hal ini, bukan tubuh fisik lagi yang disentuh kuasa, melainkan jiwa, pikiran, kesadaran dan kehendak individu. Iklan bukan lagi menjadi pelayanan terhadap konsumen, melainkan menormalkan individu agar perilakunya sesuai dengan yang diinginkan si pembuat iklan. Foucault menegaskan persoalan ini sebagai kekuasaan atas kehidupan modern atau kapitalisme, salah satunya yaitu untuk mencapai target penjualan produk (Eriyanto,2001).
Sebagai contoh, iklan Pond’s yang pernah ditayangkan di media televisi jelas menunjukkan bahwa kulit putih lebih baik daripada berkulit gelap. Dalam iklan tersebut ditampilkan seorang fotografer mengambil ancang-ancang membidik dua gadis kembar, yang satu berkulit gelap, yang lain berkulit putih. Fotografer si lelaki tampan itu memilih membidik kameranya kepada si gadis yang berkulit putih. Mengetahui hal itu, gadis berkulit lebih gelap berwajah murung, kemudian berusaha memutihkan kulitnya dengan harapan lelaki itu memperhatikannya.
Iklan yang membenarkan “kulit putih lebih cantik daripada kulit hitam” tidak dibentuk dengan reproduksi kekuasaan represif, melainkan melalui reproduksi kreatif. Melalui iklan, individu didefinisikan, dibentuk, diciptakan, yaitu perempuan cantik adalah yang berkulit putih dan lelaki normal adalah yang menyukai perempuan berkulit putih.
Atau iklan tentang tubuh ideal perempuan langsing dan tinggi. Perempuan kemudian diatur, digiring untuk menjadi ramping, bahwa tubuh ideal perempuan seperti pada perempuan yang menjadi model iklan Tropicana Slim, atau iklan The Cambridge Diet yang menuliskan kata-kata,”Lost the weight, not the fun …” dengan lingkaran merah besar yang menutupi sebagaian tubuh ramping kurus perempuan bule yang sedang melompat, bertuliskan “Yes! Turunkan berat badan anda hingga 5 kg perminggu!” Kata-kata itu menunjukkan bahwa menjadi kurus adalah kegembiraan dan kepuasan.
Atau pada iklan minyak goreng, terdapat kata-kata,”jangan-jangan kolesterol suamiku tinggi karena aku salah pilih minyak goreng”. Jelas sekali adanya domestifikasi perempuan bahwa istrilah yang harus bertanggungjawab bila suaminya terkena penyakit tertentu. Istri ideal adalah yang terus merasa bersalah bila terjadi sesuatu pada suami mereka. Masyarakat kemudian menginternalisasi “istri ideal” adalah seperti itu. Iklan itu menunjukkan adanya bias dalam menampilkan perempuan dimana istri cenderung ditampilkan sebagai pihak yang salah.
Langsing putih dan berambut lurus menjadi wacana dominan perempuan ideal di masyarakat kita. Wacana dominan ini menggeser atau memarginalkan wacana lain yaitu bagi perempuan-perempuan yang tidak berkulit putih dan tidak bertubuh langsing. Akibatnya adalah perempuan yang tidak bertubuh langsing dan tidak berkulit putih kehilangan kepercayaan atas tubuhnyadan kehilangan identitas karakter tubuhnya sendiri. Wacana tubuh perempuan yang tidak dominan ini diabaikan (left out).
Berbagai upaya mengimbangi wacana dominan ini seperti yang dilakukan Dewi Huges atau Anita Roddick yang peduli terhadap masyarakat pedalaman dengan melihat kecantikan perempuan Afrika pada akhirnya tidak mampu mengalahkan wacana dominan tadi. Roddick sampai bersusah payah membuat maskot “The Body Shop” serupa boneka Barbie tetapi bertubuh besar, berambut ikal dengan kulitnya yang berwarna. Ia menyebutnya sebagai suatu pencerahan terhadap kapitalisme (Adriana Venny,2000).
Resistensi Perempuan Melalui Media Seni
Sangat memprihatinkan bila perempuan-perempuan yang tidak bisa mencapai wacana dominan tentang tubuh ideal tadi membuat mereka terobsesi dan memaksakan diri dengan berbagai upaya yang bahkan bisa membahayakan mereka. Bagaimana mungkin kulit hitam bisa menjadi putih hanya dengan kosmetik? Lagipula wacana dominan ini mengandung pelecehan terhadap ras yang berkulit hitam. Masihkah kita perlu membanggakan diri atau bersedih hati karena kulit kita?
Iklan-iklan yang memelihara nilai-nilai seperti itu sesungguhnya menumbuhkan stereotip baru terhadap perempuan, yaitu konsep yang mencakup seks dan gender dimana seks adalah indentifikasi untuk membedakan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi (jenis kelamin) yang lebih digunakan untuk persoalan reproduksi dan aktivitas seksual(Suzanne dan wendi,1997) sedangkan gender menjelaskan adanya pembedaan laki-laki dan perempuan yang dilihat dari konstruksi sosial-budaya.(Elaine,1989)
Stereotipe tidak lepas kaitannya dengan seks dan gender, yaitu suatu konsep sosial yang berhubungan dengan pembedaan (distinction) karakter psikologi dan fungsi sosial antara perempuan dan laki-laki yang dikaitkan dengan anatomi jenis kelaminnya (sex). Misalnya perempuan dijelaskan berkarakter baik bila ia sebagai ibu rumah tangga atau istri yang baik (seperti pada iklan minyak goreng), sedangkan laki-laki berkarakter baik bila ia sebagai individu di atas dunia yang lebih luas (Tierney). Mansour Fakih bahkan lebih jelas mengatakan bahwa stereotipe adalah pelabelan negatif terhadap jenis kelamin tertentu, yang akibatnya terjadi diskriminasi dan ketidakadilan(Fakih 1997).
Sangat memprihatinkan bila perempuan-perempuan yang tidak bisa mencapai wacana dominan tentang tubuh ideal tadi membuat mereka terobsesi dan memaksakan diri dengan berbagai upaya yang bahkan bisa membahayakan mereka. Bagaimana mungkin kulit hitam bisa menjadi putih hanya dengan kosmetik? Lagipula wacana dominan ini mengandung pelecehan terhadap ras yang berkulit hitam. Masihkah kita perlu membanggakan diri atau bersedih hati karena kulit kita?
Iklan-iklan yang memelihara nilai-nilai seperti itu sesungguhnya menumbuhkan stereotip baru terhadap perempuan, yaitu konsep yang mencakup seks dan gender dimana seks adalah indentifikasi untuk membedakan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi (jenis kelamin) yang lebih digunakan untuk persoalan reproduksi dan aktivitas seksual(Suzanne dan wendi,1997) sedangkan gender menjelaskan adanya pembedaan laki-laki dan perempuan yang dilihat dari konstruksi sosial-budaya.(Elaine,1989)
Stereotipe tidak lepas kaitannya dengan seks dan gender, yaitu suatu konsep sosial yang berhubungan dengan pembedaan (distinction) karakter psikologi dan fungsi sosial antara perempuan dan laki-laki yang dikaitkan dengan anatomi jenis kelaminnya (sex). Misalnya perempuan dijelaskan berkarakter baik bila ia sebagai ibu rumah tangga atau istri yang baik (seperti pada iklan minyak goreng), sedangkan laki-laki berkarakter baik bila ia sebagai individu di atas dunia yang lebih luas (Tierney). Mansour Fakih bahkan lebih jelas mengatakan bahwa stereotipe adalah pelabelan negatif terhadap jenis kelamin tertentu, yang akibatnya terjadi diskriminasi dan ketidakadilan(Fakih 1997).
Stereotipe: Wacana Dominan, Wacana Oposisi Biner
Stereotipe terhadap perempuan seperti lebih mudah dijelaskan dengan bertitik tolak pada wacana oposisi biner yang menempatkan perempuan pada posisi yang negatif dan tak berdaya. Dalam Sorties, Hélén Cixous menulis hirarki oposisi biner yang selalu menempatkan dua hal dalam relasi yang superior-inferior seperti “Activity/passivity, Culture/nature, Head/heart, Intelligible/palpable Man/woman” (Priyatna 2000)
Masyarakat manapun, termasuk Indonesia masih memegang stereotip bahwa laki-laki berada di wilayah kiri (aktif, beradab, rasional, cerdas) sedangkan perempuan di wilayah kanan (pasif, dekat dengan alam, emosional, kurang cerdas). Iklan-iklan yang membuat standar tubuh perempuan ideal membuktikan bagaimana laki-laki (lebih banyak dibagian produksi iklan) menciptakan perempuan untuk sesuai dengan fantasi mereka tentang “perempuan sexy atau cantik”. Model-model perempuan adalah obyek yang dikreasi untuk mencapai fantasi tersebut, sedangkan laki-laki adalah penciptanya.
Tidak hanya iklan, stereotip oposisi biner menempatkan perempuan pada posisi yang dirugikan dimana ini terjadi pula dalam media seni. Dalam media ini perempuan adalah obyek yang dikreasikan atau diciptakan oleh keinginan, hasrat dan daya pikir laki-laki, perempuan adalah obyek yang pasif, yang bisa dibentuk sebagaimana yang diinginkan laki-laki. Seperti Basuki Abdullah seorang pelukis terkenal pernah berkata,”Perempuan itu lebih cocok untuk dilukis daripada sebagai pelukis.” Antiphanes seorang dramawan komedi Yunani juga mengatakan,”Perempuan tak akan hidup lagi setelah kematian, kecuali dibangkitkan lawan kesenian oleh pria.” Penyair metafisis Inggris pada sekitar abad 17 bahkan menggambarkan perempuan itu cuma kata-kata (passivity, palpable), sedang perbuatan adalah pria (activity, intelligible).(Swara Harian Kompas, 1999). Atas hal ini, dapat disimpulkan bahwa tampaknya perempuan dalam media ditempatkan sebagai yang abstrak, sedangkan pria itu konkrit. Perempuan yang “dikerjakan” dan lelakilah yang mengerjakan.
Wacana dominan yang berwajah stereotipe ini memagari perempuan sehingga mereka tidak mampu mengekspresikan dirinya. Seperti yang dialami pelukis Lucia Hartini dan Kartika Affandi Koberl. Ketika menjadi pelukis, mereka dianggap “sinting” atau aneh oleh masyarakat sekitarnya, karena ada stereotipe dimana ibu rumah tangga seharusnya mengurus rumah tangga, bukannya melukis (Bianpoen,1996).
Kenyataan bahwa perempuan dalam media seni tidak diterima sebagai subyek sebetulnya sudah dialami oleh Kartini dan adiknya, Roekmini. Dalam suratnya, sekitar tahun 1901 bahwa saudara perempuannya yang bernama Roekmini ingin menjadi pelukis di akademi senirupa di Den Haag, tetapi tradisi tidak memberi tempat kepada anak perempuan diluar lingkungan rumah. Adanya stereotipe bahwa perempuan tidak boleh di luar lingkungan rumah mengakibatkan Roekmini tidak pernah mendapat kesempatan belajar seni rupa seperti yang pernah dicita-citakannya (Bianpone,1996).
Begitupula di bidang sastra, Ayu Utami penulis novel Saman sebagai pemenang juara pertama sayembara roman DKJ 1997-1998 sempat dicurigai bahwa itu bukan karyanya, melainkan tulisannya Goenawan Muhammad. Ada faktor ketidakpercayaan masyarakat dengan mempertanyakan bagaimana mungkin perempuan dapat mencapai kesuksesannya di bidang sastra, dan masyarakat lebih percaya bila kesuksesan sebuah karya seni ada di tangan laki-laki (stereotipe). Akibatnya, buah pikiran Ayu Utami dicurigai sebagai buah pikiran laki-laki, yang dianggap lebih mungkin dan masuk akal.
Kecurigaan tersebut bisa kita lihat di beberapa media massa dan gunjingan di sekitar kelompok-kelompok sastra. Seperti dalam surat kabar Suara Pembaharuan, dituliskan judul yang sangat melecehkan,”’Saman”, Puas tapi Minta Tambah”, yang isinya mengasumsikan bahwa fragmen dari novel itu benar-benar mengundang libido pembaca (dalam hal ini berarti libido laki-laki) dengan menempatkan Ayu Utami sebagai obyek berita yang sensual, bukan karya sastranya. (Suara Pembaharuan, 1998)
Stereotipe terhadap perempuan seperti lebih mudah dijelaskan dengan bertitik tolak pada wacana oposisi biner yang menempatkan perempuan pada posisi yang negatif dan tak berdaya. Dalam Sorties, Hélén Cixous menulis hirarki oposisi biner yang selalu menempatkan dua hal dalam relasi yang superior-inferior seperti “Activity/passivity, Culture/nature, Head/heart, Intelligible/palpable Man/woman” (Priyatna 2000)
Masyarakat manapun, termasuk Indonesia masih memegang stereotip bahwa laki-laki berada di wilayah kiri (aktif, beradab, rasional, cerdas) sedangkan perempuan di wilayah kanan (pasif, dekat dengan alam, emosional, kurang cerdas). Iklan-iklan yang membuat standar tubuh perempuan ideal membuktikan bagaimana laki-laki (lebih banyak dibagian produksi iklan) menciptakan perempuan untuk sesuai dengan fantasi mereka tentang “perempuan sexy atau cantik”. Model-model perempuan adalah obyek yang dikreasi untuk mencapai fantasi tersebut, sedangkan laki-laki adalah penciptanya.
Tidak hanya iklan, stereotip oposisi biner menempatkan perempuan pada posisi yang dirugikan dimana ini terjadi pula dalam media seni. Dalam media ini perempuan adalah obyek yang dikreasikan atau diciptakan oleh keinginan, hasrat dan daya pikir laki-laki, perempuan adalah obyek yang pasif, yang bisa dibentuk sebagaimana yang diinginkan laki-laki. Seperti Basuki Abdullah seorang pelukis terkenal pernah berkata,”Perempuan itu lebih cocok untuk dilukis daripada sebagai pelukis.” Antiphanes seorang dramawan komedi Yunani juga mengatakan,”Perempuan tak akan hidup lagi setelah kematian, kecuali dibangkitkan lawan kesenian oleh pria.” Penyair metafisis Inggris pada sekitar abad 17 bahkan menggambarkan perempuan itu cuma kata-kata (passivity, palpable), sedang perbuatan adalah pria (activity, intelligible).(Swara Harian Kompas, 1999). Atas hal ini, dapat disimpulkan bahwa tampaknya perempuan dalam media ditempatkan sebagai yang abstrak, sedangkan pria itu konkrit. Perempuan yang “dikerjakan” dan lelakilah yang mengerjakan.
Wacana dominan yang berwajah stereotipe ini memagari perempuan sehingga mereka tidak mampu mengekspresikan dirinya. Seperti yang dialami pelukis Lucia Hartini dan Kartika Affandi Koberl. Ketika menjadi pelukis, mereka dianggap “sinting” atau aneh oleh masyarakat sekitarnya, karena ada stereotipe dimana ibu rumah tangga seharusnya mengurus rumah tangga, bukannya melukis (Bianpoen,1996).
Kenyataan bahwa perempuan dalam media seni tidak diterima sebagai subyek sebetulnya sudah dialami oleh Kartini dan adiknya, Roekmini. Dalam suratnya, sekitar tahun 1901 bahwa saudara perempuannya yang bernama Roekmini ingin menjadi pelukis di akademi senirupa di Den Haag, tetapi tradisi tidak memberi tempat kepada anak perempuan diluar lingkungan rumah. Adanya stereotipe bahwa perempuan tidak boleh di luar lingkungan rumah mengakibatkan Roekmini tidak pernah mendapat kesempatan belajar seni rupa seperti yang pernah dicita-citakannya (Bianpone,1996).
Begitupula di bidang sastra, Ayu Utami penulis novel Saman sebagai pemenang juara pertama sayembara roman DKJ 1997-1998 sempat dicurigai bahwa itu bukan karyanya, melainkan tulisannya Goenawan Muhammad. Ada faktor ketidakpercayaan masyarakat dengan mempertanyakan bagaimana mungkin perempuan dapat mencapai kesuksesannya di bidang sastra, dan masyarakat lebih percaya bila kesuksesan sebuah karya seni ada di tangan laki-laki (stereotipe). Akibatnya, buah pikiran Ayu Utami dicurigai sebagai buah pikiran laki-laki, yang dianggap lebih mungkin dan masuk akal.
Kecurigaan tersebut bisa kita lihat di beberapa media massa dan gunjingan di sekitar kelompok-kelompok sastra. Seperti dalam surat kabar Suara Pembaharuan, dituliskan judul yang sangat melecehkan,”’Saman”, Puas tapi Minta Tambah”, yang isinya mengasumsikan bahwa fragmen dari novel itu benar-benar mengundang libido pembaca (dalam hal ini berarti libido laki-laki) dengan menempatkan Ayu Utami sebagai obyek berita yang sensual, bukan karya sastranya. (Suara Pembaharuan, 1998)
Membongkar Stereotip Melalui Media Seni
Stereotip memang sangat merugikan perempuan yang tidak hanya dalam iklan tetapi juga masuk ke wilayah seni. Namun, dibandingkan dengan media iklan, media seni ternyata dapat juga menjadi alat untuk mendobrak stereotipe itu sendiri. Dalam media seni kita bisa menemukan semangat kebebasan dibandingkan dengan media iklan.
Hans Georg Gadamer pernah mengatakan bahwa tidak ada aturan-aturan seni yang bersifat universal. Aturan-aturan itu diberikan oleh alam melalui para genius. Seperti apa yang dikatakan Imanuel Kant bahwa “seni murni adalah seni para genius”. Itu berarti bahwa seni tidak dapat diatur oleh adanya stereotipe ataupun konstruksi sosial yang menempatkan perempuan pada posisi yang dirugikan. Tidak ada aturan seni yang menempatkan perempuan harus sebagai obyek.
Di ranah seni rupa, Lucia Hartini dan Kartika Affandi Koberl akhirnya mengalami kesuksesan terutama karya mereka yang sangat feminis. Dalam Srikandi (1993) Lucia Hartini melukis perempuan yang diletakkan sebagai subyek. Perempuan dalam lukisan itu berani dengan tinju terkepal, otot-otot lengan yang kencang dengan sebelah matanya keluar cahaya tajam yang menembus mata-mata yang sedang mengintip. Dalam lukisannya itu Lucia Hartini telah mendobrak adanya stereotipe dengan menempatkan perempuan sebagai manusia berani dan aktif. Demikian pula Kartika Affandi Koberl dalam karyanya Potret Diri yang lebih menggambarkan integritas perempuan gigih dan kuat dalam menghadapi kesulitan hidup. Garis-garis kuasnya menaruh kontemplasi dan ekspresi perasaan yang sangat kuat.
Di ranah sastra, Ayu Utami yang ditimpa gunjingan sana-sini juga tidak mengurangi kesuksesannya. Di dalam novel-novelnya selalu ia tanamkan tentang karakter perempuan mandiri, yaitu perempuan sebagai subyek yang memandang, dan laki-laki sebagai obyek yang dipandang. Ia juga memberontak terhadap stereotipe keperawanan perempuan. “Dengar kawan-kawan, kataku, jika agama dipakai untuk urusan ini, pada akhirnya yang salah adalah Tuhan. Mendengar itu Yasmin marah sekali, sehingga kami kepingin berkelahi. Laila melerai dengan usul menyisihkan dulu perkara itu, sebab menurut dia musuh kita adalah laki-laki… Apa salah laki-laki? Jawab Laila: sebab mereka mengkhianati wanita. Mereka cuma menginginkan keperawanan, dan akan pergi setelah si wanita menyerahkan kesucian … Tiba-tiba aku ingin berteriak, tapi kukatup mulutku rapat-rapat karena aku tak ingin kembali bertengkar. Sebab menurutku yang curang lagi-lagi Tuhan: dia menciptakan selaput dara, tapi tidak membikin selaput penis”. (Utami, 1998)
Ayu Utami juga menggugat stereotipe masyarakat tentang hubungan lelaki dan perempuan. “Hanya lelaki yang boleh menghampiri perempuan. Perempuan yang mengejar-ngejar lelaki pastilah sundal. Perempuan akan memberikan tubuhnya pada lelaki yang pantas, dan lelaki itu akan menghidupinya dengan hartanya. Itu dinamakan perkawinan. Kelak, ketika dewasa, aku menganggapnya persundalan yang hipokrit. (Utami, 1998)
Dalam ranah teater atau drama, Bisma Al Huseini dari Mesir melakukan pemberontaknnya lewat media teater. Ia seorang aktris yang mencoba melakukan perlawanan kepada cara pandang masyarakat terhadap perempuan yang selama ini sangat stereotipe. Dialah perempuan yang memimpin teater dimana pada awalnya tidak didukung oleh siapa pun. Tetapi ketika ke Beirut, dia menjadi orang besar yang dihargai oleh orang lain sebagai perempuan perkasa yang memiliki cita-cita mulia. Sejak itu posisinya menguatkan perempuan lain untuk ikut berteater sebagai usaha perlawanan mereka.(Bimo Nugroho, 2001)
Stereotip memang sangat merugikan perempuan yang tidak hanya dalam iklan tetapi juga masuk ke wilayah seni. Namun, dibandingkan dengan media iklan, media seni ternyata dapat juga menjadi alat untuk mendobrak stereotipe itu sendiri. Dalam media seni kita bisa menemukan semangat kebebasan dibandingkan dengan media iklan.
Hans Georg Gadamer pernah mengatakan bahwa tidak ada aturan-aturan seni yang bersifat universal. Aturan-aturan itu diberikan oleh alam melalui para genius. Seperti apa yang dikatakan Imanuel Kant bahwa “seni murni adalah seni para genius”. Itu berarti bahwa seni tidak dapat diatur oleh adanya stereotipe ataupun konstruksi sosial yang menempatkan perempuan pada posisi yang dirugikan. Tidak ada aturan seni yang menempatkan perempuan harus sebagai obyek.
Di ranah seni rupa, Lucia Hartini dan Kartika Affandi Koberl akhirnya mengalami kesuksesan terutama karya mereka yang sangat feminis. Dalam Srikandi (1993) Lucia Hartini melukis perempuan yang diletakkan sebagai subyek. Perempuan dalam lukisan itu berani dengan tinju terkepal, otot-otot lengan yang kencang dengan sebelah matanya keluar cahaya tajam yang menembus mata-mata yang sedang mengintip. Dalam lukisannya itu Lucia Hartini telah mendobrak adanya stereotipe dengan menempatkan perempuan sebagai manusia berani dan aktif. Demikian pula Kartika Affandi Koberl dalam karyanya Potret Diri yang lebih menggambarkan integritas perempuan gigih dan kuat dalam menghadapi kesulitan hidup. Garis-garis kuasnya menaruh kontemplasi dan ekspresi perasaan yang sangat kuat.
Di ranah sastra, Ayu Utami yang ditimpa gunjingan sana-sini juga tidak mengurangi kesuksesannya. Di dalam novel-novelnya selalu ia tanamkan tentang karakter perempuan mandiri, yaitu perempuan sebagai subyek yang memandang, dan laki-laki sebagai obyek yang dipandang. Ia juga memberontak terhadap stereotipe keperawanan perempuan. “Dengar kawan-kawan, kataku, jika agama dipakai untuk urusan ini, pada akhirnya yang salah adalah Tuhan. Mendengar itu Yasmin marah sekali, sehingga kami kepingin berkelahi. Laila melerai dengan usul menyisihkan dulu perkara itu, sebab menurut dia musuh kita adalah laki-laki… Apa salah laki-laki? Jawab Laila: sebab mereka mengkhianati wanita. Mereka cuma menginginkan keperawanan, dan akan pergi setelah si wanita menyerahkan kesucian … Tiba-tiba aku ingin berteriak, tapi kukatup mulutku rapat-rapat karena aku tak ingin kembali bertengkar. Sebab menurutku yang curang lagi-lagi Tuhan: dia menciptakan selaput dara, tapi tidak membikin selaput penis”. (Utami, 1998)
Ayu Utami juga menggugat stereotipe masyarakat tentang hubungan lelaki dan perempuan. “Hanya lelaki yang boleh menghampiri perempuan. Perempuan yang mengejar-ngejar lelaki pastilah sundal. Perempuan akan memberikan tubuhnya pada lelaki yang pantas, dan lelaki itu akan menghidupinya dengan hartanya. Itu dinamakan perkawinan. Kelak, ketika dewasa, aku menganggapnya persundalan yang hipokrit. (Utami, 1998)
Dalam ranah teater atau drama, Bisma Al Huseini dari Mesir melakukan pemberontaknnya lewat media teater. Ia seorang aktris yang mencoba melakukan perlawanan kepada cara pandang masyarakat terhadap perempuan yang selama ini sangat stereotipe. Dialah perempuan yang memimpin teater dimana pada awalnya tidak didukung oleh siapa pun. Tetapi ketika ke Beirut, dia menjadi orang besar yang dihargai oleh orang lain sebagai perempuan perkasa yang memiliki cita-cita mulia. Sejak itu posisinya menguatkan perempuan lain untuk ikut berteater sebagai usaha perlawanan mereka.(Bimo Nugroho, 2001)
Penutup
Bahwa perempuan dalam media bisa menjadi obyek yang dieksploitasi, dibentuk dan diciptakan tubuhnya oleh imajinasi keinginan pria, tetapi di lain hal perempuan dapat menggunakan media itu sendiri sebagai sarana resistensi untuk membongkar stereotip bila perempuan itu sendiri bisa menciptakan apa yang benar-benar ia inginkan atas tubuh, jiwa dan pikirannya sendiri.
Bahwa perempuan dalam media bisa menjadi obyek yang dieksploitasi, dibentuk dan diciptakan tubuhnya oleh imajinasi keinginan pria, tetapi di lain hal perempuan dapat menggunakan media itu sendiri sebagai sarana resistensi untuk membongkar stereotip bila perempuan itu sendiri bisa menciptakan apa yang benar-benar ia inginkan atas tubuh, jiwa dan pikirannya sendiri.
* Mariana Amiruddin. Koordinator Jurnal Perempuan dan Jurnalis Radio Jurnal Perempuan di Yayasan Jurnal Perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar