Join emridho's empire

Senin, 16 Januari 2012

Hari Pembebasan Kaum Perempuan

Hari Pembebasan Kaum Perempuan
 

KALAU kita menyimak catatan sejarah perjalanan Hari Ibu yang setiap tahunnya diperingati pada tanggal 22 Desember, muncul kesan bahwa semangat perjuangan kaum perempuan tempo dulu ternyata tidak sedangkal semangat yang sering ditampilkan pada peringatan Hari Ibu saat ini seremonial dan bahkan konsumerisme. Dulu, mereka tidak hanya gigih dalam menyuarakan hak-haknya, tetapi juga berani memikul senjata turun ke medan perang untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini.
Adalah sejarah yang mencatat bahwa dua bulan setelah Sumpah Pemuda dideklarasikan, persisnya pada tanggal 22 Desember 1928, maka berkumpul sekira 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatra untuk menyelenggarakan kongres pertamanya dengan mengambil lokasi di Yogyakarta. Salah satu agenda pokoknya adala menggabungkan organisasi-organisasi perempuan Indonesia dalam sebuah federasi tanpa sama sekali membedakan latar belakang politik, suku, status sosial dan bahkan agama.
Hadirnya organisasi seperti Aisyiah, Wanita Katolik, Putri Indonesia, Jong Java bagian Perempuan, Jong Islamieten Bond bagian Wanita dan Organisasi Wanita Utomo, adalah bukti sejarah bahwa semangat pluralisme (keberbedaan) yang merupakan modal utama untuk membangun persatuan, sesungguhnya telah tumbuh subur di kalangan tokoh wanita sejak dua pertiga abad yang lalu. Tidak keliru kalau momentum yang kini diperingati sebagai Hari Ibu itu hadir sebagai puncak kebangkitan kesadaran kaum perempuan Indonesia dalam rangka menghimpun kekuatan bersama untuk bisa keluar dari berbagai ketertinggalannya.
Jangan lupa, adalah sejarah pula yang mencatat bahwa dari kongres perempuan Indonesia yang pertama itu berhasil dirumuskan beberapa rekomendasi penting dalam rangka memperjuangkan hak-haknya. Tuntutan kaum perempuan kepada pemerintah tentang pemberian beasiswa untuk anak perempuan dan sekolah-sekolah perempuan, penolakan tradisi perkawinan anak perempuan di bawah umur termasuk kawin paksa, sampai tuntutan pemberlakuan syarat-syarat pelaksanaan perceraian yang tidak merugikan hidup kaum perempuan, adalah beberapa rekomendasi penting yang lahir dari kongres perempuan pertama 75 tahun yang lalu.
Yang tidak kalah pentingnya, dari kongresnya yang pertama itu pula lahir kesepakatan untuk mendirikan badan musyawarah bernama Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) dengan misi pokoknya untuk menjalin hubungan di antara semua perhimpunan perempuan, termasuk di dalamnya kesepakatan penyelenggaraan kongres perempuan tahunan dalam rangka mengisi dan memelihara kelangsungan perjuangannya. Melalui kongres perempuan pertama itu pulalah berhasil dirumuskan beberapa rekomendasi yang berisi tuntutan penerbitan surat kabar sebagai media untuk meyuarakan hak-hak kaum perempuan sampai kepada tuntutan pemberian bantuan khusus bagi perempuan janda dan anak yatim.
Itu semua menunjukkan bahwa jauh sebelum ada lembaga yang sekarang banyak menyuarakan arti pentingnya kesetaraan dan keadilan gender, bahkan jauh sebelum kemedekaan Indonesia diproklamasikan, kaum perempuan Indonesia ternyata telah memiliki kesadaran mengenai arti pentingnya pendidikan dan kesehatan sebagai modal utama untuk bisa keluar dari berbagai ketertinggalannya. Semua itu juga memberi isyarat kepada kita bahwa gerakan kaum perempuan pada saat itu sesungguhnya tidak kalah majunya dibanding dengan perjuangan kaum perempuan saat ini.
Bahkan jika kita menyimak catatan penting yang dihasilkan oleh kongres perempuan tahun-tahun berikutnya seperti tertuang dalam buku ”Peringatan 30 tahun Kesatuan Pergerakan Perempuan Indonesia 1928-1958”, kita pun akan segera mengetahui bahwa banyak dari isu sentral yang diangkat gerakan perempuan saat ini, sesungguhnya merupakan isu yang pernah diagendakan dalam perjuangan kaum perempuan tempo dulu.
Sebagai gambaran, jika saat ini kita, bahkan komunitas dunia banyak bicara mengenai masalah perdagangan anak dan kaum perempuan, maka jauh sebelumnya kaum perempuan Indonesia pernah mengungkapkannya pada Kongres PPPI tahun 1930 yang ditandai dengan lahirnya kesepakatan untuk membentuk Perkumpulan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak (P4A).
Bukan hanya itu, Kongres PPPI tahun 1930 itu juga telah melahirkan rumusan kerja lebih konkret lagi yang antara lain ditandai dengan lahirnya rekomendasi yang meniscayakan arti pentingnya penyelidikan kondisi kesehatan kaum perempuan dan sebab-sebab terjadinya kematian bayi di pedesaan, rekomendasi megenai arti pentingnya kampanye berkait dengan segala akibat buruk yang ditimbulkan dari banyak kasus perkawinan usia dini sampai kepada upaya mempelajari hak pilih bagi kaum perempuan yang sekaligus merupakan wujud kesadaran kaum perempuan waktu itu akan arti pentingnya upaya bisa mengakses kekuasaan sebagai media untuk mewujudkan perjuangannya.
Kalau dirinci, sesungguhnya masih begitu banyak kiprah sekaligus sumbangan pemikiran berarti yang telah diberikan kaum perempuan pada saat itu. Simak cuplikan pidato Soekarno di hadapan peserta kongres pertama kaum perempuan tanggal 22 Desember tahun 1928 waktu itu yang mengisyaratkan besarnya perhatian sekaligus pengakuan tokoh politik terhadap potensi yang dimiliki gerakan kaum perempuan pada saat itu sebagai berikut:
”Berbahagialah kongres kaum ibu; diadakan pada suatu waktu, di mana masih ada sahadja kaum bapak Indonesia jang mengira, bahwa perdjoangan mengedjar keselamatan nasional bisa djuga lekas berhasil zonder sokongannja kaum ibu; oleh karena dari pada kaum bapak masih banyak jang kurang pengetahuan akan harganja sokongan kaum ibu itu; kita tidak sahadja gembira hati akan kongres itu oleh karena kaum bapak belum insyaf akan keharusan kenaikan deradjat kaum ibu,- kita gembira ialah teristimewa djuga oleh karena di kalangan kaum ibu sendiri belum banjak jang mengetahui atau mendjadikan kewajibannja ikut menjeburkan diri di dalam perdjoangan bangsa, dan belum banjak jang berkehendak akan kenaikan deradjat itu.” (Soekarno, Kongres Kaum Ibu, 1928).
Tersirat dalam cuplikan pidato itu adalah sikapnya yang sangat mendorong kebangkitan kaum perempuan dalam rangka memperjuangkan hak-haknya. Bahkan seperti pernah ditulis Gadis Arivia dalam artiakelnya yang berjudul ”Soekarno dan Gerakan Perempuan (2001), Bung Karno punya obsesi yang lebih karena ingin menjadikan gerakan perempuan waktu itu sebagai bagian dari gerakan memperjuangkan kemerdekaan. Itulah pula awal sejarah yang kemudian mengilhami banyak organisasi perempuan setelah itu terlibat secara langsung dalam perjuangan kemerdekaan.
Pada tahun 1930, misalnya, Istri Sedar yang didirikan di Bandung muncul menyatakan diri ingin meningkatkan status perempuan Indonesia melalui perjuangan kemerdekaan. Gagasan dasarnya, tidak bakal ada persamaan hak antara laki-laki dan perempuan bila tidak ada kemerdekaan. Setelah Jepang menyerah, kaum perempuan dari kalangan parpol dan ormas berbasis agama Aisyiah dan Wanita Katolik menjadikan perjuangan kemerdekaan sebagai agenda utamanya. Hal yang sama juga dilakukan pula oleh Wanita Muslimat dari Masyumi.
Lima belas tahun berikutnya, tahun 1945, di Bandung lahir organisasi bernama Lasjkar Wanita Indonesia (Lasjwi) yang dibidani oleh Aruji Kartawinata. Mereka yang tergabung dalam organisasi ini, sebagiannya berani mengangkat senjata, sebagian yang lainnya bertugas membantu prajurit yang luka kalau bukan menyiapkan makanan bagi para prajurit yang sedang bertempur dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini.
Begitu luhur dan mulia, bahkan berani, itulah kesan yang muncul kalau kita menyimak sejarah perjuangan kaum perempuan yang awalnya diilhami oleh penyelenggaraan kongres perempuan pertama pada tanggal 22 Desember tiga perempuan abad yang lalu. Itu pula sebabnya, tidak berlebihan jika Hari Ibu yang setiap tahun diperingati bangsa ini, sepatutnya kita selenggarakan tidak hanya dalam bentuk seremoni yang hampa makna, apalagi penuh hura-hura. Sebaliknya, kita jadikan momentum Hari Ibu itu sesuai dengan akar historisnya sebagai hari pembebasan kaum perempuan dari berbagai belenggu yang menindasnya.
Kian maraknya kasus perdagangan anak dan perempuan, masih tinginya angka kematian ibu akibat kehamilan atau melahirkan, masih banyaknya korban kaum perempuan akibat tindakan kekerasan dalam rumah tangga, adalah beberapa saja dari sekian banyak masalah yang harus dijadikan agenda utama perjuangan kaum perempuan Indonesia saat ini dan ke depan. Wilujeng Hari Ibu!*** 
Penulis, peminat masalah gender, mahasiswi jurusan biologi, Fak. MIPA Universitas Padjadjaran Bandung.
Sumber:Pikiran Rakyat

Tidak ada komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Mahasiswa Teknik Industri Universitas Andalas 2009 Alumni Ponpes Asy-Syarif Angkatan 09,, Alumni Ponpes Madinatul Munawwarah angkatan 06.