BLBI dan Hukum yang Bungkam
Penyimpangan atau korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) telah menunjukkan kepada kita ongkos korupsi masa lalu yang harus ditanggung seluruh rakyat Indonesia. Rakyat jadi korban karena efek berkepanjangannya dalam bentuk pengembalian utang. Sementara para penjahat diampuni dan tetap dapat 'bertengger' dengan leluasa di atas pundi-pundi uang yang dicuri.
Harus diakui penyimpangan dana BLBI merupakan kasus korupsi terbesar yang pernah terjadi di negeri ini. Fakta ini bisa dilihat dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dari Rp 144,5 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, Rp 138,4 triliun dinyatakan berpotensi merugikan negara.
Dana-dana tersebut kurang jelas penggunaannya. Juga terdapat penyimpangan dalam penyaluran maupun penggunaan dana BLBI yang dilakukan pemegang saham, baik secara langsung atau tidak langsung melalui grup bank tersebut. Sedangkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap 42 bank penerima BLBI menemukan penyimpangan sebesar Rp 54,5 triliun. Sebanyak Rp 53,4 triliun merupakan penyimpangan berindikasi korupsi dan tindak pidana perbankan.
Upaya menyeret para pelaku korupsi dana BLBI sampai saat ini masih terbentur kendala penegakan hukum. Seolah hukum bungkam dan tidak bertaring menghadapi para 'konglomerat hitam'. Untuk penanganan kasus ini, Kejaksaan Agung tidak menunjukkan kemajuan signifikan dari tahun ke tahun.
Mengecewakan
Dalam catatan ICW, hingga akhir tahun 2005, sudah 60 orang diperiksa. Tapi baru 16 orang yang diproses ke pengadilan, enam tersangka masih dalam proses penyidikan, dan 26 orang lainnya masih dalam proses penyelidikan. Meskipun 16 orang sudah dibawa ke pengadilan, namun hasil yang dicapai secara keseluruhan sangat mengecewakan. Tiga tersangka dibebaskan oleh pengadilan.
Dari 13 tersangka yang telah divonis penjara oleh hakim di tingkat pertama, banding, atau kasasi, hanya Hendrawan Haryono --terpidana kasus korupsi BLBI Aspac-- yang berhasil dijebloskan ke penjara. Dua terdakwa lainnya tidak langsung masuk ke bui. Dan yang paling menyedihkan adalah sembilan terdakwa melarikan diri ke luar negeri setelah dinyatakan bersalah dan divonis penjara oleh hakim pengadilan.
Buruknya penanganan kasus BLBI diperparah dengan kebijakan Jaksa Agung --saat masih dijabat MA Rachman-- yang menghentikan proses penyidikan (SP3) terhadap 10 tersangka korupsi BLBI pada tahun 2004. Alasannya adalah Surat Keterangan Lunas (SKL) yang dikeluarkan BPPN berdasarkan Inpres No 8/2002. Inpres tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, lebih dikenal dengan Inpres tentang release and discharge.
Berdasarkan Inpres ini, para debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utangnya, walaupun hanya 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN. Atas dasar bukti ini, mereka yang diperiksa dalam proses penyidikan akan mendapat SP3. Dan apabila kasusnya dalam proses di pengadilan, maka akan dijadikan novum atau bukti baru yang akan menjadi dasar dibebaskannya para terdakwa.
Hingga saat ini tercatat beberapa nama konglomerat papan atas seperti Sjamsul Nursalim, The Nin King, dan Bob Hasan yang telah mendapatkan SKL dan sekaligus release and discharge dari pemerintah. Padahal, Inpres No 8/2002 yang menjadi dasar Kejaksaan mengeluarkan SP3 itu bertentangan dengan sejumlah aturan hukum seperti UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 4 UU itu secara tegas menyebutkan bahwa ''Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana.''
Dengan demikian, jelas bahwa pengembalian aset atau utang sejumlah tersangka korupsi kepada negara, tidak serta-merta menghapuskan proses tindak pidana korupsi yang dilakukannya. Seharusnya, pihak Kejaksaan Agung tetap memproses para tersangka yang terlibat kasus BLBI hingga tahap penuntutan di pengadilan.
Atas pertimbangan tersebut, ICW bersama beberapa LSM dan tokoh masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Tolak Pengampunan Konglomerat Pengemplang Utang, pada 27 Mei 2003 mengajukan permohonan ke Mahkamah Agung untuk melakukan uji material (judicial review) atas Inpres tersebut. Dalam gugatannya Koalisi menuntut Inpres itu dicabut karena telah melanggar dan/atau bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku. Sayangnya, hingga saat ini, atau lebih dari tiga tahun, MA belum juga mengeluarkan putusan terhadap gugatan tersebut.
Ironi
Setelah pergantian pemerintahan dari Megawati Soekarnoputri kepada Susilo Bambang Yudhoyono, tampaknya kebijakan mengenai penyelesaian kasus BLBI tidak mengalami perubahan. Pemerintah masih bersikap kompromistis terhadap para debitur BLBI dan lebih memprioritaskan pengembalian keuangan negara daripada penegakan hukumnya. Ironisnya pemerintah seringkali memperlakukan para konglomerat yang telah dinilai telah merugikan keuangan negara itu secara istimewa.
Perlakuan istimewa itu ditunjukkan dengan kedatangan tiga debitur BLBI ke Kantor Presiden pada 6 Februari lalu. Tiga debitur itu adalah Ulung Bursa, pemegang saham Bank Lautan Berlian; James Januardi, pemegang saham Bank Namura; serta Lukman Astanto yang mewakili Atang Latief, pemegang saham Bank BIRA. Tidak tanggung-tanggung, kedatangan tiga debitur BLBI didampingi dua perwira Polri, yaitu Wakil Kebareskrim Mabes Polri, Irjen Gorries Mere, dan Direktur Reserse Ekonomi Mabes Polri, Kombes Besar Benny Mamoto.
Di Istana, ketiga debitur tersebut menyatakan bersedia mengembalikan utang BLBI yang nilainya ratusan milyar rupiah asalkan mendapatkan kepastian hukum atau release and discharge. Di luar persoalan politis, bisa jadi sikap kompromistis pemerintah terhadap debitur BLBI didasarkan pengalaman kegagalan BPPN sebelum dibubarkan dalam penyelesaian kasus korupsi BLBI melalui proses hukum, baik perdata maupun pidana.
Mekanisme yang dimungkinkan secara perdata seperti penyitaan, menggugat ke pengadilan, atau melakukan paksa badan (gijzeling/penyanderaan) terhadap debitur yang membandel membayar utang atau tidak mau menyerahkan asetnya. Upaya itu seringkali mengalami kegagalan dan justru mendapat perlawanan, bahkan tidak sedikit yang kalah di pengadilan.
Sedangkan ketika diproses secara pidana seperti yang diuraikan sebelumnya, hasilnya jauh dari memuaskan. Bahkan tidak memberikan efek jera, karena pelakunya divonis ringan. Jikapun divonis berat, kenyataannya banyak yang melarikan diri keluar negeri. Akibat mandulnya penyelesaian kasus korupsi BLBI, tidak berlebihan jika kita menyimpulkan bahwa penegakan hukum berhenti di kasus BLBI.
Oleh: Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Sumber: Republika Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar