Join emridho's empire

Senin, 16 Januari 2012

Advertorial Melampaui Kepatutan (Perang Bintang di Kasus Adaro: Ada Apa dengan Todung)

Advertorial Melampaui Kepatutan (Perang Bintang di Kasus Adaro: Ada Apa dengan Todung)
 

Disertai foto Todung Mulya Lubis, 12 alinea dan 3 kolom materi, dikemas bergaya jurnalistik dengan judul “Perang Bintang di Kasus Adaro: Ada Apa dengan Todung”, advertorial di harian Rakyat Merdeka edisi 24 September 2005 itu menggelitik untuk dikritisi. Mengapa? Ada dua alasan. Pertama, advertorial itu tak lazim. Kedua, penting untuk meluruskan arah kemerdekaan pers.

Advertorial
Di bisnis media massa, advertorial itu hal biasa. Advertorial adalah iklan. Bentuk iklan beragam. Salah satunya berupa pengumuman perkara, yang di dunia kepengacaraan dikenal dengan istilah “somasi terbuka”. Ini iklan karena pemasangnya membayar sejumlah uang ke perusahaan pers sesuai harga. Oleh karena halaman iklan dibayar pemasang, maka materi dan tanggung jawabnya pun ada di pihak pemasang.
Secara sederhana iklan dibedakan menjadi iklan niaga dan iklan layanan masyarakat. Bedanya, kalau iklan niaga lebih menginformasikan produk/jasa agar masyarakat tahu dan kemudian membeli, sedangkan iklan layanan masyarakat lebih pada menyampaikan pesan. Keduanya harus dibungkus dengan filosofi positive approach stelsel, dan tak boleh negative approach stelsel. Artinya, materi iklan tak boleh menyerang dan menghakimi pihak lain, tak boleh masuk ke wilayah “orang lain”. Ia sesungguhnya hanya untuk masuk “wilayah internal”. 
Lazimnya cara beriklan adalah persuasif (meyakinkan dan menggoda) dengan bahasa kualitatif. Oleh karena itu, wilayahnya adalah etika. Itu sebabnya ada kode etik periklanan. Sering strategi dalam beriklan adalah “menggoda itu hak asasi, tetapi bukan kewajiban yang digoda untuk membalasnya?”
Dari bentuknya, mudah dibedakan mana advertorial dan mana karya jurnalistik. Lazimnya advertorial dipasangi garis pembatas, plus tulisan advertorial atau iklan. Agar advertorial memiliki rasa tanggung jawab, dibubuhkan pihak yang memasang, lengkap dengan alamatnya. Meski demikian, tidak semua pembaca paham perbedaan antara karya jurnalistik dan advertorial.

Ada Apa dengan Todung?
Advertorial Ada Apa dengan Todung? setelah didahului kalimat “Perang Bintang Kasus Adaro”, berisi 1 lead, 12 alinea, dan 3 kolom, dikemas seperti karya jurnalistik. Lengkap dengan garis pembatas. Di bagian atas dan akhir materi ditulis advertorial, tetapi tak ditemukan siapa yang memasang. Pembaca bisa menebak-nebak. Tebakan itu bisa salah, bisa juga benar.
Dari pemasangan foto Todung Mulya Lubis disertai kalimat tanya “Ada Apa dengan Todung”, bisa dibaca bahwa advertorial ini mempertanyakan siapa Todung, terutama berkenaan dengan kiprahnya sebagai public figure. Pembaca bisa menyimpulkan bahwa advertorial itu tidak dipasang oleh Todung. Kalau bukan Todung yang memasang, mengapa fotonya terpasang?
Jadi, secara umum makna advertorial ini bisa kabur. Siapa yang memasang? Apa pesannya? Harian Rakyat Merdeka tidak menolong pembaca dengan memberikan jawabannya. Namun, jika ditelusuri materi advertorial itu, bisa dimengerti apa pesannya. Lead advertorial itu memberi pesan tegas. Iklan setengah halaman pada beberapa media cetak edisi Jumat (23/9) menandai terlibatnya Todung Mulya Lubis dalam kasus sengketa penjualan saham Adaro Indonesia antara Beckkett Pte. Ltd. di satu pihak dengan  Deutsche Bank dan Dianlia Setyamukti di pihak lain.
Rupanya maksud advertorial ini adalah mencoba menyeimbangkan iklan setengah halaman Todung sebelumnya. Apa sebenarnya isi iklan itu? Todung memasang iklan di harian Kompas edisi 23/9, halaman 24. Judulnya: PEMBERITAHUAN. Iklan ini jelas siapa yang memasang dan bertanggung jawab atas materinya, yakni Lubis, Santosa & Maulana Law Offices, ditandatangani oleh tiga orang atas nama kliennya, Beckkett Pte. Ltd.

Advertorial ala Jurnalistik: Keluar dari Kepatutan
Advertorial harian Rakyat Merdeka ini mengaburkan persepsi pembaca. Dari penyajiannya, mudah dipahami bahwa pemasang advertorial ini menyampaikan pesan gaya jurnalistik. Ini ditandai dengan kutipan dari beberapa narasumber, termasuk dari Todung. “Saya tidak melihat siapa yang ada di belakang Beckkett, apakah Sukanto Tanoto atau pihak lain. Yang jelas di sini ada badan hukum yang dirugikan, dan harus kita bela,” katanya. Namun, dari kalimat terakhir advertorial ini dipastikan ada kesan kuat bahwa pemasang advertorial  mau menyampaikan pesan, “... pertempuran tambang batu bara terbesar di Indonesia itu tampaknya masih akan sangat panjang”.
Pesan advertorial itu ternyata bukan semata soal tambang batu bara, tetapi mencoba menginformasikan ke pembaca bahwa kehadiran Todung sebagai advokat dalam kasus ini dipertanyakan. Alinea ketiga advertorial itu berbunyi, “Ada apa dengan Todung? Mengapa pengacara kondang ini bersedia bergabung dengan Kaligis dan Lucas?”
Sesungguhnya advertorial ini sudah melampaui kepatutan. Ia keluar dari pakem. Advertorial itu tidak tepat disebut advertorial, tetapi lebih cenderung jurnalistik. Sayangnya, jurnalistik itu dibungkus dengan nama advertorial, yang tak jelas siapa penanggungjawabnya. 

Bagaimana Baiknya?
Jika demikian duduk soalnya, seharusnya advertorial itu cukup disampaikan dengan mekanisme jurnalistik biasa. Jika pemasang advertorial keberatan atas pengumuman Todung dkk., ia dapat memasang advertorial Pengumuman Bantahan, dan biarkan masyarakat yang menilai. Sebab, sesungguhnya media massa adalah ruang publik tanpa sekat yang diikat dengan mekanisme etik yang kuat dengan mempertaruhkan profesionalisme. 
Kemerdekaan pers membutuhkan kesiapan semua pihak, termasuk perusahaan pers, wartawan, pembaca, biro iklan, dan bahkan pemasang advertorial untuk taat dan patuh pada aturan main. Jika tidak, kemerdekaan pers kita tak akan bermasa depan baik. Sebab, halaman advertorial, yang memang menjadi sumber penghasilan perusahaan pers, tanpa dibarengi profesionalisme yang kuat dari awak perusahaan pers, akan menjadi “halaman liar” dan bermuara pada situasi “keranjang sampah”. Apa saja masuk. Akhirnya bisa lahir pers yang anarkis.
Agar pers tidak anarkis, semua pihak harus mengingatkan. Mengawasi adalah kewajiban, tak sekadar hak. Pers berhak dan wajib mengawasi penyelenggaraan kekuasaan agar tidak disalahgunakan. Namun, pers juga harus diawasi. Jika tidak, siapa yang mengawasi si pengawas? Bukankah dia akan anarkis juga jika tidak diawasi?
Harus ada kejelian dan cita rasa tinggi dari pengelola pers untuk memajukan kemerdekaan pers, termasuk mengelola advertorial yang bermartabat. Kerja keras saja tidak cukup, apalagi tanpa sense profesionalisme. Kata bijak ini patut direnungkan: “Kalau Anda pergi memancing ikan, Anda bisa dapat ikan, bisa pula tidak. Namun, jika Anda tak pernah pergi memancing ikan, pasti tidak pernah dapat ikan”. Begitu pula dengan kemerdekaan pers dalam alam demokrasi. “Dengan kemerdekaan pers, ada dua pilihan bagi kehidupan demokrasi: baik atau buruk. Namun, tanpa kemerdekaan pers, hanya ada satu pilihan: buruk”.
Oleh: Hinca IP Pandjaitan, direktur The Indonesia Media Law & Policy Centre Foundation

Tidak ada komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Mahasiswa Teknik Industri Universitas Andalas 2009 Alumni Ponpes Asy-Syarif Angkatan 09,, Alumni Ponpes Madinatul Munawwarah angkatan 06.