Ihwal Menggugat Pers
Many libel suits are filed by persons who were not actually libeled, but who are angry about unfavorable but true (and thus nonlibelous) publicity (Overbeck, "Major Principles of Media Law", 2003).
Pengamatan Wayne Overbeck, pakar dari California State University, Fullerton, juga anggota "the California Bar" ini, mestinya reliable (dapat dipercaya/diandalkan). Buku Major Principles of Media Law sendiri telah dicetak hingga edisi ke-14 dan sudah disesuaikan dengan kasus aktual selama 12 tahun terakhir.< tahun 12 selama aktual kasus dengan disesuaikan sudah dan ke-14 edisi hingga dicetak telah sendiri Law Media of Principles Major Buku diandalkan). dipercaya (dapat reliable mestinya ini, Bar? California ?the anggota juga Fullerton, University, State dari pakar Overbeck,>
Kita sadar sistem hukum media kita tak persis sama dengan Amerika Serikat (AS). Namun, intinya di sini adalah perbandingan dan upaya memetik pelajaran dari filosofi kebebasan pers dan berekspresi sekaligus perlindungan terhadap kepentingan publik. Apalagi gugatan terhadap pers tiba-tiba marak belakangan ini, khususnya gugatan defamation (fitnah, pencemaran) terkait berita yang diklaim tak sesuai fakta, lalu diikuti tuntutan ganti rugi.
Definisi dan perlindungan
Overbeck membuat ringkasan berupa daftar unsur-unsur yang melekat pada sebuah pernyataan (pers) untuk mengategorikannya sebagai pencemaran. Satu, pernyataan itu harus sungguh-sungguh defamatory artinya (sering) bertujuan merusak reputasi seseorang. Dua, mengidentifikasi siapa korban yang ia rencanakan sebagai target, entah dengan menyebut nama atau dengan berbagai cara penggambaran lain yang juga dimengerti oleh orang-orang di luar atau selain korban. Tiga, dikomunikasikan, entah melalui media cetak atau penyiaran yang setidaknya didengar atau dilihat oleh satu orang lain di luar si korban dan pembuat pernyataan. Empat, dalam banyak kasus, harus jelas terdapat sebuah unsur kesalahan yang harus dipertanggungjawabkan (fault). Mahkamah Agung AS telah memutuskan dalam kasus-kasus menyangkut kepentingan/keprihatinan publik diharuskan adanya bukti bahwa sebuah kebohongan telah disebarkan dan suatu media (massa) bersalah karena niat jahat yang riil atau setidaknya karena kecerobohan dalam memublikasikannya. Lima, jika sang korban tidak dapat membuktikan adanya niat jahat yang riil, haruslah ada bukti dari kerusakan-kerusakan (yakni, kerugian yang mungkin dikompensasi dalam bentuk uang).
Jika kategori "pencemaran" membutuhkan paling sedikit empat dari lima elemen tersebut, ternyata untuk menghadang gugatan terhadap pers dalam hal itu hanya dibutuhkan 1 dari unsur-unsur berikut yang disebut legal defenses untuk proses kerja pers. Satu, kebenaran; pernyataan mana pun yang secara substansial benar dilindungi hukum! Mereka yang menggugat media umumnya harus menanggung the burden of proving falsity (beban untuk membuktikan kepalsuan). Apalagi disadari, semakin korup suatu pihak (entah karena kekuasaan atau kekerasan), makin besar kemampuan mereka menghalangi pers untuk memperoleh data rinci. Penggugat mesti membuktikan tidak hanya pemberitaan pers itu adalah salah, tetapi juga merupakan akibat kecerobohan atau niat jahat yang riil. Pada tahun 1997, hakim di Houston membatalkan kemenangan awal sebuah perusahaan yang menuntut Wall Street Journal dengan tuduhan laporannya menyebabkan kebangkrutan, senilai sekitar dua ratus juta dollar, karena terbukti perusahaan itu menahan bukti-bukti penting yang mestinya dulu memperkuat laporan Wall Street Journal.
Dua, hak-hak istimewa (privilege) bahwa laporan-laporan yang akurat tentang proses di badan legislatif, pengadilan, dan cabang eksekutif, serta berbagai dokumen pemerintah dilindungi hukum meski terkesan libelous (mencemarkan). Tiga, pernyataan opini tentang performance dari figur yang menjadi pusat perhatian orang banyak dan media (misalnya, politikus, aktor, olahragawan, dan selebritis) dilindungi di bawah the common law fair comment defense, sekaligus oleh The First Amendment.
Sebenarnya isi Undang-Undang (UU) Pers Nomor 40 Tahun 1999 telah menunjukkan filosofi yang sama. Pasal 5 Ayat (1) UU Pers dengan jelas menyatakan, kewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Ayat (2) menyebutkan pers wajib melayani hak jawab, yakni hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberi tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya (Pasal 1 Ayat 11). Begitu pula, Pasal 5 Ayat (3) mewajibkan pers melayani hak koreksi. Jika pers melanggar pasal-pasal tersebut serta kode etik jurnalistik (Pasal 7), ia dapat digolongkan melakukan fitnah atau pencemaran karena tidak melakukan pekerjaan jurnalistik secara profesional!
UU Pers juga memiliki legal defenses yang melindungi pers dari gugatan yang tidak cukup beralasan. Bersama dengan Pasal 3 dan 4, Pasal 6 secara detail menjelaskan peranan pers untuk (a) memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; (b) menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak asasi manusia, serta menghormati kebinekaan; (c) mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar; (d) melakukan pengawasan, kritik, koreksi, saran terhadap hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; (e) memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Kembali pada perbandingan dengan uraian Overbeck di atas, UU Pers kita memang perlu memiliki pasal tentang pencemaran yang cukup detail sehingga berbagai kasus tidak lagi harus ditarik ke produk hukum lain karena tidak secara jelas diatur dalam UU Pers. Ini juga catatan penting untuk menguatkan UU Pers menuju posisi Lex Specialis.
Badan pemerintah
Overbeck kemudian menyatakan bahwa badan-badan pemerintah di AS tidak mungkin bisa mengajukan gugatan terhadap pers (meski pegawai pemerintah sebagai individu dapat melakukannya jika reputasi pribadinya dirusak oleh pemberitaan pers). Landasan filosofi di belakangnya kurang lebih: uang rakyat tidak boleh digunakan untuk menggugat kebebasan masyarakat mendapatkan dan mendiskusikan informasi!
Filosofi ini mestinya berlaku juga untuk perusahaan atau institusi yang berada di bawah manajemen badan pemerintah kita, seperti BPPN, misalnya, atau yang mendapat suntikan dana pemerintah (baca: uang publik). Bahwa ada ketidakpuasan terhadap pemberitaan pers, tentu seharusnya ditindaklanjuti dengan hak jawab dan pengaduan kepada Dewan Pers sebagaimana diatur pada Pasal 15 UU Pers. Adanya mekanisme dan proses lanjutan seperti ini yang membuktikan bahwa suatu pemberitaan pers tidaklah bersifat "final". Semakin cepat hak jawab disampaikan, dalam ilmu komunikasi, umumnya semakin efektif (hal mana tergantung betul dari kemampuan atau kelemahan pihak tertentu melakukan analisis).
Akhirnya, artikel ini harus ditutup dengan pesan bahwa pers tidaklah untouchable! Mereka yang terbukti tidak melakukan journalism work dan memang punya niat jahat riil melakukan pencemaran, pantas dihukum! Namun, Overbeck segera mengingatkan bahwa kekhawatiran terhadap gugatan pencemaran sering menyebabkan wartawan melakukan self-censorship yang berakibat menghalangi hak publik mendapat informasi! Tambahan lagi, menurut Overbeck, banyak gugatan itu diajukan oleh orang- orang yang sadar bahwa, menilik materi gugatan mereka, hanya terdapat kesempatan kecil saja untuk-pada akhirnya-memenangkan perkara tersebut. Barangkali ini relatif terkait dengan upaya melemparkan kesalahan pada pihak lain atau sekadar mau "menunjukkan siapa saya/kami". Pengadilan, pers, dan publik kita kini sedang belajar menghadapinya!
Effendi Gazali Staf Pengajar Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi UI
Sumber: Kompas Cyber Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar