Pariwisata sebagai Pilihan Bentuk Pemanfaatan Warisan Budaya Situs Trowulan: sebuah Gagasan Awal
Abstrak
Indonesia merupakan Negara yang kaya akan warisan budaya (cultural heritage) . Pernyataan ini bukan sekedar retorika belaka, namun kenyataan obyektif telah memperlihatkan bahwa wilayah dengan luas daratan belasan ribu kilo meter persegi dipenuhi oleh peninggalan budaya masa lampau. Semua masa yang terbagi dalam pembabakan sejarah – prasejarah, klasik, Islam, kolonial, revolusi - ada bukti tinggalannya. Bahkan tiga warisan dunia terdapat di sini yaitu: Candi Borobudur (1991), Kompleks candi Prambanan (1991) dan situs Prasejarah Sangiran (1996). Belum lagi yang ada di laut, sampai sebelum abad XX telah terdeteksi sekitar 463 kapal yang diduga memuat benda berharga tenggelam di perairan Nusantara.
Situs trowulan sebagai salah satu warisan budaya merupakan potensi yang cukup penting untuk dikembangkan agar dapat memberikan kontribusi nyata bagi kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan melalui pariwisata merupakan pilihan yang tepat karena pariwisata mempunyai karakteristik yang unik dan sekaligus dapat menjadi alternatif jawaban atas problem pelestarian warisan budaya. Melalui pariwisata potensi-potensi lain yanga ada di kawasan tersebut juga akan memperoleh peluang untuk berkembang sebagai kelengkapan penting dalam suatu sistem industri (pariwisata).
Pendahuluan
Situs Trowulan merupakan situs kota (town site, city site atau urban site) yang pernah ditemukan di Indonesia. Situs yang diduga bekas pusat kerajaan Majapahit ini memiliki luas 11 x 9 Km. meliputi wilayah kabupaten Mojokerto dan kabupaten Jombang. Di kawasan itu terdapat tinggalan-tinggalan arkeologi yang ditemukan dalam jumlah yang cukup besar dan jenis temuan yang beraneka ragam. Dari bangunan yang bersifat monumental, seperti candi, petirtaan, pintu gerbang, fondasi bangunan sampai yang berupa artefak, seperti arca, relief, benda alat upacara, alat rumah tangga, dll.
Peninggalan kuno tersebut telah menarik begitu banyak ahli untuk meneliti. Peneliti pertama tercatat tahun 1815 adalah Wardenaar yang atas perintah Raffles melakukan penelitian di daerah Trowulan. Hasilnya terdapat dalam buku “History of Java” karangan Raffles yang terbit tahun 1817. Peneliti berikutnya adalah WR van Hovell (1849), JFG Brumund (1854) dan Jonathan Rigg yang hasilnya terbit dalam “Jurnal of The Indian Archipelago and Eastern Asia” . Masih banyak peneliti asing secara bergelombang datang ke Trowulan dengan tujuan yang sama yaitu ingin mengungkap sisa-sisa kehidupan masa lampau kerajaan besar tersebut. Tak ketinggalan seorang pribumi, yaitu A.A. Kromojoyo Adinegoro, yang juga seorang bupati Mojokerto pada tahun 1914 berhasil menemukan candi Tikus. Beliau juga merintis pendirian museum Mojokerto dengan koleksi benda-benda yang berasal dari kerajaan Majapahit yang ditemukan di Trowulan.
Nama yang juga tak bisa dipisahkan dengan situs Trowulan adalah Henri Maclaine Pont, seorang insinyur perkebunan yang punya perhatian besar terhadap kepurbakalaan. Beliau mendirikan kantor penelitian khusus situs Trowulan. Hasil penggalian yang dilakukan sejak tahun 1921 – 1924 dicocokkan dengan uraian dalam kitab Negarakertagama dan membuahkan sketsa rekonstruksi Kota Majapahit. Masih banyak peneliti maupun sebatas pemerhati yang menaruh perhatian besar terhadap situs ini hingga sekarang.
Pada era kemerdekaan kegiatan penelitian dilakukan oleh Dinas Purbakala dan Peninggalan Nasional seksi bangunan di Trowulan sejak 1953. Kali ini sudah disertai dengan kegiatan pemugaran sebagai bagian dari upaya pelestarian warisan budaya. Kehadiran Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) sejak tahun 1970 untuk melakukan penggalian juga telah memberikan andil besar dalam mengungkap kebesaran Majapahit.
Di sisi lain, kekayaan warisan budaya yang luar biasa tersebut belum memperoleh penghargaan yang semestinya dari penduduknya. Hal ini antara lain tampak dari perusakan situs yang diakibatkan oleh kegiatan sehari-hari penduduk. Pembuatan bata merah dengan bahan baku tanah liat sawah telah menimbulkan kerusakan situs secara luar biasa. Sekurangnya 300-an industri bata merah yang kini tersebar di kawasan situs Trowulan (Mundardjito, dalam Kresno Yulianto; 2004: 7). Disamping itu kebiasaan penduduk yang mencari emas dengan cara menggali lubang kemudian menyaring pasir (Jw. Ngendang) masih cukup ramai dilakukan. Penggalian untuk mencari bata merah kuno untuk dijadikan semen merah juga masih berlangsung karena permintaan masih cukup tinggi. Semua itu menjadi ancaman serius bagi situs ini.
Yang perlu segera diupayakan adalah pencegahan perusakan terhadap situs yang masih berlangsung. Kegiatan masyarakat yang dinilai dapat mengancam keamanan situs perlu segera dipikirkan penggantinya. Keamanan situs menjadi prioritas utama, namun masyarakat tidak harus kehilangan akses ke situs. Untuk itu, kawasan yang banyak mengandung deposit barang berharga tersebut harus dapat dimunculkan sebagai sumber daya yang dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan bagi masyarakat. Pemanfaatan sumberdaya arkeologi tidak hanya oleh peneliti (ilmuwan) saja dengan kegiatan penelitiannya, namun masyarakat umum juga berhak atas ruang untuk mewujudkan apresiasi mereka sesuai dengan bentuk pemaknaan yang mereka kembangkan atas warisan budaya tersebut. Bukankah masyarakat juga pewaris yang sah atas tinggalan tersebut. Namun demikian yang perlu diperhatikan adalah bahwa warisan budaya tersebut merupakan sumber daya yang sangat terbatas, oleh sebab itu pemanfaatannya juga harus menjaga keawetannya.
Berkaitan dengan hal di atas, pariwisata sebagai pilihan bentuk pemanfaatan sumberdaya arkeologi merupakan hal yang cukup menarik dan realistis untuk ditawarkan. Sebagai sistem industri, pariwisata dinilai dapat memberikan peluang kepada banyak orang untuk berpartisipasi. Selain itu pariwisata concern terhadap pelestarian obyek karena obyek merupakan komponen utamanya. Pilihan bentuk pemanfaatan ini juga dapat membantu menyentuh masalah yang berkaitan dengan perilaku masyarakat, yaitu perilaku yang bertentangan dengan prinsip-prinsip pelestarian situs. Dengan kondisi seperti itu, perilaku partisipatif dapat diharapkan muncul. Dalam banyak kasus, perilaku yang partisipatif dari masyarakat (penduduk) merupakan faktor kunci jawaban suatu masalah. Ciri lain dari industri pariwisata yaitu bersifat in situ dapat menjadi jaminan bagi masyarakat lokal.
Pengertian partisipasi yang memuat unsur peran serta, kontribusi dan tanggung jawab dari masyarakat akan menjadi faktor penentu dalam kegiatan pariwisata. Dengan partisipasi masyarakat dapat mengakses simpul-simpul penting ekonomi pariwisata. Dengan partisipasi pula masyarakat akan menjadi pemeran utamanya. Sudah sepatutnya pariwisata Indonesia ini sepenuhnya “dimainkan” oleh rakyat, karena unsur-unsur yang ada di dalamnya seperti hotel, restoran, transportasi, cinderamata dan sebagainya selalu terkait dan bahkan memiliki ketergantungan pada produk dan jasa ekonomi rakyat.
Masalah
Dalam upaya pemanfaatan tersebut, masalah utama yang akan dibahas adalah yang berkaitan dengan perilaku masyarakat. Salah satu sisinya adalah tidak banyak pilihan bagi penduduk dalam hal mencari nafkah. Kegiatan penduduk yang dapat mengancam keutuhan situs dapat dihentikan apabila terdapat pilihan lain yang juga nyata manfaatnya. Apalagi penduduk tidak pernah memperoleh manfaat apa-apa dengan tetap menjaga kelestariannya. Jadi jelas, bahwa nilai manfaat berkorelasi positif terhadap keamanan situs arkeologi. Berkaitan dengan hal tersebut, pariwisata akan menjadi pilihan bentuk pemanfaatan
Industri pariwisata dengan karakteristik yang unik dirasa cukup memberikan peluang pemanfaatan situs secara berkelanjutan karena salah satu ciri utamanya adalah menjaga keawetan (konservasi) daya tarik. Jika tinggalan arkeologi yang akan menjadi daya tarik utama, maka keawetannya harus terjaga. Dengan demikian pariwisata sekaligus akan dapat berperan sebagai alat bantu upaya konservasi daya tarik wisata, yakni tinggalan arkeologi. Masalahnya adalah: bagaimana bentuk tampilan situs atau tinggalan arkeologi serta pengelolaan potensi-potensi lain sebagai atraksi wisata.
Jawaban atas pertanyaan tersebut di atas harus sudah mencakup aspek keamanan situs dengan segala potensi yang dikandungnya serta manfaatnya juga dapat dirasakan oleh masyarakat setempat. Faktor keamanan ini merupakan prioritas utama, namun tidak harus menjadi kendala bagi upaya pemanfaatan sumberdaya arkeologi. Melalui pola pengelolaan yang tepat masalah tersebut diharapkan dapat segera memperoleh jawaban.
Pariwisata sebagai pilihan pemanfaatan
Dalam upaya mewujudkan suatu wilayah sebagai tujuan wisata, perlu dikembangkan upaya-upaya pemberdayaan seluruh potensi yang ada untuk ditampilkan sebagai atraksi wisata. Untuk itu perlu dilakukan eksplorasi kreatif guna mengenali potensi lain yang terpendam. Upaya ini dimaksudkan agar dapat memperkaya khasanah daya tarik wisata. Tingkat keanekaragaman daya tarik akan sangat penting artinya bagi kelangsungan industri pariwisata suatu daerah. Semakin banyak jenis daya tarik yang ditawarkan akan semakin banyak pangsa yang akan dirambah dan akan lebih punya peluang “memaksa” wisatawan untuk tinggal lebih lama di suatu tempat.
Di kawasan Trowulan, selain tinggalan arkeologi juga suasana pedesaan yang masih cukup terasa merupakan potensi lain yang juga layak ditawarkan sebagai daya tarik wisata. Wilayah pedesaan yang secara geografis dan sosial berbeda dengan perkotaan, dapat menghadirkan suasana khusus dan khas. Dari catatan observasi di lapangan tentang potensi daya tarik wisata di kawasan Trowulan paling tidak terdapat tiga jenis daya tarik, yaitu:
a. daya tarik budaya meliputi tinggalan arkeologi, situs, kesenian lokal, kegiatan ekonomi khas, keramahan penduduk, dll.
b. daya tarik alam, yaitu meliputi iklim, keindahan alam pedesaan, karakter khas lingkungan, dll.
c. daya tarik khusus meliputi event-event khusus yang berkaitan dengan keberadaan kawasan Trowulan sebagai situs arkeologi, seperti event penggalian (ekskavasi).
Daya tarik budaya---dalam bentuk tinggalan arkeologi---merupakan daya tarik unggulan bagi kawasan Trowulan sebagai daerah tujuan wisata. Trowulan yang identik dengan sisa-sisa kerajaan Majapahit menjadi ciri khusus yang akan membentuk citra suatu daerah tujuan wisata. Pengembangan daya tarik budaya ini harus dilakukan dengan ekstra hati-hati. Karena kegiatan ini melibatkan benda cagar budaya dengan intensitas yang cukup tinggi, maka bentuk tampilan juga harus memperhatikan keamanan situs ataupun benda cagar budaya (BCB) tersebut, karena sebagaimana BCB pada umumnya mempunyai sifat antara lain rapuh (fragile), tidak bisa diperbarui (non renewable) dan tidak bisa digantikan oleh apapun juga (irreplaceable). Pengembangan dari apa yang sudah ada sekarang ini merupakan tindakan cukup bijak. Beberapa bangunan yang telah berdiri dengan spesifikasi museum seperti Balai Penyelamat Arca merupakan awal yang baik untuk pengembangan lebih lanjut. Juga bangunan-bangunan yang sudah berdiri kokoh seperti Pendopo Agung, dapat menjadi kelengkapan penting kawasan ini.
Kawasan yang mengandung banyak titik situs arkeologi ini sebagian besar masih tergolong wilayah pedesaan. Beberapa karakteristik wilayah yang dapat dikemukakan antara lain adalah: 1) sebagaian besar wilayahnya adalah persawahan atau ladang, 2) masih banyak dijumpai bangunan berarsitektur khas pedesaan (Jawa) dan 3) keramahan penduduknya. Pengembangan potensi daya tarik jenis ini membutuhkan pemahaman masyarakat tentang apa yang menjadi keinginan wisatawan. Bagi wisatawan - terutama asing - keindahan alam khas pedesaan merupakan daya tarik yang cukup kuat. Beberapa unsur yang dapat memberikan ciri khusus patut ditonjolkan. Seperti bangunan dengan arsitektur khas pedesaan dapat menjadi unsur penting dalam menghadirkan suasana pedesaan. Bentang alam (lanskap) dengan hamparan sawah ladang serta iklim tropis yang berangin sejuk merupakan kenyamanan yang akan dapat diperoleh wisatawan.
Kebutuhan masyarakat akan suasana keluar dari atmosfir pedesaan tidak harus dihalangi. Namun kesadaran untuk menjaga keserasian lingkungan di kalangan masyarakat perlu ditumbuhkan. Perubahan lingkungan yang terlalu banyak menghilangkan unsur-unsur khas pedesaan dapat menjadi sesuatu yang kontraproduktif. Keramahan penduduk merupakan ciri sudah ada, yang tetap perlu dijaga adalah perilaku yang tidak mudah larut dalam suasana industri yang materialistis konsumtif.
Kegiatan-kegiatan ilmiah yang sering dilakukan di kawasan situs Trowulan merupakan event yang juga dapat ditawarkan sebagai daya tarik khusus. Melalui suatu sistem pemasaran yang khusus, event ini dapat ditawarkan kepada kalangan terbatas dengan harga yang khusus pula. Penyeleksian calon pembeli (peserta) perlu dilakukan seperlunya mengingat spesifikasi kegiatan ini yang sangat khusus. Melalui kegiatan ini, dua manfaat sekaligus akan diperoleh, yaitu manfaat memperoleh data/informasi tentang tinggalan arkeologi dan manfaat finansial dari hasil penjualan event penelitian.
Potensi-potensi yang dikemukakan tersebut di atas merupakan modal awal bagi Trowulan untuk menjadi daerah tujuan wisata yang cukup penting. Letak geografis Trowulan yang berada di jalur wisata Bali–-Jogja merupakan keunggulan lain yang dipunyai. Dengan posisi seperti itu, Trowulan sangat berpeluang “mencegat” rombongan wisatawan dari Bali yang akan menuju Jogja atau sebaliknya. Daya tarik yang ada cukup layak untuk ditawarkan.
Yang juga penting adalah penyajian informasi yang cukup, menarik dan mudah dipahami tentang semua daya tarik yang di tawarkan. Daya tarik alam didampingi informasi mengenai tofografi, klimatologi, sosial budaya masyarakat dll. akan sangat penting artinya terutama bagi wisatawan mancanegara guna membantu wisatawan memahami obyek yang dikunjungi. Informasi tentang tinggalan arkeologi dan situs yang ada, dapat digali melalui kegiatan penelitian (penggalian/ekskavasi) serta dokumen-dokumen yang ada.
Kelengkapan lain yang dapat menunjang kegiatan pariwisata di Trowulan adalah kerajinan dan cinderamata. Terdapat cukup banyak perajin patung logam dengan teknik cor dan gerabah dengan bentuk-bentuk yang “meniru” temuan yang pernah diperoleh di situs Trowulan. Disamping itu masih terdapat beberapa perajin patung batu andesit. Semua itu dapat menjadi kelengkapan penting bagi daerah tujuan wisata. Kerajinan ini umumnya dipasarkan keluar daerah. Hanya sebagian kecil yang dipasarkan untuk wisatawan yang datang.
Pemasaran (marketing) merupakan kelengkapan penting dan bagian tak terpisahkan dari suatu sistem industri pariwisata. Melalui pola pemasaran yang tepat, tinggalan arkeologi serta daya tarik wisata lainnya akan dapat dikenal dan ditawarkan secara luas.
Penutup
Begitu banyak perhatian berbagai kalangan telah diberikan kepada situs Trowulan. Namun sebagian besar masih dengan tujuan yang hampir sama, yaitu ingin mengungkap misteri kejayaan kerajaan besar yang pernah ada di Nusantara. Dan untuk itu yang dilakukan biasanya adalah kegiatan penelitian atau yang semacamnya. Bagaimana dengan mereka yang mempunyai tujuan lain selain penelitian? Bagaimana dengan mereka yang hanya ingin merasakan atmosfir kejayaan masa lalu? Pemanfaatan sumberdaya arkeologi tidak hanya oleh peneliti (ilmuwan) saja dengan kegiatan penelitiannya. Masyarakat umum juga berhak atas ruang untuk mewujudkan apresiasi mereka sesuai dengan bentuk pemaknaan yang mereka kembangkan atas warisan budaya tersebut. Bukankah masyarakat juga pewaris yang sah atas tinggalan tersebut.
Melalui pariwisata sebagai bentuk pemanfaatan warisan budaya, kepentingan dengan berbagai tingkat tersebut menjadi mungkin untuk disediakan. Yang penting adalah bahwa warisan budaya tersebut merupakan sumber daya yang sangat terbatas, oleh sebab itu pemanfaatannya juga harus menjaga keawetannya. Beberapa kasus telah menunjukkan bahwa terdapat situs kebudayaan yang terdaftar dalam 'World Heritage Sites' ICOMOS (International Council of Monuments and Sites) rusak atau terganggu dengan kehadiran wisatawan. Pada kasus-kasus tertentu kita mungkin juga harus berkata “tidak” untuk pariwisata. Namun melalui pengembangan hubungan simbiosis mutualistis antara peninggalan budaya dengan pariwisata maka kekhawatiran yang berlebihan akan keselamatan situs dapat diminimalkan.
Dengan model pariwisata ini, masyarakat lokal mempunyai peluang lebih besar untuk terlibat secara penuh. Problem pelestarian warisan budaya juga akan memperoleh inspirasi baru. Berikutnya, Trowulan akan menjelma menjadi “panggung” kehidupan dengan peran utamanya rakyat. Tentu ini merupakan awal dari sebuah kerja kolosal yang juga akan menjadi awal sebuah perubahan bagi masyarakat ke arah yang lebih sejahtera.
Kepustakaan
- Susantio, Djulianto. 2003. “Pembangunan Fisik dan Nasib Situs Arkeologi”, Artikel di Harian Sinar Harapan , Sabtu, 19 April. No. 4386.
- Lundberg, Donald E; Mink H. Stavesnga, M Krishnamoorthy (alih Bahasa: Drs. Sofjan Jusuf, MA). 1997. Ekonomi Pariwisata. Jakarta: PT. Gramedia.
- Arnawa, I.G. Bagus L. 1998. “Mengenal Peninggalan Majapahit di Daerah Trowulan”, Penerbit Koperasi Pegawai Republik Indonesia (KPRI) Trowulan – Indonesia.
- Yulianto, Kresno. 2004. “Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Lindung”, Program Studi Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Jakarta.
- Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. 2003 “Sejarah Budaya Bahari Indonesia”. Penunjang Materi Diklat Pembekalan Kebudayaan dan Pariwisata.
- Mundardjito. 2003. “Pendekatan Studi Pemukiman Sebagai Strategi Kegiatan Arkeologi Terpadu”, Ceramah Ilmiah Jurusan Arkeologi FIB Universitas Indonesia, Depok, 24 April.
- Ponco Sutowo. 2000. “Pariwisata Sebuah Pendekatan Strategi Pembangunan Nasional”, Materi Dengar Pendapat Umum dengan Komisi IV DPR RI, 19 Juni.
Hendro Sewoyo adalah Sarjana bidang Sosiologi. Staf pada Asisten Deputi Urusan Litbang, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisat
Sumber:http://www.arkeologi.net/index1.php?id=view_news&ct_news=819
Tidak ada komentar:
Posting Komentar