Menunggu Lahirnya UU Antikekerasan dalam Rumah Tangga
PADA tanggal 10 Mei lalu penulis sempat berkunjung di sebuah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Ende, salah satu Kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk sebuah penelitian. Dalam perbincangan dengan kepala rumah sakit tersebut terungkap bahwa dalam setiap bulan petugas rumah sakit setidaknya menemukan satu pasien perempuan yang mengalami tindak kekerasan dari suami.
Ungkapan kepala rumah sakit itu menunjukkan bahwa kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di daerah itu cukup serius sekalipun tidak ditemukan data statistik resmi tentang kekerasan dalam rumah tangga di Kabupaten Ende. Keseriusan persoalan KDRT di kawasan timur Indonesia itu jelas sama seriusnya dengan yang terjadi di kawasan lain di Indonesia.
Seperti diungkap Komnas Perempuan dalam buku Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia, berdasarkan laporan Rifka Annisa Women’s Crisis Center di Yogyakarta dari tahun 1994 sampai 2001 tercatat 1.037 kasus kekerasan terha- dap istri. Di Jakarta, berdasarkan laporan Solidaritas Aksi Korban Kekerasan terhadap Anak dan Perempuan (Sikap) dari tahun 1998 sampai 2000 tercatat 92 kasus KDRT.
Kenyataan itu menunjukkan, persoalan kekerasan dalam rumah tangga terjadi melintasi batas-batas ras, suku, agama. Persoalan kekerasan dalam rumah tangga bukan dominasi masyarakat Jawa yang mayoritas muslim, tetapi juga masyarakat non-Jawa dengan mayoritas nonmuslim. Hanya saja di daerah tertentu seperti Jawa kasus kekerasan dalam rumah tangga terdokumentasi sementara daerah lain tidak terdokumentasi.
Persoalan ketidaktersediaan data statistik tentang kekerasan dalam rumah di banyak daerah di Indonesia seperti di Ende dan mungkin di beberapa daerah lain disebabkan karena beberapa hal. Pertama, kekerasan dalam rumah tangga masih dianggap sebagai persoalan privat. Anggapan ini tidak saja terjadi di kalangan masyarakat bawah, akan tetapi juga di kalangan elite sekalipun. Bahkan dalam ruang rapat paripurna DPR pun masih muncul, seperti dilansir hukumonline.com. Juru bicara salah satu partai menyebut persoalan rumah tangga adalah masalah privat. Akibat anggapan ini kasus kekerasan dalam rumah tangga cenderung didiamkan karena menjadi aib setiap rumah tangga yang harus ditutup-tutupi.
Kedua, tidak ada lembaga yang memberi layanan langsung (misalnya, crisis center) yang memberi pendampingan psikologis dan hukum untuk korban kekerasan dalam rumah tangga. Pengalaman di Yogyakarta menunjukkan, setelah terbentuk Rifka Annisa Women’s Crisis Center yang memberi layanan untuk perempuan korban kekerasan, angka KDRT terungkap sekalipun sebelumnya dinilai tidak ada bahkan cenderung ditolak.
Ketiga, tidak ada perlindungan hukum dari negara. Perlindungan hukum mencakup adanya aturan hukum yang jelas dan aparat hukum yang profesional serta ganti rugi yang efektif bagi korban. Ketiadaan aturan hukum yang jelas sering kali menjadi alasan keengganan aparat hukum untuk merespons laporan kasus kekerasan dalam rumah tangga. Akibatnya, kasus kekerasan dalam rumah tangga sering kali menjadi dark number.
Persoalan keterbatasan data statistik tentang KDRT di Indonesia, seperti disebutkan di atas, tidak serta merta menggugurkan pentingnya undang undang antikekerasan dalam rumah tangga (selanjutnya disebut UU anti-KDRT) di Indonesia apalagi menghambat proses legislasi yang sedang berlangsung di DPR saat ini. Faktor ketiadaan aturan hukum (undang-undang) tentang KDRT menjadi salah satu penyebab kekerasan dalam rumah tangga menjadi kejahatan tersembunyi.
UPAYA penghapusan KDRT di Indonesia menunjukkan perkembangan yang signifikan tahun ini meskipun tergolong terlambat kalau dibanding dengan Malaysia yang telah sejak lama memiliki Domestic Violence Act serupa dengan undang-undang anti-KDRT. Perkembangan penting itu muncul setelah Rapat Paripurna DPR pada tanggal 13 Mei 2003 lalu memutuskan membahas RUU KDRT ke dalam Bamus DPR.
Peristiwa pembahasan RUU KDRT dalam rapat paripurna DPR itu bukan peristiwa yang tiba-tiba, akan tetapi merupakan buah perjuangan berbagai kalangan yang peduli dengan masalah kekerasan terhadap perempuan yang tergabung dalam Jangka PKTP atau Jaringan Kerja Advokasi Kebijakan Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.
Meskipun bermula dari desakan aktivis perempuan, selanjutnya menjadi penting untuk dipahami oleh berbagai kalangan di negeri ini bahwa legislasi RUU anti-KDRT merupakan keharusan bagi Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi beberapa konvensi internasional tentang perempuan dan bukan karena desakan aktivis perempuan.
Anggota DPR dan pemerintah harus memaklumi bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi CEDAW (Convention on the Elimination of All forms of Discrimination against women) atau konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Sebagai konsekuensi dari ratifikasi ini Indonesia harus melakukan:
1. Pembentukan hukum dan atau harmonisasi hukum sesuai kaidah hukum yang terdapat dalam konvensi tersebut. Kewajiban ini dilakukan dengan mengkaji peraturan perundangan atau membuat perundangan baru berdasarkan konvensi yang telah diratifikasi.
2. Penegakan hukum mengenai hak-hak perempuan melalui pengadilan nasional dan lembaga pemerintah lainnya.
Selain itu, anggota DPR dan pemerintah juga harus memahami bahwa legislasi UU anti-KDRT memiliki nilai strategis bagi upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia serta memiliki nilai politis bagi partai-partai politik di DPR saat ini.
NILAI strategis penghapusan kekerasan terhadap perempuan adalah pertama, dengan diundangkannya UU anti-KDRT akan menggeser isu KDRT dari isu privat menjadi isu publik. Ketika isu ini telah menjadi isu publik hal itu diharapkan dapat meruntuhkan hambatan psiko- logis korban untuk mengungkap kekerasan yang diderita dengan tanpa dihantui perasaan bersalah karena telah membuka aib.
Kedua, UU KDRT akan memberi ruang kepada negara untuk melakukan intervensi terhadap kejahatan yang terjadi di dalam rumah sehingga negara dapat melakukan perlindungan lebih optimal terhadap warga negara yang membutuhkan perlindungan khusus (perempuan dan anak) dari tindak kekerasan.
Ketiga, UU KDRT akan berpengaruh pada percepatan perwujudan kebijakan toleransi nol kekerasan terhadap perempuan yang digulirkan pemerintah beberapa tahun lalu.
Adapun nilai politis untuk partai-partai politik, proses legislasi RUU KDRT akan menjadi tolok ukur komitmen partai-partai politik terhadap persoalan perempuan (selain persoalan kuota) yang akan dijadikan pertimbangan pemilih perempuan pada pemilu yang akan datang.
Akhirnya hanya ada dua pilihan bagi anggota DPR, menjadi barisan orang yang menentang kekerasan dalam rumah tangga atau barisan yang membiarkan kekerasan dalam rumah terus berlangsung.
Nur Hasyim Peneliti pada Rifka Anissa Research and Training Center Yogyakarta
Sumber: Kompas Cyber Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar