Polusi Memicu Perilaku Aneh pada Binatang
 
Ikan hiperaktif, katak-katak tolol, tikus        yang tak kenal takut, dan camar yang tiba-tiba jatuh        saat terbang, terdengar seperti hewan-hewan sirkus yang        aneh. Namun ini bukan pertunjukan. Banyak hewan di dunia        memiliki perilaku ganjil akibat polusi lingkungan.
Bahan-bahan kimia yang menjadi biang keladi keanehan        ini dikenal sebagai disruptor (pengganggu) endokrin.        Disruptor ini bervariasi mulai dari logam-logam berat        seperti timbal hingga polychlorinated biphenyls        (PCB) dan zat-zat aditif seperti bisphenol A. 
Selama beberapa dekade, ahli-ahli biologi sebenarnya        telah mengetahui bahwa bahan-bahan kimia ini bisa        mempengaruhi perilaku hewan. Dan akhir-akhir ini semakin        jelas bahwa polusi bisa menyebabkan efek pembelokan        gender dengan mempengaruhi fisik hewan, terutama organ        seksual mereka.
Namun kini dua penelitian telah menemukan bahwa        bahan-bahan kimia beracun ternyata memiliki efek yang        lebih besar terhadap perilaku hewan dibanding perkiraan        semula. Konsentrasi rendah bahan-bahan polutan itu        mengubah perilaku sosial dan perilaku kawin beberapa        spesies. Hal ini berpotensi menimbulkan ancaman lebih        besar terhadap kelangsungan jenis itu dibanding,        misalnya, menurunnya jumlah sperma akibat konsentrasi        bahan kimia tinggi.
Perilaku ganjil
Ada dua tim riset yang secara independen mengumpulkan        bukti-bukti mengenai efek polutan terhadap bangau dan        camar, siput, burung puyuh, tikus dan monyet, ikan-ikan,        elang, serta kodok. Perilaku yang diamati antara lain        perilaku kawin dan membesarkan anak, membuat sarang,        belajar, menghindari pemangsa, mencari makan, dan        lainnya.
Dalam satu penelitian, dimana burung-burung jalak        jantan terpengaruh insektisida, terlihat adanya        penurunan kemampuan berkicau, terbang dan mencari makan        hingga 50 persen. Sedangkan sejenis salamander yang        terkena pestisida endosulfan berkadar rendah menjadi        sulit membaui pheromon yang dikeluarkan pasangannya,        sehingga tidak terjadi perkawinan.
Ditemukan juga bahwa burung-burung camar jantan yang        menetas dari telur tercemar DDT mengalami perilaku aneh        dimana mereka berusaha mengawini sesama pejantan.        Sedangkan timbal akan mempengaruhi keseimbangan terbang        camar-camar itu, sementara atrazine membuat ikan koki        menjadi hiperaktif dan TCDD menjadikan monyet-monyet        makin kasar dalam bermain.
Walau sudah banyak bukti diperoleh, namun efek ini        ternyata tidak begitu diperhatikan oleh para toksikolog        yang pakar di bidang racun, kata Ethan Clotfelter dari        Amherst College di Massachusetts, pimpinan salah satu        tim, seperti ditulis dalam journal Animal Behaviour,        Agustus 2004.
Bukan hanya gagal mengetahui besarnya masalah yang        disebabkan disruptor endokrin, para toksikolog mungkin        juga lupa bahwa perubahan perilaku hewan bisa menjadi        pertanda betapa bebrapa bahan kimia sebenarnya berbahaya.        "Kita bisa saja melihat perubahan perilaku dan        menganggapnya biasa saja, lalu tiba-tiba kita sadar        populasi jenis ini telah terancam karenanya," kata        Clotfelter.
Dosis yang merusak
Hal serupa diungkapkan Dustin Penn dan Sarah Zala        dari Institut Konrad Lorenz bagian Comparative Ethology        di Akademi Ilmu Pengetahuan Austria di Vienna. Mereka        mempublikasikan penelitian kedua mengenai efek disruptor        endokrin di journal yang sama. "Hal yang patut disadari        adalah bahwa masalah ini telah meluas," kata Penn.
Kedua kelompok peneliti menghimbau agar para ahli        biologi sadar disruptor endokrin merupakan sumber        perilaku aneh pada binatang. Disebutkan pula bahwa        konsentrasi polutan yang berbeda bisa menimbulkan akibat        berlainan.
Tikus jantan yang terekspos pestisida dalam dosis        rendah misalnya, akan lebih sering menandai wilayahnya        dengan bau-bauan, namun bila dosis pestisida        ditingkatkan, tikus menjadi kehilangan perilaku itu sama        sekali.
"Bahan polutan yang dianggap aman ketika diuji coba        dalam dosis sedang, bisa jadi memiliki efek merusak        justru pada dosis yang lebih rendah," kata Penn dan Zala        dalam tulisannya. "Dan kebanyakan, resiko juga muncul        dalam dosis tinggi."
Oleh sebab itu, mereka menyarankan agar efek polutan        pada perilaku hewan seharusnya diberi prioritas tinggi.        "Telah makin disadari perilaku hewan adalah indikasi        penting untuk menentukan apakah suatu bahan kimia aman,        baik dalam dosis rendah maupun tinggi, suatu hal yang        sebelumnya kita abaikan." (newscientist.com/wsn)

 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar