'Menonton'' Naskah Lakon Mencari Ruang
Sangatlah menggembirakan mendengar kabar terbitnya buku kumpulan drama Mas Ruscita Dewi berjudul ''Rumah Bunga''. Di tengah sepinya minat terhadap naskah drama atau naskah lakon, tentu saja penerbitan buku kumpulan drama ini pantas diacungi jempol. Sebab, dalam hitungan kapital, buku sastra yang diminati saat ini berkisar pada prosa -- cerpen dan novel, sedikit puisi, dan minus drama.
TIDAKLAH berlebihan dikatakan, kreator dan publik sastra saat ini ibarat ''menonton'' naskah lakon mencari ruang. Menonton memang belum berarti pasif, bahkan dalam konsepsi teater, menonton adalah aktivitas ''bersaksi'' yang membutuhkan konsentrasi dan energi luar biasa. Namun dalam konteks naskah drama, menonton di sini berarti pasif, tanpa greget dan minat. Begitu pula dengan ruang, tidak sebatas ruang pertunjukan tempat di mana naskah lakon diusung, namun mencakup ruang-ruang lain, semacam wilayah publikasi tempat kreator bisa menyosialisasikan karyanya, dan publik bisa mengaksesnya. Ruang ini pun ternyata telah hilang.
KEBERADAAN naskah drama, sesungguhnya tidak dapat diabaikan dari jagad teater tanah air. Apabila dirujuk pengertian teater modern dan teater tradisional di Indonesia, salah satu unsur pembeda yang utama adalah ada atau tidaknya naskah yang dimainkan. Jamak diketahui bahwa teater tradisional menjumpai publiknya berdasarkan cerita yang berkembang di tengah masyarakat (sastra lisan), kemudian dimainkan dengan tingkat spontanitas dan improvisasi yang tinggi. Sebaliknya, teater modern -- meminjam ungkapan Goenawan Mohamad (1981) -- memiliki ''kerangka situasi'' berupa naskah drama yang menempatkan kerja artistik dan produksi teater tidak sekadar improvisasi.
Akan tetapi, pentingnya naskah lakon sebagai bagian dari teater Indonesia kurang disadari. Naskah seolah-olah hanya bagian dari sastra an-sich, sementara di dunia sastra sendiri naskah identik dengan teater. Akibatnya, sedikit sekali sastrawan yang bergiat di lapangan penulisan naskah, mungkin karena menganggap naskah lakon lebih merupakan wilayah teater. Sebaliknya, tidak banyak pula teaterawan yang menulis naskah sendiri, karena kentalnya anggapan bahwa penulisan, termasuk naskah drama, lebih merupakan wilayah sastra. Silang-sengkarut ini pernah diakui N. Riantiarno, dalam sebuah diskusi di Yogyakarta (2003).
Oleh karena itu tidak perlu heran, dibandingkan puisi, cerpen dan novel, genre sastra lakon di tanah air relatif ketinggalan. Secara kuantitatif misalnya, buku "Horison Sastra Indonesia" terbitan Majalah Sastra Horison (2001) yang terdiri dari ''empat kitab'' mencatat 110 orang penyair, 82 novelis, 71 cerpenis dan hanya 27 orang saja dramawan. Dalam hal ini, pernyataan Boen Sri Omariati (1971; dua dasawarsa lalu!) masih berlaku, yakni tentang sastra (di) Indonesia yang baru menghasilkan penyair, novelis dan cerpenis, belum ada dramaturgi.
Selain itu, kecenderungan kelompok teater di Indonesia yang lebih memilih naskah asing (terjemahan, saduran) daripada naskah asli secara tidak langsung ikut memunculkan krisis naskah drama Indonesia. Hal ini pernah dibicarakan dalam diskusi tentang ''naskah pribumi'' yang diadakan Yayasan Senthong Seni Bangunjiwa Yogyakarta, bulan April 2002 yang menghadirkan Heru Kesawa Murti, Hanindawan dan Dra. Yudiaryani, MA, sebagai pembicara. Dalam diskusi tersebut terungkap antara lain bahwa dramawan kita belum sepenuhnya bebas dari rasa phobi yakni menganggap naskah asing lebih ''agung'' daripada ''naskah pribumi'', di samping faktor lain seperti kurangnya media publikasi bagi naskah drama serta mulai renggangnya ''tegur-sapa'' antara sastra dan teater.
Situasi ironis seperti ini sebenarnya tidak perlu terjadi apabila disadari hubungan yang signifikan di antara keduanya. Dalam kerangka yang lebih luas, hubungan teater dan sastra terkukuhkan oleh istilah drama. Henry Guntur Tarigan (1984), merujuk buku "Webster's New Collegiate Dictionary" menyatakan bahwa drama merupakan karangan berbentuk prosa atau puisi yang direncanakan bagi pertunjukan teater; suatu lakon. Dalam konteks ini, drama memiliki pengertian sebagai theatre atau performance. Selain itu, ada pula naskah yang ditulis sebagai bahan bacaan, bukan untuk produksi panggung. Drama jenis ini dikenal dengan sebutan textplay atau repertoir atau closet drama. Apapun istilahnya, yang jelas sastra dan teater memiliki hubungan yang erat, terlebih pada drama sebagai theatre atau performance.
Tidaklah berlebihan ungkapan Hasanuddin WS (1996) bahwa drama merupakan karya dalam dua dimensi, yaitu sebagai genre sastra dan sebagai seni lakon, seni peran atau seni pertunjukan. Kemudian Boen Sri Oemarjati (1971) menyatakan pula bahwa sejarah drama di Indonesia tidak bisa lepas dari pembicaraan sejarah kesusastraan Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada sejumlah karya dan sosok sastrawan/dramawan di Indonesia, selain dikenal sebagai seorang sastrawan, tidak jarang mereka adalah juga seorang dramawan atau sebaliknya. Nama-nama seperti Putu Wijaya, N. Riantiarno, Arifin C. Noer, Wisran Hadi, Saini KM, WS Rendra, Mohamad Diponegoro dan lain-lain, merupakan sastrawan dan sekaligus dramawan, tidak saja karena mereka pendekar di dunia sastra, serta memiliki grup teater yang aktif, akan tetapi juga dikarenakan karya-karya drama mereka memiliki orientasi panggung yang kuat.
Merujuk pada dua jenis pengertian drama di atas, maka karya-karya mereka tersebut tidak hanya berhenti sebagai closet drama tetapi juga sebagai performance. Ini bukan berarti, naskah-naskah jenis textplay seperti yang ditulis Nasiah Djamin, Kirdjomuljo, B. Soelarto, Sitor Situmorang, Ali Audah, Motinggo Busje, Iwan Simatupang, Bakti Soemanto dan lain-lain tidak memberi sumbangan bagi hubungan sastra dan teater tetapi keadaan ini semestinya lebih memicu munculnya variasi hubungan yang lebih memperkaya keberadaan naskah drama Indonesia.
Akan tetapi kini, naskah sebagai ''kerangka situasi'' boleh dikatakan tanpa situasi; tidak ada upaya untuk mengkondisikan iklim kreatif ke arah lahirnya naskah drama kita.
IRONISNYA, semua itu terjadi justru di tengah maraknya dunia sastra Indonesia, baik penciptaan maupun publikasi. Puisi, cerpen dan novel, terus lahir dan berkompetisi, sedang naskah drama seperti tidak ikut ambil bagian. Salah satu penyebabnya adalah tidak adanya media publikasi yang mau menampung karya drama, sebagaimana pada genre sastra yang lain. Selain itu, kreator yang tertarik menekuni penulisan naskah relatif sedikit, termasuk faktor publik Indonesia yang tidak terbiasa membaca naskah drama.
Ada memang lomba naskah drama seperti dilakukan Dewan Kesenian Jakarta, namun kalah pamor dibanding prosa. Indikasinya antara lain, pemenang naskah rata-rata kreator ''tua'' dan nyaris itu-itu saja orangnya, berbeda dengan prosa yang memunculkan nama-nama baru dari kalangan muda. Artinya, tidak terjadi proses regenerasi pada penulisan naskah lakon. Kemudian novel yang menang pastilah diterbitkan menjadi buku, sedang naskah lakon silakan dimakan ngengat atau tergeletak di rak berdebu.
Dalam konteks ruang ini pula, menarik melihat situasi zaman. Apabila dilihat sekilas, pada zaman tersebut mestinya naskah drama mengalami krisis pertumbuhan atau bahkan mungkin mati. Hal ini terkait dengan refresifnya pemerintahan fasis Jepang terhadap perkumpulan, event dan aktivitas seni-budayanya. Namun, apa yang terjadi sungguh di luar dugaan. Menurut Boen Sri Omerjati, zaman Jepang (1926-1942) memang refresif, tetapi pertumbuhan naskah drama Indonesia justru tercatat paling subur. Salah satu faktornya adalah keberadaan para kreator yang tidak mudah menyerah, sebaliknya mampu memanfaatkan setiap peluang dan ruang yang ada.
Padahal awalnya, penulisan naskah pada zaman Jepang dimaksudkan sebagai upaya sensor karena setiap kelompok teater yang akan pentas harus menyerahkan naskahnya terlebih dahulu kepada pihak berwenang. Lewat cara inilah sensor dengan mudah dilakukan. Tapi situasi refresif disikapi oleh kreator Indonesia, salah satunya dengan strategi menulis lakon yang menggambarkan suasana perjuangan bangsa Asia khususnya dalam menghadapi perang dunia kedua. Jepang tidak mungkin menyensor karena cocok dengan semangat ''Asia Timur Raya'' yang dikobarkannya. Namun di balik itu, semangat perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia dapat dikobarkan pula, sekaligus ratusan naskah drama tercipta. Inilah yang dilakukan oleh Rustam Effendi, Muhammad Yamin, Sanusi Pane, El-Hakim, Usmar Ismail, Idrus dan lain-lain. Mengapa sekarang, di tengah semaraknya sastra Indonesia dan adanya kebebasan berekspresi, naskah drama malah terlupakan?
Padahal pula, sastra Indonesia dewasa ini, memiliki ''keunikan'' tersendiri, khususnya dalam publikasi. Salah satu yang menarik adalah keberadaan ''sastra koran''. Seorang peneliti sastra Indonesia dari Jerman, Katrin Bandel (2003) mengatakan, di Barat tidak dikenal istilah ''sastra koran'', akan tetapi Indonesia mengenalnya. Hal ini mestinya dapat dibaca sebagai peluang positif ke arah penulisan kreatif, setidaknya sebagai bahan perbandingan yang dapat memotivasi penulisan naskah drama.
Sebagaimana diketahui, sastra koran terbukti mampu melahirkan banyak karya sastra, seperti puisi, cerpen dan novel, tapi, sekali lagi, tidak naskah drama. Dari media publikasi misalnya, hampir setiap koran (khususnya edisi Minggu) memuat puisi, cerpen dan novel (cerita bersambung), sedangkan rubrik naskah drama sama sekali tidak ada. Begitu pula majalah dan jurnal sastra yang terbit di Indonesia, seperti Horison dan Kalam, memang sesekali memuat naskah drama Indonesia, namun itu sangat jarang terjadi. Ketika media sastra memasuki babak baru dengan maraknya penerbitan buku (sastra), khususnya prosa yang konon cukup laku di pasaran, naskah drama tetap tak punya ruang sosialisasi. Sesekali naskah drama memang terbit juga sebagai buku, sebagaimana dilakukan Penerbit Angkasa (Bandung) dan Yayasan Untuk Indonesia (Yogyakarta), tetapi tidak sebanding dengan buku cerpen dan novel.
Dalam hal ini alasan pasar sering menjebak bahkan sudah menjadi sangat klise, padahal apa pun alasannya, ketiadaan media sosialisasi bagi naskah drama berarti adalah kemunduran. Menurut Jakob Sumardjo (1992), kuatnya tradisi teater tradisional Indonesia yang tidak mengenal naskah drama menjadi salah satu penyebab kurang dikenalnya drama sebagai teks (sastra), kecuali sebatas pertunjukan semata. Akibatnya, minat masyarakat untuk membaca naskah drama sangatlah kurang sehingga penerbit mesti berpikir tiga kali sebelum menerbitkan buku drama, bahkan redaktur majalah atau surat kabar juga ikut demikian.
Situasi ini justru berbeda jauh dengan zaman Pujangga Baru sampai tahun 1960-an ketika naskah drama memiliki media sosialisasi yang setara dengan genre sastra lainnya. Berbagai majalah menyediakan ruang yang luas untuk itu, bahkan jika perlu sebuah edisi semuanya berisi naskah drama. Majalah Budaya, Siasat, Indonesia, Seni, Aneka, Teruna Bakti dan Minggu Pagi merupakan sederet majalah yang memiliki rubrik khusus untuk naskah drama. Pada tahun 1980-an, Harian Kompas pernah memuat drama ''Panembahan Reso'' karya Rendra sebagai cerita bersambung, tapi sayang tidak dilanjutkan dengan naskah lakon lainnya.
Tentu saja kelangkaan atau ketiadaan ruang publikasi secara tidak langsung mengurangi minat orang pada naskah drama (kreator, publik, peneliti, dan sebagainya). Memang hal ini tidak berarti kiamat. Sebagai karya dua dimensi (sastra dan teater), naskah drama memang tidak mutlak hidup dari ruang publikasi sastra semata, karena naskah drama, khususnya yang bersifat performance, bisa hidup di panggung teater. Panggung inilah yang akan mengusung sebuah naskah kepada audiensnya. Akan tetapi siapa yang dapat menjamin sebuah naskah akan lahir di tengah iklim kreatif yang kurang sehat dan tak adil? Ini tantangan bagi kita semua.
Oleh: Raudal Tanjung Banua, alumnus Jurusan Teater ISI Yogyakarta, dan Koordinator Komunitas Rumahlebah
Sumber: Bali Post
Tidak ada komentar:
Posting Komentar