Join emridho's empire

Senin, 16 Januari 2012

Melampaui Kosmopolitanisme Politik

Melampaui Kosmopolitanisme Politik
Bom kembali meledak di Bali awal Oktober 2005. Beberapa bulan silam jantung kota-kota Eropa diguncang oleh nasib serupa. Pembom datang tiba-tiba, menyerang lalu melumatkan sekian banyak korban.Terorisme kini bukan hanya hantu yang menggerayangi Amerika dan Eropa, tapi juga pelbagai belahan dunia, tak terkecuali Dunia Ketiga.
Kaum teroris menyebar ke berbagai penjuru, tanpa pusat yang pasti, dengan sekian motif serta agenda. Hingga hari ini kita hanya bisa menyaksikan dampaknya yang mencekam siapa pun, termasuk mereka yang berada di luar kategori yang menghendaki kaum teroris sebagai musuh yang harus dihancurkan. Terhadap peristiwa yang paling mengerikan yang pernah terjadi di kosmos ini setelah Perang Dunia II itu, berbagai tafsir dan konseptualisasi diajukan untuk menguraikan tindakan teror dalam lanskap politik global.

Mendelegitimasi Pencerahan
Modernitas yang ditandai dengan pencapaian subyektivitas menempatkan manusia berdiri sejajar di atas permukaan bumi atau kosmos. Sebuah kosmos, sejak Yunani Kuno, berarti keseluruhan tatanan yang diatur dengan prinsip-prinsip dan hukum-hukum tertentu. Kant mengapresiasi pengertian kosmos ini dalam konteks etis maupun politis: kosmopolitanisme.
Kosmopolitanisme berarti kepemilikan bersama atas permukaan bumi berdasarkan prinsip-prinsip imperatif universal. Konsep Immanuel Kant mengenai kosmopolitanisme menjadi titik tolak Habermas dan Derrida dalam rangka kritiknya terhadap institusi maupun konstitusi politik warisan Pencerahan yang dianggap oleh keduanya gagal menciptakan kesejahteraan bagi umat manusia. Rangkaian tragedi kemanusiaan yang mewarnai abad XX seperti dua Perang Dunia, Nazisme, Stalinisme, dan Rasisme mendesak kita menggagas ulang makna konsep-konsep yang lahir dari rahim Pencerahan. Elemen traumatis yang ditinggalkan oleh semua tragedi kemanusiaan abad ini, terutama peristiwa teror, adalah akibat negatif atau krisis Pencerahan yang sudah klasik dan tak lagi memadai.
Derrida dan Habermas bergerak dalam lintasan wacana Pencerahan tentang toleransi, keadilan, dan tanggung jawab, lalu mencoba menempatkan kembali wacana ini dalam konteks demokrasi radikal, yaitu suatu politik universal melampaui kosmopolitanisme sebagaimana yang pernah ditegaskan oleh Kant. Derrida dan Habermas sepakat bahwa toleransi memiliki asal-usul keagamaan yang kemudian diapresiasi oleh politik sekuler sehingga tak heran bila toleransi sering dipraktikkan dalam semangat paternalistik, bahkan berat sebelah. Toleransi diandaikan berlangsung dalam payung otoritas politik yang dominan atas yang lain, minoritas.
Dalam pandangan Habermas, pola toleransi yang berat sebelah dapat dinetralkan jika toleransi dipraktikkan dalam konteks sebuah sistem politik yang partisipatoris sebagaimana disediakan oleh demokrasi deliberatif. Toleransi mengandaikan sikap warga negara terhadap yang lainnya berdasarkan hak dan kewajiban yang sama sehingga tidak ada ruang bagi otoritas tertentu yang diperbolehkan secara sepihak menentukan batas-batas, apa yang dapat ditoleransi dan apa yang tidak. Sebagai konsekuensinya, keadilan dan tanggung jawab niscaya diletakkan dalam konteks yang sama.
Habermas menekankan pentingnya toleransi dan konsensus rasional dalam masyarakat demokratis atau global. Toleransi harus dipandang secara positif baik etis maupun politis. Ia dipandang secara etis karena mengandaikan kebenaran dari yang lain. Ia dipandang secara politis karena mampu membentuk konsensus rasional. Pemihakan ini adalah turunan dari gagasan Habermas mengenai demokrasi konstitusional sebagai satu-satunya sistem yang dapat mengakomodasi komunikasi bebas dominasi dalam rangka pembentukan konsensus rasional.
Argumentasi ini bertolak dari kekeliruan dalam mendasarkan identitas suatu negara-bangsa pada tradisi hukum klasik. Satu-satunya artikulasi yang sah tentang identitas suatu bangsa, dengan atau tanpa masa lalu, ialah patriotisme konstitusional di mana kesetiaan pada konstitusi merupakan bentuk partisipasi seluruh warga negara berdasarkan konsensus. Kesetiaan pada konstitusi ini mengungkapkan pula loyalitas kepada hak- hak keadilan dan tanggung jawab universal, terutama dalam masyarakat yang kompleks dan multikultural.
Sebaliknya, Derrida menganggap toleransi masih mengandung kekuasaan dalam arti tertentu terhadap yang lain. Karena toleransi masih mensyaratkan kesesuaian dengan hukum- hukum yang berlaku dalam teritori tertentu, dalam arti ini toleransi merupakan metafor mengenai kekuasaan atas yang lain. Derrida melawankan konsep toleransi dengan kesanggrahan (hospitality), sebuah terminologi yang bertolak dari Kant, tetapi berbeda dari pemahaman Kant yang masih menempatkan kesanggrahan sebagai tuntutan imperatif moral. Melalui kesanggrahan, Derrida memperkenalkan pendekatan baru dalam etika dan politik, yaitu kewajiban unik seseorang terhadap yang lain berupa kemurahan hati dan membuka diri dalam pembentukan konsensus yang berlangsung secara terus-menerus tanpa akhir. Melalui kesanggrahan ini keunikan dan perbedaan masing-masing dapat dihargai. Ia membagi kesanggrahan ini dalam dua pola.
Pertama, toleransi bersyarat yaitu hak invitasi. Sebagai hak invitasi, kesanggrahan menjadi syarat bagi kemungkinan konvensi-konvensi internasional. Toleransi bersyarat inilah yang mendominasi sistem hukum klasik. Kedua, toleransi tak bersyarat yaitu hak visitasi. Sebagai hak visitasi, kesanggrahan memungkinkan teritori dalam risiko maksimal sebab ia tidak memiliki pertahanan sistematis dalam dirinya, kesanggrahan tidak memiliki status khusus secara politis maupun hukum. Dari sudut pandang kesanggrahan tak bersyarat atau hak visitasi ini dapat diperoleh suatu perspektif kritis atas batas-batas hak kosmopolitan dalam pengertian Kant. Hak kosmopolitan ini mensyaratkan seluruh tindakan harus sesuai dengan hukum yang berlaku hingga dalam arti tertentu sangat totaliter.
Kosmopolitanisme ala Kant yang masih mengandaikan kesesuaian tindakan dengan hukum inilah yang hendak dihindari oleh Derrida dengan mengajukan pengertian baru pada konsep tentang keadilan sebagai sesuatu yang melampaui hukum. Sebab kalau tidak, keadilan akan tereduksikan hanya kepada dapat dilaksanakannya hukum (positivisme). Sebagai produk sosial dan politik, hukum bersifat terbatas, relatif, dan tidak pernah imun dari hukum sejarah. Keadilan selalu berada di luar dan di dalam hukum sekaligus, demikian Derrida. Keadilan berada di batas tegangan antara keduanya. Asumsi ini sekaligus menegaskan perbedaan antara hukum dan keadilan; hukum bersifat universal, sementara keadilan bersifat khusus.
Jika wilayah hukum mengandaikan ciri-ciri umum yang terkandung dalam aturan, norma, dan hal ihwal yang imperatif universal sehingga sering jatuh pada totalitarianisme dalam praktiknya; sebaliknya, keadilan menyangkut individu, keunikan hidup, dan situasi khas manusia. Hukum selalu beroperasi di dalam domain kepastian, dapat dikalkulasi dan diprediksi. Sementara itu, keadilan memperhitungkan apa yang tidak mungkin dikalkulasi dan memutuskan apa yang tidak mungkin dapat diputuskan. Dengan kata lain, keadilan mengandaikan pengalaman aporia dan khas dari seseorang. Keadilan tidak semata- mata mengacu pada hukum, tetapi juga melampaui hukum. Keadilan selalu berada dalam lingkaran negosiasi sosial dan pertimbangan politis terus-menerus sampai menjumpai batas-batasnya sendiri.

Globalisasi dan tiga momen otoimun
Globalisasi, demikian Habermas, merupakan keniscayaan sejarah, tetapi juga telah menginjeksikan kepalsuan dalam spiral komunikasi sehingga dalam praktiknya sering melahirkan distorsi komunisi. Resistensi dari sebagian kelompok tertentu bahkan memanifestasi dalam tindakan teror yang berasal dari distorsi komunikasi. Globalisasi secara kejam telah membagi dunia ke dalam kelompok: pemenang dan pecundang. Analisis Habermas ini melanjutkan proyek Sekolah Frankfurt dalam mendiagnosis patologi yang diidap masyarakat modern. Patologi itu berupa distorsi komunikasi dalam masyarakat global. Diagnosis terhadap patologi modernitas ini penting diajukan bukan untuk mengafirmasi globalisasi, tetapi mengidentifikasi aspek-aspek yang berbahaya yang dikandungnya, salah satunya adalah terorisme.
Terorisme berjalin-kelindan dengan pemahaman fundamentalisme dalam menafsirkan doktrin-doktrin agama ketika merespons modernitas. Fundamentalisme adalah reaksi terhadap kegagalan sekularisasi dan ekstensifikasi rasionalitas instrumental atas dunia kehidupan (Lebenswelt), sekularisasi telah mencerabut bentuk-bentuk kehidupan tradisional mereka. Ketercerabutan yang diikuti oleh homogenisasi budaya, juga identitas, membuat para individu di dalam masyarakat terasing dari komunitasnya.
Fundamentalisme menemukan bentuknya yang paling ekstrem dalam terorisme. Terorisme secara eksklusif bersifat modern. Fundamentalisme bukanlah gerak kembali yang sederhana kepada suatu cara yang pramodern dalam memahami agama, tetapi lebih sebagai respons panik dan gagap menghadapi modernitas dan globalisasi. Kepanikan ini ditandai dengan resistensi diri terhadap prinsip- prinsip kehidupan global. Resistensi diri ini termanifestasi dalam sikap religius yang berlebihan dan menutup kemungkinan komunikasi dengan dunia luar. Keterputusan komunikasi ini melahirkan kekerasan dalam wujud tindakan teror. Dalam konteks demokrasi global, terorisme memiliki dimensi politik yang berbeda dengan tindak kekerasan biasa karena sifatnya yang mampu mendelegitimasi pemerintahan demokratis.
Berbeda dengan Habermas, Derrida menampik globalisasi sebagai keniscayaan sejarah karena globalisasi tak pernah mengambil tempat di dalam sejarah. Globalisasi tak pernah terjadi, yang terjadi adalah mondialisasi seluruh tatanan masyarakat dunia. Globalisasi tak lebih sebagai kelicikan retoris yang bertujuan menyembunyikan ketidakadilan. Globalisasi hanya merayakan kepentingan kelompok-kelompok tertentu dengan memanfaatkan kemajuan tekno-sains. Globalisasi atau mondialisasi telah menciptakan penderitaan yang belum pernah ada presedennya dalam sejarah: kemiskinan, kelaparan, kerusakan lingkungan, AIDS, dan seterusnya. Globalisasi hanya merupakan delusi, suatu alat tipu daya untuk menyembunyikan ketidakseimbangan yang muncul, suatu kegelapan baru, suatu kesembronoan komunikasi lewat media, suatu penguasaan menyeluruh sarana produksi, teknologi, dan militer oleh segelintir negara atau korporasi internasional untuk mereka kangkangi sendiri. Dengan demikian, globalisasi telah menunjukkan kekuatan imunitas maupun otoimunitasnya sendiri.
Otoimunitas merupakan kata kunci untuk memahami gagasan Derrida mengenai terorisme sebagai konsekuensi dari globalisasi atau mondialisasi. Otoimunitas adalah sebuah kondisi otoimunisasi yang selanjutnya menghancurkan proteksinya sendiri. Dilihat dari konteks lahirnya terorisme, otoimunitas ini melalui tiga momen peristiwa.
Pertama, perang dingin di kepala, yaitu perang yang berlangsung di kepala ketimbang di daratan dan udara. Dilihat dari kontinuitasnya dengan Perang Dingin, para pembajak yang berpaling melawan Amerika Serikat sebenarnya telah dilatih oleh dinas rahasia AS sendiri selama invasi Uni Soviet di Afganistan. Boleh jadi, demikian Derrida, peristiwa 11 September merupakan babak akhir dari ledakan internal Perang Dingin.
Kedua ialah apa yang disebut oleh Derrida lebih buruk daripada Perang Dingin, baik secara historis maupun secara psikologis. Secara historis, musuh tidak dapat diidentifikasi dan dikalkulasi serta tidak dapat dituntut pertanggungjawaban, tidak sebagaimana dalam Perang Dingin dengan aktor-aktor yang jelas. Selanjutnya, secara psikologis ia menimbulkan pengalaman traumatis yang mengarah ke masa depan. Pengalaman traumatis ini melukai masa depan sebanyak ia melukai masa kini.
Ketiga, lingkaran setan penindasan. Ini menggambarkan cara bagaimana (dengan mengumumkan perang melawan terorisme) koalisi negara-negara Barat membangkitkan perang melawan dirinya sendiri. Ketiga teror otoimun yang didedahkan Derrida ini tidak dapat dibedakan. Ketiganya saling mengandaikan dan menentukan satu sama lain. Derrida telah memperlihatkan elemen-elemen destruktif globalisasi yang telah mengaburkan batas-batas kategori: teror, teritori, dan terorisme.
Derrida dan Habermas berikhtiar memperlihatkan bahwa terorisme merupakan konsep yang sulit ditangkap dan dipahami karena sifatnya yang sangat kompleks. Terorisme ditandai dengan kekaburan konseptual dan tanpa referensi. Media Barat secara serampangan menggunakan terminologi terorisme seakan-akan sudah jelas dengan sendirinya. Melalui media-media global, Amerika Serikat dan sekutunya memaklumatkan perang melawan terorisme, sebuah maklumat yang ditolak oleh Habermas dan Derrida. Habermas menganggap perang melawan terorisme merupakan kekeliruan besar, baik secara normatif maupun pragmatis. Secara normatif, maklumat itu menaikkan penjahat ke status musuh dalam perang, padahal musuh tersebut belum teridentifikasi. Secara pragmatis, perang tidak dapat dilancarkan terhadap jaringan yang tidak sepenuhnya memiliki identitas gamblang.
Terorisme seperti hantu yang menebar ke seluruh dunia. Seturut dengan Habermas, Derrida melihat maklumat perang terhadap terorisme adalah ungkapan yang paling kacau dan lucu. Maklumat itu justru membangkitkan kembali, dalam jangka pendek maupun panjang, motif-motif kejahatan yang ingin diberantasnya. Bukan berarti keduanya sepakat terhadap tindakan teroris, bagaimanapun tindakan tersebut tak dapat dibenarkan atas nama Tuhan sekalipun karena telah menghilangkan hak hidup sebagian orang. Keduanya sedang melakukan otokritik terhadap demokrasi Barat.

Menuju demokrasi radikal
Di hari-hari ini wacana demokrasi Barat, yang benih-benihnya telah disemaikan sejak Liberalisme klasik, terbukti telah gagal mengakomodasi masyarakat yang kompleks. Dalam masyarakat kompleks dewasa ini dibutuhkan satu demokrasi radikal dengan merevisi kosmopolitanisme Kant, bahkan melampauinya. Habermas memodifikasi konsep Kant tentang ruang publik secara substansial. Immanuel Kant masih menganggap komunikasi terjadi dalam ruang publik soliter, sementara Habermas menekankan komunikasi dalam ruang publik secara keseluruhan. Komunikasi tidak bisa dijamin berlangsung dalam ruang publik soliter ala Kant karena praksis kehidupan sehari- hari kita bertumpu pada suatu dasar yang kukuh, yaitu kenyataan bahwa kita memiliki latar keyakinan, kebenaran, budaya, dan harapan yang saling mengandaikan.
Alih-alih mengafirmasi kosmopolitanisme Kant, Derrida meletakkan cita-cita demokrasi di luar kosmopolitanisme atau kewarganegaraan dunia, melampaui kekuasaan tertinggi politik, ekonomi, dan hukum. Derrida mengajukan suatu demokrasi radikal, yaitu demokrasi mendatang: sebuah demokrasi yang belum eksis saat ini, tidak dapat dipresentasikan, bukan ide regulatif dalam pengertian Kant. Namun, demokrasi ini menyambut baik kemungkinan untuk digugat, untuk menggugat diri sendiri, mengkritik dan ikhtiar untuk terus-menerus memperbaiki diri.
Demokrasi Barat dalam arti ini merupakan proses yang berlangsung secara terus-menerus sampai pada batas-batasnya sendiri. Derrida dan Habermas telah meretas jalan dengan mengevaluasi secara menyeluruh prinsip-prinsip yang mendasari Pencerahan Barat. Keduanya bertolak dari ikhtiar untuk menyegarkan kembali kosmopolitanisme Kant.
Habermas melihat Pencerahan sebagai masa lalu yang harus direkonstruksi pada konteks hari ini, sementara Derrida secara radikal mendesak Pencerahan menuju perbatasannya, suatu keterarahan kepada masa depan melalui manifestasinya yang terkini. Pencerahan itu ada di masa depan, tetapi tidak dapat diprediksi dan diidentifikasi. Ia merupakan proses yang tak pernah sudah.
I have had occasion to say that deconstruction is a project in favour of the Enlightenment (Les Lumiƃ¨res), and that one must not confuse the Enlightenment of the eighteenth century with the Enlightenment of tomorrow, kata Derrida suatu hari.
Dr YUDI LATIF Wakil Rektor Universitas Paramadina, Jakarta Abdul dubun Hakim Dosen Sejarah Filsafat Eropa Universitas Paramadina, Jakarta
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0512/03/Bentara/2246603.htm

Tidak ada komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Mahasiswa Teknik Industri Universitas Andalas 2009 Alumni Ponpes Asy-Syarif Angkatan 09,, Alumni Ponpes Madinatul Munawwarah angkatan 06.