Kritik Historisisme Historiografi Peristiwa 1965
Tiga puluh tahun setelah Peristiwa 1965, saya bersama beberapa kawan meriset buat penulisan buku Bayang-Bayang PKI. Saya menggunakan hasil penelitian beragam sejarawan dengan kecenderungan dan perspektif berbeda sebagai rujukan. Dalam upaya memperoleh temuan lebih baru, saya menyurati Lyndon B Johnson Presidential Library dan National Security Archives. Meriset sumber atau bahan-bahan merupakan bagian dalam penahapan rekonstruksi sejarah terhadap peristiwa silam.
Buku itu terbit pada Desember 1995, ketika kekuasaan Orde Baru masih menancap kuat dan aparatus ideologi negara memiliki penafsiran tunggal atas Peristiwa 1965. Tak lama setelah terbit, pada 22 April 1996 buku tersebut dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Salah satu anak kalimat di surat keputusan pelarangan: memutarbalikkan atau mengaburkan fakta sejarah peristiwa G-30-S/PKI, di samping memuat keterangan yang tendensius.
Dari sebuah peristiwa politik di masa lalu lahir banyak tulisan, artikel, dan buku dengan beragam versi. Berbagai hipotesis yang dilahirkan dari situ memperlihatkan ilmu sejarah menghormati setiap temuan atau bukti baru yang mungkin saja dapat menggugurkan tesis sebelumnya. Historiografi Peristiwa 1965 merupakan pengantar untuk membahas tema kebenaran sejarah dalam tulisan ini.
Matinya ilmu sejarah?
Kebenaran sejarah merupakan tema penting sejak RG Collingwood, bapak ilmu sejarah modern, di awal abad 20 memperkenalkan pola penulisan sejarah yang telah diteorikan dan dimetodologikan sehingga penulisan atas suatu peristiwa di masa lalu bisa diharapkan lebih mendekati kebenaran dengan menjaga prinsip-prinsip obyektif yang dimiliki.
Filsafat dan metode ilmu sejarah yang diajarkan di beberapa perguruan tinggi yang memiliki jurusan sejarah di Indonesia merupakan turunan dari progresivitas ilmu pengetahuan sejak Zaman Pencerahan di Eropa Barat. Di sinilah soalnya: sejak para filsuf pascastrukturalis dan pascamodernis memperkenalkan teori pascastrukturalisme dan pascamodernisme sebagai kontemplasi mereka terhadap relasi ilmu pengetahuan dan kekuasaan setelah demonstrasi mahasiswa yang terkenal di Paris akhir 1960-an gagal, (ilmu) sejarah dilihat telah mati.
Kritik terpenting pascastrukturalisme dan pascamodernisme adalah menyangkut historisisme. Baik pascastrukturalisme maupun pascamodernisme menolak paham yang mengatakan sejarah memiliki pola umum, bahwa masyarakat berkembang ke arah lebih baik dari zaman ke zaman. Sejarah konvensional memasukkan peristiwa-peristiwa berdasarkan pembabaran besar dalam suatu proses yang linier. Sejarah sebagai suatu narasi besar diperlihatkan melalui peristiwa dan tokoh besar dengan mendokumentasikan asal-usul kejadian, menganalisis genealogi, lalu membangun dan mempertahankan singularitas peristiwa, memilih peristiwa yang dianggap spektakuler (seperti perang), serta mengabaikan peristiwa yang bersifat lokal dan tanpa kekerasan (kehidupan di pedesaan, misalnya).
Cara menulis, memahami, dan memberi makna peristiwa masa lalu seperti ini dinilai sudah usang. Pemikir pascastrukturalis Jean-Francois Lyotard dalam The Sign of History (1989: 393ff) secara sinis menyebutkan teori-teori besar sejarah modern yang dibangun sejak Marx dan Engels dengan materialisme-historisnya, juga para penganut teori demokrasi liberal beserta teori ekonomi pasca-Keynesian, telah runtuh. Ia menggunakan Peristiwa Auschwitz 1945, Peristiwa Budapest 1956, protes mahasiswa 1968, dan krisis ekonomi dunia 1974 sebagai titik pijak gugatannya.
Dari sinisme Lyotard bisa dimaknai bahwa setiap momen atau peristiwa di muka bumi ini tak lagi bisa dilihat dari perspektif deterministik historisnya pendekatan Marxian semata. Menurut Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe dalam Hegemony and Socialist Strategy: Towards A Radical Democratic Politics (2001: 105ff), analisis kelas tak mungkin lagi digunakan untuk mengonstruksi (baca: memahami) setiap momen atau peristiwa sejarah. Kedua teoritikus politik pasca-Marxisme ini memperkenalkan analisis wacana sehingga setiap momen atau peristiwa dipahami secara esensial, tak lagi historis terus-menerus.
Laclau dan Mouffe mencontohkan bahwa pada suatu peristiwa sosial-politik, dalam diri seorang individu melekat beberapa identitas sekaligus. Seorang buruh di dalam dirinya melekat beberapa identitas sekaligus: seorang Batak (etnisitas atau ras), seorang Kristen (agama/kepercayaan), atau seorang perempuan (gender). Buruh itu, karena beberapa identitas yang melekat, bisa saja terlibat pada berbagai kegiatan sosial-politik berdasarkan keragaman identitas tadi. Tak sesederhana analisis kelas, antagonisme terjadi karena identitas kelas sosial yang melekat dalam diri aktor-aktor atau subyek dalam masyarakat.
Jauh sebelum kemunculan pascamodernisme, pada dasawarsa 1920-an dan 1930-an sekelompok sejarawan Perancis seperti Marc Bloch, Lucien Febvre, yang diteruskan oleh Labrouse, Simiand, dan yang paling fenomenal Fernand Braudel melahirkan mazhab baru Braudellian di dalam ilmu sejarah, yang meninggalkan paradigma lama sejarah konvensional. Dikenal sebagai French School of les Annales, para sejarawan ini memperkenalkan pendekatan histoire totale: melihat sejarah dari perspektif pemikiran dan perbuatan rakyat kebanyakan secara menyeluruh.
Para sejarawan Perancis ini ingin menampilkan nilai kebenaran sejarah melalui ketelitian metode berdasarkan empirisisme dan logika. Oleh sebab itu, fokus mereka tak lagi narasi organisasi kekuasaan, otoritas politik, dan relasi ekonomi sebagai sejarah makro, tetapi kepada serpihan-serpihan peristiwa sejarah sosial sebagai suatu sejarah mikro. Bisa dikatakan les Annales memberi kontribusi kepada perspektif baru ilmu sejarah dan merupakan sumber penggalian ide pemikiran pascamodernis pada dasawarsa 1960-an di Eropa maupun Amerika Serikat.
Sinisme Lyotard dan kritik Laclau serta Mouffe ini mewakili keyakinan para pemikir pascastrukturalis dan pascamodernis, yang akar pemikirannya diilhami para sejarawan les Annales. Kritik para pemikir pascastrukturalis dan pascamodernis terhadap historisisme antara lain sbb.
Pertama, mereka menolak pandangan Hegelian tentang sejarah sebagai proses kemajuan. Para filsuf ini menganggap semua ideologi yang meramalkan titik akhir sejarah sebagai teori berbahaya dan keliru. Kedua, mereka kritis terhadap konsep penalaran, teori, dan sejarah sebagai suatu pola yang disistematikakan. Mereka menolak gagasan bahwa formasi sosial merupakan totalitas yang dapat dianalisis. Ketiga, mereka sangat kritis kepada kecenderungan konformitas pada konsep maupun teori-teori ilmu sejarah yang tradisional dan konvensional. Keempat, para filsuf ini menolak historiografi yang dibangun atas dasar narasi-narasi besar yang ditulis sejarawan universal seperti revolusi dan pergantian rezim. Sebaliknya, mereka terobsesi kepada historiografi yang dibangun atas dasar narasi-narasi kecil yang ditulis sejarawan spesifik yang bekerja di wilayah keahlian khusus dan lokal dengan pendefinisian yang jelas. Sejarawan pascamodernis memfokuskan kajiannya di tingkat mikro dengan lokalitas dan spesifikasi tema yang khas seperti sejarah rokok, sejarah kota, sejarah tari, dan sejenisnya.
Kritik historisisme yang diajukan pascastrukturalisme dan pascamodernisme telah menggoyahkan sendi-sendi filosofi, metode, konsep, teori, dan asumsi yang selama ini dikenal di dalam penulisan sejarah sebagai cabang ilmu sosial.
M Foucault dalam Power/Knowledge: Selected Interview and Other Writings 1972-1977 (1980: 62-65) juga menolak peneorian global penulisan sejarah dan menyebut historiografi sebagai wacana budaya dan sejarah yang pendakuan kebenaran dan nilai-nilainya hanya merupakan episode pendek dari sejarah pemikiran modern. Menurut Foucault, para sejarawan yang membawa nilai-nilai intelektual universal dengan narasi besarnya telah ketinggalan zaman. Di masa sekarang kaum intelektual cenderung bekerja di sektor spesifik, seperti museum, rumah sakit, laboratorium, universitas, perpustakaan sehingga mereka disebut sebagai kaum intelektual spesifik. Mereka tak merumuskan teori sistematika global yang merangkum semuanya seperti yang diyakini para sejarawan mazhab Decartesian atau konvensional melainkan menganalisis hal-hal yang lebih spesifik dan lokal.
Dengan menggunakan pendekatan genealoginya Nietzsche, ilmu sejarah dituding telah memberlakukan tindakan yang tiranik melalui wacana yang ditotalisasikan dan disistematikakan secara universal dengan menundukkan, memeriferikan, serta memfragmentasikan sumber- sumber pengetahuan yang spesifik di bawah kekuasaan teori- teori besar.
Para pemikir pascastrukturalis dan pascamodernis memiliki pandangan yang berbeda di seputar (pendakuan) kebenaran dan obyektivitas sejarah. Roland Barthes dalam The Rustle of Language (1986: 138-139) dengan meminjam teori bahasa Ferdinand de Saussure tentang relasi antara kata (signifiers) dengan tanda/makna/konsep (signified) sampai kepada kesimpulan bahwa sejarawan umumnya kurang menyadari deskripsi mereka tentang masa lalu sesungguhnya hanya mewakili atau merupakan sejumlah konsep tentang masa lalu, dan bukan dunia masa lalu itu sendiri.
Sejarawan tidak menjumpai atau menemukan kebenaran dari peristiwa di masa lalu, hanya merekonstruksi peristiwa dari suatu arus kehidupan yang terbatas dan menemukan arti atau makna yang dihasilkan secara terpola ke dalam arus tersebut, tulis H Kellner dalam Language and Historical Representation: Getting the Story Crooked (1989: 24).
Sejarah adalah cabang ilmu sosial yang unik dan spesifik dan dalam penulisannya: sesahih apa pun metodologi yang dimiliki, ia tetap sangat bergantung pada teks, literatur, produksi bahasa yang dihasilkan sebagai bahan penulisan sejarah, baik sumber primer maupun sumber sekunder. Di sinilah esensi kritik historisisme yang dibangun kaum pascastrukturalis dan pascamodernis karena pascastrukturalisme dan pascamodernisme merupakan aliran yang meredefinisi konsep tentang teks dan bahasa dalam kaitannya dengan kekuasaan dan ilmu pengetahuan.
Sebelum aliran pemikiran pascastrukturalis dan pascamodernis dikenal, sejarah mazhab Descartesian atau sejarah konvensional menempatkan teks dan bahasa yang muncul di berbagai dokumen, risalah, catatan harian, jurnal, dan seterusnya sebagai data atau bahan mentah penulisan sejarah. Setelah melalui sejumlah penahapan metodologis, validitas data itu akan diverifikasi untuk menjadi fakta sebagai data yang memiliki nilai historisitas paling mendekati kebenarannya. Para sejarawan konvensional menguji nilai historisitas dari data tersebut melalui proses kritik eksternal maupun kritik internal. Setelah proses pengujian data selesai, barulah sejarawan memasuki tahap berikut: merekonstruksi peristiwa berdasarkan semua data yang telah teruji validitasnya.
Kritik teks
Sejarawan mazhab Descartesian melihat kemungkinan bias yang terjadi di setiap penulisan sejarah (sebagai manifestasi interpretasi mereka pada peristiwa di masa lalu) pada prasangka dan relativisme budaya, maupun kepentingan personal (termasuk ideologi) yang dianut, sehingga memengaruhi upaya pencarian kebenaran atas peristiwa di masa lalu. Sejarawan aliran pascastrukturalisme dan pascamodernisme melangkah jauh dengan mencoba mendekonstruksi aliran pemikiran sejarah konvensional setelah teks maupun bahasa diberi makna secara kritis. Membaca teks secara kritis merupakan permulaan penemuan kebenaran sejarah.
Jacques Derrida, pemikir kontemporer pascastrukturalis, adalah salah seorang yang menaruh perhatian pada peran dan fungsi bahasa. Ia memperkenalkan metode membaca teks. Dalam Speech and Phenomena, and Other Essays on Husserlss Theory of Signs (1973) serta Writing and Difference (1978), Derrida membongkar pendekatan tradisional, seperti yang dipahami sejarawan konvensional, bahwa teks merupakan pembawa makna yang stabil dan setiap peneliti mencari kebenaran (ilmu pengetahuan) melalui teks. Dekonstruksi memisahkan konsep tradisional penulis dan karyanya. Dekonstruksi tidak mengistimewakan penulis, mengubah sejarah dan tradisi menjadi intertekstualitas, dan meninggikan pembaca. Dekonstruksi merupakan aktivitas pembacaan di mana teks harus dibaca dengan cara sama sekali baru.
Menurut Derrida, teks dapat menyembunyikan kekurangan, kelemahan, dan kebohongan penulis serta mengandung sejumlah ketakkonsistenan konsep bahkan kontradiksi ciptaan penulis yang menjadi landasan teks, sehingga muncul sulawan (paradoks) dalam menggunakan konsepnya di dalam teks secara keseluruhan. Tak seorang pun dapat membuat sarana (tanda) dan tujuan (makna) menjadi identik. Bahasa merupakan proses temporal.
Pembenaran genosida
Kritik historisisme aliran pascastrukturalisme dan pascamodernisme telah memberikan penafsiran baru kepada sudut pandang sejarawan dalam membaca, memahami, dan memaknai teks sebagai sumber penulisan sejarah Peristiwa 1965. Pembedanya adalah kepentingan personal dan bias ideologi setiap sejarawan. Sejarawan yang pro-Orde Baru akan menyusun sejumlah teori, asumsi, dan hipotesis yang mendukung rangkaian kejadian sejak sebelum malam 30 September 1965, dan puncaknya memberi pembenaran terhadap genosida pada tahun-tahun berikutnya di berbagai tempat di Indonesia, seperti Jawa Tengah dan Bali. Sebaliknya, sejarawan yang kritis berantitesis kepada sejarah mainstream tersebut dan berkesimpulan untuk tak membenarkan, bahkan menolak, genosida setelah Peristiwa 1965 yang dianggap sebagai bentuk pelanggaran HAM berat.
Studi kekerasan kontemporer seperti yang ditulis Ronnie S Landau (Studying the Holocaust: Issues, Readings and Documents, 1998) maupun Haim Bresheeth, Stuart Hood, dan Litza Janz (Holocaust for Beginners, 1994) mengategorikan genosida setelah Peristiwa 1965 sebagai genosida ideologis. Secara definitif Landau mengartikan genosida ideologis sebagai tindakan untuk menghancurkan kelompok politik tertentu untuk mencapai keseragaman doktrin politik maupun ideologi di suatu negara. Menurut Konvensi Genosida PBB tahun 1948, pelanggaran HAM berat berakibat secara langsung dan tak langsung bagi hilangnya nyawa manusia dalam wujud genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan.
Para pemikir pascastrukturalis dan pascamodernis telah memberikan sumbangan pengetahuan menyangkut tema kebenaran sejarah, termasuk ketika tindakan antikemanusiaan terjadi setelah Peristiwa 1965. Selain memakai cara baru dalam pembacaan setiap teks, seperti yang diperkenalkan Derrida, aliran pemikiran ini juga memasukkan pendekatan fonosentrisme, yakni tentang peran dan fungsi ujaran di dalam cerita lisan seperti yang diperkenalkan Saussure, Levi-Strauss, hingga Husserl. Pendekatan ini memberi sumbangan penting dalam upaya pencarian kebenaran, khususnya melalui penemuan metodologi penulisan sejarah yang menggunakan cerita lisan sebagai sumbernya.
Pendekatan fonosentrisme ini membantu subyek yang lain di dalam metode penulisan sejarah, yaitu metode sejarah lisan. Berbeda dengan tulisan yang dimediasi, mekanis, tidak langsung, dan hanya merupakan transkipsi ujaran atau fonetis, maka ujaran dihubungkan dengan saat dan tempat kehadiran yang jelas, lebih langsung, alamiah, dan tulus. Dengan demikian, dalam konteks penulisan sejarah Peristiwa 1965, upaya pencarian kebenaran semakin mendapatkan ruang yang lebih, menjadi lebih tak terbatas. Bahan penulisan sejarah tak hanya didapat dari institusi atau lembaga resmi atau tokoh besar, tetapi juga bisa diperoleh dari seorang petani gurem salah satu desa di Bali, atau seorang aktivis Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) pada sebuah satu kota kecil di Jawa Timur.
Togi Simanjuntak Peneliti Sejarah Sosial dan Sejarah Kekerasan pada Institut Riset Sosial dan Ekonomi (Inrise), dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar