Abusive Relationships
Kasus diatas mungkin merupakan salah satu dari sekian banyak kasus yang seringkali dialami oleh pasangan suami istri. Masalah yang terjadi diatas sebenarnya bukanlah fenomena yang baru karena sudah terjadi sejak berabad-abad lalu. Apa yang dialami oleh si Ibu dan anaknya dalam kasus diatas merupakan gambaran dari suatu istilah yang disebut "Abusive Relationships". Abusive Relationships yang dialami oleh seseorang dapat berupa hilangnya kehangatan hubungan emosional, kecemburuan, pelecehan seksual sampai pada penyiksaan secara verbal terhadap pasangan.Selama usia pernikahan saya yang sudah 10 tahun ini, saya tidak pernah sekali pun merasakan kebahagiaan meski sudah dikaruniai seorang anak. Memang, sejak awal bukan keinginan saya untuk menikah dengan suami saya yang sekarang karena “disodorkan” orang tua tanpa bisa memilih atau pun menolak. Dan, selama ini saya sekedar menjalankan peran sebagai istri dan ibu dari anak saya. Namun batin saya tersiksa karena sikapnya tidak hanya kasar di mulut, tetapi juga kasar di perilaku.....Coba saja, selalu ada yang salah di matanya....dan kata-katanya terdengar menyakitkan...tidak habis-habisnya celaan, omelan, gerutuan, bahkan caci-maki yang tidak pernah absen mendarat di telinga saya. Memang, dia tidak pernah memukul saya dan anak saya...tapi kalau sudah marah, lantas membanting barang-barang, memukul meja-banting pintu dan melakukan tindakan lain yang bikin hati saya dan anak ketakutan setengah mati. Pernah dia mengancam mau membunuh saya hanya karena saya terlambat pulang ke rumah sehabis ke rumah teman. Saya dan anak sangat ketakutan kalau dia ada di rumah......Saya tidak tahu lagi apa yang harus saya lakukan karena saya merasa tidak berdaya....secara finansial saya sangat bergantung padanya karena terus terang saja,.....suami saya adalah satu-satunya penopang rumah tangga kami selama ini.....karena dia lah maka anak saya bisa bersekolah di sekolah yang bermutu, dan kehidupan materi kami terbilang sangat baik.....Tapi toh ternyata semua itu tidak membuat saya bahagia..........apa gunanya harta benda...jika saya selamanya hidup dalam ketakutan.......
Di Indonesia, kasus penyiksaan terhadap pasangan belumlah terlalu diekspose untuk mendapatkan tidak hanya perhatian tapi juga perlindungan dan penanganan seperti di luar negeri. Faktor keengganan untuk menceritakan keadaan “dalam negeri” berperan menghambat penyelidikan atau bantuan yang dapat diberikan karena malu jika kekurangan sendiri sampai diketahui orang lain. Dan, memang hukum di Indonesia pun masih dapat dikatakan belum menjamin perlindungan bagi para korban penyiksaan pasangan sehingga mereka yang jadi korban khawatir jika kasusnya ini diketahui pihak berwajib malah jiwa mereka semakin terancam. Dampak dari persoalan penyiksaan ini tidak hanya dialami oleh pasangan, tetapi terutama oleh anak-anak, apalagi jika mereka selalu disuguhi “tontonan menyeramkan dan menegangkan” setiap melihat orang tuanya bertikai . Dampak tersebut akan membekas dan bisa menjadi trauma yang berkepanjangan dan akhirnya mempengaruhi hidup, karir dan perkawinan mereka di masa mendatang. Persoalan ini pula lah yang sebenarnya menstimulasi terjadinya perselingkuhan dari pihak yang satu karena dirinya merasa membutuhkan seseorang yang benar-benar memberikan cinta kasih dan perhatian. Akibatnya, persoalan rumah tangga akan semakin kacau balau dan sulit diselesaikan karena seiring dengan munculnya problem-problem tambahan yang semestinya tidak ada.
Seputar Abusive Relationships
Abusive relationships adalah bentuk hubungan yang sering diwarnai kecemburuan, tidak ada kehangatan emosional, kurangnya kualitas hubungan yang erat, pelecehan seksual, ketidaksetiaan, penyiksaan secara verbal, ancaman, dusta, pengingkaran janji, serta permainan kekuasaan (dari berbagai sumber).
Menurut para ahli dan psikolog, penyiksaan tersebut tidaklah selalu berbentuk fisik, namun bisa secara emosional. Sering orang tidak menyadari bahwa dirinya telah melakukan atau pun menjadi korban penyiksaan secara verbal ini karena menurut mereka hal itu biasa terjadi, normal atau karena “sudah wataknya” atau “sudah adatnya” atau pun mengingat latar belakang suku tertentu pasangan. Padahal, semakin seseorang itu tidak sadar, maka akan semakin sulit pulihnya kembali karena penyiksaan emosional (yang dilakukan secara verbal) yang berlangsung lama dan intensif akan menimbulkan persoalan kritis menyangkut self-esteem, rasa percaya diri dan sense of identity-nya. Lama kelamaan kekuatan psikisnya melemah sampai akhirnya dirinya yang jadi korban sudah hilang keberanian untuk keluar dari situasi tersebut. Makin lama ia akan semakin tergantung pada pihak yang dominan meski membuatnya menderita. Tapi ia merasa tidak punya pilihan lain dalam hidup. Apalagi, jika sang korban sejak awal memang mempunyai locus of control yang lemah, maka jika dihadapkan pada persoalan ini, ia hanya menyerah pada “nasib”. Malah sang korban bisa timbul pemikiran bahwa seburuk apapun perkawinan atau pun pasangannya, paling tidak ia bisa mendapatkan tempat tinggal, serta dipenuhi kebutuhan sandang pangannya, karena dia berpikir di luar sana belum tentu ia mendapatkan hal-hal yang ia butuhkan selama ini. Alhasil, pihak yang mendominasi akan semakin menjadi-jadi sikap dan perilakunya, karena melihat pasangannya semakin tidak berdaya, lemah dan mudah dihancurkan. Bagaikan melihat musuh yang sudah kalah, maka agresivitasnya makin menjadi.
Sikap Ganda yang Membingungkan
Hal yang membuat sang korban bingung untuk memutuskan atau menyelesaikan persoalan ini adalah karena sikap pasangannya yang membingungkan. Kadang pasangannya bisa sangat manis, perhatian, murah hati, memperlihatkan sikap yang tidak ingin ditinggal karena sangat membutuhkan kehadiran istri/suami (pihak korban), mereka berjanji untuk bersikap baik dan tidak lagi marah-marah, membelikan barang kesukaan pasangan yang mahal-mahal. Namun di lain waktu kebiasaan buruk itu akan kembali berulang. Bahkan bisa semakin menjadi jika ia mulai mencium adanya ancaman atau kemungkinan pasangannya akan meninggalkan dia atau melakukan tindakan yang menentangnya.
Asal Usul Perilaku Abusive
Pada kasus penyiksaan terhadap pasangan, sudah pasti hal itu dilandasi oleh masalah psikologis yang cukup berat yang dialami oleh kedua pasangan (bukan salah satu, atau yang menjadi pelaku). Menurut penelitian para psikoanalis, mereka berpandangan bahwa para abuser (pelaku) sebenarnya pernah menjadi korban di masa lalu, di mana mereka juga mengalami perlakuan sama atau lebih parah yang diterimanya dari orang tua atau siapapun yang berperan dalam hidup mereka saat itu. Demikian juga pihak korban, pada umumnya mereka juga mempunyai masa lalu yang traumatis sehingga melahirkan sikap ketergantungan yang kronis. Hal ini lah yang menjelaskan mengapa seseorang selalu mengalami masalah yang sama meski sudah berulang kali menikah dan cerai dan menikah lagi (lihat Karakteristik Kepribadian Abuser & Pasangannya).
Menjadi abuser atau pun korban sebenarnya bukanlah keinginan mereka, namun mereka seakan tidak mampu mengendalikan diri untuk tidak bersikap seperti itu karena dilandasi oleh trauma masa lalu yang berkaitan dengan masalah emosional, fisik ataupun seksual. Menurut para ahli, pelakunya adalah orang yang hidupnya dipenuhi oleh rasa malu, rendah diri dan kekaburan identitas yang kronis. Oleh sebab itu, ia mencari pasangan yang sekiranya bisa diperlakukan dan memperlakukannya sedemikian rupa sehingga harga diri dan identitasnya terangkat. Di mata pasangannya lah ia merasa dirinya seseorang yang berkuasa atau sangat berharga dan sangat dibutuhkan. Oleh karena itu pula ia amat sangat tergantung dan membutuhkan pasangan, sehingga merasa amat marah dan terancam jika pasangan mulai menunjukkan tanda-tanda ingin meninggalkannya.
Bagaimana Penanganannya?
Untuk menghentikan pola seperti ini dibutuhkan penanganan yang serius karena sikap abusive ataupun being abused itu sendiri sering disertai oleh ketergantungan terhadap sesuatu, entah itu seksual, drugs, hormat, ketenaran, kekuasaan, pengakuan, kasih sayang dan perhatian, pekerjaan, uang atau pun hal-hal lainnya. Jadi, yang bersangkutan harus diterapi secara khusus untuk membersihkan diri dari segala ketergantungan dan berusaha menerima diri apa adanya serta memulihkan – mengembangkan jati diri sejati yang dimilikinya.
Proses terapi yang dilakukan juga bermaksud untuk menyadarkan sang abuser atau pun korban akan asal muasal perilakunya itu tanpa mempersalahkan keadaan atau pun orang lain. Dengan demikian, terapi bertujuan untuk sedikit demi sedikit menghilangkan akar pahit masa lalu yang terus menerus disimpan namun kemudian meracuni setiap hubungan yang terjalin. Terapi tersebut juga bertujuan untuk membuat subyeknya bisa merubah cara berpikir dan persepsinya terhadap orang ataupun situasi yang dijumpai, agar mereka tidak menjadi manipulatif (secara tidak sadar) karena ingin selalu diutamakan. Mereka perlu merubah sikap yang selalu menuntut kasih sayang dan perhatian yang tidak pernah mencapai kepuasan, dengan sikap kebalikan, yaitu memberi cinta kasih dan perhatian secara dewasa. Untuk bisa mencapai ke arah sana diperlukan pemulihan diri terlebih dahulu untuk bisa merasa percaya pada diri sendiri, bahwa segala sesuatu, kebahagiaan maupun kesusahan, keberhasilan maupun kegagalan merupakan tanggung jawab diri sendiri, dan tidak tergantung pada orang lain.
Namun yang paling penting adalah kesadaran bahwa dirinya ingin berubah dan ingin merubah pola interaksi yang selama ini membelenggu dan membatasi munculnya hubungan sejati yang dilandasi oleh rasa cinta dan kepercayaan.
Kerja sama dan kepedulian kedua belah pihak terhadap jalannya proses terapi itu sendiri akan sangat mendukung keberhasilan program. Tidak atau sangat sulit merubah suatu hubungan jika hanya dilakukan oleh salah satu pihak, karena dalam setiap keberhasilan hubungan membutuhkan kejujuran, keterbukaan dan kemauan keduabelah pihak untuk sama-sama menjalani dan menyelesaikan persoalan itu. Namun, jika ternyata pihak abuser (yang melakukan penyiksaan) itu tidak punya keinginan untuk berubah, maka cara yang bisa dilakukan pihak korban adalah menjauh darinya dan segera mencari pertolongan dan perlindungan yang menjamin keselamatan diri. (jp)
Oleh Jacinta F. Rini, MSi.
Sumber: Informasi Psikologi Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar