Join emridho's empire

Minggu, 18 September 2011

CONTOH SKRIPSI (Proposal Penelitian) PENGARUH PENAMBAHAN ASAM SITRAT PADA BERBAGAI TINGKAT PENCAMPURAN MINYAK NILAM PENYULINGAN STAINLEES STEEL DENGAN MINYAK NILAM PENYULINGAN DRUM BEKAS TERHADAP BEBERAPA KARAKTERISTIK MUTU MINYAK NILAM


CONTOH SKRIPSI (Proposal Penelitian)
PENGARUH PENAMBAHAN ASAM SITRAT PADA BERBAGAI TINGKAT PENCAMPURAN MINYAK NILAM PENYULINGAN STAINLEES STEEL DENGAN MINYAK NILAM PENYULINGAN DRUM BEKAS TERHADAP BEBERAPA KARAKTERISTIK MUTU MINYAK NILAM

Program Studi Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Andalas
Padang


  I.  PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Minyak atsiri disebut juga minyak eteris, minyak terbang atau esential oil yang banyak digunakan sebagai bahan baku dalam berbagai industri. Peranan minyak atsiri dalam kehidupan manusia telah dimulai sejak beberapa abad yang lalu, dimana jenis minyak atsiri yang telah dikenal pada saat itu terbatas pada minyak atsiri tertentu terutama yang berasal dari rempah-rempah. Dengan kemajuan teknologi, maka usaha penggalian sumber-sumber minyak atsiri dan pendayagunaannya dalam kehidupan manusia semakin meningkat.
            Nilam (Pogostemon cablin, BENTH) merupakan tanaman minyak atsiri yang menghasilkan minyak nilam (patchouly oil) atau sering  disebut minyak dilem, merupakan komoditas yang cukup penting, baik sebagai sumber pendapatan petani maupun sebagai sumber devisa negara.
            Indonesia merupakan negara pemasok minyak nilam terbesar dipasaran dunia dengan konstribusi sekitar 90%. Tercatat ekspor minyak nilam indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun, dimana tahun 1990 sebesar 872 ton dengan nilai US $ 14 juta dan pada tahun 1995 meningkat menjadi 1.268 ton dengan nilai US $ 18 juta, sedangkan tahun 1998 volume ekspor meningkat lagi menjadi 1500 ton dengan nilai US $ 53 juta (Dhalimi, Sofyan dan Emmyzar, 2000, Cit. Vivi deeldes, 2001).
            Di Indonesia tanaman nilam telah menyebar keberbagai provinsi antara lain: Aceh, Sumatera Utara, Pulau Nias, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Jawa Tegah dan Jawa Barat (Depperindag, 1984). Untuk Sumatera Barat sendiri, tanaman nilam tumbuh baik pada daerah kabupaten Pasaman, Kabupaten Mentawai, Kabupaten Pesisir Selatan dan Kabupaten Sawah Lunto Sijunjung dengan luas areal pertanaman kurang lebih 1.392 ha dan produksi sekitar 60 ton (Susilobroto, 2000).
            Ekspor tanaman nilam dapat dilakukan dalam bentuk kering atau minyak atsiri setelah disuling. Sampai sekarang pembeli luar negeri cenderung menyuling sendiri, karena penyulingan di Indonesia dilakukan secara langsung dan daun yang disuling tidak dipilih terlebih dahulu sehingga mutu minyak kurang baik (Harris, 1987).
            Meskipun indutri kecil minyak nilam di Sumatera Barat terdapat di beberapa kabupaten yaitu Pasaman, Lima Puluh Kota, Solok, Pesisir Selatan dan Padang. Namun perolehan minyak nilam yang dihasilkan masih tergolong rendah sekitar 2% dan minyak berwarna coklat kehitaman. Perolehan yang rendah karena pada umumnya petani nilam Sumatera Barat kurang memperhatikan kondisi penyulingan seperti penaganan bahan baku, proporsi batang dengan daun, cara penyulingan, peralatan penyulingan yang dipakai dan penambahan air umpan ketel, serta sirkulasi pendiginan yang kurang memadai. Warna minyak yang berwarna coklat kehitaman disebabkan peralatan penyulingan yang digunakan terbuat dari drum bekas dengan kandungan Fe yang cukup tinggi, sehingga mudah terjadi oksidasi. Hal inilah yang memicu harga minyak nilam cendrung menurun  (Ellyta Sari dan Elmi Sandari, 2009).
            Komponen standar mutu minyak nilam ditentukan oleh kualitas dari minyak itu sendiri dan kemurniannya. Kemurnian bisa diperiksa dengan penetapan kelarutan uji lemak dan mineral. Selain itu, faktor yang menentukan mutu adalah sifat – sifat fisika-kimia minyak, seperti bilangan asam, bilangan ester, kadar Fe. nilai transmitan, dan komponen utama minyak, dan membandingkan dengan Standar Nasional Indonesia.      
Pemurnian merupakan suatu proses untuk meningkatkan kualitas suatu bahan agar mempunyai nilai jual yang  lebih tinggi. Beberapa metoda pemurnian yang dikenal adalah secara kimia ataupun fisika. Pemurnian minyak secara fisika memerlukan peralatan penunjang yang cukup spesifik, minyak yang dihasilkan lebih baik, dimana  warnanya lebih jernih dan komponen utamanya lebih tinggi. Untuk pemurnian secara kimia bisa dilakukan dengan menggunakan peralatan yang sederhana dan hanya memerlukan pencampuran dengan absorben atau senyawa pengomplek/pengkelat tertentu (Hermaini dan Trimarwati, 2009). Pengikatan dengan  senyawa pengkelat  adalah pengikatan logam dengan cara menambahkan senyawa pengkelat dan membentuk kompleks logam senyawa pengkelat. Senyawa pengkelat yang cukup dikenal dalam proses pemurnian minyak atsiri, antara lain asam sitrat, asam malat asam tartarat dan EDTA. Proses pengikatan logam merupakan proses keseimbangan pembentukan kompleks logam dengan  senyawa pengkelat, berarti proses pengkelatan dipengaruhi oleh kosentrasi senyawa yang ada. Secara umum keseimbangan reaksinya dapat dituliskan seperti Gambar 1.
                                  L+ + S­-                       LS
                                  L = logam
                                   S = senywa pengkelat
                                  LS= kompleks logam –senyawa pengkelat      
 Gambar 1. Keseimbangan reaksi pembentukan komplek logam dengan senyawa
                   pengkelat  (Ellyta Sari dan Elmi Sandari, 2009).

Asam sitrat adalah asam organik lemah yang ditemukan pada daun dan buah genus citrus (jeruk – jerukan). Rumus kimia asam sitrat C6H8O7  nama lain asam sitrat adalah asam 2-hidroksi-1,2,3-propanatrikarboksilat.
            Keasaman asam sitrat didapatkan dari tiga gugus karboksil COOH yang dapat melepaskan proton dalam larutan. Jika hal ini terjadi, ion yang dihasilkan adalah ion sitrat. Ion sitrat banyak bereaksi ion logam membentuk garam sitrat. Selain itu, sitrat dapat mengikat ion logam dengan pengkelatan. Pada temperatur kamar, asam sitrat berbentuk serbuk kristal berwarna putih. Serbuk krirtal tersebut dapat berupa bentuk anhydrous (bebas air). Atau bentuk monohydrat yang mengandung satu molekul air untuk setiap molekul asam sitrat. Bentuk anhydrous asam sitrat mengkristal dalam air panas, sedangkan bentuk monohidrat didapatkan dari kristalisasi asam sitrat dalam air  dingin. Secara kimia, asam sitrat bersifat seperti asam karboksilat lainnya. 
Bertitik tolak dari rmasalah diatas, telah dilakukan  penelitian dengan judul “ Pengaruh penambahan asam sitrat pada berbagai tingkat pencampuran minyak nilam  penyulingan stainlees steel dengan penyulingan drum bekas terhadap beberapa karakteristik  minyak nilam (Pogostemon cablin, BENTH)”

1.2. Tujuan Penelitian
             Untuk mendapatkan penambahan asam sitrat yang tepat pada berbagai tingkat pencampuran minyak nilam penyulingan stainlees steel dengan penyulingan drum bekas sehingga dapat meningkatkan beberapa karakteristik mutu minyak nilam

1.3.  Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan mutu minyak nilam petani yang masih belum memenuhi standar mutu minyak nilam yang telah ditetapkan.
1.4.  Hipotesa Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah penambahan asam sitrat pada berbagai tingkat pencampuran minyak nilam penyulingan stainlees steel dengan penyulingan drum bekas berpengaruh terhadap beberapa karakteristik mutu minyak nilam.   



II.  TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Nilam
            Tanaman nilam (Pogostemon cablin, BENTH) termasuk dalam famili labiate. Tanaman ini merupakan tumbuhan semak dengan tinggi antara 0,30 – 1,30 m. Tanaman ini merupakan tumbuhan daerah tropis dengan curah hujan yang merata yaitu sebesar 2300 – 3000 mm setiap tahun dan dapat tumbuh baik didaerah dataran tinggi dan dataran rendah, serta menghendaki tanah yang mempunyai humus dan unsur hara yang tinggi juga drainase yang baik (Ketaren, 1985).
Santoso (1990) juga menjelaskan bahwa tanaman nilam dapat tumbuh dari dataran rendah sampai ketinggian 1000 m diatas permukaan laut dan tumbuh baik pada daerah tropis. Secara agroklimat tanaman nilam mempunyai syrat tumbuh sebagai berikut: (a) tanah; gembur, banyak mengandung bahan organik, tidak tergenang air dan Ph 6 – 7, (b) suhu; 180 C – 270 C, (c) ketinggian tempat; 100 m – 400 m diatas permukaan laut, (d) curah hujan; 2300 – 3000 mm/tahun, dan (e) kelembaban; 60 – 70%.
            Nilam mempunyai akar serabut dengan bentuk daun bulat dan lonjong. Daun yang masih muda berwarna hijau muda, sedangkan daun yang sudah tua berwarna hijau tua dengan panjang  6,33 – 7,64 cm dan lebar 5,34 – 6,25 cm. batangnya berkayu, berdiameter 10 – 20 mm, dan berbentuk persegi. Permukaan batang kasar, berwarna hijau ketika muda, dan hijau kecoklatan ketika sudah tua. Dalam ilmu taksonomi tumbuhan, tanaman nilam diklasifikasikan sebagai berikut (Kardinan dan Mauladi, 2004, Cit. Jasmi Sriyesi, 2005 ).
            Divisio             : Spermatophyta
            Kelas               : Angiospermae
            Ordo                : Lamiales
            Family             : Labiate
            Genus              : Pogostemon
            Spesies            : pogostemon, spp.
            Dengan adanya perbedaan sifat tanah, iklim dan cara penanamannya, timbullah berbagai variasi morfologi tanaman nilam sehingga Lukman dan Yeyet Cit. Vivi Deeldes (2001) membagi 3 jenis tanaman ini, yaitu : (1) Pogostemon cablin, BENTH; mepunyai bulu rambut dibagian bawah daun sehingga daun pucat. Kadar minyaknya tinggi sekitar 2,5 – 5 % dan komposisi kimia yang bagus, (2) Pogostemon hortensis atau nilam jawa; mempunyai daun yang lebih tipis bila dibandingkan dengan pogostemon cablin, BENTH. Kadar minyaknya rendah sekitar 0,5 – 1,5 % dari berat daun kering serta komposisi kimia minyak yang  jelek, dan (3) Pogostemon heyneanus;  merupakan tanaman nilam yang cepat berbunga. Kadar minyaknya rendah sekitar 0,5 – 1,5 % dari berat daun kering dan komposisi kimia minyaknya juga jelek.
            Dari identifikasi ketiga jenis nilam tersebut, nyatalah bahwa nilam jenis Pogostemon cablin, BENTH adalah yang layak untuk dikembangkan karena mempunyai kadar dan komposisi minyak yang paling bagus (Santoso, 1990).    
            Nilam diperbanyak dengan stek (vegetatif). Stek yang dipilih sebagai bibit harus sehat dan jenis tanaman yang produksi tinggi. Stek harus dipotong sepanjang  15 – 23 cm dengan diameter 0,8 – cm dan paling sedikit memiliki  3 mata tunas atau 3 helai daun untuk stek pucuk dan 3 – 5 untuk stek batang. Waktu tanaman setelah distek harus diatur sedemikian rupa sehingga waktu panen dari satu areal dapat dilakukan secara bertahap. Cara ini dapat menjamin kelangsungan penyulingan yang kontinyu dan dapat mencegah tanah agar tidak erosi ( Sudaryani dan Sugiharti, 1990, Cit. Vivi Deeldes, 2001)
            Tanaman nilam yang tumbuh baik dapat dipanen pada umur 6 – 8 bulan. Ini dilakukan jika tanaman telah mempunyai 5 pasang daun dan dipanen dengan ketinggian 15 cm dari permukaan tanah karena berdasarkan penelitian bahwa 3 pasang daun yang termuda menghasilkan randemen minyak yang tertinggi, pemanenan ini termasuk ranting dan daun nilam (Imran, 1992). Sudaryani dan sugiharti (1990) menambahkan bahwa pemanenan tanaman nilam berikutnya sebaiknya dilakukan sebanyak 3 – 4 kali pemetikan daun selama 6 bulan.
            Pemanenan daun nilam dilakukan sebelum daun berwarna coklat karena daun yang telah berubah warna menjadi coklat akan kehilangan sebagian minyak oleh pengaruh panas dan cuaca. Pemotongan daun nilam ini seringkali dilakukan dengan menggunakan sabit atau ani-ani (Ketaren, 1985).
            Santoso (1990) lebih jauh menerangkan bahwa penentuan saat panen yang tepat bagi tanaman nilam sangat penting diperhatikan. Pemanenan yang terlalu cepat atau terlalu lambat akan menyebabkan rendahnya randemen dan mutu minyak yang dihasilkan. Waktu pemanenan nilam harus dilakukan pagi hari atau sore hari dan jangan pada siang hari ketika panas matahari cukup menyengat. Sebab pemanenan nilam pada siang hari akan menyebabkan: (a) terjadinya proses metabolisme pada sel-sel daun sehingga menekan atau mengurangi laju pembentukan minyak, (b) terjadinya transpirasi pada daun yang lebih cepat, dan (c) kondisi daun menjadi elastis dan mudah sobek. Kesemuanya itu akan mengakibatkan jumlah minyak yang dihasilkan berkurang.
2.2. Proses Penyulingan Minyak Nilam
            Sebelum daun nilam disuling dilakukan beberapa perlakukan pendahuluan terhadap daun nilam, tujuannya untuk memudahkan penguapan minyak dan mengurangi densitas kemba bahan olah (Ketaren, 1985). Menurut Santoso (1990) perlakuan tersebut adalah:
1.  Perajangan
            Beberapa ahli berpendapat bahwa proses perajangan daun nilam tidak perlu dilakukan karena akan menambah biaya produksi, tetapi dilain pihak perajangan daun nilam sebelum dikeringkan dianggap perlu, sebab meskipun menambah biaya produksi minyak yang dihasilkan lebih tinggi. Pada perajangan ini daun nilam dipotong-potong sepanjang 2-3 cm.
2.  Pengeringan dan Penyimpanan
            Daun nilam yang sudah dirajang kemudian dijemur dibawah sinar matahari. Cara penjemurannya adalah dihamparkan pada lantai jemur dan usahakan jangan sampai terjadi penumpukan terlalu tebal serta setiap kali harus dilakukan pembalikan. Lama pengeringan kira- kira 5 jam atau sampai daun layu. Sudaryani dan sugiharti (1990) menerangkan bahwa penjemuran daun nilam juga dapat di lakukan diatas tikar selain diatas lantai semen. Penjemuran dilakukan selama 4 jam (pukul 10:00 sampai 14:00).
            Selanjutnya daun-daun yang telah layu diangin-anginkan dengan cara menghamparkan diatas rak-rak bambu ditempat teduh dengan tebal lapisan lebih kurang 50 cm dan dibolak-balik sebanyak 2 – 3 kali dalam seharinya. Pengeringan dapat dihentikan setalah kadar air pada daun  sekitar 12 – 15% dan timbul bau nilam yang keras serta khas dibandingkan daun segarnya lama pengeringan anginan ini biasanya membutuhkan waktu 3 – 4 hari. Ketaren (1985) juga menjelaskan bahwa pembentangan daun nilam yang dikeringkan tidak boleh terlalu tebal untuk menghindari pembusukan oleh jamur dan fermentasi terutama bila daun dalam keadaan basah. Pengeringan biasanya dilakukan dengan sinar matahari walaupun pengeringan secara tidak langsung akan lebih baik hasilnya. Zarlis Cit. Jasmi Sriyesi (2005) menerangkan bahwa waktu pengeringan anginan harus diperhatikan, jangan terlalu cepat, atau terlau lambat. Pengeringan yang terlalu cepat dapat menyebabkan daun terlalu rapuh dan sulit untuk disuling, sedangkan pengeringan yang terlalu lambat menyebabkan daunnya   menjadi lembab dan mudah diserang jamur akhirnya rendemen dan mutu munyak yang dihasilkan menurun. Menurut Guenther  (1952) selama pengeringan terjadi pergerakan air besrta minyak dari jaringan kepermukaan bahan menyebabkan kehilangan minyak.
            Setelah daun nilam nampak kering segera dilakukan penyulingan atau disimpan untuk sementara waktu dengan cara meletakkan diatas para-para atau lantai beralaskan papan berkaki. Gudang penyimpanan tidak boleh terlalu lembab dan sirkulasi udara harus baik. Namun jika penyimpanan ini terlalu lama juga akan beresiko, karena akan menyebabkan penyusutan daun nilam kering dan sekaligus akan menurunkan jumlah minyak yang dihasilkan (Kataren, 1985).                  Diagram alir proses pengolahan daun nilam dapat dilihat pada Lampiran 1.
3. Penyulingan
            Menurut Sudaryani dan Sugiharti (1990) bahwa cara penyulingan nilam dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu.
a.   Penyulingan dengan air.
            Cara penyulingan ini bahan berhubungan langsung dengan air yang mendidih. Uap air akan menguap dengan membawa minyak nilam dan air dari bahan yang disuling. Uap ini dialirkan melalui pipa pendingin sehingga terjadi pengembunan dan dipisahkan antara minyak dan air.
b.   Penyulingan dengan uap dan air.
            Prinsip penyulingan cara ini adalah dengan menggunakan tekanan uap rendah. Bahan yang disuling tidak berhubungan langsung dengan air. Bahan diletakkan diatas piringan (plat berlobang-lobang), setelah air mendidih uap akan keluar melalui lobang tersebut dan terus mengalir melalui sela-sela bahan. Uap air bersama uap minyak nilam yang timbul disalurkan melalui pipa untuk seterusnya masuk ke ketel pendinginan. Pengembunan air dan minyak ditampung pada bak pemisah cairan, karena perbedaan bobot jenis air akan terpisah dengan minyak dan ini dapat dipisahkan. Cara ini banyak digunakan pada penyulingan-penyulingan nilam umumnya karena konstruksinya tidak terlalu rumit  dan dapat dibuat cukup sederhana.
c.   Penyulingan dengan uap
            Penyulingan cara ini pada dasarnya adalah mengalirkan uap yang bertekanan tinggi. Disini ketel perebusan air dipisahkan dengan ketel  berisi bahan. Uap air panas dialirkan pada sebuah pipa kedalam ketel bahan. Penyulingan dengan cara uap ini tidak terlalu lama berlangsung, karena tekanan uapnya lebih dari 1 atm dan akan menghasilkan rendemen dan minyak bermutu.
d. Pemisahan minyak dengan air
            Sebagian besar alat pemisahan minyak dirancang menurut botol Florentine kuno dan sering dinamakan botol Florentine. Minyak nilam dan air tidak melarut karena perbedaan bobot jenis, maka larutan tersebut akan terpisah, dimana minyak berada di atas lapisan air, maka minyak dapat dipisahkan dengan manual dengan menggunakan alat seperti sendok tetapi ada juga botol Florentine memiliki kran minyak dimana minyak akan keluar memalalui kran tersebut.  
2.3. Komponen Kimia Minyak Nilam
            Minyak atsiri umumnya terdiri dari berbagai  campuran persenyawaan kimia yang terbentuk dari unsur karbon, hydrogen, dan oksigen serta persenyawaan kimia yang mengandung unsur nitrogen dan belerang (Zarlis Cit. Jasmi Sriyesi, 2005). Kataren (1987) menyatakan bahwa komponen kimia minyak atsiri yang komplek dibentuk dari hasil sekresi akibat metabolisme tanaman. Minyak terdapat di dalam kelompok sel yang berbeda dan perbedaannya terlihat dalam sel kelenjer eksternal dan internal. Hasil sekresi biasanya ditimbun di luar sel yang terletak diantara kutikula dan diding sel bagian luar.
            Menurut Kataren (1985), komponen penyusun minyak nilam dan sifat-sifatnya adalah sebagai berikut (Table 1)
Tabel 1. Komposisi kimia penyusun Minyak Nilam
Komponen
Jumlah (%)
Titik Didih (0 C)
a. Sesquiterpen

b. Patchouly alcohol, terdiri dari
  1. Benzaldehida
  2. Eugenol
  3. Sinnamat aldehid
  4. Alkohol
  5. Keton semikarbon

40 – 45

55 - 60
-
-
-

-
-


214
69 - 70
208
54 - 95
134 – 135
Sumber: Kataren, 1985
            Terdapat dua golongan utama senyawa kimia yang menyusun minyak nilam yaitu (a) Hidrokarbon dan (b) oksigeneted hidrokarbon.
Golongan hidrokarbon yang berupa senyawa sesquiterpen dan jumlahnya sekitar 40 – 45 % dari berat minyak.
Golongan oksigeneted hidrokarbon minyak nilam yang sering disebut patchouli alcohol meliputi 55 – 60 % dari berat minyak dan terdiri dari benzeldehid, eugenol benzoate, sinnamat aldehida, alkohol dan keton semikarbazone (Kataren, 1985)
2.4.  Kegunaan Minyak Nilam
            Minyak nilam adalah salah satu minyak atsiri yang mempunyai fungsi dan kegunaan yang luas karena wanginya yang khas maka sering digunakan sebagai parfum selendang, pakaian, karpet dan barang-barang tenun industri sabun dan kosmetik  (Kataren, 1985).
            Menurut Lukman dan Rahmayati (2000) minyak nilam bersifat sukar tercuci  walaupun dengan menggunakan air sabun selain itu, minyak nilam juga dapat bercampur dengan minyak eteris yang lain, mudah larut dalam alkohol, dan sukar menguap. Karena sifat itulah, minyak nilam dapat dipakai sebagai bahan baku yang penting dalam industri wewangian. Disamping itu minyak nilam juga digunakan sebagai fiksatif atau pengikat bahan-bahan pewangi lain. Peranan nilam sebagai fiksatif wangi-wangian ternyata tidak bisa digantikan oleh minyak apapun sehingga sangat penting dalam dunia perfumeri.
2.6.  Faktor Yang Mempengaruhi Mutu Minyak Nilam
            Secara umum faktor yang mempengaruhi minyak atsiri menurut Lukman dan Rahmayati (2000) dapat dibagi dalam lima faktor, yaitu pengadaan bahan baku, penaganan pasca panen, proses produksi, tata niaga, dan bentuk pengusahaan. Faktor yang mempengaruhi minyak  atsiri nilam secara khusus menurut Santoso (1993) terbagi atas kualitas daun, cara penyulingan dan cara penyimpanan minyak.
a.   Kualitas daun
  1. Jenis tanaman nilam, yang terbaik adalah jenis Pogostemon cablin, BETH sebab rendemen dan mutu minyaknya lebih baik bila dibandingkan jenis nilamnya.
  2. Lahan-lahan yang subur dan mengandung bahan organic, menghasilkan daun nilam dengan kadarminyak 2 – 3,5 %.
  3. Waktu panen, saat panen daun jangan terlalu tua atau muda. Waktu panen yang tepat pada saat tanaman berumur 6 – 8 bulan.
  4. Pengeringan, harus dilakukan sebaik mungkin dengan kadar air 12 – 15 %, jangan terjadi fermentasi atau terkena air hujan.
  5. Penyimpanan, harus baik dengan sirkulasi udara yang lancar dan tidak lembab. Penyimpanan ini jangan terlalu lama sebab akan terjadi penyusutan daun nilam kering dan menurunkan produksi serta kualitas minyaknya.
b.    Cara Penyulingan
            Penyulingan yang terbaik adalah dengan cara uap langsung dan peralatan terbuat dari bahan stainless stell. Warna minyak yang berwarna coklat kehitaman disebabkan peralatan yang digunakan terbuat dari drum bekas dengan kandungan Fe yang cukup tinggi, sehingga mudah terjadi oksidasi. Hal inilah yang memicu harga minyak nilam cendrung menurun. Pemakaian tekanan uap harus cukup tinggi dan waktu penyulingan diperpanjang karena minyak nilam lebih berharga pada fraksi titik didihnya tinggi, tapi bila tekanan terlalu tinggi dan penyulingan terlalu lama dapat menyebabkan kegosongan minyak dan meningkatkan bilangan asamnya.
c.    Cara penyimpanan minyak
            Untuk jumlah yang kecil, minyak nilam sebaiknya disimpan dalam botol berwarna gelap, sedangkan untuk minyak nilam dalam jumlah banyak, sebaiknya disimpan didalam drum yang terbuat dari stainless stell. Minyak nilam yang telah lama disimpan memberikan bau yang lebih halus dan aromatik dibandingkan dengan minyak nilam yang baru disuling.
2.5. Standar Mutu Minyak Nilam
            Mutu minyak atsiri merupakan faktor penentu yang sangat penting. Mutu minyak atsiri yang tinggi, stabil dan kosisten memudahkan konsumen dalam membuat formulasi minyak atsiri tersebut dalam suatu industri pengolahan dengan demikian, perdagangan produk formulasi tadi akan semakin mendapat kepercayaan dipasaran. Apabila suatu jenis minyak atsiri berhasil masuk kedalam formulasi campuran farfum, kosmetik, flavor, atau untuk pemanfaatan lainnya serta telah pula mendapat sambutan dan kepercayaan di pasaran maka minyak atsiri tersebut akan terus menerus diperlukan kehadirannya (Lukman dan Rahmayati, 2000, Cit. Vivi Deeldes, 2001).
            Untuk menentukan  mutu minyak atsiri didasarkan atas kriteria atau batasan yang dituangkan dalam standar mutu. Didalam standar mutu dicamtumkan sifat umum yang terdapat dalam minyak atsiri. Dari sifat fisik dapat diketahui keaslian dari minyak atsiri, sedangkan dari sifat kimia dapat diketahui secara umum komponen kimia yang terdapat didalamnya. Jumlah dan jenis komponen kimia yang terdapat dalam minyak atsiri akan menentukan nilai dan kegunaan dari minyak tersebut (Ketaren, 1980).
Standar mutu minyak nilam Indonesia menurut SNI dalam Rohayati (1997) adalah sebagai berikut.
Tabel 2.  Standar Mutu Minyak Nilam
No
Karakteristik
SNI
1
2
3
4
5
6
7
8





9




Warna
Berat jenis 250 C
Indeks bias
Putaran optik
Kelarutan dalam etanol 90%, suhu 250C
Bilangan asam,maks
Bilangan ester, maks
Zat-zat asing
       Lemak
      
      Minyak Keruing

      Alkohol Tambahan

      Minyak pelican

Kadar logam Fe (ppm)
Kuning muda sampai coklat Tua
0,978 – 1,083
1,513 – 1,582
(+15)0 – (+45)
Larut dalam 10 volume bagian
5 %
10 %

Negatif
Negatif
Negatif
Negatif

-
Sumber : Rohayati, 1997; *EAO
Keterangan: *Badan Standarisasi Nasional (1995); - = tidak disyaratkan

2.7.  Pemurnian
             Menurut Hermaini dan Trimarwati (2009) pemurnian merupakan suatu proses untuk meningkatkan kualitas suatu bahan agar mempunyai nilai jual yang lebih tinggi. Beberapa metoda yang dikenal  untuk pemurnian minyak atsiri adalah secara kimia dan fisika. Pemurnian secara fisika memerlukan peralatan penunjang yang cukup spesifik, akan tetapi minyak yang dihasilkan lebih baik karena warnanya lebih jernih dan komponen utamanya menjadi lebih tinggi. Untuk metode pemurnian kimia bisa dilakukan dengan menggunakan peralatan yang sederhana dan hanya memerlukan pencampuran dengan absorben atau senyawa pengomplek/pengkelat tertentu.    
            Senyawa pengkelat  adalah pengikatan logam dengan cara menambahkan senyawa pengkelat dan membentuk kompleks logam. Senyawa pengkelat yang cukup dikenal dalam proses pemurnian minyak atsiri, antara lain asam sitrat, asam malat, asam tartarat dan EDTA. Proses pengikatan logam merupakan proses keseimbangan pembentukan kompleks logam dengan  senyawa pengkelat (Ellyta Sari dan Elmi Sandari, 2009)
Asam sitrat adalah asam organik lemah yang ditemukan pada daun dan buah genus citrus (jeruk – jerukan). Rumus kimia asam sitrat C6H8O7  nama lain asam sitrat adalah asam 2-hidroksi-1,2,3-propanatrikarboksilat.
            Keasaman asam sitrat didapatkan dari tiga gugus karboksil COOH yang dapat melepaskan proton dalam larutan. Jika hal ini terjadi, ion yang dihasilkan adalah ion sitrat. Ion sitrat banyak bereaksi ion logam membentuk garam sitrat. Selain itu, sitrat dapat mengikat ion logam dengan pengkelatan (http://id.wikepedia.org/wiki/asam sitra, 20 Mei 2009)
            Menurut Tan K.H (1998) reaksi pengikatan logam oleh asam sitrat dapat dituliskan seperti Gambar 2.
            H                                                                     H
                                    O                                                                            O
H         C         C         OH                              H         C         C         OFe
                                                                                                                                                                                                                                                                                        O                                                                                O
OH      C         C         OH  +  Fe+3                OH      C          C         OFe    + 3 H2O
                                                                                               
                                    O                                                                            O
 H        C         C         OH                              H         C         C         OFe

            H                                                                     H
    Asam Sitrat                                                                  Garam Sitrat
Gambar 2. Reaksi pengikatan Fe oleh asam sitrat(Tan. K.H, 1998)



III. BAHAN DAN METODA

3.1. Tempat dan Waktu.
            Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Juli  sampai bulan September 2009 di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas Padang,
3.2. Bahan dan Alat
            Bahan baku yang digunakan adalah minyak nilam yang di suling dengan menggunakan stainless steel dan minyak nilam yang di suling dengan drum bekas yang dibeli Balai Batu Sandaran, Kecamatan Barangin, Kabupaten Sawah Lunto. bahan- bahan kimia antara lain air suling, etanol – toluen 1:1, KOH 0,1 N, Phenolptalein  serta asam sitrat.
            Alat-alat yang digunakan adalah botol yang berwarna gelap, timbangan analitik, gelas ukur 10 ml, labu ukur 25 ml, AAS, Spektrophotometer UV, erlemeyer 10 ml, alat titrasi, buret, desikator, kertas saring, penagas air, kertas tissue, pipet tetes, batu didih.
3.3. Rancangan Penelitian
            Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap  (RAL) dalam faktorial dengan 2 faktor dan 3 kali ulangan. Faktor pertama adalah tingkat pencampuran minyak nilam penyulingan stainless steel dengan minyak nilam penyulingan drum bekas dengan 5 taraf (faktor A) dan faktor kedua  adalah penambahan asam sitrat terdiri dari 2 taraf (faktor B). Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam, jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Duncan's New Multiple Range Test (DMNRT) pada taraf 5%..
Perlakuan :   Faktor A1 :   (minyak nilam penyulingan stainless steel 100 %)
                               A2   :  (minyak nilam Penyulingan stainless steel 75% +
                                          Minyak nilam Penyulingan drum bekas 25%)
                                A3   :  (minyak nilam Penyulingan stainless steel 50% +   
                                           Minyak nilam Penyulingan drum bekas 50%)                                         
                                A4  : (minyak nilam Penyulingan. stainless steel 25% +
                                           Minyak nilam Penyulingan drum bekas 75%)
                                A5  : (minyak nilam Penyulingan drum bekas 100%) 
                    Faktor B1   : Penambahan Asam Sitrat 14%
                                B2   : Penambahan Asam  Sitrat 16%
Adapun model linier dari rancangan
            Yij = µ + Ai + bj + AiBj + Eij
Keterangan :
Yij = Hasil pengamatan pada semua yang memproleh  perlakuan taraf ke-i dari faktor A, taraf ke-j faktor B dan ulangan ke-k         
µ      = Rata – rata populasi
Ai    = Penginteraksi taraf ke-i dari faktor A
Bj     =  Penginteraksi taraf ke-j dari faktor B
AiBj = Penginteraksi dari taraf ke-i faktor A dan taraf ke-j dari faktor B  
ijk     = Banyak taraf faktor A, banyak taraf faktor B dan banyak ulangan

3.4 Pelaksanaan Penelitian
a. Pengambilan sampel
Sampel minyak nilam yang digunakan adalah minyak penyulingan stainlees steel dan minyak penyulingan drum bekas dibeli di daerah Balai Batu Sandaran, Kecamatan Barangin, Kabupaten Sawah Lunto sebanyak 3 kg dan disimpan dalam botol berwarna gelap agar tidak rusak akibat proses oksidasi atau hidrolisa. Digunakan tempat contoh yang bersih dan kering serta tertutup rapat tidak mudah masuk udara. Sewaktu pengambilan contoh atau sesudahnya contoh dilindungi dari cahaya, hujan,abu dan perbedaan suhu yang besar, kemudian dibawa ke laboratorium  Teknologi Hasil Pertanian Universitas andalas untuk diberi perlakuan penambahan asam sitrat 14% dan 16% pada tingkat pencampuran minyak nilam penyulingan stainlees steel dengan minyak nilam penyulingan drum bekas dengan tingkat pencampuran A1 minyak nilam penyulingan stainless steel  100%, A2 minyak nilam P. stainless steel 75% + minyak nilam P. drum bekas 25%, A3 minyak nilam P. stainless steel 50% + minyak nilam P. drum bekas 50%, A4 minyak nilam P. stainless steel 25% + minyak nilam P. drum bekas 75%, A5 minyak nilam P. drum bekas 100%.
b. Prosudur Kerja
            Sebelum dilakukan analisa minyak terdahulu dilakukan pencampuran untuk mendapatkan tingkat transmitan yang berbeda-beda, pencampuran minyak yang dilakukan adalah 5 tingkat pencampuran  yaitu A1 minyak nilam penyulingan stainless steel  100%, A2  minyak nilam P. stainless steel 75% + minyak nilam P. drum bekas 25%, A3 minyak nilam P. stainless steel 50% + minyak nilam P. drum bekas 50%, A4 minyak nilam P. stainless steel 25% + minyak nilam P. drum bekas 75%, A5 minyak nilam P. drum bekas 100%. Setelah dilakukan pencampuran dilakukan analisa awal terhadap minyak nilam untuk  bilangan asam, kadar Fe, transmitan. Kemudian minyak nilam ditimbang masing-masing 50 g dan ditambahkan asam sitrat sebanyak 14% dan 16% . Wadah diletakkan diatas pemanas listrik dengan suhu 600 C dan diaduk  30 menit dengan kecepatan pengadukan 300 rpm, sampai reaksi selesai (seperti terjadinya perubahan warna) setelah itu minyak didiamkan sampai suhu kamar dan dilanjutkan dengan penyaringan dengan kertas saring. Minyak didapat kemudian dianalisa  beberapa karakteristik mutunya.
3.5.  Pengamatan
Pengamatan yang dilakukan pada penelitian ini meliputi pengamatan  terhadap tetapan fisika dan kimia minyak atsiri terdiri dari  nilai transmitan, bilangan asam dan kadar Fe.
a. Bilangan asam (Standar Industri Indonesia Dept. Perindustrian RI)
Sebanyak 2 gram minyak ditimbang dalam labu erlemeyer 500 ml. Tambahkan 10 ml etanol-benzol 1:1 (atau alkohol-toluena 1:1) netral. Kemudian larutan tersebut dititrasi dengan KOH 0.1 N. sebagai indikator tambahkan phenolptalein sebanyak 3 tetes. Akhir titrasi ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah muda.
           
Bilangan asam  =  ml KOH x N KOH x 56,1
                                   Berat contoh (gr)

b. Kadar Fe (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor 1998)
Ditimbang 0,5 gram contoh minyak < 0,5 mm kedalam Tabung digestion. Ditambahkan 5 ml HNO3 p.a dan biarkan satu malam. Besoknya dipanaskan dalam digestion blok dengan suhu 1000 C selama 1 jam, kemudian suhu ditingkatkan menjadi 1500 C setelah uap kuning habis suhu digestion blok ditingkatkan menjadi 2000 C. Destruksi selesai setelah keluar asap putih dan sisa ekstrak kurang lebih 0,5 ml. tabung diangkat dan dibiarkan dingin. Ekstrak diencerkan dengan air bebas hingga volume tepat 50 ml dan kocok dengan pengocok tabung hingga homogen.
Fe diukur langsung dari ekstrak contoh menggunakan A.A.S (Absorbtion Atomik Spektrophotometer) dengan deret standar masing-masing logam sebagai pembanding.



c. Nilai transmitan
            Pengamatan nilai transmitan/kejernihan dilakukan secara kuantitatif menggunakan spektrofotometer-UV pada panjang gelombang 200 – 300 nm. Sebelum dilakukan pengukuran, spektrofotometer-UV distandarisasi terlebih dahulu menggunakan larutan blanko ( alkohol ) dan terakan pembacaan blanko ini dengan nilai        adsorban = 0 pada panjang gelombang 200 -300 nm.
            Alat spektrofotometer-UV dihidupkan dan dipanaskan sekitar 10 menit sebelum dipakai, kemudian tombol diatur pada posisi pengukuran adsorban/transmisi. Tabung tempat cairan yang akan diukur diisi dengan larutan pembanding, selanjutnya pengukuran adsorban/transmisi diganti dengan contoh minyak yang diperiksa dan dicatat nilai adsorban/transmisinya.  























IV. HASIL, PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

4.1. Hasil dan Pembahasan
4.1.1. Hasil analisis bahan baku
Tabel 3.  Hasil analisis bahan baku
Tingkat pencampuran minyak nilam penyulingan stainlees steel dengan penyulingan drum bekas
Nilai transmitan (%)
Bilangan asam
Kadar Fe (ppm)
A1 =  (minyak nilam penyulingan stainlees steel
100 %)
46
1,4
153,72
A2 =  (minyak nilam P. stailees steel 75% +
Minyak nilam P. drum bekas 25%)
42
1,7
186,36
A3 =  (minyak nilam P. stainlees steel 50% +
Minyak nilam P. drum bekas 50%)
41
2
205,68
A4 =  (minyak    nilam P. stainlees steel 25% +
Minyak nilam P. drum bekas 75%)
40
2,1
238,76
A5 =  (minyak nilam P. drum bekas 100%)
38
2,5
259,32

Pada Tabel analisis bahan baku dapat terlihat bahwa minyak nilam yang berasal dari penyulingan stainlees steel nilai transmitannya lebih tinggi, bilangan asam lebih rendah dan kadar Fe lebih rendah bila dibandingkan dengan minyak nilam  berasal dari  penyulingan drum bekas. Hal ini disebabkan karena pada penyulingan yang mengunakan stainlees steel terjadi kontak bahan baku dengan logam Fe lebih rendah karena telah dilapisi dengan lapisan anti karat sehingga minyak yang dihasilkan warnanya lebih jernih, kandungan Fe rendah dan bilangan asam lebih rendah, sedangkan penyulingan yang terbuat dari drum bekas memiliki kandungan Fe yang lebih tinggi  karena kontak dengan logam Fe sangat tinggi alat yang dipakai telah terjadi pengkaratan oleh logam Fe sehingga mudah teroksidasi dan  warna minyak yang dihasilkan coklat kehitaman akibatnya nilai transmitan rendah dan bilangan asam lebih tinggi.   
4.1.2  Analisis setelah penambahan asam sitrat pada berbagai tingkat pencampuran    minyak nilam penyulingan stainlees steel dengan minyak nilam penyulingan drum bekas
4.1.2.1 Nilai transmitan
            Penetapan transmitan  minyak nilam bertujuan untuk mengetahui tingkat kejernihan minyak nilam yang dihasilkan setelah melalui proses pemurnian dengan menggunakan asam sitrat pada tingkat pencampuran minyak nilam. transmitan minyak nilam dinyatakan dalam persen transmitan. Semakin tinggi persen transmitan semakin jernih warna minyak nilam yang dihasilkan.    
Hasil sidik ragam yang terdapat pada Lampiran 3 menunjukkan bahwa penambahan asam sitrat dan tingkat pencampuran minyak nilam memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap nilai transmitan sedangkan interaksinya berbeda tidak nyata. Uji lanjut DMNRT pada taraf nyata 5% dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Pengaruh penambahan asam sitrat pada berbagai tingkat pencampuran minyak nilam terhadap nilai transmitan
 

Nilai trasmitan minyak nilam (%)
Nilai transmitan(%)
A1

A2
A3

A4

A5

                           51,3    a

     49,8           b

            45,5                  c

                    44,8                           d

                          42                                   e
Penambahan asam sitrat (%)
Nilai transmitan (%)
B1 (14%)

B2 (16%)

45,5          a

       46,6                b
KK = 1,19 %
Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecilyang sama pada lajur yang sama berbeda tidak nyata menurut DMNRT pada taraf nyata 5%.

Pada Tabel 4 dapat terlihat bahwa perlakuan penambahan asam sitrat dan tingkat pencampuran minyak nilam  memberikan pengruh berbeda nyata terhadap nilai transmitan. Perlakuan tingkat pencampuran, nilai transmitan tertinggi diperoleh pada perlakuan A1 (penyulingan stainlees steel 100%) yaitu 51,3% dengan kenaikan nilai transmitan sebesar 11,5% sedangkan terendah diperoleh pada perlakuan A5 (penyulingan drum bekas 100%) yaitu 42% dengan kenaikan nilai transmitan sebesar 10,5%. Perlakuan penambahan asam sitrat, nilai transmitan  tertinggi diperoleh pada perlakuan B2 yaitu 46,6% dengan sedangkan terendah diperolah pada perlakuan B1 yaitu 45,5%. 
Perlakuan tingkat pencampuran minyak nilam  A1(penyulingan stainlees steel 100%) memberikan nilai transmitan tertinggi yang berbeda nyata dengan A2 (minyak nilam P. stailees steel 75% + minyak nilam P. drum bekas 25% ), A3 (minyak nilam P. stainlees steel 50% + minyak nilam P. drum bekas 50%), A4 (minyak nilam P. stainlees steel 25% + minyak nilam P. drum bekas 75%) dan A5 (minyak nilam P. drum bekas 100%). Hal ini disebabkan pada perlakuan A1 minyak nilam berasal dari penyulingan stainlees steel dan belum ada pencampuran dengan penyulingan drum bekas sehingga warna minyak lebih jernih, sedangkan perlakuan yang lainnya telah dilakukan pencampuran dengan penyulingan drum bekas yang tujuannya adalah untuk mendapatkan tingkat transmitan yang berbeda-beda dan warna minyak terlihat coklat kehitaman. Warna minyak jernih, ini terlihat mempunyai nilai transmitan yang lebih tinggi dibandingkan dengan warna minyak coklat kehitaman.
Perlakuan penambahan asam sitrat 16% memberikan nilai transmitan tertinggi yang berbeda nyata dengan penambahan asam sitrat 14%. Nilai transmitan yang tinggi disebabkan penambahan asam sitrat 16% lebih banyak mengikat zat pembawa warna dalam minyak dibandingkan dengan penambahan 14% sehingga warna minyak akan kelihatan lebih jernih.   
Semakin berkurang zat pembawa warna dalam minyak , warna akan kelihatan lebih jernih dan menurut Fessenden dan Fessenden (1983), adsorbsi selektif dalam spektrumnya berkurang. Sudarmadji, Haryono dan Suhardi (1990) menyatakan apabila zat warna yang terdapat dalam larutan berjumlah sedikit akan menyebabkan proporsi radiasi yang diteruskan besar atau persen transmitannya tinggi sehingga terlihat lebih jernih.



4.1.2.2  Bilangan Asam
            Hasil analisa sidik ragam terhadap bilangan asam minyak nilam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan asam sitrat dan tingkat pencampuran minyak nilam  serta interaksinya memberikan pengaruh berbeda nyata. Tabel sidik ragam bilangan asam dapat dilihat pada Lampiran 3, sedangkan hasil uji lanjut  DNMRT pada taraf nyata 5% dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Pengaruh penambahan asam sitrat pada berbagai tingkat pencampuran minyak nilam terhadap bilangan asam.
Bilangan Asam
Tingkat  pencampuran minyak nilam (A/%)
Penambahan asam sitrat (B/%)
B1 (14%)
B2 (16%)
A1

A2

A3

A4

A5
1,9  A
a
2 A
a
2,3 B
a
2,4 B
a
2,7 C
a
2,1 A
a
2,3 A
b
2,4 A
a
2,7 B
b
3,1 C
b
KK = 6,32%
Angka-angka sebaris diikuti oleh huruf kecil yang sama dan angka-angka selajur diikuti huruf besar yang sama berbeda tidak nyata menurut DMNRT pada taraf nyata 5%.

Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa bilangan asam tertinggi terdapat pada perlakuan A5 (penyulingan drum bekas 100%) dengan penambahan asam sitrat 16 % (A5B2) yaitu 3,1, sedangkan bilangan asam terendah terdapat pada tingkat transmitan  A1 (penyulingan stainlees steel 100%) dengan penambahan asam sitrat 14% (A1B1) yaitu 1,9.        
  Gambar 3. Grafik analisis  bilangan asam minyak nilam pada penambahan asam     sitrat dan tingkat pencampuran minyak nilam

Kombinasi Perlakuan A5B2 (penyulingan drum bekas 100% dan penambahan asam sitrat 16%) memberikan bilangan asam tertinggi. Hal ini disebabkan karena minyak nilam yang berasal dari penyulingan drum bekas, pada saat penyulingan kontak minyak nilam dengan logam Fe sangat tinggi karena penyulingan telah terjadi pengkaratan oleh logam Fe, kandungan Fe yang tinggi ini akan memicu tejadinya reaksi oksidasi Fe yang menghasilkan asam lemak bebas, sehingga bilangan asam minyak nilam lebih tinggi, serta penambahan asam sitrat 16% lebih banyak bila dibandingkan dengan penambahan asam sitrat 14%, dengan peningkatan penambahan asam sitrat ini dapat menaikkan bilangan asam, kemungkinan dengan penambahan asam sitrat yang lebih banyak masih ada asam sitrat yang belum bereaksi dengan Fe, asam sitrat yang belum bereaksi dengan Fe akan terhitung menjadi total asam.
Kombinasi perlakuan A1B1 (penyulingan stainlees steel 100% dan penambahan asam sitrat 14%) memberikan bilangan asam terendah. Hal ini disebabkan karena minyak nilam ini berasal dari miyak nilam  penyulingan stainlees steel sehingga pada saat penyulingan kontak bahan baku dengan logam Fe sangat rendah karena alat suling telah dilapsi dengan anti karat dan reaksi oksidasi kemungkinan tidak terlalu besar terjadi sehingga bilangan asam minyak rendah, serta penambahan asam sitrat 14% lebih sedikit bila dibandingkan dengan 16%, peningkatan penambahan asam sitrat dapat juga menyebabkan kenaikan bilangan asam karena jika terlalu banyak asam sitrat ditambahkan kemungkinan masih ada asam sitrat yang belum bereaksi dengan Fe, asam sitrat yang belum bereaksi dengan Fe akan terhitung menjadi total asam.      
 Berdasarkan standar mutu minyak nilam Essential Oil Associatian of USA (EAO no.23) dan British Standar (BS 2999/10) yaitu bilangan asam maksimal 5%. Bila dibandingkan dengan bilangan asam minyak nilam setelah penambahan asam sitrat pada tingkat pencampuran minyak nilam adalah berkisar antara 1,9% – 3,1%, berarti bilangan asam ini masih dalam ambang batas standar mutu yang di tetapkan.  
Menuru Ernest Guenther (1952), bilangan asam suatu minyak atsiri bertambah, bila umur simpan bertambah, peralatan penyulingan yang digunakan,  terutama bila cara penyimpanan minyak kurang baik; proses seperti oksidasi aldehida dan hidrolisa ester akan menambah bilangan asam. Minyak dan dilindungi dari udara dan sinar mempunyai jumlah asam bebas yang relatif lebih kecil.
4.1.3. Kadar Fe (Besi)
            Hasil analisa sidik ragam terhadap kadar Fe minyak nilam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan asam sitrat dan tingkat pencampuran minyak nilam  serta interaksinya memberikan pengaruh berbeda nyata. Tabel sidik ragam kadar Fe dapat dilihat pada Lampiran 3, sedangkan  hasil uji lanjut DNMRT taraf 5 % dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Pengaruh penambahan asam sitrat pada berbagai tingkat transmitan minyak nilam terhadap kadar Fe.
Kadar Fe (ppm)
Tingkat  pencampuran minyak nilam (A)
Penambahan asam sitrat (B/%)
B1 (14%)
B2 (16%)
A1

A2

A3

A4

A5


94,54  A
a
101,34  B
a
129,95 C
a
145,02 D
a
161,74 E
a
81,23 A
b
88,38 B
b
106,36 C
b
116,97 D
b
123,29 E
B
KK = 7,27%
Angka-angka sebaris diikuti oleh huruf kecil yang sama dan angka-angka selajur diikuti huruf besar yang sama berbeda tidak nyata menurut DMNRT pada taraf nyata 5%.

            Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa kadar Fe tertinggi terdapat pada perlakuan A5 (penyulingan drum bekas 100%) dengan penambahan asam sitrat 14 % (A5B1) yaitu 161,74 ppm dengan penurunan kadar Fe sebesar 60,3%, sedangkan bilangan Fe terendah terdapat pada perlakuan A1 (penyulingan stainlees steel 100%) dengan penambahan asam sitrat 16% (A1B2) yaitu 81,23 ppm dengan penurunan kadar Fe sebesar 89,2%. Dengan penambahan asam sitrat 16% kadar Fe minyak nilam penyulingan drum bekas sudah mempunyai kandungan Fe yang rendah dari minyak nilam penyulingan stainlees steel yang belum di tambahkan dengan asam sitrat.
Gambar 5. Grafik analisis kadar Fe  minyak nilam pada penambahan asam sitrat dan tingkat pemcampuran minyak nilam

Kombinasi perlakuan A5B1 (penyulingan drum bekas 100% dan penambahan asam sitrat 14%) memberikan kadar Fe tertinggi. Hal ini disebabkan karena minyak nilam yang berasal dari penyulingan drum bekas dimana kontak bahan dengan logam Fe yang sangat tinggi karena telah terjadi pengkaratan pada peralatan penyulingan oleh logam Fe sehingga minyak nilam yang dihasilkan dari penyulingan ini mempunyai kadar Fe yang tinggi, serta pada perlakuan ini penambahan asam sitrat  lebih sedikit yaitu 14% dibandingkan dengan penambahan asam sitrat 16%, penambaham asam sitrat berpengaruh terhadap penurunan kadar Fe dimana semakin banyak penambahan asam sitrat maka semakin banyak logam Fe yang terikat oleh asam sitrat membentuk garam sitrat dan sebaliknya semakin sedikit penambahan asam sitrat maka logam Fe yang terikat semakin sedikit, dengan kata lain penambahan asam sitrat 16% akan lebih banyak mengikat logam Fe dibandingkan penambahan asam sitrat 14%.
Kombinasi perlakuan A1B2 (penyulingan stainlees steel 100% dan penambahan asam sitrat 16%) memberikan kadar Fe terendah. Hal ini disebabkan karena  minyak nilam yang  berasal dari penyulingan stainlees steel sehingga pada saat penyulingan kontak logam Fe dengan bahan sangat rendah karena penyulingan telah dilapisi dengan anti karat minyak yang dihasilkan mempunyai kadar Fe yang rendah, serta pada perlakuan ini penambahan asam sitrat  lebih banyak yaitu 16% dibandingkan penambahan asam sitrat 14%. Ini terbukti bahwa Penambahan asam sitrat 16% lebih banyak mengikat logam dari pada penambahan asam sitrat 14%.
Menurut Hermaini dan Tri marwati (2009), peralatan penyulingan, pemisahan minyak setelah penyulingan, wadah yang digunakan dan penyimpanan yang tidak benar, ini akan dapat memicu terjadi proses yang tidak diinginkan, yaitu oksidasi, hidrolisa ataupun polimerisasi. Biasanya minyak yang dihasilkan akan terlihat lebih gelap dan berwarna kehitaman atau sedikit kehijauan akibat kontaminasi dari logam Fe da Cu. Hal ini akan berpengaruh terhadap sifat fisika kimia minyak.
Logam berat seperti Fe, Pb, Cu sering juga terdapat sebagai kotoran didalam minyak atsiri. Logam berat ini perlu dibebaskan dari minyak atsiri terutama jika minyak tersebut dijadikan campuran obat atau dalam bahan pangan. Adanya logam berat dalam parfum sering menyebabkan perubahan warna pada produknya. Misalnya pada produk  sabun dan kosmetik krem (Ernest Guenter, 1952)  

4.2. Kesimpulan dan Saran
4.2.1. Kesimpulan
            Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
  1. Penambahan asam sitrat pada berbagai tingkat pencampuran minyak nilam memberikan interaksi pada bilangan asam dan kadar Fe tetapi tidak memberikan interaksi pada nilai transmitan. Penambahan asam sitrat maupun tingkat pencampuran berpengaruh terhadap nilai transmitan, bilangan asam dan kadar Fe.
  2. Dengan penambahan asam sitrat 16% kadar Fe minyak nilam penyulingan drum bekas sudah mempunyai kandungan Fe yang rendah dari minyak nilam penyulingan stainlees steel yang belum di tambahkan dengan asam sitrat.
  3. Penambahan asam sitrat dan tingkat pencampuran yang baik adalah penambahan asam sitrat 16% dan tingkat pencampuran stainlees steel 100% nilai transmitannya 51,3%, penambahan asam sitrat 16% nilai transmitannya 46,6%, bilangan asam 2,1 dan kadar Fe 81,23 ppm.


4.2.2. Saran
Disarankan untuk penelitian lebih lanjut agar minyak nilam setelah penambahan asam sitrat tidak mengalami kenaikan bilangan asam dengan cara memperhatikan suhu dan lama pemanasan selama proses pemurniaan minyak nilam.   






















DAFTAR PUSTAKA

Dhalimi, Azmi, Sofyan, Rusli dan Emmyzar. 2000. Status Dan Perkembangan Penelitian Dan Rekayasa Alat Pengolahan Nilam. Balai Penelitian Tanaman Rempah Dan Obat. 
Deeldes, Vivi. 2001. Pengaruh Jenis Basa Dalam Perbaikan Nilai Bilangan Asam Terhadap Beberapa Karakterisrik Mutu Minyak Nilam. Skripsi S1 Fateta Universitas Andalas. Padang
Deperindag. 1984. Minyak Nilam. Commodyty Note. Badan Pengembangan Ekstraksi Nasional. Departemen Perindustrian Dan Perdagangan.
Ellyta Sari, Elmi Sandari.Upaya Peningkatan kualitas dan Permasalahan Perdangagan Minyak Nilam di Sumatera Barat. (http://www.atsiri-indonesia.com). (20 Mei 2009)
Fessenden, R.J and J.S. fessenden. 1983. Kimia organik II. Erlangga. Jakarta
Guenther, Ernest. 1952. The Essential Oil I. Van Nos Trand Reinhold Company. New York.
Harris, Ruslan. 1987. Tanaman Minyak Atsiri. Penebar Swadaya. Jakarta.
Harmaini, dan Trimarwati. Peningkatan Mutu Minyak Nilam Melalui Pemurnian. (http;//www.atsiri-indonesia.com). (20 Mei 2009)
Imran. 1992. Kajian Pengaruh Tinggi Pemangkasan Pada Nilam. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat-obatan. Citayam. Bogor.
Kataren, S. 1980. Analisa Sifat Fisika-Kimia Minyak Atsiri. Departemen Teknologi Hasil Pertanian. Fatemeta. IPB. Bogor.
Kataren , S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Balai Pustaka. Jakarta.
Lukman, Lutony dan Yeyet Rahmayati. 2000. Produksi Dan Perdagangan Minyak Atsiri. Penebar Swadaya.
Mayuni. 1979. Pengolahan Minyak Atsiri. Departemen Teknologi Hasil Pertanian Universitas Andalas. Padang
Muklis, Nanan. A dan S. rusli. 1978. Penyimpanan minyak Nilam Dalam Beberapa Macam Kemasan. Kumpulan Seminar Minyak atsiri III. 13 – 14 Juli 1978. Bogor.
Rohayati, N. 1997. Penggunaan Bentonit, Arang Aktif dan Asam Sitrat Untuk Meningkatkan Mutu Minyak Akar Wangi. Skripsi Fateta IPB. Bogor
Santosa, budi. 1993. Bertanam Nilam Bahan Industri Wewagian. Penerbit Kansius. Yogyakarta
Sriyesi, Jasmi. 2005. Pengaruh Proporsi Perbandingan Daun dan Batang Terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Nilam. Skripsi S1 Fateta Universitas Andalas. Padang
Sudaryani dan Sugiharti Endang. 1990. Budidaya dan Penyulingan Nilam. Penebar                                  
            Swadaya. Jakarta 
Sudarmadji, S, haryono, B, dan suhardi. 1990. Prosudur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta
Tan. K.H. 1998. Dasar – Dasar Kimia Tanah. Gajah Mada University Press  
Zarlis, Ir. 1998. Perbaikan Proses dan Qualiti Control Dalam Upaya Peningkatan Mutu Minyak Nilam. Depperindag Sumatera Barat. Padang





















Lampiran 1.   Diagram Alir Proses   Pengolahan Minyak Nilam

Lampiran 2. Diagram Alir Pengerjaan Dalam Penelitian

Keterangan :
Perlakuan :   Faktor A1 :   (minyak nilam penyulingan stainlees steel 100 %)
                               A2   :  (minyak nilam Penyulingan stailees steel 75% +
                                          Minyak nilam Penyulingan drum bekas 25%)
                                A3   :  (minyak nilam Penyulingan stainlees steel 50% +   
                                           Minyak nilam Penyulingan drum bekas 50%)                                        
                                A4  : (minyak nilam Penyulingan. stainlees steel 25% +
                                           Minyak nilam Penyulingan drum bekas 75%)
                                A5  : (minyak nilam Penyulingan drum bekas 100%)

                    Faktor B1   : Penambahan Asam Sitrat 14%
                               B2   : Penambahan Asam  Sitrat 16%
           
Lampiran 3.  Tabel sidik ragam masing-masing pengematan.

1.   Tabel sidik ragam nilai transmitan
Sumber keragaman
Db
J.K
KT
F.Hitung
F.Tabel
1. FAKTOR A
4
32,4
8,1
24,25**)
2,87
2. FAKTOR B
1
26,87
26,87
80,45**)
4,35
3. INTERAKSI AXB
4
3,79
0,948
2,84ns
2,87
4. SISA
20
6,67
0,334


5. TOTAL
29
69,73



KK = 1,19%

2.  Tabel sidik ragam bilangan asam
Sumber keragaman
Db
J.K
KT
F.Hitung
F.Tabel
1. FAKTOR A
4
0,482
0,21
5,26**)
2,87
2. FAKTOR B
1
3,295
3,295
143,26**)
4,35
3. INTERAKSI AXB
4
3,848
0,962
41,83**)
2,87
4. SISA
20
0,45
0,023


5. TOTAL
29
8,075



KK = 6,32%

3. Tabel sidik ragam kadar Fe
Sumber keragaman
Db
J.K
KT
F.Hitung
F.Tabel
1. FAKTOR A
4
4160,93
1040,23
14,86**)
2,87
2. FAKTOR B
1
12986,61
12986,61
18,47**)
4,35
3. INTERAKSI AXB
4
17828,63
4457,16
63,66**)
2,87
4. SISA
20
1400,49
70,02


5. TOTAL
29
36376,46



KK = 7,27%





Lampiran 4. Dokumentasi hasil penelitian


















         A1                   A2                     A3                 A4                     A5         

Gambar : Minyak nilam sebagai bahan baku penelitian      














     A1B1    A1B2        A2B1     A2B2       A3B1      A3B2      A4B1      A4B2   A5B1     A5B2




Gambar : Minyak nilam setelah penambahan asam sitrat




                                                                                                          





















Gambar : Proses pemurnian minyak nilam dengan penambahan asam sitrat

Tidak ada komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Mahasiswa Teknik Industri Universitas Andalas 2009 Alumni Ponpes Asy-Syarif Angkatan 09,, Alumni Ponpes Madinatul Munawwarah angkatan 06.