JIT and Job Satisfaction
Dalam Toyota Production System – the new way of looking and the new way of thinking, Job satisfaction adalah adalah landasan untuk Customer Satisfaction. Mendeteksi Job Satisfaction mungkin lebih mudah dengan mengamati perilaku karyawan seperti tampak dalam foto-foto dari Toyota[1]Kesungguhan bekerja bisa diamati melalui perilaku harian disaat kerja , karena selama kerja seluruh pribadi yang bekerja tercurah didalam kerja sehingga hasil kerja akan mencerminkan pribadi yang mengerjakannya. Antusias, semangat, perilaku positif, kegembiraan, optimisme, adalah tanda-tanda yang bisa dilihat langsung untuk menandai kepuasan kerja.
Ketika manajemen berhasil mengelola organsisasi sehingga muncul tahap ke tiga atau tahap terakhir perkembangan keterlibatan karyawan, yaitu Organizational Commitment, maka melalui SDM yang mempunyai komitmen terhadap organisasi niscaya kinerja organisasi yang semakin baik adalah buah yang pasti dipetik
`
Salah satu faktor yang memungkinkan karyawan merasa diakui martabatnya adalah memberi keleluasaan yang lebih besar untuk membuat keputusan dalam penyelesaian masalah di wilayah pekerjaanya, Jidoka. Dengan cara ini maka ruang untuk ekspresi diri sebagai salah satu faktor kepuasan kerja telah dibuka luas sehingga belenggu pribadi dalam kerja terurai dan ekpresi diri bisa dilakukan.
Namun, sebaliknya, Job Satisfaction itu bisa dideteksi melalui response terhadap Job Dissatisfaction atau ketidakpuasan kerja. Bila tanggapan terhadap ketidakpuasan kerja itu muncul maka hal itu menunjukkan bahwa kepuasan kerja tidak ada.
Robbins[2] menjelaskan bagaimana dampak dari karyawan terhadap pekerjaannya, apakah ia menyukai atau tidak berdasar pada tangapan terhadap ketidak puasan tersebut, yaitu Constructive dan Destructive serta Active dan Passive. Perpotongan empat tanggapan ketidakpuasan tersebut membentuk empat kuadran.
Tanggapan terhadap ketidakpuasan kerja yang muncul, menurut Robbins, tergantung kepada bagaimana kombinasi ke-empat dimensi tanggapan terhadap ketidakpuasan kerja.
Active-Destructive, akan memunculkan perilaku Quit atau keluar dari organisasi. Perilaku ini tentu saja ditunjang oleh berbagai faktor yang lain misal Opportunity Cost keputusan positif, artinya dia tidak dirugikan oleh keputusan tersebut. Tidak mungkin individu dengan Opportinity Cost negatif bereaksi Active-Destrucive, ini pasti sangat diperhitungkan dalam proses pembuatan keputusan. Maka kemungkinan yang akan muncul adalah reaksi Passive-Destructive, karena dimensi Destructive itu yang mendominas, sehinggai muncul perilaku Neglect karena diluar perusahaan Opportunity Cost individu tersebut negatif.
Passive-Destructive, akan memunculkan perilaku negatif yaitu Neglect seperti bekerja dengan tidak bersemangat-bekerja seenaknya-tidak bertanggungjawab, sering absen, datang tidak tepat waktu, menggunakan perlengkapan atau peralatan organisasi se-enaknya sehingga rusak, tidak merawat lingkungan kerja, lebih banyak ngobrol dan kasak-kusuk yang tidak produktif disaat kerja, mempengaruhi yang lain untuk berperilaku negatif. Perilaku ini sangat didominasi oleh dimensi reaksi Destructive. Kasus nyata adalah perilaku merusak laser jet printer. Mungkin karena printer sedang bermasalah ketika sedang digunakan maka reaksi yang muncul bukan perilaku positif yaitu melapor ke teknisi mengenai masalah printer, tetapi justru perilaku negatif yaitu melampiaskan kekesalannya pada printer yang juga dipakai bersama-sama oleh orang lain. Akibatnya printer tersebut tidak bisa digunakan bukan hanya oleh yang kesal dan melampiaskan kekesalannya dengan cara merusak printer tetapi juga orang lain yangf menggunakan printer tersebut secara bersama. Perilaku merugikan orang lain ini juga ditunjang oleh faktor Values, yaitu penilaian terhadap sebuah keberadaan yang selalu dikotomis; sehingga merusak dan merugikan orang lain dinilai bukan perilaku negatif. Values ini tentu tidak lepas dari individual learning process yang dipengaruhi oleh personality dan intelectual ability. Proses ini juga mempengaruhi keputusan dan persepsi individu terhadap organisasi dan lingkungannya. Mungkin, pada saat merusak printer itu didalam penglihatannya, printer itu mungkin dilihat sebagai representasi organisasi, orang, atau masalah yang sedang dihadapi sehinga harus dihajar.
Passive-Constructive, akan memunculkan perilaku Loyalty, yaitu mengikuti apa yang diperbuat oleh organisasi karena dominasi dimensi Constructive yang muncul. Perilaku ini akan tampak pada sikap pasrah, diam, tidak banyak bicara, tetap bekerja seperti apa yang digariskan oleh organisasi dan tunduk serta patuh kepada pimpinan. Sikap apatis terhadap organisasi bisa masuk diwilayah ini. Mungkin karena faktor daya tahan sudah yang menurun atau karena faktor lain yang lebih pragmatis maka sikap apatis ini mudah muncul. Masalahnya, kaum oportunis juga akan berbaur diwilayah ini, sehngga sulit dilihat mana yang apatis, mana yang loyal, atau mana yang oportunis. Kadar dimensi Passive mungkin yang bisa menandai perbedaan ketiganya karena ketiganya jelas berdimensi Passive; kuat, medium, atau lemah. Kaum oportunis ibarat lipas, akan selalu berada di wilayah abu-abu dan cenderung gelap namun memberi peluang untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini menjelaskan bahwa dimensi Passive berbeda dengan kaum Loyal apalagi kaum Apatis yang jelas less Passive.
Active-Constructive, akan memunculkan perilaku Voice, yaitu sikap positif untuk memperbaiki organisasi melalui kritik dan saran, peran dalam domain kehaliannya, dan berbagai sikap kritis yang lain mengenai arah dan kebijakan organsasi yang dipikir dan dirasakan perlu diperbaiki. Kaum ini sebenarnya memiliki opportunity cost positif, namun karena reaksi dimensi Constructive yang dominan, maka muncul perilaku yang tidak negatif dan justru dibutuhkan oleh organisasi. Penelitian terhadap tiga perusahaan otomotif Honda, Yamaha, dan Suzuki di Jepang menunjukkan bahwa ada korelasi antara jumlah masukan ke organisasi dengan kinerja organisasi. Hal ini mudah dipahami karena ruang yang terbuka untuk memberikan kritik dan saran bagi organsiasi, disamping mengeliminasi kemunculan kaum oportunis dan apatis juga menumbuhkan rasa terlibat kepada karyawan yang lebih besar. Namun, dalam budaya di Indonesia, kaum berisik ini masih dipandang negatif. Padahal, mereka ini sebenarnya sparring partner organisasi yang sesungguhnya, seperti di tiga perusahaan otomotif di Jepang itu. Pandangan yang salah ini juga telah mendorong kelahiran kaum Apatis yang daya tahannya sudah habis, dan kemunculan kaum oportunis yang melihat peluang terbuka untuk dimasuki guna memenuhi kebutuhannya.
`
MENGELOLA KETIDAKPUASAN
Ketidakpuasan kerja kalau tidak dikelola ibarat kanker, akan menyebar dan dampaknya akan terasa ketika sudah sampai pada stadium empat. Oleh karena itu, pengelolaan terhadap gegajala ketidak puasan kerja harus dilakukan dam konteks pelibatan anggota organisasi yang bertahap, yaitu: Kepuasan kerja → Keterlibatan karyawan → Komitmen terhadap organisasi. Pada tahap ke tiga atau terakhir sistem nilai dominan organisasi sudah terbentuk dan demikian pula dengan sistem manajemen sehingga setiap anggota baru atau unsur sistem nilai baru masuk akan terpengaruh oleh sistem nilai dominan atau budaya organisasi. Setiap karyawan sudah merasa menjadi bagian dari organisasi.
Pada organisasi dengan sistem manajemen yang belum mapan dan sedang mencari, dimana klik-klik organisasi dan kelompok-kelompok organisasi ibarat faksi-faksi dalam organisasi masih cukup dominan, apalagi kalau faksi-faksi tersebut terinterseksi dalam kepentingan yang sama dan tidak berkontribusi terhadap tujuan umum organisasi namun sudah merasa menikmati sehingga stagnasi organisasi terjadi; Sering disebut pula sebagai berada pada Compfortable Zone Area atau DZA. Maka, reaksi ketidakpuasan akan mudah terpolarisasi di empat kuadran sesuai dengan kepentingan-kepentingan semu masing-masing faksi dalam organisasi, bahkan kepentingan semu yang berlabel pengabdian kepada organisasi.
Bagi yang tidak puas dan langsung keluar jelas tidak bermasalah bagi organisasi, namun gabungan antara Neglect dan Loyalty yang akan menyulitkan untuk membedakan dan membutuhkan katalisator untuk bisa melihat dengan jernih karena digabungan itu terdapat potensi Neglect musiman karena situasi dan ada pula potensi kaum apatis dan juga oportunis. Bahkan di-interseksi keduanya ada opotunis murni.
Konflik yang didisain dan dikendalikan sudah terbukti menjadi katalisator yang ampuh untuk memilah antara individu yang memiliki potensi untuk membuat organisasi menjadi lebih baik dan individu yang kurang memiliki potensi. Dengan konflik, pimpinan organisasi bisa melihat bagaimana potensi dan karakter aggotanya, termasuk kejujurannya serta visi dan misinya. Pemimpin yang mendisain konflik harus benar-benar mengusasi informasi sehingga tahu persis kapan konflik harus dihentikan.
Disamping konflik yang didisain, sering kesulitan, tekanan, atau krisis organisasi bisa menjadi katalisator untuk memilah benar-benar neglect, benar-benar loyalty. Maka, kemunculan potensi dan sdm yang memiliki komitmen terhadap organisasi sering muncul dalam situasi seperti ini.
Tantangan terbesar untuk medisain konflik adalah budaya yang cenderung menghindari konflik karena konflik adalah tabu kalau muncul ke permukaan. Yang aneh dalam budaya ini adalah suka memelihara konflik tetapi tidak suka memunculkannya. Seakan-akan dibiarkan seperti api didalam sekam yang pasti akan menyala ketika tiba saatnya.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, memang dibutuhkan seorang transformational leader, bukan transactional leader.
___________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar