Kapanlagi.com - Angka kematian yang tinggi, ternyata tidak hanya terjadi pada bayi Indonesia, namun juga dialami pada kasus kematian ternak kambing Peranakan Etawah (PE)."Sekitar 11%-36% anak kambing mati tiap tahun. Dari jumlah ini, 93,9% diantaranya terjadi pada periode pra-sapih. Faktor inilah yang mempengaruhi produktivitas ternak kambing PE rendah," kata Anita Esfandiari, mahasiswa S-3 Sains Veteriner, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), seperti dilansir Kantor Humas IPB, Sabtu (30/4).
Pada sidang terbuka disertasi doktor dengan tema "Studi Kinerja Kesehetaan Anak kambing Peranakan Etawah (PE) Neonatus Setelah Pemberian Berbagai Sediaan Kolustrum" di Rektorat Kampus IPB Darmaga, ia menjelaskan, kambing PE merupakan kambing persilangan Etawah (penghasil susu) dan Kacang (penghasil daging).
Hasil persilangan itu menyebabkan kambing PE mempunyai dua nilai ekonomis, yakni penghasil susu dan penyedia daging bagi manusia.
Ia mengatakan, dibanding susu sapi, susu kambing lebih bergizi, memiliki khasiat buat kesehatan manusia dan mudah dicerna karena globula-nya lebih halus.
"Bagi orang yang alergi susu sapi, maka susu kambing dapat menjadi pilihan," katanya.
Sebagai ternak kambing perahan, kata dia, kambing PE sangat prospektif. Setiap liternya, harga susu kambing bisa lima kali lipat harga susu sapi.
Kambing ini memiliki plasenta dengan tipe "syndesmochorial", yang tidak memungkinkan terjadinya tranfer imunoglobin (Ig) dari induk kepada fetus (janin) secara in-uteri.
Akibatnya, anak kambing lahir hampir tanpa antibodi sehingga tidak memiliki kekebalan tubuh. Anak kambing yang baru lahir sangat tergantung asupan Ig melalui kolustrum induknya.
Hal tersebut berlangsung hingga fungsi sistem kekebalannya sendiri penuh.
Sayangnya, menurut dia, acapkali ketersediaan kolostrum induk terbatas. Masalahnya, jumlah anak yang dilahirkan ikut mempengaruhi kegagalan memperoleh kolostrum yang cukup.
Sedangkan jumlah kolostrum yang diproduksi tidak meningkat sebanding dengan jumlah anak. Selain itu, kambing menghasilkan kolostrum yang relatif sedikit yakni 0,5- 2,5 liter per hari.
Untuk mengatasi permasalahan ini diperlukan kolustrum yang berasal dari induk spesies lain yaitu sapi. Disamping cocok, kolustrum sapi diproduksi berlebih dan tetap tersisa banyak meski telah dikonsumsi anaknya.
Dijelaskannya bahwa rata-rata setiap ekor induk sapi perah menghasilkan sekitar 6-8 liter kolustrum pada hari pertama setelah melahirkan. Anak sapi mengkonsumsi sekitar 4-5 liter per hari.
Sekurang-kurangnya sekitar 2-3 liter kolustrum sapi pada hari pertama tak termanfaatkan. Bila dijual pun tak laku. Kelebihan lain, susu sapi bersifat non species spesifik (bisa dikonsumsi oleh spesies apa pun).
Bahkan staf pengajar Fakultas Kedokteran Hewan IPB ini juga mengaji efikasi kolustrum komersial dan kolustrum berbentuk "sprey dried" bagi anak kambing PE.
"Saya juga mengunakan kolustrum sapi komersial dan kolustrum dalam bentuk sprey dried," katanya.
Setelah berkutat dengan 24 ekor kambing PE, ternyata kolustrum sapi segar, kolustrum sapi sprey dried, kolustrum sapi komersial dapat dipergunakan sebagai kolustrum pengganti. Jadi tak salah sapi mengasuh anak kambing.
Seusai sidang terbuka Anita Esfandiari dinyatakan lulus dan berhak menyandang gelar doktor.
Komisi penguji pada kesempatan itu adalah Dr drh Setyp Widodo, Dr Drh I Wayan Teguh Wibawan, MS, Prof Dr drh Dondin Sjuthi, MST, PhD dan Dr Ir I Ketut Sutama, MSc, APU. (*/dar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar